"Tapi, bisa kamu lihat, kan? Hannah sekarang baik-baik saja. Kenapa tidak lebih memperhatikan Hannah saja dari pada sibuk mencari pelaku yang tak jelas dimana!" sanggah Joana"Ah, kenapa bibi sepertinya takut jika kami menyelidiki kasus ini. Apa jangan-jangan, bibikah yang mencoba mencelakai Hannah," sindir Irene dengan senyum di wajahnya."Tutup mulutmu! Jangan menuduh tanpa bukti." Dan ini membuat Joana meradang."Akan segera kami dapatkan buktinya, bi!""Kau! Aku pasti akan menuntut mu jika kamu bahkan tidak bisa membuktikan apapun!" sergah Joana semakin marah."Sudah cukup!" Kakek JM menengahi.Menatap Joana dan Irene bergantian. "Kenapa kalian malah bertengkar di depan wajahku!"Semua diam, bahkan Morgan pun tak mengatakan apapun, juga suami Irene, Roky yang mengusap lengan istrinya yang sudah beremosi."Aku akan nyuruh orang untuk mencari tau siapa pelakunya. Selama itu, sebaiknya kalian berdamai. Aku harap ini hanyalah penyerempetan orang lain, dan tidak ada keluarga yang terli
"Tuan Alby! Awas!" seru manager perencanaan yang menyertainya kala itu menarik tubuh Alby menjauh sampai tersungkur. Beruntung papan kayu yang lepas beserta longsong besi yang jatuh tak mengenai tubuh mereka. Tepat di depan mata benda-benda berbahaya itu mendarat.Jantung Alby berdetak kencang karena merasa nyaris celaka, napasnya pun naik turun karenanya."Tuan Alby anda baik-baik saja?" tanya manager perencanaan yang tadi menyelamatkan dirinya, dengan nada khawatir."Iya aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu," angguk Alby melihat ke atas."Saya juga baik-baik saja. Syukurlah. Astaga! Bagaimana bisa ada benda berbahaya begini jatuh?" ucapnya diselingi gerutu, melihat ke atas juga."Apa kalian baik-baik saja?" Beberapa orang pekerja kuli mendekat dengan gelisah. Karena takut jika sampai kehilangan pekerjaan, lebih parah jika diminta ganti rugi."Kenapa bisa sampai ada yang jatuh? Bagaimana kalian bekerja." Manager perencanaan marah menunjuk-nunjuk pekerja yang menunduk lemas."Maaf,
Hannah menatap wajah pria bertopeng di hadapan yang terlihat gelisah melihat senyumannya yang memudar. "Kamu nggak suka?" Hannah menggeleng pelan, "Ini terlalu berlebihan Alby. Apa aku pantas menerimanya? Ini terlalu indah." Alby merasa lega, ia pikir Hannah tak suka. "Akan kupakaikan untukmu," ucap Alby mengambil kotak kalung dari tangan Hannah lalu berdiri, "Ini terlihat mahal." Alby tersenyum mengeluarkan kalung dari kotak, "Ini memang mahal, jadi kamu harus memakainya," ucap Alby memutari sampai ke belakang Hannah. Hannah menyatukan rambutnya yang tergerai dan menyibak ke samping agar Alby lebih mudah memasangkan di lehernya. Rasanya jantung Hannah berdebar kencang saat Alby memasangkan kalung itu di sana. Dan tubuh Hannah menegang kala merasakan kecupan di tengkuknya. Ya Alby mendaratkan bibirnya di sana untuk sesaat. Membawa sengatan panjang di tubuh Hannah. "Alby..." ucap Hannah dengan napas yang
Bab 15 "Apa yang kau lakukan?" "Ma-maaf! aku tidak. bermaksud... A-aku hanya..." Hannah menjadi gugup dan takut. Wajah Alby terlihat sangat menyeramkan. "Maaf, aku sudah..." Alby melepaskan tangan Hannah dan lekas berbalik membelakangi. Meninggalkan rasa sesak dan sesal di dada Hanah. "Alby, dia pasti marah aku sudah melewati batas privasi. Bodoh sekali, Hannah!" umpat Hanah dalam hati meruntuki diri. "Alby, maafkan aku. Aku tak bermaksud mengganggu privasimu." "Tidur!" "Aku pikir aku ini istrimu." Alby berbalik lagi, "Lalu?" Hannah gentar, merasa ciut Dengan tatapan mata Alby yang tajam. "Kau pikir kau istriku, lalu apa?" "Tidak apa-apa jika, aku melihat lukamu." Alby tersenyum, lalu menyeringai menyeramkan, membuat Hannah takut dan gentar.
