"Apa sudah diputuskan siapa yang akan menikah denganku?"
Seorang pria yang sedang duduk di kursi taman dengan topeng yang menutupi sebagian wajahnya. Topeng itu menutupi mulai dari separuh dahi sampai hidung dan sebagian besar pipi kirinya sampai ke telinga."Sudah, tuan muda."Lelaki bertopeng itu mengangkat tangannya ke udara. Dengan sigap, pria yang menyebut tuan muda tadi meletakkan selembar foto di tangan itu. Sang tuan muda memandangi foto gadis yang memakai kemeja merah muda dan apron hitam sedang tersenyum menatap kamera. Gadis itu mengucir rambutnya ke samping dan membiarkan angin meniup anak rambutnya menutupi sebagian wajah.Pria bertopeng itu tersenyum miring, menertawakan dirinya dan juga gadis malang yang terpaksa menikah dengannya yang buruk rupa ini."Namanya Nona Hannah dari keluarga Arendt. Haidar yang menawarkan anak gadisnya untuk seratus ribu dolar dana ke Arendtid."Pria bertopeng itu tersenyum kecut,"Jika kita tidak butuh wanita ini, tidak akan ada uang sebesar itu keluar untuk perusahaan sekelas Arendt id yang hampir bangkrut."Di sisi belahan bumi yang lain, wanita dalam foto itu bergerak lincah melayani pembeli. Senyum di wajahnya tak pernah pudar meski lelah melekat di sana. Seolah tak membiarkan siapapun tau akan perihnya hidup yang ia jalani."Terima kasih, lain kali datang lagi, ya," seru gadis itu ramah pada pelanggan yang baru saja meninggalkan kedai foodtruk di pinggir jalan. Membalas dengan senyum dan lambaian tangan.Pandangan gadis itu berpindah pada seorang pria berkumis tipis yang duduk di sisi kanan foodtruk-nya. Melambaikan tangan pada gadis itu begitu tatapan mereka bertemu.Gadis itu tersenyum tipis, lalu melepas apronnya seraya berkata pada salah satu pekerja foodtruk."Aku istirahat sebentar," ucapnya sambil menyerahkan apron hitam yang dilepas tadi pada pegawai yang menunduk patuh.Gadis itu berjalan mendekati kursi lelaki berkumis tipis."Ada apa ayah kemari?" tanyanya menarik kursi dan duduk di hadapan."Kenapa kamu berkata seperti itu, Hannah."Pria inilah yang bernama Haidar Arendt, Ayah kandung Hannah. Tangan Haidar meraih pemantik dan menyematkan batang rokok di mulut."Ayah tidak pernah kemari jika tak ada maksud tertentu," ujar Hannah mengulurkan tangan mengambil pematik dari ayahnya, lalu menyalakan benda itu dan membakar ujung rokok."Bagaimana dengan tawaran Ayah, Hannah?" tanya Haidar mengeluarkan kepulan putih dari mulutnya."Tawaran yang mana?" Hannah balik bertanya, walau ia tau maksud ayahnya."Menikahi tuan muda dari keluarga Klien."Hannah menarik napas dalam. "Tuan muda yang mana? Ada dua tuan muda di sana yang masih lajang. Alby atau Morgan?" tanyanya tajam."Kamu tau, tuan muda Morgan sudah punya tunangan." Haidar mengalihkan pandangan menghindari tatapan anaknya, atau mungkin mengesampingkan rasa bersalah di hati.Hannah tersenyum kecut,"ayolah, Ayah punya dua anak gadis juga, kenapa Ayah hanya menawariku?""Ivy tidak akan suka, sayang.""Jadi maksud Ayah aku akan suka?"Pertanyaan menohok Hannah membuat Haidar semakin dirundung rasa bersalah pada anak dari istri pertamanya. Ayah dan ibu Hannah memang