Laki-laki yang saat ini terbaring di ranjang itu tadi sudah menikmati tubuh Desy. Ya, sekitar jam sembilan malam lalu, laki-laki itu sudah menyerang Desy tanpa ampun, hingga membuat Desy lemas tak berdaya karena melakukan pelepasan berkali-kali. Saat laki-laki itu akhirnya tertidur, Desy pikir laki-laki itu sudah puas. Ternyata tidak, sekitar jam tiga dini hari laki-laki itu bangun lagi.“Kenapa?” tanya Desy saat dia dibangunkan oleh laki-laki berkumis tipis itu.Laki-laki itu tertawa kecil. “Kamu tadi minta sampel sabu ya?” katanya.Desy mengangguk. “Iya,” jawabnya, “kenapa?”“Bisa nggak aku minta lagi sebagai imbalannya?” kata laki-laki itu.Desy membelalakkan mata. Yang benar saja. Dia masih mengantuk. Dan lagi pula, dia sudah membersihkan diri dan memakai pakaiannya lagi dengan lengkap.“Nggak ah,” sahut Desy, “kamu nggak lihat apa aku udah pakai baju lengkap gini?!”“Ya tinggal dibuka lagi apa susahnya sih?” sahut laki-laki di sampingnya itu.Desy tak menyahut. Kadang pelanggan y
Di kantin kampus, saat makan siang, Sabrina marah-marah karena Desy tak masuk kuliah. Dia kesal karena gadis itu mengingkari janjinya.“Udah dong, Sabrina, jangan cemberut terus,” kata Anne. Gadis itu bingung kalau melihat Sabrina memburuk suasana hatinya seperti sekarang. Selain itu, dia lelah menghadapi Sabrina yang uring-uringan.“Gimana aku nggak kesel? Desy tuh nggak nepatin janjinya. Dia bilang mau kasih samplenya ke kita. Tapi mana?” katanya, “kalau nggak punya bilang nggak punya saja nggak apa-apa sebenernya. Bukannya malah kabur.”“Kamu nggak coba telfon dia?” tanya Anne sambil memotong basonya.“Udah, tadi pagi. Tapi nggak direspon,” baals Sabrina. Dia mengaduk-aduk jusnya dengan kasar.“Coba deh telfon lagi. Barangkali dia mau ngerespon,” kata Anne.Sabrina lalu mengambil ponselnya yang sedari tadi dia letakkan di atas meja. Dia lalu mencari nomor Desy di kontaknya dan menelepon gadis itu. Dia menghembuskan napas lega setelah akhirnya mendengar suara Desy dari seberang.“Ka
“Tau dong. Kan aku cenanyang,” kata Jake. Dia lalu terbahak.“Hah, yang bener?” tanya Emma.“Engak ... enggak bercanda. Kan emang aku tahu kalo kamu suka baca-baca gitu. Jaai aku punya inisiatif kasih kamu novel. Terus dari internet aku tahu dua novel itu yang lagi booming dibahas booklovers. Jadi, yaudah aku beliin kamu itu,” kata Jake.“By the way, ke depan yuk. Mau nggak? Aku ingin ngeliat pemandangan. Dari pada di sini,” kata Jake.“Boleh ... boleh,” kata Emma. Keduanya lalu berjalan keluar rumah.Mereka berjalan pelan menyusuri halaman rumah Emma sambil berbincang-bincang.“Emma ...,” kata Jake.“Hmm?” sahut Emma.“Aku boleh tahu nggak tipe cowok yang kamu suka tuh kayak gimana?” tanya Jake. Dia menghentikan langkahnya.Emma menghentikan langkahnya juga. “Aku suka sebagai apa? Pacar?” tanya Emma.Jake mengangguk.“Sebenernya, aku nggak kepikiran pacaran sih. Tapi kalo ditanyain tipe ... aku maunya orangnya baik. Terus setia dan perhatian. Udah gitu aja paling,” kata Emma.Jake me
