Sofia terbangun karena dia merasa haus. Dia lalu keluar dari kamar dan berjalan menuju dapur. Sekembalinya dari dapur, dia baru menyadari kalau pintu ruangan yang biasa dipakai meditasi terbuka sedikit. Dia membelalakkan mata saat menyadari kalau kunci ruangan itu menempel di pintu.Sofia buru-buru membuka pintu, karena firasatnya buruk. Dia terkejut bukan main saat melihat Tony terbaring tak sadarkan diri di tengah ruangan.“Tony ... bangun, Nak,” katanya sambil menepuk-nepuk pipi Tony dengan pelan. Tapi Tony tak juga bangun.Sofia lalu bangkit. Dia berjalan meninggalkan ruangan dengan langkah-langkah cepat. Dia harus segera membangunkan Jeremy.Setibanya di kamar, Sofia segera membangungkan Jeremy. Dia mengguncang-guncang tubuh suaminya itu.“Jeremy, bangun!” katanya.Jeremy membuka mata perlahan. Dia lalu bangkit. “Ada apa?” tanyanya.“Tony ..., “ kata Sofia.“Tony kenapa?” sahut Jeremy. Dia turun dari ranjang.“Tony pingsan di ruang meditasi,” katanya.Keduanya lalu keluar dari ka
Setelah Sabrina dan dua temannya pergi, Jake fokus lagi pada Emma. “Emma, kendalikan diri kamu,” katanya. Dia terus mengendalikan tubuh Emma yang terus berusaha berontak dan melepaskan diri.Emma berhasil mengendalikan diri setelah sekitar sepuluh menit tubuhnya ditahan oleh Jake. Gadis itu lalu merosot dan terkulai lemas di lantai.“Emma, kamu nggak apa-apa?” tanya Jake.Emma tak menyahut. Dia hanya mengangguk lemah.Jake lalu mengambil minuman Emma lalu diberikan pada gadis itu. Setelah itu, dia membantu Emma duduk di kursi lagi.“Kamu kenapa sih tadi pake nahan Emma? Harusnya biarin aja wajah dia biar dicakar sekalian biar nggak sok iye,” kata Ethan sambil menyendok basonya.“Aku juga pengennya gitu. Tapi aku nggak mau ada keributan berlarut-larut. Lagian nanti kalo misalnya ada yang manggil dosen gimana? Entar Emma juga kena hukuman,” sahut Jake.Emma mengangguk pelan. “Bener apa kata Jake, Ethan,” sahutnya, “by the way, maaf ya. Karena aku, kalian jadi pusat perhatian.”Jake meli
Laki-laki yang saat ini terbaring di ranjang itu tadi sudah menikmati tubuh Desy. Ya, sekitar jam sembilan malam lalu, laki-laki itu sudah menyerang Desy tanpa ampun, hingga membuat Desy lemas tak berdaya karena melakukan pelepasan berkali-kali. Saat laki-laki itu akhirnya tertidur, Desy pikir laki-laki itu sudah puas. Ternyata tidak, sekitar jam tiga dini hari laki-laki itu bangun lagi.“Kenapa?” tanya Desy saat dia dibangunkan oleh laki-laki berkumis tipis itu.Laki-laki itu tertawa kecil. “Kamu tadi minta sampel sabu ya?” katanya.Desy mengangguk. “Iya,” jawabnya, “kenapa?”“Bisa nggak aku minta lagi sebagai imbalannya?” kata laki-laki itu.Desy membelalakkan mata. Yang benar saja. Dia masih mengantuk. Dan lagi pula, dia sudah membersihkan diri dan memakai pakaiannya lagi dengan lengkap.“Nggak ah,” sahut Desy, “kamu nggak lihat apa aku udah pakai baju lengkap gini?!”“Ya tinggal dibuka lagi apa susahnya sih?” sahut laki-laki di sampingnya itu.Desy tak menyahut. Kadang pelanggan y
Di kantin kampus, saat makan siang, Sabrina marah-marah karena Desy tak masuk kuliah. Dia kesal karena gadis itu mengingkari janjinya.“Udah dong, Sabrina, jangan cemberut terus,” kata Anne. Gadis itu bingung kalau melihat Sabrina memburuk suasana hatinya seperti sekarang. Selain itu, dia lelah menghadapi Sabrina yang uring-uringan.“Gimana aku nggak kesel? Desy tuh nggak nepatin janjinya. Dia bilang mau kasih samplenya ke kita. Tapi mana?” katanya, “kalau nggak punya bilang nggak punya saja nggak apa-apa sebenernya. Bukannya malah kabur.”“Kamu nggak coba telfon dia?” tanya Anne sambil memotong basonya.“Udah, tadi pagi. Tapi nggak direspon,” baals Sabrina. Dia mengaduk-aduk jusnya dengan kasar.“Coba deh telfon lagi. Barangkali dia mau ngerespon,” kata Anne.Sabrina lalu mengambil ponselnya yang sedari tadi dia letakkan di atas meja. Dia lalu mencari nomor Desy di kontaknya dan menelepon gadis itu. Dia menghembuskan napas lega setelah akhirnya mendengar suara Desy dari seberang.“Ka