berpisah saat Hannah masih sangat kecil. Dan Haidar menikah lagi dengan Jeslyn, mamanya Ivy. Namun, lagi-lagi ia harus mengedepankan ego. Demi agar perusahannya tak bangkrut."Hannah.. Demi perusahaan kita, demi Arendt id. Menikahlah dengan tuan muda Alby." Haidar dengan tatapan memohon."Ayah, sekarang dengarkan aku," potong Hannah menatap ayahnya. "Sekali ini saja, dengarkanlah anak sulung Ayah ini bicara. Jika Ayah masih menganggapku anak."Hannah menarik napas dalam, "Aku sudah mengalah selama dua puluh tahun ini. Setiap Ivy menginginkan apapun yang aku miliki, aku selalu mengalah. Semua untuknya. Karena aku kakaknya, dia adikku. Tapi, untuk kali ini saja, tolong. Ayah, tolonglah aku. Aku tidak ingin menikah," sambungnya dengan tatapan memohon membuat Haidar semakin terpojok oleh keadaan dan hati nuraninya.***Haidar melangkah memasuki rumahnya, Jeslyn istrinya, terdengar tertawa di ruang utama. Ia baru saja pulang dari liburan bersama Ivy. Anak yang lahir setelah Hannah, dari rahim yang berbeda tentunya.Dari pintu, Haidar menatap dengan pandangan nanar. Melihat yang di sana terlihat sangat bahagia dengan liburannya dan di tempat lain harus berkorban diri untuk keberlangsungan perusahaan Arendt id. Sungguh miris memang."Oh, sayang, kamu sudah pulang rupanya." Jeslyn beranjak menghampiri, merangkul lengan Haidar dengan mesra. Membawa pria itu ikut bergabung di ruang utama."Duduklah dulu, sayang. Kami bawa oleh-oleh untukmu," ucapnya duduk mengapit sang suami seraya tangan Jeslyn mengambil sebuah paperbag di atas meja dan menyerahkannya pada Haidar."Bukalah, papa pasti suka." Ivy ikut menimpali dengan senyuman."Terima kasih, sayang," ucap Haidar dengan lemas dan tanpa semangat membuka paperbag di tangan. Tersenyum pahit dengan sebuah jam tangan bermerek yang berhasil ia keluarkan dari sana."Papa suka?" Ivy bertanya antusias.Tak mendapat respon yang diharapkan, Ivy dan Jeslyn saling pandang. Menyadari adanya hal yang tidak beres disini."Ada apa sayang?" Jeslyn mengusap lembut lengan Haidar."Hannah menolak menikah dengan tuan muda dari keluarga Klien."Jeslyn terkejut, namun tak terlalu kaget. Ia bisa mengerti jika Hannah menolak. Sebagai seorang wanita, siapa yang mau menikah dengan lelaki buruk rupa yang hanya pecundang di sebuah keluarga besar. Apalagi, lelaki itu menikah hanya untuk mengukuhkan status posisinya dalam keluarga besar itu sendiri.Jeslyn melirik Ivy yang terlihat tak suka. Ia pun tak mau menikah dengan Alby sebagai gantinya. Jika dengan Morgan, Ivy masih bersedia, selain tampan, juga memiliki kekayaan dan posisi yang kuat di keluarga Klien. Sayangnya, Morgan sudah memiliki tunangan. Jadi bisa dipastikan Alby lah yang akan menjadi mempelai prianya. Dan Ivy tak mau."Tidak usah bersedih, sayang. Kita atur rencana agar Hannah mau tak mau menyetujuinya, hum?" ucap Jeslyn dengan lembut menatap dan mengusap lengan Haidar."Aku... Merasa sangat bersalah padanya, Jeslyn," aku Haidar menyesalkan. "Tak bisakah Ivy..." Ia tak melanjutkan ucapan karena tatapan tajam dan tak suka dari Jeslyn, juga protes dari Ivy sendiri."Aku tidak mau! Kenapa