Bab 1
Istri Kedua"Duh, airnya habis," keluh Hanina saat menemukan kardus berisi air mineral yang ternyata telah kosong. Dia lupa menyuruh suaminya membawakan kardus berisi air mineral yang baru ke kamar ini.
Sebagai ibu menyusui, tentu Hanina begitu mudah haus, apalagi sekarang ia baru saja selesai menyusui Aqila, bayinya yang baru berusia sebulan.
"Ya sudah, sebaiknya aku ambil minum di dapur saja, sekalian menemui Mas Akmal. Pasti dia sedang berada di ruang tengah. Dia harus tahu jika air minum di kamar sudah habis." Hanina memutuskan. Dia merasa sangat yakin, pasalnya Akmal memang seringkali bekerja di tengah malam, menghabiskan waktu sampai subuh di belakang meja kerjanya di ruang tengah.
Wanita muda itu menguap beberapa kali, lalu berjalan perlahan menuju pintu. Sebelum menutup pintu kamar, Hanina menoleh ke arah box bayi dan terlihat bayi kecilnya aman di tempat tidurnya.
Aqila kembali terlelap setelah kenyang minum ASI dari ibunya.
Perlahan kaki Hanina menapaki anak-anak tangga untuk turun ke lantai dasar menuju dapur. Kamar pribadi ini memang terletak di lantai dua rumah ini. Cukup merepotkan sebenarnya jika setiap malam harus ambil air minum di dapur. Itulah kenapa Hanina meminta Akmal untuk menyediakan air mineral kemasan di kamar pribadi mereka.
Kini Hanina sudah selesai menuruni anak-anak tangga dan tiba di ruang tengah.
Namun dia tidak mendapati Akmal berada di tempat itu. Meja kerjanya kosong dan tidak ada laptop yang menyala. Namun Hanina memilih untuk tidak ambil pusing. Rasa haus yang mendera tenggorokan membuatnya kian mempercepat langkah menuju dapur.
Suasana rumah ini agak remang, karena lampu-lampu utama sudah dimatikan. Tidak ada pembantu yang menginap, kecuali baby sister. Itu pun baby sister yang hanya ia izinkan untuk mengurus Aqila pada siang hari saja, karena kasihan juga jika malam hari dia harus turut mengurus Aqila yang sering sekali terbangun malam.
"Suara-suara apa itu?" Bulu kuduk Hanina seketika meremang. Spontan ia merapat ke sisi dinding yang menghubungkan antara dapur dengan kamar baby sister yang bernama Risty itu. Suara-suara itu semakin dekat dan jelas terdengar.
"Risty?" gumam perempuan itu lirih.
Apa yang sedang Risty lakukan di kamarnya?
Bukankah itu seperti suara orang yang sedang bercinta?
Bukankah status Risty adalah single dan dia seorang diri saat Hanina menerimanya bekerja di rumah ini seminggu yang lalu?
Tanpa sadar Hanina meninggikan alisnya. Dia keheranan.
Namun suara yang terdengar ternyata bukan cuma suara Risty, tetapi ada suara lainnya juga. Suara seorang lelaki, seperti suara Akmal, suaminya. Telinga Hanina tegak, dan dia makin merapatkan tubuhnya ke dinding. Suara-suara itu kian nyata terdengar, karena kamar Risty memang tidak dilengkapi dengan alat peredam suara dan tentu saja suara-suara itu bisa terdengar sampai keluar.
Seketika tubuh Hanina menjadi gemetar. Tanpa pikir panjang lagi, ia segera mengetuk kamar itu. Ketukan yang berubah menjadi gedoran. Suara-suara itu pun berhenti dan menghilang untuk sesaat, lalu sesosok tubuh muncul di depan pintu. Sosok pria yang hanya mengenakan celana boxer.
"Mas Akmal!" Hanina memekik. Nyaris tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Otaknya segera mencerna hasil tangkapan matanya yang sepersekian detik. Mana ada seorang pria yang berpenampilan nyaris polos, jika sebelumnya tidak melakukan apa-apa di kamar ini dengan sang penghuni kamar?
Hanina menerobos masuk tanpa memperdulikan tangan sang pria yang menahannya. Sekuat tenaga Hanina menyingkirkan tangan pria itu dan dia berhasil masuk ke dalam kamar. Matanya membulat menatap Risty yang berbaring terlentang di tempat tidur dengan selembar selimut yang menutupi tubuhnya. Hanina berani taruhan jika Risty tidak mengenakan apapun di balik selimut itu.
Fix.
Ternyata suara-suara itu....
"Dasar perempuan jalang! Kamu baru seminggu bekerja di rumah ini, itupun atas rekomendasi suami saya, dan sekarang kamu tega melakukan ini?!" Hanina melangkah mendekat ke tempat tidur, tetapi lagi-lagi Akmal menahan langkahnya, hingga akhirnya langkah Hanina terhenti.
Tubuh perempuan itu seketika gemetar.
"Dan kamu, Mas! Kamu sama saja! Kenapa sampai tergoda? Kurangnya aku selama ini apa? Aku sudah memberikan segalanya sama kamu, tapi kenapa kamu mengkhianatiku?!"
"Aku tidak pernah mengkhianatimu, Hanina. Tidak pernah. Kamu salah paham." Akmal menangkap tubuh perempuan itu, mengungkungnya kuat sehingga Hanina bahkan sedikit kesulitan untuk bernafas.