Pagi Sekali, sebelum ada banyak mahasisawa yang datang, Sabrina dan dua temannya sudah mondar-mandir di sekitar kelas Emma untuk mencari target. Mereka harus menemukan satu orang untuk mereka suruh sebelum Emma dan Jake datang.“Aduh siapa dong yang bisa dipercaya menjalankan tugas dai kita?” kata Anne.“Kamu nggak punya kenalan, Des?” tanya Sabrina.“Nggak ada,” sahut Desy, “kenapa jadi nanya aku deh?”“Ya kan biasanya selalu kamu yang punya banyak kenalan,” kata Sabrina.“Nggak. Nggak ada kali ini,” sahutnya. Dia terus memperhatikan setiap orang yang lewat.“Yang pasti kita harus cari yang penampilannya biasa aja. Yang sederhana. Yang sekiranya butuh duit. Kalo anak orang berduit udah pasti gak bakalan mau,” kata Sabrina.“Cewek apa cowok?” tanya Anne.“Apa aja sih. Bahkan kalo adanya bencong, bencong juga nggak apa-apa. Nggak penting itu sih,” kata Sabrina.Desy terbahak. “Iya sih. Yang penting dia mau dan bisa dipercaya,” katanya setelah tawanya reda.“Anak itu oke nggak?” tanya A
Ethan lalu mengetik balasan.Ethan:Kataku juga iya sih. Mendingan kamu cariin dia deh. Kamu susul dia.Jake lalu berdiri.“Aku ke toilet dulu ya, Guys. Tiba-tiba mules,” kata Jake. Dia lalu bangkit dan meninggalkan Ethan dan Tony.Jake berjalan dengan cepat meninggalkan kantin. Dia ingin segera menemui Emma. Dia melihat gadis itu di depan toilet wanita. Dia berdiri di sana seperti orang gelisah. Dengan langkah-langkah cepat, Jake lalu mendekati gadis itu.“Emma ... aku pengen ngomong sama kamu,” kata Jake.“Ngomong apa? Ngomong aja,” katanya.“Emma ... aku bener-bener minta maaf atas kejadian semalem,” kata Jake. Nada suaranya rendah. Dia tampak sangat menyesal.Emma menundukkan kepala. “Jake ... menurutku, kita seharusnya nggak ngelakuin itu,” kata Emma.“Jadi, kamu inget semua dengan baik?” kata Jake.“Sebagian ... iya. Tapi aku nggak inget bagaimana tiba-tiba aku berubah jadi mengerikan. Apa aku ngelukain kamu?” tanya Emma.“Punggung aku sempet kena kuku kamu, tapi nggak sakit kok
Saat Tony tiba di rumah Emma, rupanya Lily dan Robin sedang bersiap-siap untuk pergi. Mungkin pihak kepolisian sudah menghubungi mereka.“Hei, Tony, kita mau ke kantor polisi,” kata Lily.“Saya ikut, Tante,” kata Tony. Dia lalu berjalan cepat menuju mobilnya lagi.Perjalanan dari rumah Emma ke kantor polisi mereka tempuh sekitar empat puluh menit. Setelah memarkirkan mobil, mereka lalu diarahakan seorang petugas polisi untuk menemui Emma.Ketika melihat Lily dan Robin datang, Emma segera menghamburkan diri ke pelukan ibunya. Hati Tony sakit sekali melihat pipi gadis itu yang basah oleh air mata.“Anak saya tidak mungkin memakai benda terlarang itu, Pak,” kata Lily setelah melepaskan pelukan Emma.“Tapi kata rektor kampusnya, benda ini ditemukan di dala tas anak Ibu,” kata polisi itu sambil menunjukkan barang bukti.Lily lalu mengambil bungkusan plastik itu. Dia geleng-geleng kepala setelah melihat benda itu. Dia lalu menatap Emma.“Apa benar kamu memakai benda ini, Nak?” tanyanya.Emm
Semalam, Emma tidak bisa tidur. Sampai sekarang di jam empat pagi, gadis itu masih terjaga. Di matanya ada kantung mata dan kelopak matanya bagian bawah agak menghitam. Dari semalam, dia beberapa kali menangis. Sekarang dia juga menangis lagi.Emma begitu takut. Seumur hidup, dia tak pernah membayangkan akan menjalani kehidupan di balik jeruji yang memisahkan dirinya dengan keluarga, teman dan juga mimpi-mimpinya.Saking tak mampu menahan rasa sesak yang bergejolak di hatinya, Emma berteriak-teriak. Dia memberontak.Keributan yang terdengar dri dalam sel tempat Emma di tahan membangunkan seorang petugas. Dia lalu berjalan mendekati sel Emma.“Kamu kenapa?” katanya.Emma mendongak. Matanya melotot. Dia lalu menjerit keras-keras.“Nanti sekitar jam delapan orang tua kamu ke sini,” kata petugas itu, “jangan berisik.”Emma berteriak lagi. Dia melotot. Kuku-kuku tangannya mulai memanjang. Namun petugas itu tak menyadarinya. Dia tetap berdiri di depan sel Emma.“Mau apa kamu? Mau keluar?” k