harus aku? Harusnya Hannah tau, dia anak tertua di sini. Dialah yang harusnya menikah lebih dulu. Aku terlalu muda untuk itu," sinis gadis itu ketus."Ivy, tenangkan dirimu, jangan buang-buang tenaga untuk marah, pasti ada jalan keluar lainnya." Jeslyn berujar lembut dan bijak. Tentu aja untuk Ivy anaknya."Kita tidak punya jalan lain, sayang." Jeslyn berganti berucap pada suaminya,"Memang harus ada yang berkorban di sini.""Apa harus Hannah?""Lalu siapa lagi? Apa harus Ivy? Kau tau bagaimana anak kita. Dia punya masa depan yang cerah. Dia berhak untuk bahagia dengan lelaki yang pantas.""Apa menurutmu Hannah tak pantas untuk itu?" Kini Haidar yang mulai tersulut emosi mendengar ucapan Jeslyn. Dan istrinya tau itu, ia harus mengurai emosi suaminya agar Ivy tak perlu berkorban."Dengarkan aku, sayang. Hannah cukup dewasa untuk berkorban kali ini. Dia sudah terbiasa hidup dalam tekanan. Berbeda dengan Ivy. Jika Ivy berada dalam keluarga itu, apa menurutmu, ia akan sanggup bertahan? Tidakkah menurutmu Hannah cukup kuat untuk berada di sana?"Jeslyn benar, Haidar menyadari itu. Hannah anaknya memang wanita yang kuat. Tapi menukar putrinya dengan lembaran dolar untuk membangkitkan lagi perusahaan yang sudah diambang kebangkrutan, itu sangat berlebihan."Percayalah sayang. Ini yang terbaik," ucap Jeslyn lagi.Akankah Haidar mengorbankan Hannah, lagi?Hannah menarik napas dalam, sebelum ia melangkahkan kakinya masuk ke rumah. Setelah sekian lama tak pulang, kini ia harus melangkah lagi setelah ayahnya memberi kabar jika Ivy bersedia.Hannah melihat Ivy adik seayahnya yang melintas menatap dengan sinis."Ivy."Gadis berambut sebahu itu menahan langkahnya tepat di anak tangga pertama. Menoleh dengan malas pada Hannah."Ayah bilang, kamu...""Kau pasti senang kan?" sambar Ivy ketus."Kau pasti senang karena akhirnya aku yang akan menikah dengan monster itu.""Hanya sekali ini saja kamu mengalah padaku, Ivy. Demi perusahaan ayah yang hampir bangkrut.""Sekali ini untuk seumur hidupku, Hannah!" Terlihat luapan amarah di mata dan suara Ivy yang membumbung hingga memenuhi seluruh rumah."Aku benci padamu!" sambungnya menekankan. Lalu pergi melangkah ke atas.Hannah mematung menatap punggung Ivy yang semakin jauh. Mengikuti sosok itu dengan matanya, hingga berbelok ke sisi kanan melewati mama Jeslyn yang juga menatap Hannah dengan pandangan
"Saya bersedia."Hannah berucap lemah di samping pria bertopeng yang sudah lebih dulu mengikrarkan janji setianya."Kalian sudah diikat dengan ikatan suci pernikahan, mempelai pria bisa mencium mempelai wanita." Sang pendeta berucap.Alby melirik gadis yang matanya sudah mengembun, tetap membalik tubuh menghadapnya. Mengikuti ritual pernikahan dengan sangat baik meski dunianya sudah berantakan. Meski kepercayaannya dihianati oleh keluarganya sendiri."Tidak perlu."Hannah mendongak, menatap Alby yang bahkan tak menoleh padanya dan tetap melihat lurus ke depan. Menghadap sang pendeta."Kami bisa melakukannya di tempat yang lebih pribadi," lanjut lelaki bertopeng itu.Hannah masih menatap, bukan hanya dia yang tak menginginkan pernikahan ini, Alby pun sama. Hingga, ciuman pernikahan itu tak perlu terjadi._________"Selamat datang Hannah."Seorang wanita bergaun merah marun menyambut Hannah di rumah besar kakek John Moris Klien. Pemegang tertinggi saat ini di keluarga itu."Aku Irene, k
