Sebuah tangan terulur saat Hannah sedang menyimpan pesanan di atas meja pelanggan. Tangan itu hampir menyentuh pantat gadis itu jika tak ada tangan lain yang menahannya. Memilin hingga si pemilik mengerang kesakitan.
"Aaakkhh!"Sontak, Hannah menoleh dan terkejut melihat Alby sudah mencengkram kuat tangan seorang pria yang duduk di bangku."A-apa yang kamu lakukan?" jeritnya melihat Alby bertindak kasar pada pelanggannya. Ia tak tau alasan Alby, yang Hannah lihat, Alby sangat kasar hingga lelaki itu terlihat sangat kesakitan."Aaakkhh, lepaskan! Dasar bajing*** kamu!" umpat lelaki itu menahan sakit memegangi tangan yang masih Alby pilin."Lepaskan, Alby!" pekik Hannah.Tatapan tajam langsung terarah padanya. Walau merasa takut juga, tapi Hannah mencoba bertahan."Jangan kasar pada pelangganku!" Hannah yang tak tau menahu itu memukul lengan Alby. "Lepas! Kau menyakitinya."Alby melepaskan dengan dorongan. Dan anehnya, lelaki asing itu sampai terjungkal."Dasar, sialan! Tempat makan apa ini, bisa sangat kasar pada pembelinya?" umpat lelaki itu berusaha berdiri. Hannah mencoba membantu, namun tangannya ditepis."Ma-maaf, tuan."Lelaki asing itu menunjuk Hannah, dengan amarah yang meluap-luap karena malu. Membuka mulutnya hendak bersuara, namun terpotong oleh suara lain."Pergi atau kupatahkan tanganmu!" ancam Alby yang seketika membuat lelaki asing itu gentar dan pergi sambil menendang kursi kosong."Kenapa kamu begitu kasar padanya?" protes Hannah marah pada Alby. Tanpa tau, jika lelaki itu sudah menyelamatkan harga dirinya. "Jika kamu kemari hanya untuk membuat keributan, lebih baik jangan datang!"Alby tak mengatakan apapun, hanya beradu pandang dengan gadis yang menatapnya menyalang. Lalu pergi begitu saja.Hannah tak habis pikir dengan sikap Alby ini. Jika datang hanya untuk membuat rusuh, lebih baik tak usah datang. Begitu pikirnya."Hannah, kamu nggak papa." June datang melihat ke arah Alby pergi."Aku tidak apa-apa," ucap Hannah juga melihat ke arah yang sama, hanya tatapannya masih dengan amarah."Untung saja ada tuan muda Alby," celetuk June yang membuat Hannah reflek melihat ke arahnya."Tadi aku lihat, pria asing itu mau berbuat kurang ajar padamu."Hannah terkesiap."Yah, tentu saja. Siapa yang rela jika melihat istrinya hampir dilecehkan."Usai berkata begitu, June pergi. Dan Hannah mematung, tersadar jika Alby hanya ingin menyelamatkan harga dirinya. Tetapi, ia malah salah mengira dan mengatai Alby kasar.*_*Di kamarHannah memandang Alby yang sudah lebih dulu berbaring diatas ranjangnya dengan posisi membelakangi. Ia jadi merasa tak enak hati dan bersalah pada lelaki itu. Sudah salah paham dan memaki. Walau ingin mendekat, tapi Hannah ragu. Tak ingin mengganggu tidur nyenyak sang tuan muda. Memilih melangkah ke sofa dimana ia biasa menghabiskan malam-malamnya.Hannah tertegun, di sofa itu, sudah ada selimut dan bantal. Ah, memang begitu, tuan muda di singgasananya dan ia yang rakyat jelata hanya kebagian selimutnya. Hannah tersenyum miris, walau tinggal di rumah mewah, tak lantas ia juga mendapatkan fasilitasnya. Ia bukanlah Cinderella yang menikahi pangeran katak. Dimuliakan dan dipuja. Masih tetap hamba sahaya yang terbelenggu dengan rantai emas.Hannah menjatuhkan bobotnya di sofa, menarik selimut membungkus tubuhnya. Getar gawai di bawah bantal membuat Hannah menyelipkan tangan ke sana. Membaca pesan yang tertera di sana, gadis itu melekukkan bibir ke atas.Pesan-pesan yang dikirim oleh teman-temannya di grup foodtruk. Hannah memang pemilik foodtruk itu, namun ia bisa membaur bersama orang-orang yang bekerja di bawahnya. Bisa dibilang, mereka adalah keluarga