Bab 16 Malam ini, Alby merasa sangat lelah. Persiapan launching projek yang dia kerjakan sangatlah menyita banyak waktu dan tenaganya. Saat pulang, ia pikir Hannah sudah tidur, bertemu dengan Morgan hanya menambah buruk suasana hatinya. "Istrimu cantik sekali malam ini." Alby meliriknya dingin. "Tadi aku mau mengajaknya minum kopi, tapi dia lebih suka mencari angin di atas sana." "Apa maksudmu?" "Lain kali tidak apa-apa, kan kalau kami sedikit mengakrabkan diri? Minum teh misalnya." "Lantas? Kau mau merayunya seperti Ivana?" sindir Alby. "Boleh?" "Dia tidak akan tergoda!" "Berarti boleh, kan?" tantang Morgan membangkitkan amarah dan cemburu di dada Alby. "Dia menolak karena kamu sudah pulang, lain kali pulanglah lebih larut agar kami bisa menikmati teh bersama..." Alby mencengkram kerah leher depan Morgan menatapnya dengan penuh amarah. "Jangan sampai aku melihatnya, Morgan!" Mata Alby yang tajam menusuk mata Morgan. Memberi peringatan pada sepupunya sendir
"Apa sudah diputuskan siapa yang akan menikah denganku?"Seorang pria yang sedang duduk di kursi taman dengan topeng yang menutupi sebagian wajahnya. Topeng itu menutupi mulai dari separuh dahi sampai hidung dan sebagian besar pipi kirinya sampai ke telinga."Sudah, tuan muda."Lelaki bertopeng itu mengangkat tangannya ke udara. Dengan sigap, pria yang menyebut tuan muda tadi meletakkan selembar foto di tangan itu. Sang tuan muda memandangi foto gadis yang memakai kemeja merah muda dan apron hitam sedang tersenyum menatap kamera. Gadis itu mengucir rambutnya ke samping dan membiarkan angin meniup anak rambutnya menutupi sebagian wajah.Pria bertopeng itu tersenyum miring, menertawakan dirinya dan juga gadis malang yang terpaksa menikah dengannya yang buruk rupa ini."Namanya Nona Hannah dari keluarga Arendt. Haidar yang menawarkan anak gadisnya untuk seratus ribu dolar dana ke Arendtid."Pria bertopeng itu tersenyum kecut,"Jika kita tidak butuh wanita ini, tidak akan ada uang sebesar
Hannah menarik napas dalam, sebelum ia melangkahkan kakinya masuk ke rumah. Setelah sekian lama tak pulang, kini ia harus melangkah lagi setelah ayahnya memberi kabar jika Ivy bersedia.Hannah melihat Ivy adik seayahnya yang melintas menatap dengan sinis."Ivy."Gadis berambut sebahu itu menahan langkahnya tepat di anak tangga pertama. Menoleh dengan malas pada Hannah."Ayah bilang, kamu...""Kau pasti senang kan?" sambar Ivy ketus."Kau pasti senang karena akhirnya aku yang akan menikah dengan monster itu.""Hanya sekali ini saja kamu mengalah padaku, Ivy. Demi perusahaan ayah yang hampir bangkrut.""Sekali ini untuk seumur hidupku, Hannah!" Terlihat luapan amarah di mata dan suara Ivy yang membumbung hingga memenuhi seluruh rumah."Aku benci padamu!" sambungnya menekankan. Lalu pergi melangkah ke atas.Hannah mematung menatap punggung Ivy yang semakin jauh. Mengikuti sosok itu dengan matanya, hingga berbelok ke sisi kanan melewati mama Jeslyn yang juga menatap Hannah dengan pandangan
"Saya bersedia."Hannah berucap lemah di samping pria bertopeng yang sudah lebih dulu mengikrarkan janji setianya."Kalian sudah diikat dengan ikatan suci pernikahan, mempelai pria bisa mencium mempelai wanita." Sang pendeta berucap.Alby melirik gadis yang matanya sudah mengembun, tetap membalik tubuh menghadapnya. Mengikuti ritual pernikahan dengan sangat baik meski dunianya sudah berantakan. Meski kepercayaannya dihianati oleh keluarganya sendiri."Tidak perlu."Hannah mendongak, menatap Alby yang bahkan tak menoleh padanya dan tetap melihat lurus ke depan. Menghadap sang pendeta."Kami bisa melakukannya di tempat yang lebih pribadi," lanjut lelaki bertopeng itu.Hannah masih menatap, bukan hanya dia yang tak menginginkan pernikahan ini, Alby pun sama. Hingga, ciuman pernikahan itu tak perlu terjadi._________"Selamat datang Hannah."Seorang wanita bergaun merah marun menyambut Hannah di rumah besar kakek John Moris Klien. Pemegang tertinggi saat ini di keluarga itu."Aku Irene, k