Pagi Sekali, sebelum ada banyak mahasisawa yang datang, Sabrina dan dua temannya sudah mondar-mandir di sekitar kelas Emma untuk mencari target. Mereka harus menemukan satu orang untuk mereka suruh sebelum Emma dan Jake datang.“Aduh siapa dong yang bisa dipercaya menjalankan tugas dai kita?” kata Anne.“Kamu nggak punya kenalan, Des?” tanya Sabrina.“Nggak ada,” sahut Desy, “kenapa jadi nanya aku deh?”“Ya kan biasanya selalu kamu yang punya banyak kenalan,” kata Sabrina.“Nggak. Nggak ada kali ini,” sahutnya. Dia terus memperhatikan setiap orang yang lewat.“Yang pasti kita harus cari yang penampilannya biasa aja. Yang sederhana. Yang sekiranya butuh duit. Kalo anak orang berduit udah pasti gak bakalan mau,” kata Sabrina.“Cewek apa cowok?” tanya Anne.“Apa aja sih. Bahkan kalo adanya bencong, bencong juga nggak apa-apa. Nggak penting itu sih,” kata Sabrina.Desy terbahak. “Iya sih. Yang penting dia mau dan bisa dipercaya,” katanya setelah tawanya reda.“Anak itu oke nggak?” tanya A
Ethan lalu mengetik balasan.Ethan:Kataku juga iya sih. Mendingan kamu cariin dia deh. Kamu susul dia.Jake lalu berdiri.“Aku ke toilet dulu ya, Guys. Tiba-tiba mules,” kata Jake. Dia lalu bangkit dan meninggalkan Ethan dan Tony.Jake berjalan dengan cepat meninggalkan kantin. Dia ingin segera menemui Emma. Dia melihat gadis itu di depan toilet wanita. Dia berdiri di sana seperti orang gelisah. Dengan langkah-langkah cepat, Jake lalu mendekati gadis itu.“Emma ... aku pengen ngomong sama kamu,” kata Jake.“Ngomong apa? Ngomong aja,” katanya.“Emma ... aku bener-bener minta maaf atas kejadian semalem,” kata Jake. Nada suaranya rendah. Dia tampak sangat menyesal.Emma menundukkan kepala. “Jake ... menurutku, kita seharusnya nggak ngelakuin itu,” kata Emma.“Jadi, kamu inget semua dengan baik?” kata Jake.“Sebagian ... iya. Tapi aku nggak inget bagaimana tiba-tiba aku berubah jadi mengerikan. Apa aku ngelukain kamu?” tanya Emma.“Punggung aku sempet kena kuku kamu, tapi nggak sakit kok
Saat Tony tiba di rumah Emma, rupanya Lily dan Robin sedang bersiap-siap untuk pergi. Mungkin pihak kepolisian sudah menghubungi mereka.“Hei, Tony, kita mau ke kantor polisi,” kata Lily.“Saya ikut, Tante,” kata Tony. Dia lalu berjalan cepat menuju mobilnya lagi.Perjalanan dari rumah Emma ke kantor polisi mereka tempuh sekitar empat puluh menit. Setelah memarkirkan mobil, mereka lalu diarahakan seorang petugas polisi untuk menemui Emma.Ketika melihat Lily dan Robin datang, Emma segera menghamburkan diri ke pelukan ibunya. Hati Tony sakit sekali melihat pipi gadis itu yang basah oleh air mata.“Anak saya tidak mungkin memakai benda terlarang itu, Pak,” kata Lily setelah melepaskan pelukan Emma.“Tapi kata rektor kampusnya, benda ini ditemukan di dala tas anak Ibu,” kata polisi itu sambil menunjukkan barang bukti.Lily lalu mengambil bungkusan plastik itu. Dia geleng-geleng kepala setelah melihat benda itu. Dia lalu menatap Emma.“Apa benar kamu memakai benda ini, Nak?” tanyanya.Emm
Semalam, Emma tidak bisa tidur. Sampai sekarang di jam empat pagi, gadis itu masih terjaga. Di matanya ada kantung mata dan kelopak matanya bagian bawah agak menghitam. Dari semalam, dia beberapa kali menangis. Sekarang dia juga menangis lagi.Emma begitu takut. Seumur hidup, dia tak pernah membayangkan akan menjalani kehidupan di balik jeruji yang memisahkan dirinya dengan keluarga, teman dan juga mimpi-mimpinya.Saking tak mampu menahan rasa sesak yang bergejolak di hatinya, Emma berteriak-teriak. Dia memberontak.Keributan yang terdengar dri dalam sel tempat Emma di tahan membangunkan seorang petugas. Dia lalu berjalan mendekati sel Emma.“Kamu kenapa?” katanya.Emma mendongak. Matanya melotot. Dia lalu menjerit keras-keras.“Nanti sekitar jam delapan orang tua kamu ke sini,” kata petugas itu, “jangan berisik.”Emma berteriak lagi. Dia melotot. Kuku-kuku tangannya mulai memanjang. Namun petugas itu tak menyadarinya. Dia tetap berdiri di depan sel Emma.“Mau apa kamu? Mau keluar?” k