“Tau dong. Kan aku cenanyang,” kata Jake. Dia lalu terbahak.“Hah, yang bener?” tanya Emma.“Engak ... enggak bercanda. Kan emang aku tahu kalo kamu suka baca-baca gitu. Jaai aku punya inisiatif kasih kamu novel. Terus dari internet aku tahu dua novel itu yang lagi booming dibahas booklovers. Jadi, yaudah aku beliin kamu itu,” kata Jake.“By the way, ke depan yuk. Mau nggak? Aku ingin ngeliat pemandangan. Dari pada di sini,” kata Jake.“Boleh ... boleh,” kata Emma. Keduanya lalu berjalan keluar rumah.Mereka berjalan pelan menyusuri halaman rumah Emma sambil berbincang-bincang.“Emma ...,” kata Jake.“Hmm?” sahut Emma.“Aku boleh tahu nggak tipe cowok yang kamu suka tuh kayak gimana?” tanya Jake. Dia menghentikan langkahnya.Emma menghentikan langkahnya juga. “Aku suka sebagai apa? Pacar?” tanya Emma.Jake mengangguk.“Sebenernya, aku nggak kepikiran pacaran sih. Tapi kalo ditanyain tipe ... aku maunya orangnya baik. Terus setia dan perhatian. Udah gitu aja paling,” kata Emma.Jake me
Pagi Sekali, sebelum ada banyak mahasisawa yang datang, Sabrina dan dua temannya sudah mondar-mandir di sekitar kelas Emma untuk mencari target. Mereka harus menemukan satu orang untuk mereka suruh sebelum Emma dan Jake datang.“Aduh siapa dong yang bisa dipercaya menjalankan tugas dai kita?” kata Anne.“Kamu nggak punya kenalan, Des?” tanya Sabrina.“Nggak ada,” sahut Desy, “kenapa jadi nanya aku deh?”“Ya kan biasanya selalu kamu yang punya banyak kenalan,” kata Sabrina.“Nggak. Nggak ada kali ini,” sahutnya. Dia terus memperhatikan setiap orang yang lewat.“Yang pasti kita harus cari yang penampilannya biasa aja. Yang sederhana. Yang sekiranya butuh duit. Kalo anak orang berduit udah pasti gak bakalan mau,” kata Sabrina.“Cewek apa cowok?” tanya Anne.“Apa aja sih. Bahkan kalo adanya bencong, bencong juga nggak apa-apa. Nggak penting itu sih,” kata Sabrina.Desy terbahak. “Iya sih. Yang penting dia mau dan bisa dipercaya,” katanya setelah tawanya reda.“Anak itu oke nggak?” tanya A
Ethan lalu mengetik balasan.Ethan:Kataku juga iya sih. Mendingan kamu cariin dia deh. Kamu susul dia.Jake lalu berdiri.“Aku ke toilet dulu ya, Guys. Tiba-tiba mules,” kata Jake. Dia lalu bangkit dan meninggalkan Ethan dan Tony.Jake berjalan dengan cepat meninggalkan kantin. Dia ingin segera menemui Emma. Dia melihat gadis itu di depan toilet wanita. Dia berdiri di sana seperti orang gelisah. Dengan langkah-langkah cepat, Jake lalu mendekati gadis itu.“Emma ... aku pengen ngomong sama kamu,” kata Jake.“Ngomong apa? Ngomong aja,” katanya.“Emma ... aku bener-bener minta maaf atas kejadian semalem,” kata Jake. Nada suaranya rendah. Dia tampak sangat menyesal.Emma menundukkan kepala. “Jake ... menurutku, kita seharusnya nggak ngelakuin itu,” kata Emma.“Jadi, kamu inget semua dengan baik?” kata Jake.“Sebagian ... iya. Tapi aku nggak inget bagaimana tiba-tiba aku berubah jadi mengerikan. Apa aku ngelukain kamu?” tanya Emma.“Punggung aku sempet kena kuku kamu, tapi nggak sakit kok
Saat Tony tiba di rumah Emma, rupanya Lily dan Robin sedang bersiap-siap untuk pergi. Mungkin pihak kepolisian sudah menghubungi mereka.“Hei, Tony, kita mau ke kantor polisi,” kata Lily.“Saya ikut, Tante,” kata Tony. Dia lalu berjalan cepat menuju mobilnya lagi.Perjalanan dari rumah Emma ke kantor polisi mereka tempuh sekitar empat puluh menit. Setelah memarkirkan mobil, mereka lalu diarahakan seorang petugas polisi untuk menemui Emma.Ketika melihat Lily dan Robin datang, Emma segera menghamburkan diri ke pelukan ibunya. Hati Tony sakit sekali melihat pipi gadis itu yang basah oleh air mata.“Anak saya tidak mungkin memakai benda terlarang itu, Pak,” kata Lily setelah melepaskan pelukan Emma.“Tapi kata rektor kampusnya, benda ini ditemukan di dala tas anak Ibu,” kata polisi itu sambil menunjukkan barang bukti.Lily lalu mengambil bungkusan plastik itu. Dia geleng-geleng kepala setelah melihat benda itu. Dia lalu menatap Emma.“Apa benar kamu memakai benda ini, Nak?” tanyanya.Emm