Hannah berdiri di depan rumah mewah yang terkunci dengan rantai. Merasa heran karena tak biasanya begitu."Kemana mereka?" gumam gadis itu merasa heran.Pagi ini, setelah sarapan, Hannah langsung mendatangi rumah ayahnya. Untuk menuntut penjelasan karena keluarganya malah pergi dan meninggalkannya di pernikahan.Ia merasa kecewa, marah, ditipu, dan dihianati, oleh orang yang paling dipercaya dan dia sayangi. Ayahnya, Haidar Arandt."Apa mereka sengaja pergi, untuk menghindar?" gumam Hannah menggoncang pagar besi yang kokoh dan tak bergeming itu."Teganya mereka."Hannah berpikir, dimana mungkin ia bisa bertemu dengan ayahnya."Kantor, iya, ayah pasti ada di Arandt id."Hannah mengayunkan kakinya, melangkah ke tujuan selanjutnya. Kantor tempat ayahnya bekerja.Sesampainya di kantor, Hannah langsung ke resepsionis."Pagi," sapanya."Selamat pagi, selamat datang di Arandt id." Wanita berbaju formal menyapa dengan ramah."Saya Hannah, ingin bertemu dengan ayah, maksud saya, pak Haidar Ara
Sebuah tangan terulur saat Hannah sedang menyimpan pesanan di atas meja pelanggan. Tangan itu hampir menyentuh pantat gadis itu jika tak ada tangan lain yang menahannya. Memilin hingga si pemilik mengerang kesakitan."Aaakkhh!"Sontak, Hannah menoleh dan terkejut melihat Alby sudah mencengkram kuat tangan seorang pria yang duduk di bangku."A-apa yang kamu lakukan?" jeritnya melihat Alby bertindak kasar pada pelanggannya. Ia tak tau alasan Alby, yang Hannah lihat, Alby sangat kasar hingga lelaki itu terlihat sangat kesakitan."Aaakkhh, lepaskan! Dasar bajing*** kamu!" umpat lelaki itu menahan sakit memegangi tangan yang masih Alby pilin."Lepaskan, Alby!" pekik Hannah.Tatapan tajam langsung terarah padanya. Walau merasa takut juga, tapi Hannah mencoba bertahan."Jangan kasar pada pelangganku!" Hannah yang tak tau menahu itu memukul lengan Alby. "Lepas! Kau menyakitinya."Alby melepaskan dengan dorongan. Dan anehnya, lelaki asing itu sampai terjungkal."Dasar, sialan! Tempat makan apa
Malam ini, Hannah masih tidur di sofa. Dengan selimut yang sengaja ia bungkus hingga menutupi kepalanya. Di bawah selimut itu, Hannah berkirim pesan."Bagaimana? Apa kamu sudah minta maaf pada tuan bertopeng?" pesan dari June."Sudah." Hannah mengetik balasan."Bagaimana hasilnya? Apa dia memaafkanmu?""Entahlah, aku juga tidak tau," aku Hannah jujur dalam ketikannya."Hah? Tidak tau bagaimana? Dia bilang memaafkan atau tidak?""Dia tidak merespon apapun. Dia sepertinya sibuk dan terganggu, jadi, aku tidak bertanya lebih lanjut." Hannah menjelaskan lagi lewat ketikannya."Oh, begitu. Tuan bertopeng sepertinya memang introvert."Hannah tak membalas hanya membaca pesan itu saja. Masih menunggu ketikan June berikutnya."Ya sudah, yang penting kamu sudah minta maaf. Apa rencanamu selanjutnya?" Begitu bunyi pesan dari June."Tidak ada. Tetap seperti biasa," tulis Hannah."Yeah, begitu juga bagus."Pintu kamar terbuka, Alby baru saja masuk, mendapati di sofa sana, Hannah sudah membungkus tu