Jake, Tony dan Ethan memperhatikan dengan teliti video yang muncul di layar. Mereka semua tamak terkejut ketika melihat Sabrina mengeluarkan sebuah bungkusan dan diberikan kepada Caca. “Fix, ini ulah Sabrina,” kata Tony. “Tapi kita belum tau kapan bungkusan itu dimasukinnya ke tas Emma,” kata Ethan. “Kapan ya? Ah, pas jam istirahat kayaknya. Pas semua orang ninggalin kelas,” kata Tony. “Coba lihat yang jam dua belas, Pak,” kata Tony. Pak Mamat mengangguk. Dia memutar rekaman CCTV ke jam dua belas. Benar saja, saat ruangan mulai sepi, Caca tampak baru berdiri dari kursinya.“Videoin ... videoin,” kata Jake. Ethan lantas mengambil ponselnya. Dia lalu merekam. “Ntar yang tadi diulang ya, Pak,” kata Ethan, “yang di depan kelas.”Setelah merekam semua video, mereka lalu berterima kasih kepada Pak Mamat. Tujuan mereka berikutnya setelah keluar ruangan tentu saja kelas Sabrina. Dengan langkah-langkah cepat, mereka berjalan. Rupanya ketika mereka sampai di kelas Sabrina, gadis itu dan k
Hari pertama menjalani kegiatan di kampus Emma merasa sangat tidak nyaman. Dia tidak mudah berkenalan dengan orang baru karena tidak semua orang bisa memahaminya. Akibatnya, Emma jadi sering menyendiri. Baik di kelas, perpustakaan atau di kantin, dia jarang terlihat berbaur dan mengobrol dengan mahasiswa lain. Keadaan itu membuat banyak mahasiswa di kampus yang menganggap Emma sombong. Sehingga akhirnya ada banyak mahasiswa di kampus yang membenci Emma. Banyak yang memusuhi Emma secara diam-diam. Tapi tak sedikit juga yang memusuhi Emma secara terang-terangan. Akibatnya, hampir setiap hari ada saja yang membuat Emma marah dan mengamuk karena selalu ada yang mengganggunya. Puncaknya adalah saat ada yang menganggu Emma saat gadis itu makan siang sendirian di kantin.“Sombong banget sih ke mana-mana sendiri terus,” kata seorang gadis berambut sebahu.“Mungkin dia ngerasa paling cantik kali di sekolah ini. Atau dia kayak gini biar banyak yang ngedeketin. Ala-ala misterius,” kata gadis y
Karena tak ada respon setelah mengetuk pintu beberapa kali, Anne memutuskan untuk menelepon Desy. Setelah panggilan keempat baru teleponnya direspon.“Ada apa, Anne?” tanya Desy dari seberang. Suaranya terdengar sangat pelan.“Kamu ada di rumah?” tanya Anne.“Iya,” sahut Desy.“Kok ...,” Anne menghentikan kalimatnya karena dia melihat seorang bapak-bapak keluar dari rumah Desy. Sebatas yang dia ingat, itu bukan Ayah Desy. Apakah orang itu kerabatnya Desy yang dia tidak kenal sebelumnya?“Kamu masuk aja,” kata Desy.Anne seketika memutuskan sambungan telepon dan masuk ke melewati pintu yang terbuka. Setelah menutup pintu, dia berjalan ke tengah bagian rumah. Tempat yang dia tuju tentu saja kamar Desy.Anne mengerutkan kening saat masuk ke kamar Desy dan melihat ranjang gadis itu berantakan. Dia takut terjadi apa-apa dengan Desy.“Desy, kamu di mana?” tanya Anne. Dia menghembuskan napas lega saat mendegar suara keran dari kamar mandi.“Orang laki-laki yang tadi keluar dari rumah kamu si