keduanya."Tadi aku lihat loh, Hannah, saat lelaki itu hampir menyentuh pantatmu." Tulis Amy yang mengubah topik dari stok bahan di foodtruk."Untung saja ada kasatria bertopeng itu," tulis Aslynn menimpali."Aku pun mau menghajarnya, tapi udah keduluan." Joseph tak kalah."Aahh, kamu aja yang lambat. Atau takut!" ejek June dengan emotikon lidah terjulur."Iya, takut juga, sebenarnya," balas Joseph dengan emotikon tertawa.Aslynn pun membuat emoticon tertawa juga, pun dengan Amy.Hannah tersenyum, tapi, ia mengirim emoticon menangis. Ia memang merasa menyesal sekarang, pada sang tuan muda tentunya."Kamu harus berterima kasih pada tuan muda bertopeng, Hannah," saran Amy."Huumm, kamu bahkan memarahinya tadi." June pun menimpali hingga membuat Hannah semakin merasa bersalah pada Alby."Apa sekarang kalian marahan?" Tulis June lagi. Hannah terdiam, bingung harus menjawab apa."Aahh, jangan-jangan Hannah malah tidak dibukain pintu." Tulis Joseph desertai emoticon tertawa."Mungkin juga dia tidur dilantai." Tulis June ikut berkelekar dengan emotikon tertawa juga. Pun dengan yang lainnya."Aku tidur di sofa." Ketik Hannah.Dan anggota yang lainnya, menganggap itu bercanda dan mengirim emoticon tertawa.Hingga tengah malam, Hannah hanya berbalas pesan dengan teman satu grubnya. Di bawah selimut, yang terlihat bercahaya dan bergerak-gerak tak tentu arah karena terlalu asyik. Tak menyadari Alby yang terbangun dan baru kembali dari kamar mandi, memperhatikannya dengan rasa penasaran.Esok paginya, Hannah berdiri tepat di samping ranjang Alby yang masih membungkus seluruh tubuhnya. Gadis itu sudah sangat cantik dengan setelan blouse biru dan celana jeans serta rambut bergelombang yang dibiarkan terurai."Alby, maafkan aku."Hanya itu kata yang mampu terucap dari bibir mungilnya. Tak ada gerakan berarti dari Alby yang masih nyaman di bawah selimut. Hingga, Hannah memutuskan pergi.***Hannah menatap kosong kursi yang kemarin Alby duduki. Merasa memang jika ia sudah sangat keterlaluan dan melukai hati pria bertopeng itu."Ini pertama kalinya ia keluar rumah. Dan aku malah memakinya," gumam Hannah penuh sesal."Kenapa?" June menepuk bahu Hannah yang mendesah pelan dengan napas berat."Apa merasa kehilangan karena tuan mudamu tidak datang hari ini?" lanjut june menggoda."Aku tidak tau, apa ini kehilangan atau penyesalan." Hannah terdengar ragu."Ceritakan padaku," pinta June antusias."Sebenarnya, kemarin adalah hari pertama Alby keluar rumah setelah sekian lama. Dan kamu tau aku memakinya padahal...""Padahal dia sudah menolongmu!" potong June mantap.Hannah tersenyum kecut merasa dirinya buruk. "Iya," akunya mengalihkan pandangan, rasa bersalah."Kalau begitu minta maaflah padanya." June memberi saran, Hannah menatap ragu."Apa dia akan memaafkan ku?""Kurasa. Tapi kamu tidak tau jika tidak mencobanya Hannah."Hannah mengangguk setuju, "Kamu benar."Hannah menatap lurus ke depan dengan pandangan menerawang."Aku akan minta maaf langsung padanya."Sore itu, Hannah kembali ke rumah utama."Kepala pelayan Moa," panggil Hannah pada lelaki berrambut putih yang baru muncul dari dalam."Iya, Nona," tunduk Moa membungkuk hormat, membuat Hannah sedikit canggung dengan penghormatan seperti ini. Tidak pernah ia dapatkan di rumah Arendt."UMM, apa Tuan muda Alby ada?"Moa mengangkat sebelah alisnya mendengar Hannah menyebut tuan muda pada suaminya sendiri."Maksudku, suamiku." Hannah mengkoreksi melihat reaksi Moa."Aku belum terbiasa.""Tuan muda Alby ada di gym.""Gym?""Benar, Nona Hannah. Di belakang sana," tunjuk Moa."Saya bisa mengantar," tawar Moa lagi.Hannah tersenyum lagi, merasa senang sangat terbantu dengan Moa