Hannah menatap wajah pria bertopeng di hadapan yang terlihat gelisah melihat senyumannya yang memudar. "Kamu nggak suka?" Hannah menggeleng pelan, "Ini terlalu berlebihan Alby. Apa aku pantas menerimanya? Ini terlalu indah." Alby merasa lega, ia pikir Hannah tak suka. "Akan kupakaikan untukmu," ucap Alby mengambil kotak kalung dari tangan Hannah lalu berdiri, "Ini terlihat mahal." Alby tersenyum mengeluarkan kalung dari kotak, "Ini memang mahal, jadi kamu harus memakainya," ucap Alby memutari sampai ke belakang Hannah. Hannah menyatukan rambutnya yang tergerai dan menyibak ke samping agar Alby lebih mudah memasangkan di lehernya. Rasanya jantung Hannah berdebar kencang saat Alby memasangkan kalung itu di sana. Dan tubuh Hannah menegang kala merasakan kecupan di tengkuknya. Ya Alby mendaratkan bibirnya di sana untuk sesaat. Membawa sengatan panjang di tubuh Hannah. "Alby..." ucap Hannah dengan napas yang
Bab 15 "Apa yang kau lakukan?" "Ma-maaf! aku tidak. bermaksud... A-aku hanya..." Hannah menjadi gugup dan takut. Wajah Alby terlihat sangat menyeramkan. "Maaf, aku sudah..." Alby melepaskan tangan Hannah dan lekas berbalik membelakangi. Meninggalkan rasa sesak dan sesal di dada Hanah. "Alby, dia pasti marah aku sudah melewati batas privasi. Bodoh sekali, Hannah!" umpat Hanah dalam hati meruntuki diri. "Alby, maafkan aku. Aku tak bermaksud mengganggu privasimu." "Tidur!" "Aku pikir aku ini istrimu." Alby berbalik lagi, "Lalu?" Hannah gentar, merasa ciut Dengan tatapan mata Alby yang tajam. "Kau pikir kau istriku, lalu apa?" "Tidak apa-apa jika, aku melihat lukamu." Alby tersenyum, lalu menyeringai menyeramkan, membuat Hannah takut dan gentar.
Bab 16 Malam ini, Alby merasa sangat lelah. Persiapan launching projek yang dia kerjakan sangatlah menyita banyak waktu dan tenaganya. Saat pulang, ia pikir Hannah sudah tidur, bertemu dengan Morgan hanya menambah buruk suasana hatinya. "Istrimu cantik sekali malam ini." Alby meliriknya dingin. "Tadi aku mau mengajaknya minum kopi, tapi dia lebih suka mencari angin di atas sana." "Apa maksudmu?" "Lain kali tidak apa-apa, kan kalau kami sedikit mengakrabkan diri? Minum teh misalnya." "Lantas? Kau mau merayunya seperti Ivana?" sindir Alby. "Boleh?" "Dia tidak akan tergoda!" "Berarti boleh, kan?" tantang Morgan membangkitkan amarah dan cemburu di dada Alby. "Dia menolak karena kamu sudah pulang, lain kali pulanglah lebih larut agar kami bisa menikmati teh bersama..." Alby mencengkram kerah leher depan Morgan menatapnya dengan penuh amarah. "Jangan sampai aku melihatnya, Morgan!" Mata Alby yang tajam menusuk mata Morgan. Memberi peringatan pada sepupunya sendir
"Apa sudah diputuskan siapa yang akan menikah denganku?"Seorang pria yang sedang duduk di kursi taman dengan topeng yang menutupi sebagian wajahnya. Topeng itu menutupi mulai dari separuh dahi sampai hidung dan sebagian besar pipi kirinya sampai ke telinga."Sudah, tuan muda."Lelaki bertopeng itu mengangkat tangannya ke udara. Dengan sigap, pria yang menyebut tuan muda tadi meletakkan selembar foto di tangan itu. Sang tuan muda memandangi foto gadis yang memakai kemeja merah muda dan apron hitam sedang tersenyum menatap kamera. Gadis itu mengucir rambutnya ke samping dan membiarkan angin meniup anak rambutnya menutupi sebagian wajah.Pria bertopeng itu tersenyum miring, menertawakan dirinya dan juga gadis malang yang terpaksa menikah dengannya yang buruk rupa ini."Namanya Nona Hannah dari keluarga Arendt. Haidar yang menawarkan anak gadisnya untuk seratus ribu dolar dana ke Arendtid."Pria bertopeng itu tersenyum kecut,"Jika kita tidak butuh wanita ini, tidak akan ada uang sebesar
