Hannah berdiri di depan rumah mewah yang terkunci dengan rantai. Merasa heran karena tak biasanya begitu.
"Kemana mereka?" gumam gadis itu merasa heran.Pagi ini, setelah sarapan, Hannah langsung mendatangi rumah ayahnya. Untuk menuntut penjelasan karena keluarganya malah pergi dan meninggalkannya di pernikahan.Ia merasa kecewa, marah, ditipu, dan dihianati, oleh orang yang paling dipercaya dan dia sayangi. Ayahnya, Haidar Arandt."Apa mereka sengaja pergi, untuk menghindar?" gumam Hannah menggoncang pagar besi yang kokoh dan tak bergeming itu."Teganya mereka."Hannah berpikir, dimana mungkin ia bisa bertemu dengan ayahnya."Kantor, iya, ayah pasti ada di Arandt id."Hannah mengayunkan kakinya, melangkah ke tujuan selanjutnya. Kantor tempat ayahnya bekerja.Sesampainya di kantor, Hannah langsung ke resepsionis."Pagi," sapanya."Selamat pagi, selamat datang di Arandt id." Wanita berbaju formal menyapa dengan ramah."Saya Hannah, ingin bertemu dengan ayah, maksud saya, pak Haidar Arandt.""Nona Hannah?"Hannah mengangguk dengan senyuman."Maaf, nona Hannah, pak Haidar sedang pergi ke luar kota.""Apa? Ke luar kota? Di saat begini?" Hannah heran karena saat ini kondisi perusahaan sedang diambang kebangkrutan."Ada banyak klien dan orang penting yang harus ditemui, nona." Wanita itu menjawab lugas. Namun, hanya terdengar alasan bagi Hannah.Merasa ayahnya begitu kejam meninggalkan dirinya sendiri. "Kapan dia kembali?"Wanita berbaju formal di depan hanya menggeleng. "Saya tak yakin."Hannah menghembus napas kesal. Kemana lagi ia harus mencari ayahnya? Atau, mungkin mama Jeslyn.Dengan langkah lemas, Hannah menghubungi saudara mama Jeslyn satu persatu. Bahkan keluarga dari Haidar pun tak luput darinya. Dan jawabannya? Mereka kompak menjawab tidak tau.Ditengah kekecewaan yang sudah menggunung, Hannah hanya bisa melalui ini sendiri. Membuang keluarganya seperti yang mereka lakukan.Saat Hannah sampai di foodtruk nya, sudah menjelang siang. Dan satu hal yang membuatnya terkejut, seorang pria sudah duduk di salah bangku kafe nya.*_*"Hannah, siapa yang di sana?"June, teman Hannah terheran melihat seorang pria tampan yang mengenakan topeng di sebagian wajahnya duduk di salah satu bangku samping kiri foodtruk."Itu, Alby, dari keluarga Klien."Wajah June terkejut tak percaya."Benarkah?"Hannah mengangguk."Bukankah Tuan muda Alby tak pernah mau berinteraksi dengan orang lain? Apa topeng itu untuk menutupi luka di wajahnya?"Hannah menoleh pada gadis cantik berambut pirang dan bergelombang itu."Kamu tau banyak, ya?""Iyalah, siapa yang tak tau keluarga Klien." June berucap dengan semangat."Tapi kenapa dia disini?" sambungnya bertanya dengan antusias."Dia suamiku sekarang," jawab Hannah malas."Apa?" Mata june membulat melebar. Mengguncang lengan Hannah."Benarkah? Kapan?"Belum mendapat jawaban, mulut june sudah membola,"Apa kemarin saat kamu bilang mau menghadiri acara pernikahan adikmu? Jadi kamu yang menikah?""Pelankan suaramu, June." Hannah menarik tangannya menjauh. Merasa tak enak jika Alby mendengar pembicaraan mereka. June menutup mulutnya cepat,"sorry.""Jadi adikmu yang licik itu menjebakmu?" tanya June berbisik, dan masih pernasaran.Hannah menghela napas dalam, "kita bekerja, saja. Tak usah membicarakan hal ini," tukasnya berjalan menjauh. Menghampiri beberapa pengunjung yang baru datang. Dengan ramah dan penuh senyum, Hannah melayani. Tanpa ia sadari, di sudut sana, Alby memperhatikannya. Dan June melihat itu, menyipitkan sebelah matanya.