Share

bab 4

Hannah berdiri di depan rumah mewah yang terkunci dengan rantai. Merasa heran karena tak biasanya begitu.

"Kemana mereka?" gumam gadis itu merasa heran.

Pagi ini, setelah sarapan, Hannah langsung mendatangi rumah ayahnya. Untuk menuntut penjelasan karena keluarganya malah pergi dan meninggalkannya di pernikahan.

Ia merasa kecewa, marah, ditipu, dan dihianati, oleh orang yang paling dipercaya dan dia sayangi. Ayahnya, Haidar Arandt.

"Apa mereka sengaja pergi, untuk menghindar?" gumam Hannah menggoncang pagar besi yang kokoh dan tak bergeming itu.

"Teganya mereka."

Hannah berpikir, dimana mungkin ia bisa bertemu dengan ayahnya.

"Kantor, iya, ayah pasti ada di Arandt id."

Hannah mengayunkan kakinya, melangkah ke tujuan selanjutnya. Kantor tempat ayahnya bekerja.

Sesampainya di kantor, Hannah langsung ke resepsionis.

"Pagi," sapanya.

"Selamat pagi, selamat datang di Arandt id." Wanita berbaju formal menyapa dengan ramah.

"Saya Hannah, ingin bertemu dengan ayah, maksud saya, pak Haidar Arandt."

"Nona Hannah?"

Hannah mengangguk dengan senyuman.

"Maaf, nona Hannah, pak Haidar sedang pergi ke luar kota."

"Apa? Ke luar kota? Di saat begini?" Hannah heran karena saat ini kondisi perusahaan sedang diambang kebangkrutan.

"Ada banyak klien dan orang penting yang harus ditemui, nona." Wanita itu menjawab lugas. Namun, hanya terdengar alasan bagi Hannah.

Merasa ayahnya begitu kejam meninggalkan dirinya sendiri. "Kapan dia kembali?"

Wanita berbaju formal di depan hanya menggeleng. "Saya tak yakin."

Hannah menghembus napas kesal. Kemana lagi ia harus mencari ayahnya? Atau, mungkin mama Jeslyn.

Dengan langkah lemas, Hannah menghubungi saudara mama Jeslyn satu persatu. Bahkan keluarga dari Haidar pun tak luput darinya. Dan jawabannya? Mereka kompak menjawab tidak tau.

Ditengah kekecewaan yang sudah menggunung, Hannah hanya bisa melalui ini sendiri. Membuang keluarganya seperti yang mereka lakukan.

Saat Hannah sampai di foodtruk nya, sudah menjelang siang. Dan satu hal yang membuatnya terkejut, seorang pria sudah duduk di salah bangku kafe nya.

*_*

"Hannah, siapa yang di sana?"

June, teman Hannah terheran melihat seorang pria tampan yang mengenakan topeng di sebagian wajahnya duduk di salah satu bangku samping kiri foodtruk.

"Itu, Alby, dari keluarga Klien."

Wajah June terkejut tak percaya.

"Benarkah?"

Hannah mengangguk.

"Bukankah Tuan muda Alby tak pernah mau berinteraksi dengan orang lain? Apa topeng itu untuk menutupi luka di wajahnya?"

Hannah menoleh pada gadis cantik berambut pirang dan bergelombang itu.

"Kamu tau banyak, ya?"

"Iyalah, siapa yang tak tau keluarga Klien." June berucap dengan semangat."Tapi kenapa dia disini?" sambungnya bertanya dengan antusias.

"Dia suamiku sekarang," jawab Hannah malas.

"Apa?" Mata june membulat melebar. Mengguncang lengan Hannah."Benarkah? Kapan?"

Belum mendapat jawaban, mulut june sudah membola,"Apa kemarin saat kamu bilang mau menghadiri acara pernikahan adikmu? Jadi kamu yang menikah?"

"Pelankan suaramu, June." Hannah menarik tangannya menjauh. Merasa tak enak jika Alby mendengar pembicaraan mereka. June menutup mulutnya cepat,"sorry."

"Jadi adikmu yang licik itu menjebakmu?" tanya June berbisik, dan masih pernasaran.

Hannah menghela napas dalam, "kita bekerja, saja. Tak usah membicarakan hal ini," tukasnya berjalan menjauh. Menghampiri beberapa pengunjung yang baru datang. Dengan ramah dan penuh senyum, Hannah melayani. Tanpa ia sadari, di sudut sana, Alby memperhatikannya. Dan June melihat itu, menyipitkan sebelah matanya.

*_*

"Ini." Hannah meletakkan segelas kopi di depan meja Alby.

"Setelah lima jam lebih, aku baru dapat segelas kopi," celetuk Alby terdengar menyindir. Hannah tertawa tanpa suara.

"Tuan muda tidak memesan, jadi kupikir hanya ingin duduk-duduk saja," ucap Hannah duduk di depan Alby.

"Sepertinya, teman-teman mu merasa risih aku di sini." Alby melihat sekeliling. Beberapa pengunjung terlihat melihat ke arahnya, begitu juga dengan pekerja di foodtruk, yang lalu pura-pura mengalihkan pandangan. "Apa kamu juga?" tanyanya berganti melihat Hannah.

Hannah tersenyum tipis, menatap lelaki yang menutupi sebagian wajahnya yang terluka bekas kebakaran beberapa tahun silam. Ia juga merasa iba walau ada sedikit rasa jengkel dengan lelaki ini.

"Tidak." Hannah menggeleng, lalu melihat ke sekitar juga,"Kurasa mereka juga tidak terganggu, hanya penasaran saja."

"Penasaran?"

Hannah mengangguk seraya memandang Alby,"heemm."

"Kenapa?"

"Tidak ada seorangpun yang memakai topeng dan hanya duduk diam di sini. Jadi, mereka merasa kamu sangat misterius dan menarik."

Alby tersenyum kecut.

"Apa selama ini kamu hanya mengurung diri di rumah?"

"Kenapa?"

"Hanya bertanya, jika tak mau menjawab juga tak apa."

"Iya." Alby menjawab setelah beberapa saat terdiam.

Hannah tersenyum, "Bagaimana rasanya berada di luar sekarang?"

"Tidak buruk."

"Kenapa tidak mau ikut kakek JM?"

"Buruk."

Hannah tertawa lagi, Alby meliriknya. Rasanya aneh. Aneh, setiap kali melihat gadis ini tersenyum.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status