Hannah menarik napas dalam, sebelum ia melangkahkan kakinya masuk ke rumah. Setelah sekian lama tak pulang, kini ia harus melangkah lagi setelah ayahnya memberi kabar jika Ivy bersedia.Hannah melihat Ivy adik seayahnya yang melintas menatap dengan sinis."Ivy."Gadis berambut sebahu itu menahan langkahnya tepat di anak tangga pertama. Menoleh dengan malas pada Hannah."Ayah bilang, kamu...""Kau pasti senang kan?" sambar Ivy ketus."Kau pasti senang karena akhirnya aku yang akan menikah dengan monster itu.""Hanya sekali ini saja kamu mengalah padaku, Ivy. Demi perusahaan ayah yang hampir bangkrut.""Sekali ini untuk seumur hidupku, Hannah!" Terlihat luapan amarah di mata dan suara Ivy yang membumbung hingga memenuhi seluruh rumah."Aku benci padamu!" sambungnya menekankan. Lalu pergi melangkah ke atas.Hannah mematung menatap punggung Ivy yang semakin jauh. Mengikuti sosok itu dengan matanya, hingga berbelok ke sisi kanan melewati mama Jeslyn yang juga menatap Hannah dengan pandangan
"Saya bersedia."Hannah berucap lemah di samping pria bertopeng yang sudah lebih dulu mengikrarkan janji setianya."Kalian sudah diikat dengan ikatan suci pernikahan, mempelai pria bisa mencium mempelai wanita." Sang pendeta berucap.Alby melirik gadis yang matanya sudah mengembun, tetap membalik tubuh menghadapnya. Mengikuti ritual pernikahan dengan sangat baik meski dunianya sudah berantakan. Meski kepercayaannya dihianati oleh keluarganya sendiri."Tidak perlu."Hannah mendongak, menatap Alby yang bahkan tak menoleh padanya dan tetap melihat lurus ke depan. Menghadap sang pendeta."Kami bisa melakukannya di tempat yang lebih pribadi," lanjut lelaki bertopeng itu.Hannah masih menatap, bukan hanya dia yang tak menginginkan pernikahan ini, Alby pun sama. Hingga, ciuman pernikahan itu tak perlu terjadi._________"Selamat datang Hannah."Seorang wanita bergaun merah marun menyambut Hannah di rumah besar kakek John Moris Klien. Pemegang tertinggi saat ini di keluarga itu."Aku Irene, k
Hannah berdiri di depan rumah mewah yang terkunci dengan rantai. Merasa heran karena tak biasanya begitu."Kemana mereka?" gumam gadis itu merasa heran.Pagi ini, setelah sarapan, Hannah langsung mendatangi rumah ayahnya. Untuk menuntut penjelasan karena keluarganya malah pergi dan meninggalkannya di pernikahan.Ia merasa kecewa, marah, ditipu, dan dihianati, oleh orang yang paling dipercaya dan dia sayangi. Ayahnya, Haidar Arandt."Apa mereka sengaja pergi, untuk menghindar?" gumam Hannah menggoncang pagar besi yang kokoh dan tak bergeming itu."Teganya mereka."Hannah berpikir, dimana mungkin ia bisa bertemu dengan ayahnya."Kantor, iya, ayah pasti ada di Arandt id."Hannah mengayunkan kakinya, melangkah ke tujuan selanjutnya. Kantor tempat ayahnya bekerja.Sesampainya di kantor, Hannah langsung ke resepsionis."Pagi," sapanya."Selamat pagi, selamat datang di Arandt id." Wanita berbaju formal menyapa dengan ramah."Saya Hannah, ingin bertemu dengan ayah, maksud saya, pak Haidar Ara
Sebuah tangan terulur saat Hannah sedang menyimpan pesanan di atas meja pelanggan. Tangan itu hampir menyentuh pantat gadis itu jika tak ada tangan lain yang menahannya. Memilin hingga si pemilik mengerang kesakitan."Aaakkhh!"Sontak, Hannah menoleh dan terkejut melihat Alby sudah mencengkram kuat tangan seorang pria yang duduk di bangku."A-apa yang kamu lakukan?" jeritnya melihat Alby bertindak kasar pada pelanggannya. Ia tak tau alasan Alby, yang Hannah lihat, Alby sangat kasar hingga lelaki itu terlihat sangat kesakitan."Aaakkhh, lepaskan! Dasar bajing*** kamu!" umpat lelaki itu menahan sakit memegangi tangan yang masih Alby pilin."Lepaskan, Alby!" pekik Hannah.Tatapan tajam langsung terarah padanya. Walau merasa takut juga, tapi Hannah mencoba bertahan."Jangan kasar pada pelangganku!" Hannah yang tak tau menahu itu memukul lengan Alby. "Lepas! Kau menyakitinya."Alby melepaskan dengan dorongan. Dan anehnya, lelaki asing itu sampai terjungkal."Dasar, sialan! Tempat makan apa