*_*"Ini." Hannah meletakkan segelas kopi di depan meja Alby."Setelah lima jam lebih, aku baru dapat segelas kopi," celetuk Alby terdengar menyindir. Hannah tertawa tanpa suara."Tuan muda tidak memesan, jadi kupikir hanya ingin duduk-duduk saja," ucap Hannah duduk di depan Alby."Sepertinya, teman-teman mu merasa risih aku di sini." Alby melihat sekeliling. Beberapa pengunjung terlihat melihat ke arahnya, begitu juga dengan pekerja di foodtruk, yang lalu pura-pura mengalihkan pandangan. "Apa kamu juga?" tanyanya berganti melihat Hannah.Hannah tersenyum tipis, menatap lelaki yang menutupi sebagian wajahnya yang terluka bekas kebakaran beberapa tahun silam. Ia juga merasa iba walau ada sedikit rasa jengkel dengan lelaki ini."Tidak." Hannah menggeleng, lalu melihat ke sekitar juga,"Kurasa mereka juga tidak terganggu, hanya penasaran saja.""Penasaran?"Hannah mengangguk seraya memandang Alby,"heemm.""Kenapa?""Tidak ada seorangpun yang memakai topeng dan hanya duduk diam di sini. Jadi, mereka merasa kamu sangat misterius dan menarik."Alby tersenyum kecut."Apa selama ini kamu hanya mengurung diri di rumah?""Kenapa?""Hanya bertanya, jika tak mau menjawab juga tak apa.""Iya." Alby menjawab setelah beberapa saat terdiam.Hannah tersenyum, "Bagaimana rasanya berada di luar sekarang?""Tidak buruk.""Kenapa tidak mau ikut kakek JM?""Buruk."Hannah tertawa lagi, Alby meliriknya. Rasanya aneh. Aneh, setiap kali melihat gadis ini tersenyum.Sebuah tangan terulur saat Hannah sedang menyimpan pesanan di atas meja pelanggan. Tangan itu hampir menyentuh pantat gadis itu jika tak ada tangan lain yang menahannya. Memilin hingga si pemilik mengerang kesakitan."Aaakkhh!"Sontak, Hannah menoleh dan terkejut melihat Alby sudah mencengkram kuat tangan seorang pria yang duduk di bangku."A-apa yang kamu lakukan?" jeritnya melihat Alby bertindak kasar pada pelanggannya. Ia tak tau alasan Alby, yang Hannah lihat, Alby sangat kasar hingga lelaki itu terlihat sangat kesakitan."Aaakkhh, lepaskan! Dasar bajing*** kamu!" umpat lelaki itu menahan sakit memegangi tangan yang masih Alby pilin."Lepaskan, Alby!" pekik Hannah.Tatapan tajam langsung terarah padanya. Walau merasa takut juga, tapi Hannah mencoba bertahan."Jangan kasar pada pelangganku!" Hannah yang tak tau menahu itu memukul lengan Alby. "Lepas! Kau menyakitinya."Alby melepaskan dengan dorongan. Dan anehnya, lelaki asing itu sampai terjungkal."Dasar, sialan! Tempat makan apa
Malam ini, Hannah masih tidur di sofa. Dengan selimut yang sengaja ia bungkus hingga menutupi kepalanya. Di bawah selimut itu, Hannah berkirim pesan."Bagaimana? Apa kamu sudah minta maaf pada tuan bertopeng?" pesan dari June."Sudah." Hannah mengetik balasan."Bagaimana hasilnya? Apa dia memaafkanmu?""Entahlah, aku juga tidak tau," aku Hannah jujur dalam ketikannya."Hah? Tidak tau bagaimana? Dia bilang memaafkan atau tidak?""Dia tidak merespon apapun. Dia sepertinya sibuk dan terganggu, jadi, aku tidak bertanya lebih lanjut." Hannah menjelaskan lagi lewat ketikannya."Oh, begitu. Tuan bertopeng sepertinya memang introvert."Hannah tak membalas hanya membaca pesan itu saja. Masih menunggu ketikan June berikutnya."Ya sudah, yang penting kamu sudah minta maaf. Apa rencanamu selanjutnya?" Begitu bunyi pesan dari June."Tidak ada. Tetap seperti biasa," tulis Hannah."Yeah, begitu juga bagus."Pintu kamar terbuka, Alby baru saja masuk, mendapati di sofa sana, Hannah sudah membungkus tu