Tiga hari setelah demo terakhir dilakukan, kedua orang tua Emma dipanggil ke kampus. Mereka berdua diminta untuk bertemu dengan Bu Marta langsung di ruangannya. “Selamat pagi,” kata Tony sambil mengetuk pintu ruangan Bu Marta ketika langkahnya terhenti di depan ruangan kepala sekolah itu.Bu Marta menatap ke arah pintu. “Selamat pagi,” katanya, “silakan masuk.”Bu Marta mengambil napas dalam sebelum berbicara dengan Robin dan Lily. “Sebelumnya saya mewakili pihak sekolah ingin mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya,” kata Bu Marta.“Apa tidak bisa dinegosiasikan lagi, Bu?” tanya Robin, “kita semua sama-sama tahu kan kalau semua kekacauan yang Emma perbuat bukan murni keinginan Emma. Ada mahluk astral yang mengendalikannya.”Bu Marta mengangguk. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin menjelaskan kepada para orangtua mahasiswa itu. Tapi mereka tak ada yang mau peduli. Alasan mereka, mereka tidak mau kekacauan itu terulang terus. Mereka tidak mau kalau nanti anak mereka dan yang lainny
Orang tua Yosi dan Burhan kompak mengajak puluhan orang tua mahasiswa lain untuk melakukan demo ke kampus. Mereka semua menuntut agar Emma dikeluarkan karena tingkahnya yang sangat meresahkan. Mereka tak hanya melakukan demo sekali, tetapi sebanyak tiga kali dalam seminggu.Fakta itu tentu saja membuat pihak sekolah bimbang. Di satu sisi, mereka tidak bisa mengabaikan permintaan wali murid. Tapi, di sisi lain, mengeluarkan Emma dari kampu begitu saja juga bukan pilihan yang paling tepat. Bagaimana pun juga, Emma adalah salah satu mahasiswa yang cukup berprestasi. Mereka bahkan mempunya beberapa rencana untuk mengikuti lomba dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan. Dan salah satu mahasiswa yang akan mereka ikutkan untuk lomba itu adalah Emma.Tak hanya pihak sekolah yang dibuat pusing oleh demo yang dilakukan para orang tua mahasiswa itu. Emma dan orang tuanya juga dibuat pusing. Yang paling tertekan dengan kedaan itu tentu saja Emma. Hampir setiap hari dia menangis karena lelah meng
Sabrina tak peduli jika pada akhirnya Desy muak dengan sikapnya dan gadis itu meninggalkannya. Dia tetap fokus pada niatnya untuk membuat Emma dikeluarkan dari sekolah. Maka dia mencari tahu dua mahasiswa yang kemarin menjadi korban amukan Emma di kantin. Dari informasi yang berhasil Sabrina himpun dari orang-orang suruhannya. Dia menemukan nama dan kelas dua mahasiswa itu. Bahkan Sabrina juga tahu alamat rumah mereka. Tapi sebelum memutuskan untuk mendatangi orang tua mereka di rumah mereka, Sabrina memutuskan untuk menghampiri mereka di kelasnya terlebih dahulu. Yang pertama Sabrina datangi adalah Yosi. Laki-laki berpostur jangkung itu tengah duduk di kursi yang ada di depan kelas ketika Sabrina datang. “Hei, gimana kabarnya?” kata Sabrina. Dia duduk di samping Yosi, “luka kamu yang kena amukan Emma kemarin masih sakit?” “Lumayan sih. Ada beberapa luka gosong kebiruan dan luka goresan karena kena lantai dan bangku kantin,” kata Yosi, “ini masih mendingan. Si Burhan malah hari ini
Emma pikir, Sabrina memang akan benar-benar berubah. Dia pikir gadis itu akan menepati janjinya. Tapi ternyata tidak. Pada akhirnya gadis itu berulang lagi. Entah disengaja atau tidak, saat berad di kantin, tiba-tiba saja Sabrina menjatuhkan minuman yang masih agak panas dari belakang. Cairan kopi itu mengenai punggung Emma, mengenai kemejanya dan tembus hingga ke kulitnya.Emma merasakan rasa skit dan panas doi punggungnya. Seharusnya dia pergi ke toilet. Dan memang sebenarnya dia berniat pergi ke toilet. Namun, Emosinya lebih dulu meledak. Seperti biasa, mahluk astral itu menguasainya lagi. Membuatnya lepas kendali.Sadar berhasil memancing Emma, Sabrina pun tersenyum-senyum. Tetapi sebisa mungkin dia berusaha meminta maaf agar segalanya tak terlihat mencolok.“Maaf ya, Emma,” katanya kepada Emma.Emma tak menyahut. Dia mengerang dan mencengkeram pergelangan tangan Sabrina. Matanya melotot dan bola matanya berputar-putar. Dia mengerang. Lalu kuku-kukunya yang panjang mencakar kulit