yang baik dan ramah ini."Terima kasih, ayo."Moa yang tak biasa mendapat perlakuan seperti ini, tertegun sesaat sebelum akhirnya ia melangkah. Membawa Hannah sampai ke Gym yang dimaksud."Di sini, Nona."Moa menunjuk satu ruangan berdinding dan berpintu kaca tembus pandang."Terima kasih," ucap Hannah lagi-lagi membuat Moa terkesiap. Hannah satu-satunya yang begitu mudah mengucapkan terima kasih diantara semua majikannya.Moa tersenyum tipis sebelum membungkuk hormat dan pergi. Tinggallah Hannah yang terpaku di depan pintu. Dari luar sudah terlihat alat-alat olah raga dan gym. Bahkan lelaki bertopeng itu pun terlihat sedang mengangkat beban dengan hanya memakai kaos singlet dan celana training.Hannah menarik napas panjang, menguatkan mental dan tekatnya untuk masuk ke dalam sana. Di dalam gym, langkah kaki Hannah melambat, pandangan matanya melihat sesosok yang tidak terganggu oleh kehadirannya. Memandang Alby yang sibuk menguras keringat dengan chest press machine. Salah satu alat gym untuk membentuk otot dada.Keringat, ya, kulit tubuh Alby terlihat berkilau oleh keringat yang membasahi tubuh atletisnya. Langannya yang kokoh menarik handel yang tersambung pada sebuah lapisan beban di belakang sana."Ada apa?" Alby bertanya tanpa menoleh pada gadis yang berjalan semakin dekat dan duduk di salah satu abdominal bench, yang tepat berada di samping Alby."Tubuhmu bagus juga," puji Hannah mengalir begitu saja.Alby menarik sudut bibirnya sebelah, di bagian yang Hannah tak lihat tentunya."Aku menjaganya," cetus Alby enteng."Iya, aku pikir tubuhmu kerempeng, rupanya terbentuk juga. Pantas saja pria di kedai sampai terpelanting. Rupanya, dia salah lawan." Hannah menanggapi tetep melihat aktifitas Alby. Sayang saja jika dilewatkan.Hening.Alby tak merespon apapun, malah kini berpindah pada treadmill di sebelahnya. Hannah merasa canggung diabaikan seperti itu, tapi tak akan mengurungkan niatnya meminta maaf."Tuan muda Alby?"Alby hanya melirik."Aku minta maaf." Hannah mendekat, dan duduk lagi di bench bekas Alby tadi.Dan laki-laki bertopeng itu, tak merespon apapun."Aku sudah salah paham padamu. Maaf sudah marah dan membentakmu kemarin."Hannah memandang Alby yang masih melihat lurus ke depan, dengan kaki yang terus mengayun cepat mengikuti putaran treadmill.Tak ada balasan ataupun sekedar kata yang keluar dari mulut lelaki itu, Hannah sadar, dan mewajarkan sikap Alby."Tidak apa Hannah, dia berhak marah sekarang," batin Hannah pada dirinya sendiri."Baiklah, aku tidak akan mengganggu," ucap Hannah berdiri karena terus diabaikan."Terima kasih, sudah menyelamatkanku dari pelecehan. Aku akan bersikap lebih ramah untuk membalasnya. Selamat malam."Hannah melangkah ke luar.Saat merasa sudah sendiri di ruangan itu, Alby mengatur treadmillnya sampai berhenti. Membiarkan napasnya terengah dengan pandangan menerawang. Entah apa yang dia pikirkan sekarang. Mungkin saja, kata-kata Hannah mempengaruhinya.Malam ini, Hannah masih tidur di sofa. Dengan selimut yang sengaja ia bungkus hingga menutupi kepalanya. Di bawah selimut itu, Hannah berkirim pesan."Bagaimana? Apa kamu sudah minta maaf pada tuan bertopeng?" pesan dari June."Sudah." Hannah mengetik balasan."Bagaimana hasilnya? Apa dia memaafkanmu?""Entahlah, aku juga tidak tau," aku Hannah jujur dalam ketikannya."Hah? Tidak tau bagaimana? Dia bilang memaafkan atau tidak?""Dia tidak merespon apapun. Dia sepertinya sibuk dan terganggu, jadi, aku tidak bertanya lebih lanjut." Hannah menjelaskan lagi lewat ketikannya."Oh, begitu. Tuan bertopeng sepertinya memang introvert."Hannah tak membalas hanya membaca pesan itu saja. Masih menunggu ketikan June berikutnya."Ya sudah, yang penting kamu sudah minta maaf. Apa rencanamu selanjutnya?" Begitu bunyi pesan dari June."Tidak ada. Tetap seperti biasa," tulis Hannah."Yeah, begitu juga bagus."Pintu kamar terbuka, Alby baru saja masuk, mendapati di sofa sana, Hannah sudah membungkus tu