"Ha-ha-ha, benarkah?"Mata dan wajah Kakek JM bersinar terang. Seolah baru saja mendengar sesuatu yang sangat ia nantikan."Iya, Kek. Tadi, Alby sangat cekatan, awalnya dia malu-malu, tapi, malah jadi digodain anak-anak gadis," cetus Hannah dengan senyum lebar dan mengerling pada lelaki yang duduk di sebrang sana.."Benarkah begitu Alby?" tanya Kakek JM semringah berganti memandang cucu kesayangannya.Alby mencelos, membuang wajahnya ke samping."Dia pasti malu-malu, Kek!" Seru Hannah semakin membuat wajah Alby memerah.Ya, hari ini Alby memang membantu Hannah di kedai foodtruk. Awalnya terpaksa dan malas, namun dorongan dari Hannah dan senyum tulus wanita itu membuat Alby melakukan hal yang sama. Melayani pembeli bahkan para gadis-gadis yang meminta foto dengannya pun ia layani. Dengan senyum terpaksa tentunya."Aku capek, mau ke kamar," cetus Alby beranjak dari duduknya."Alby, lain waktu datanglah ke perusahaan," perintah Kakek JM membuat langkah Alby terhenti, tapi, melanjutkan se
"Joana?" Kakek JM melirik Joana yang masih terlihat enggan. Dengan malas meraih gelasnya dengan helaan napas.Setelah bersulang bersama, semua meminum anggurnya dengan kegembiraan. Namun, tidak dengan bibi Joana yang terlihat masam, meletakkan kembali gelasnya tanpa menyesap sedikitpun."Jika Alby saja mendapatkan perayaan seperti ini, bagaimana dengan Morgan, Ayah? Apa ia tak terlihat untukmu?" Cetusnya memancing dengan senyum sinis pada Hannah dan Alby."Apa maksud ucapanmu, Ana?" Kakek JM menatap tak suka. Sikap ini selalu ditunjukkan setiap kali pertemuan, membandingkan Alby dan Morgan. Yang jelas berbeda.Joana tertawa hambar, "Ayolah Ayah, apa Ayah menolak tau? Apa yang sudah Alby lakukan untuk keluarga ini? Dan lihatlah Morgan, dia sudah melakukan banyak hal. Banyak tender yang berhasil ia menangkan. Tapi satu perayaan kecil pun tak Ayah berikan," ucapnya tajam.Suasana menjadi hening. Tatapan elang kakek JM terarah pada putri tertuanya. Menyadari jika memang Joana tak pernah p
Tok tokKakek JM melirik ke pintu kamarnya. Pagi itu ia memang langsung masuk ke kamar seusai sarapan, karena merasa badannya sedang tak bersahabat dan ingin istirahat saja. Dan kini malah terganggu oleh suara ketukan pintu."Ini aku, Kek." Suara Alby terdengar dibalik pintu."Masuk!" suruh Kakek JM membenahi posisinya sampai duduk dan bersandar di kepala ranjang.Alby masuk dan langsung duduk di kursi dekat nakas. Menghadap ke arah kakeknya."Aku dengar Kakek tidak enak badan," ucapnya menatap sang kakek."Heem, kenapa?""Sudah minum obat?"Kakek JM menatap heran cucunya ini. Alby tak pernah seperhatian ini padanya."Sudah, Kakek sedang ingin beristirahat. Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya tak ingin berbasa basi, karena tau Alby pasti punya tujuan menemuinya."Aku akan kembali KL," cetus Alby membuat Kakek JM terkejut dengan keputusan itu."Apa?""Aku ingin kembali ke KL," tegas Alby.Kakek JM senang, walau masih terlihat terkejut. "Baiklah, kapan?""Hari ini, tapi Kakek seper