"Ha-ha-ha, benarkah?"Mata dan wajah Kakek JM bersinar terang. Seolah baru saja mendengar sesuatu yang sangat ia nantikan."Iya, Kek. Tadi, Alby sangat cekatan, awalnya dia malu-malu, tapi, malah jadi digodain anak-anak gadis," cetus Hannah dengan senyum lebar dan mengerling pada lelaki yang duduk di sebrang sana.."Benarkah begitu Alby?" tanya Kakek JM semringah berganti memandang cucu kesayangannya.Alby mencelos, membuang wajahnya ke samping."Dia pasti malu-malu, Kek!" Seru Hannah semakin membuat wajah Alby memerah.Ya, hari ini Alby memang membantu Hannah di kedai foodtruk. Awalnya terpaksa dan malas, namun dorongan dari Hannah dan senyum tulus wanita itu membuat Alby melakukan hal yang sama. Melayani pembeli bahkan para gadis-gadis yang meminta foto dengannya pun ia layani. Dengan senyum terpaksa tentunya."Aku capek, mau ke kamar," cetus Alby beranjak dari duduknya."Alby, lain waktu datanglah ke perusahaan," perintah Kakek JM membuat langkah Alby terhenti, tapi, melanjutkan se
"Joana?" Kakek JM melirik Joana yang masih terlihat enggan. Dengan malas meraih gelasnya dengan helaan napas.Setelah bersulang bersama, semua meminum anggurnya dengan kegembiraan. Namun, tidak dengan bibi Joana yang terlihat masam, meletakkan kembali gelasnya tanpa menyesap sedikitpun."Jika Alby saja mendapatkan perayaan seperti ini, bagaimana dengan Morgan, Ayah? Apa ia tak terlihat untukmu?" Cetusnya memancing dengan senyum sinis pada Hannah dan Alby."Apa maksud ucapanmu, Ana?" Kakek JM menatap tak suka. Sikap ini selalu ditunjukkan setiap kali pertemuan, membandingkan Alby dan Morgan. Yang jelas berbeda.Joana tertawa hambar, "Ayolah Ayah, apa Ayah menolak tau? Apa yang sudah Alby lakukan untuk keluarga ini? Dan lihatlah Morgan, dia sudah melakukan banyak hal. Banyak tender yang berhasil ia menangkan. Tapi satu perayaan kecil pun tak Ayah berikan," ucapnya tajam.Suasana menjadi hening. Tatapan elang kakek JM terarah pada putri tertuanya. Menyadari jika memang Joana tak pernah p
Tok tokKakek JM melirik ke pintu kamarnya. Pagi itu ia memang langsung masuk ke kamar seusai sarapan, karena merasa badannya sedang tak bersahabat dan ingin istirahat saja. Dan kini malah terganggu oleh suara ketukan pintu."Ini aku, Kek." Suara Alby terdengar dibalik pintu."Masuk!" suruh Kakek JM membenahi posisinya sampai duduk dan bersandar di kepala ranjang.Alby masuk dan langsung duduk di kursi dekat nakas. Menghadap ke arah kakeknya."Aku dengar Kakek tidak enak badan," ucapnya menatap sang kakek."Heem, kenapa?""Sudah minum obat?"Kakek JM menatap heran cucunya ini. Alby tak pernah seperhatian ini padanya."Sudah, Kakek sedang ingin beristirahat. Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya tak ingin berbasa basi, karena tau Alby pasti punya tujuan menemuinya."Aku akan kembali KL," cetus Alby membuat Kakek JM terkejut dengan keputusan itu."Apa?""Aku ingin kembali ke KL," tegas Alby.Kakek JM senang, walau masih terlihat terkejut. "Baiklah, kapan?""Hari ini, tapi Kakek seper