"Ha-ha-ha, benarkah?"Mata dan wajah Kakek JM bersinar terang. Seolah baru saja mendengar sesuatu yang sangat ia nantikan."Iya, Kek. Tadi, Alby sangat cekatan, awalnya dia malu-malu, tapi, malah jadi digodain anak-anak gadis," cetus Hannah dengan senyum lebar dan mengerling pada lelaki yang duduk di sebrang sana.."Benarkah begitu Alby?" tanya Kakek JM semringah berganti memandang cucu kesayangannya.Alby mencelos, membuang wajahnya ke samping."Dia pasti malu-malu, Kek!" Seru Hannah semakin membuat wajah Alby memerah.Ya, hari ini Alby memang membantu Hannah di kedai foodtruk. Awalnya terpaksa dan malas, namun dorongan dari Hannah dan senyum tulus wanita itu membuat Alby melakukan hal yang sama. Melayani pembeli bahkan para gadis-gadis yang meminta foto dengannya pun ia layani. Dengan senyum terpaksa tentunya."Aku capek, mau ke kamar," cetus Alby beranjak dari duduknya."Alby, lain waktu datanglah ke perusahaan," perintah Kakek JM membuat langkah Alby terhenti, tapi, melanjutkan se
"Joana?" Kakek JM melirik Joana yang masih terlihat enggan. Dengan malas meraih gelasnya dengan helaan napas.Setelah bersulang bersama, semua meminum anggurnya dengan kegembiraan. Namun, tidak dengan bibi Joana yang terlihat masam, meletakkan kembali gelasnya tanpa menyesap sedikitpun."Jika Alby saja mendapatkan perayaan seperti ini, bagaimana dengan Morgan, Ayah? Apa ia tak terlihat untukmu?" Cetusnya memancing dengan senyum sinis pada Hannah dan Alby."Apa maksud ucapanmu, Ana?" Kakek JM menatap tak suka. Sikap ini selalu ditunjukkan setiap kali pertemuan, membandingkan Alby dan Morgan. Yang jelas berbeda.Joana tertawa hambar, "Ayolah Ayah, apa Ayah menolak tau? Apa yang sudah Alby lakukan untuk keluarga ini? Dan lihatlah Morgan, dia sudah melakukan banyak hal. Banyak tender yang berhasil ia menangkan. Tapi satu perayaan kecil pun tak Ayah berikan," ucapnya tajam.Suasana menjadi hening. Tatapan elang kakek JM terarah pada putri tertuanya. Menyadari jika memang Joana tak pernah p
Tok tokKakek JM melirik ke pintu kamarnya. Pagi itu ia memang langsung masuk ke kamar seusai sarapan, karena merasa badannya sedang tak bersahabat dan ingin istirahat saja. Dan kini malah terganggu oleh suara ketukan pintu."Ini aku, Kek." Suara Alby terdengar dibalik pintu."Masuk!" suruh Kakek JM membenahi posisinya sampai duduk dan bersandar di kepala ranjang.Alby masuk dan langsung duduk di kursi dekat nakas. Menghadap ke arah kakeknya."Aku dengar Kakek tidak enak badan," ucapnya menatap sang kakek."Heem, kenapa?""Sudah minum obat?"Kakek JM menatap heran cucunya ini. Alby tak pernah seperhatian ini padanya."Sudah, Kakek sedang ingin beristirahat. Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya tak ingin berbasa basi, karena tau Alby pasti punya tujuan menemuinya."Aku akan kembali KL," cetus Alby membuat Kakek JM terkejut dengan keputusan itu."Apa?""Aku ingin kembali ke KL," tegas Alby.Kakek JM senang, walau masih terlihat terkejut. "Baiklah, kapan?""Hari ini, tapi Kakek seper
