Share

Ternyata Suamiku Tampan
Ternyata Suamiku Tampan
Author: Kay

bab 1

"Apa sudah diputuskan siapa yang akan menikah denganku?"

Seorang pria yang sedang duduk di kursi taman dengan topeng yang menutupi sebagian wajahnya. Topeng itu menutupi mulai dari separuh dahi sampai hidung dan sebagian besar pipi kirinya sampai ke telinga.

"Sudah, tuan muda."

Lelaki bertopeng itu mengangkat tangannya ke udara. Dengan sigap, pria yang menyebut tuan muda tadi meletakkan selembar foto di tangan itu. Sang tuan muda memandangi foto gadis yang memakai kemeja merah muda dan apron hitam sedang tersenyum menatap kamera. Gadis itu mengucir rambutnya ke samping dan membiarkan angin meniup anak rambutnya menutupi sebagian wajah.

Pria bertopeng itu tersenyum miring, menertawakan dirinya dan juga gadis malang yang terpaksa menikah dengannya yang buruk rupa ini.

"Namanya Nona Hannah dari keluarga Arendt. Haidar yang menawarkan anak gadisnya untuk seratus ribu dolar dana ke Arendtid."

Pria bertopeng itu tersenyum kecut,"Jika kita tidak butuh wanita ini, tidak akan ada uang sebesar itu keluar untuk perusahaan sekelas Arendt id yang hampir bangkrut."

Di sisi belahan bumi yang lain, wanita dalam foto itu bergerak lincah melayani pembeli. Senyum di wajahnya tak pernah pudar meski lelah melekat di sana. Seolah tak membiarkan siapapun tau akan perihnya hidup yang ia jalani.

"Terima kasih, lain kali datang lagi, ya," seru gadis itu ramah pada pelanggan yang baru saja meninggalkan kedai foodtruk di pinggir jalan. Membalas dengan senyum dan lambaian tangan.

Pandangan gadis itu berpindah pada seorang pria berkumis tipis yang duduk di sisi kanan foodtruk-nya. Melambaikan tangan pada gadis itu begitu tatapan mereka bertemu.

Gadis itu tersenyum tipis, lalu melepas apronnya seraya berkata pada salah satu pekerja foodtruk.

"Aku istirahat sebentar," ucapnya sambil menyerahkan apron hitam yang dilepas tadi pada pegawai yang menunduk patuh.

Gadis itu berjalan mendekati kursi lelaki berkumis tipis.

"Ada apa ayah kemari?" tanyanya menarik kursi dan duduk di hadapan.

"Kenapa kamu berkata seperti itu, Hannah."

Pria inilah yang bernama Haidar Arendt, Ayah kandung Hannah. Tangan Haidar meraih pemantik dan menyematkan batang rokok di mulut.

"Ayah tidak pernah kemari jika tak ada maksud tertentu," ujar Hannah mengulurkan tangan mengambil pematik dari ayahnya, lalu menyalakan benda itu dan membakar ujung rokok.

"Bagaimana dengan tawaran Ayah, Hannah?" tanya Haidar mengeluarkan kepulan putih dari mulutnya.

"Tawaran yang mana?" Hannah balik bertanya, walau ia tau maksud ayahnya.

"Menikahi tuan muda dari keluarga Klien."

Hannah menarik napas dalam. "Tuan muda yang mana? Ada dua tuan muda di sana yang masih lajang. Alby atau Morgan?" tanyanya tajam.

"Kamu tau, tuan muda Morgan sudah punya tunangan." Haidar mengalihkan pandangan menghindari tatapan anaknya, atau mungkin mengesampingkan rasa bersalah di hati.

Hannah tersenyum kecut,"ayolah, Ayah punya dua anak gadis juga, kenapa Ayah hanya menawariku?"

"Ivy tidak akan suka, sayang."

"Jadi maksud Ayah aku akan suka?"

Pertanyaan menohok Hannah membuat Haidar semakin dirundung rasa bersalah pada anak dari istri pertamanya. Ayah dan ibu Hannah memang berpisah saat Hannah masih sangat kecil. Dan Haidar menikah lagi dengan Jeslyn, mamanya Ivy. Namun, lagi-lagi ia harus mengedepankan ego. Demi agar perusahannya tak bangkrut.

"Hannah.. Demi perusahaan kita, demi Arendt id. Menikahlah dengan tuan muda Alby." Haidar dengan tatapan memohon.

"Ayah, sekarang dengarkan aku," potong Hannah menatap ayahnya. "Sekali ini saja, dengarkanlah anak sulung Ayah ini bicara. Jika Ayah masih menganggapku anak."

Hannah menarik napas dalam, "Aku sudah mengalah selama dua puluh tahun ini. Setiap Ivy menginginkan apapun yang aku miliki, aku selalu mengalah. Semua untuknya. Karena aku kakaknya, dia adikku. Tapi, untuk kali ini saja, tolong. Ayah, tolonglah aku. Aku tidak ingin menikah," sambungnya dengan tatapan memohon membuat Haidar semakin terpojok oleh keadaan dan hati nuraninya.