Emma masuk kuliah lagi, tiga hari dari hari pertama dia di rumah sakit. Sebelum masuk ke dalam kelas, Ethan dan Jake menyambutnya di ambang pintu. Mereka mengulurkan tangan dan agak sedikit membungkuk seperti mempersilakan otang penting. Emma tersenyum melihatnya.“Kalian ini kayak aku siapa saja,” kata Emma.Baru duduk sebentar, Tony lalu berdiri lagi. Dia lalu mengajak Ethan dan Jake keluar kelas.“Aku nggak diajak nih?” tanya Emma.“Aku mau ngobrol sebentar sama mereka,” kata Tony. Dia lalu tersenyum, “ini urusan laki-laki.”Emma menghembuskan napas kasar. “Males banget deh kalo bawa-bawa gender,” katanya.“Bentar doang kok,” kata Tony.Tony, Ethan dan Jake lalu berjalan keluar kela. Mereka menghentikan langkahnya di taman. Tony lalu memilih bangku yang ada di sudut taman untuk duduk. Tempat itu lumayan jah dari jangkauan orang-orang karena kanan dan kirinya adalah barisan tembok ruang dekan.“Kamu ngapain sih ngajak kita ke sini?” tanya Jake setelah dia duduk.“Aku mau ngomong ser
Saat Sabrina masuk, Jake sedang mengobrol dengan Emma. Laki-laki itu berdiri di dekat ranjang sambil agak membungkuk, mendengarkan suara Emma yang mungkin masih terdengar pelan. Dia membelakangi Sabrina. Di sampingnya ada Ethan. Sementara itu, Tony berdiri di sisi ranjang yang lain sehingga dia menjadi orang yang lebih dulu mengetahui kehadiran Sabrina.Karena menyadari arah pandang Tony, Jake akhirnya menoleh.“S ... sore semua,” kata Sabrina.Tony tak menyahut. Emma juga. Yang menyahut adalah Jake. “Sore,” ujarnya pelan. Dia lalu menghadap Emma lagi.“Emma sakit apa? Habis jatuh kah?” tanya Sabrina karena dia melihat ada bekas jahitan di kening Emma sebelah kanan.“Iya,” sahut Sabrina pelan.“Sekarang udah mendingan apa masih sakit?” tanya Sabrina.“Udah mendingan kok,” sahut Emma.“Maaf ya, aku nggak sempet beliin apa-apa,” kata Sabrina.“Nggak apa-apa,” sahut Emma.Sejujurnya, Emma tidak yakin Sabrina tulus. Dia sebenarnya malas menanggapi gadis itu. Rasanya mustahil seorang Sabri
Saat jam istirahat siang, Jake dan Ethan kelimpungan mencari Tony dan Emma di kelasnya. Mereka bertanya-tanya ke mana perginya dua orang itu. Jake yang paling penasaran. Tentu saja. Setelah duduk di meja kantin, Jake lalu menelfon Emma. Karena tak ada tanggapan dari gadis itu, dia lalu menelfon Tony. “Aku yakin sih ini mereka pasti pergi berdua,” kata Jake selagi menunggu panggilannya mendapat respon dari Tony. “Kayaknya sih,” sahut Ethan sambil menyendok basonya. “Kamu bolos bareng Emma ya?” kata Jake setelah mendengar suara Tony dari seberang. “Bolos ... bolos kepalamu? Aku lagi jenguk Emma di rumah sakit,” sahut Tony. “Rumah sakit?” ulang Tony, “Emangnya Emma sakit apa?” “Ceritanya panjang. Entar juga kamu tahu sendiri kalo ke rumah sakit,” sahut Tony. “Di rumah sakit mana?” tanya Jake. “Biasa. Yang deket sama rumah Emma,” sahut Tony. “Siapa yang sakit?” tanya Ethan setelah Jake meletakan ponselnya di atas meja. “Emma,” jawab Jake. “Sakit apa?” sahut Ethan. Dia membelala