"Aku?""Iya." June memainkan alisnya."Tidak!" Hannah membuang muka."Kalau iya, katakan iya. Jangan mengelak. Padahal tadi sepi yang aku maksud tentang pengunjung yang datang, akhir-akhir ini tidak seramai beberapa hari yang lalu saat tuan bertopeng datang. Mereka mungkin menantinya juga, seperti kamu." June tergelak lagi menunjuk wajah Hannah yang memerah.Lagi, Hannah membuang muka."Ah, tuan bertopeng!" pekik June, seketika Hannah menoleh, ikut melihat ke arah yang June tunjuk.Tidak ada seseorang yang di maksud, Hannah menoleh ke arah June yang malah cekikikan."Kamu!" Hannah mendelik pada June yang sudah mempermainkannya."Sudahlah, akui saja, kamu sangat merindukannya kan?" kekeh June.Hannah geram, geram sekali, tapi dalam hati, ia tak menampik. Hannah sadar, sangat-sangat merindukan Alby. Kenapa? Hubungan mereka tak sedalam itu, bukan?"Oh, tuan bertopeng!"June memekik lagi. Hannah jadi jengkel dan memukul lengan June."Jangan mempermainkan ku!""Sungguh! Itu tuan bertopeng,
"Ayah! Ibu!"Alby berteriak ditengah cahaya keemasan yang mengelilingi di sekitarnya. Satu batang kayu jatuh tepat di hadapan, beruntung ia masih bisa menghindar mundur."Ayah! Ibu!" teriaknya lagi.Alby maju selangkah, mengindari kobaran api dari batang kayu. Melindungi wajah dan kepalanya dengan jaket sport yang ia pakai. Yakin jika kedua orangtuanya masih di dalam sana. Setelah cukup lama mencari dalam kobaran api, Alby yang sudah terlalu banyak menghirup asap kebakaran mulai melemah. Beberapa kali terbatuk dan mata mulai perih. Namun, di titik itu, ia melihat ayah dan ibunya dalam kobaran api yang tak bisa ia dekati."Ayah! Ibu!"Suara teriakannya menukik tinggi.Tubuh Alby membeku, dengan keringat dingin yang mengucur deras. Pupil matanya melebar sempurna, jelas sekali jika lelaki itu tengah berada di titik tertinggi dari rasa takut. Namun kakinya tak juga mau bergerak."Alby?"Suara sirine berdenging di kepala lelaki bertopeng itu. Kobaran api terlihat begitu nyata di matanya."
"Hannah!"Suara pekikan Amy di susul suara keras, dan mobil yang berlari begitu saja meninggalkan Hannah yang tergeletak di atas aspal jalan."Hannah!"Alby berlari mendekat, wajah yang takut akan kehilangan terlihat jelas di sana. Melihat wanita yang mulai masuk ke dalam hidupnya tak bergerak membuat Alby luruh dan takut yang dahsyat."Jangan sentuh!" larang Josep ketika Alby mendekat hendak menyentuh tubuh Hannah."Biarkan di sana! Aku akan memanggil petugas medis dan polisi," lanjut Josep.Alby mengerti maksud Josep, dalam kecelakaan memang tidak di sarankan memindahkan korban. Karena mungkin bisa berakibat fatal jika salah dalam pertolongan pertama. Alby merendahkan tubuhnya sampai di dekat wajah Hannah."A-apa yang kamu rasakan?" tanyanya terbata.Beberapa orang tampak berkerumun, sebagian ada yang membantu mengatur lalulintas agar tidak macet dan menjaga korban tetap ditempatnya. Agar tidak terjadi luka yang lebih parah jika dipindahkan."Hannah, apa yang kamu rasakan? Katakan,"
"Tapi, bisa kamu lihat, kan? Hannah sekarang baik-baik saja. Kenapa tidak lebih memperhatikan Hannah saja dari pada sibuk mencari pelaku yang tak jelas dimana!" sanggah Joana"Ah, kenapa bibi sepertinya takut jika kami menyelidiki kasus ini. Apa jangan-jangan, bibikah yang mencoba mencelakai Hannah," sindir Irene dengan senyum di wajahnya."Tutup mulutmu! Jangan menuduh tanpa bukti." Dan ini membuat Joana meradang."Akan segera kami dapatkan buktinya, bi!""Kau! Aku pasti akan menuntut mu jika kamu bahkan tidak bisa membuktikan apapun!" sergah Joana semakin marah."Sudah cukup!" Kakek JM menengahi.Menatap Joana dan Irene bergantian. "Kenapa kalian malah bertengkar di depan wajahku!"Semua diam, bahkan Morgan pun tak mengatakan apapun, juga suami Irene, Roky yang mengusap lengan istrinya yang sudah beremosi."Aku akan nyuruh orang untuk mencari tau siapa pelakunya. Selama itu, sebaiknya kalian berdamai. Aku harap ini hanyalah penyerempetan orang lain, dan tidak ada keluarga yang terli