"Aku?""Iya." June memainkan alisnya."Tidak!" Hannah membuang muka."Kalau iya, katakan iya. Jangan mengelak. Padahal tadi sepi yang aku maksud tentang pengunjung yang datang, akhir-akhir ini tidak seramai beberapa hari yang lalu saat tuan bertopeng datang. Mereka mungkin menantinya juga, seperti kamu." June tergelak lagi menunjuk wajah Hannah yang memerah.Lagi, Hannah membuang muka."Ah, tuan bertopeng!" pekik June, seketika Hannah menoleh, ikut melihat ke arah yang June tunjuk.Tidak ada seseorang yang di maksud, Hannah menoleh ke arah June yang malah cekikikan."Kamu!" Hannah mendelik pada June yang sudah mempermainkannya."Sudahlah, akui saja, kamu sangat merindukannya kan?" kekeh June.Hannah geram, geram sekali, tapi dalam hati, ia tak menampik. Hannah sadar, sangat-sangat merindukan Alby. Kenapa? Hubungan mereka tak sedalam itu, bukan?"Oh, tuan bertopeng!"June memekik lagi. Hannah jadi jengkel dan memukul lengan June."Jangan mempermainkan ku!""Sungguh! Itu tuan bertopeng,
"Ayah! Ibu!"Alby berteriak ditengah cahaya keemasan yang mengelilingi di sekitarnya. Satu batang kayu jatuh tepat di hadapan, beruntung ia masih bisa menghindar mundur."Ayah! Ibu!" teriaknya lagi.Alby maju selangkah, mengindari kobaran api dari batang kayu. Melindungi wajah dan kepalanya dengan jaket sport yang ia pakai. Yakin jika kedua orangtuanya masih di dalam sana. Setelah cukup lama mencari dalam kobaran api, Alby yang sudah terlalu banyak menghirup asap kebakaran mulai melemah. Beberapa kali terbatuk dan mata mulai perih. Namun, di titik itu, ia melihat ayah dan ibunya dalam kobaran api yang tak bisa ia dekati."Ayah! Ibu!"Suara teriakannya menukik tinggi.Tubuh Alby membeku, dengan keringat dingin yang mengucur deras. Pupil matanya melebar sempurna, jelas sekali jika lelaki itu tengah berada di titik tertinggi dari rasa takut. Namun kakinya tak juga mau bergerak."Alby?"Suara sirine berdenging di kepala lelaki bertopeng itu. Kobaran api terlihat begitu nyata di matanya."
"Hannah!"Suara pekikan Amy di susul suara keras, dan mobil yang berlari begitu saja meninggalkan Hannah yang tergeletak di atas aspal jalan."Hannah!"Alby berlari mendekat, wajah yang takut akan kehilangan terlihat jelas di sana. Melihat wanita yang mulai masuk ke dalam hidupnya tak bergerak membuat Alby luruh dan takut yang dahsyat."Jangan sentuh!" larang Josep ketika Alby mendekat hendak menyentuh tubuh Hannah."Biarkan di sana! Aku akan memanggil petugas medis dan polisi," lanjut Josep.Alby mengerti maksud Josep, dalam kecelakaan memang tidak di sarankan memindahkan korban. Karena mungkin bisa berakibat fatal jika salah dalam pertolongan pertama. Alby merendahkan tubuhnya sampai di dekat wajah Hannah."A-apa yang kamu rasakan?" tanyanya terbata.Beberapa orang tampak berkerumun, sebagian ada yang membantu mengatur lalulintas agar tidak macet dan menjaga korban tetap ditempatnya. Agar tidak terjadi luka yang lebih parah jika dipindahkan."Hannah, apa yang kamu rasakan? Katakan,"