***

Haidar melangkah memasuki rumahnya, Jeslyn istrinya, terdengar tertawa di ruang utama. Ia baru saja pulang dari liburan bersama Ivy. Anak yang lahir setelah Hannah, dari rahim yang berbeda tentunya.

Dari pintu, Haidar menatap dengan pandangan nanar. Melihat yang di sana terlihat sangat bahagia dengan liburannya dan di tempat lain harus berkorban diri untuk keberlangsungan perusahaan Arendt id. Sungguh miris memang.

"Oh, sayang, kamu sudah pulang rupanya." Jeslyn beranjak menghampiri, merangkul lengan Haidar dengan mesra. Membawa pria itu ikut bergabung di ruang utama.

"Duduklah dulu, sayang. Kami bawa oleh-oleh untukmu," ucapnya duduk mengapit sang suami seraya tangan Jeslyn mengambil sebuah paperbag di atas meja dan menyerahkannya pada Haidar.

"Bukalah, papa pasti suka." Ivy ikut menimpali dengan senyuman.

"Terima kasih, sayang," ucap Haidar dengan lemas dan tanpa semangat membuka paperbag di tangan. Tersenyum pahit dengan sebuah jam tangan bermerek yang berhasil ia keluarkan dari sana.

"Papa suka?" Ivy bertanya antusias.

Tak mendapat respon yang diharapkan, Ivy dan Jeslyn saling pandang. Menyadari adanya hal yang tidak beres disini.

"Ada apa sayang?" Jeslyn mengusap lembut lengan Haidar.

"Hannah menolak menikah dengan tuan muda dari keluarga Klien."

Jeslyn terkejut, namun tak terlalu kaget. Ia bisa mengerti jika Hannah menolak. Sebagai seorang wanita, siapa yang mau menikah dengan lelaki buruk rupa yang hanya pecundang di sebuah keluarga besar. Apalagi, lelaki itu menikah hanya untuk mengukuhkan status posisinya dalam keluarga besar itu sendiri.

Jeslyn melirik Ivy yang terlihat tak suka. Ia pun tak mau menikah dengan Alby sebagai gantinya. Jika dengan Morgan, Ivy masih bersedia, selain tampan, juga memiliki kekayaan dan posisi yang kuat di keluarga Klien. Sayangnya, Morgan sudah memiliki tunangan. Jadi bisa dipastikan Alby lah yang akan menjadi mempelai prianya. Dan Ivy tak mau.

"Tidak usah bersedih, sayang. Kita atur rencana agar Hannah mau tak mau menyetujuinya, hum?" ucap Jeslyn dengan lembut menatap dan mengusap lengan Haidar.

"Aku... Merasa sangat bersalah padanya, Jeslyn," aku Haidar menyesalkan. "Tak bisakah Ivy..." Ia tak melanjutkan ucapan karena tatapan tajam dan tak suka dari Jeslyn, juga protes dari Ivy sendiri.

"Aku tidak mau! Kenapa harus aku? Harusnya Hannah tau, dia anak tertua di sini. Dialah yang harusnya menikah lebih dulu. Aku terlalu muda untuk itu," sinis gadis itu ketus.

"Ivy, tenangkan dirimu, jangan buang-buang tenaga untuk marah, pasti ada jalan keluar lainnya." Jeslyn berujar lembut dan bijak. Tentu aja untuk Ivy anaknya.

"Kita tidak punya jalan lain, sayang." Jeslyn berganti berucap pada suaminya,"Memang harus ada yang berkorban di sini."

"Apa harus Hannah?"

"Lalu siapa lagi? Apa harus Ivy? Kau tau bagaimana anak kita. Dia punya masa depan yang cerah. Dia berhak untuk bahagia dengan lelaki yang pantas."

"Apa menurutmu Hannah tak pantas untuk itu?" Kini Haidar yang mulai tersulut emosi mendengar ucapan Jeslyn. Dan istrinya tau itu, ia harus mengurai emosi suaminya agar Ivy tak perlu berkorban.

"Dengarkan aku, sayang. Hannah cukup dewasa untuk berkorban kali ini. Dia sudah terbiasa hidup dalam tekanan. Berbeda dengan Ivy. Jika Ivy berada dalam keluarga itu, apa menurutmu, ia akan sanggup bertahan? Tidakkah menurutmu Hannah cukup kuat untuk berada di sana?"

Jeslyn benar, Haidar menyadari itu. Hannah anaknya memang wanita yang kuat. Tapi menukar putrinya dengan lembaran dolar untuk membangkitkan lagi perusahaan yang sudah diambang kebangkrutan, itu sangat berlebihan.

"Percayalah sayang. Ini yang terbaik," ucap Jeslyn lagi.

Akankah Haidar mengorbankan Hannah, lagi?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status