Jake, Tony dan Ethan memperhatikan dengan teliti video yang muncul di layar. Mereka semua tamak terkejut ketika melihat Sabrina mengeluarkan sebuah bungkusan dan diberikan kepada Caca. “Fix, ini ulah Sabrina,” kata Tony. “Tapi kita belum tau kapan bungkusan itu dimasukinnya ke tas Emma,” kata Ethan. “Kapan ya? Ah, pas jam istirahat kayaknya. Pas semua orang ninggalin kelas,” kata Tony. “Coba lihat yang jam dua belas, Pak,” kata Tony. Pak Mamat mengangguk. Dia memutar rekaman CCTV ke jam dua belas. Benar saja, saat ruangan mulai sepi, Caca tampak baru berdiri dari kursinya.“Videoin ... videoin,” kata Jake. Ethan lantas mengambil ponselnya. Dia lalu merekam. “Ntar yang tadi diulang ya, Pak,” kata Ethan, “yang di depan kelas.”Setelah merekam semua video, mereka lalu berterima kasih kepada Pak Mamat. Tujuan mereka berikutnya setelah keluar ruangan tentu saja kelas Sabrina. Dengan langkah-langkah cepat, mereka berjalan. Rupanya ketika mereka sampai di kelas Sabrina, gadis itu dan k
Tony cs menghampiri Emma ke rumahnya sepulang kuliah. Mereka bermaksud memberi tahu gadis itu siapa pelaku yang menaruh barang terlarang itu di tas Emma. Mereka bertiga segera berjalan mendekati Emma setelah turun dari mobil. Karena kebetulan gadis itu ada di teras rumah bersama dengan Lily.“Selamat sore, Tante,” sapa Tony. Dia sedikit membungkuk. Yang lain mengikutinya. “Sore,” sahut Lily. Dia lalu berdiri, “Ayo masuk ke dalam. Sekalian Tante buatkan minum.”Emma dan Tony cs akhirnya masuk ke dalam. Mereka lalu duduk di ruang tamu. Tony duduk di samping Emma di sofa yang panjang. Sementara Ethan dan Jake duduk di single sofa yang ada di kanan dan kiri sofa panjang itu. “Gimana kata polisinya, Emma?” tanya Tony. “Mereka bilang hasil tes urine-ku negatif,” kata Emma. “Ya iyalah, aku yakin banget kamu nggak pake itu,” kata Tony. “Iya, dan kita juga udah tahu siapa pelakunya,” sahut Jake. Emma menatap Jake. Matanya melebar. “Siapa?” tanyanya. Ethan lalu mengeluarkan ponselnya. “
Robin memegangi tubuh Emma. “Kendalikan dirimu,” kata Robin. Emma menatap Robin. Bola matanya melotot seperti akan keluar dari rongganya. Dia lalu menyeringai. Dengan sekuat tenaga, Dia lalu menyingkirkan tangan Robin. Tapi, Robin tak mau menyerah. Dia terus memegangi tangan Emma. Tak mau dihlangi, Emma lalu berteriak. Dia lantas menancapkan kukunya ke lengan Robin lau mencakarnya.Refleks Robin melepaskan tangannya karena kesakitan. Dia lalu memintaLily mengambilkan kotak P3K untuknya. Selagi menunggu Lily, Robin merapalkan doa surat-surat pendek yang dia hapal. Sebisa mungkin dia berusah agar mahluk astral yang mengganggu Emma berhenti. Semakin Robin membaca doa-doa, Emma mengerang-erang seperti orang kesakitan. Setelah berteriak panjang, tubuhnya lalu melemas. Dia laly terjatuh dan terbaring miring. “Ada apa? Emma sudah sadar?” tanya Lily saat dia kembali. “Sedang dalam proses sadar. Kita lihat saja,” kata Robin. Lily mengangguk. Dia lalu membersihkan luka Robin dan mengobatin
Setibanya di rumah, Jake lalu mengunggah video yang dia rekam. Dia tersenyum puas saat video itu mendapat beberapa komentar hanya dalm waktu kurang dari lima menit. Kebanyakan yang berkomentar di situ adalah orang-orang yang muak dengan kelakuan Sabrina. Bnayak yang bilang kalau itu adalah pemandangan langka. Ada yang bilang bahwa Sabrina cukup pantas juga menjadi ART. bahkan ada yang meminta Jake lebih sering mengunggah video semacam itu karena itu sangat menghibur. ***Tony memikirkan apa yang dia bicarakan dengan Emma tadi di kampus. Ya, tentang pembalasan pada Sabrina. Dia tak akan melakukan pembalasan yang fatal. Tapi kalau dia berani menyerang balik, setidaknya gadis itu akan berpikir dua kali untuk menyerang Emma lagi. Merasa tak punya ide, Tony lalu memutuskan untuk berdikusi dengan Jake dan Ethan di grup chat. Anthony:Guys, aku kok pengen bales perbuatan Sabrina ya sekali-kali.Balasan dari Jake masuk kurang dari satu menit. Jake:Emang kamu punya rencana apa? Bukannya d