Hanina meronta-ronta. Dia berteriak tanpa peduli ini sudah tengah malam.
Rumah ini sangat sepi dan hanya mereka bertiga yang berada di dalamnya, di tambah seorang bayi.
"Apa yang tidak aku pahami dari kamu? Dari mana kamu mengenal perempuan ini? Kenapa kamu malah bercinta dengannya? Kenapa kamu malah selingkuh? Apa kamu sudah tidak menyukai aku lagi, lantaran aku sudah melahirkan, lantaran bentuk tubuhku tidak lagi bagus seperti dulu?!" Hanina memekik. Dia terus memukuli dada suaminya supaya bisa lepas dari kungkungan sang suami. Namun pemilik dada bidang itu sepertinya tidak merasakan pukulan Hanina bahkan mungkin pukulan itu mirip seperti elusan saja.
"Aku tahu, aku masih dalam masa nifas, tapi bukan berarti itu menjadi alasan bagi kamu untuk selingkuh. Mas, puasalah sebentar. Dan setelah selesai masa nifas, aku akan segera kembali melayanimu seperti biasa. Kenapa kamu nggak sabar sih, Mas?" Air matanya kembali berderai.
Dia terus berontak dan kali ini Hanina berhasil melepaskan diri dari kungkungan suaminya setelah menggigit lengan sang suami. Hanina mencapai bibir ranjang dengan tubuh sedikit membungkuk. Namun, sebuah tendangan mendarat di bahunya, sehingga membuat wanita muda itu terjengkang. Kepalanya jatuh ke lantai. Hanina terkejut. Seketika ia merasakan pusing yang teramat sangat.
Rasanya tak percaya jika Akmal tega melakukan ini kepadanya, padahal sebelumnya Akmal tidak pernah bersikap kasar, bahkan cenderung romantis. Apa karena dia tidak mendapatkan hak biologisnya sebagai pria dewasa, lalu pria itu malah jadi semena-mena? Mengapa Akmal tidak bisa mengerti jika dia masih dalam masa nifas dan pemulihan pasca melahirkan?
Setidaknya itu yang ada di benak Hanina saat ini.
Hanina memegangi kepalanya. Sakit sekali. Benturan yang cukup keras. Kepalanya serasa ingin pecah, karena lantai kamar ini yang terbuat dari keramik. Pandangannya berkunang-kunang. Dia berusaha mengerjapkan matanya berkali-kali, tetapi pandangannya tetap saja buram. Rasanya dia ingin pingsan saja.
Akmal memang bak kuda liar jika sedang bersamanya di tempat tidur, tetapi itu seharusnya bukan menjadi alasan. Bukankah keinginan memiliki buah hati adalah keputusan bersama, bahkan suaminya lah yang terlihat sangat antusias agar mereka segera memiliki anak. Jadi seharusnya Akmal paham, jika buah hati mereka telah lahir, maka dia harus rehat dulu dari kegiatan seksual untuk sementara waktu.
"Aku sudah bilang, kamu itu salah paham! Risty itu bukan selingkuhanku. Aku lebih lama mengenal Risty daripada kamu," geram Akmal seraya kembali mencekal tangan Hanina yang sudah siap terangkat.
"Jangan coba-coba kamu sentuh Risty, atau kamu akan tahu akibatnya!" Lagi-lagi pria itu mengancam.
"Betul sekali, Hanina." Suara Risty terdengar. Wanita itu kini beringsut dan duduk sembari mengapit kain selimut di kedua ketiaknya, supaya kain penutup tubuh itu tidak melorot ke bawah.
"Kalau bukan selingkuhan Mas Akmal, lalu kamu itu siapa?! Istri muda?" Tawa sumbang Hanina terdengar. Hanina berusaha bangkit, meski kepalanya masih sangat pusing. Efek benturan di kepalanya mungkin akan terasa selama beberapa jam ke depan. Tendangan Akmal cukup keras, walaupun mungkin dia melakukannya lantaran tak sengaja karena tidak ingin Hanina menyentuh Risty.
Kenapa Akmal terlihat begitu melindungi Risty? Sementara dia malah tega mendorong tubuh istrinya sendiri sampai terjatuh? Dada Hanina seketika bergemuruh. Sesak sekali.
Hanina benar-benar tak habis pikir.
"Istri muda?" Risty tertawa sumbang. Matanya menatap Hanina dengan tajam, sorot mata yang memancarkan kebencian yang baru sekarang Hanina sadari.
"Justru yang jadi istri muda itu kamu, Hanina. Kamu itu istri kedua, sedangkan aku adalah istri pertama Mas Akmal. Kamu sudah salah paham!" Risty menyeringai penuh kemenangan.
"Istri kedua?" Spontan Hanina menatap tajam sang suami. Namun pria itu tak terlihat menggeleng seperti yang ia harapkan.
"Benar, Hanina. Risty adalah istri pertamaku dan aku sengaja mengajaknya tinggal di rumah ini agar ia bisa merawat Aqila...."
Bab 2Bukan Ibu Pengganti "Aku istri kedua?!" Hanina tergagap. Perlu usaha lebih keras untuk membuat tubuhnya tegak. Tubuhnya serasa remuk dan sakit, terutama bagian perutnya. Hanina meringis atas rasa perih di area jahitan bekas luka caesarnya.Tampaknya Akmal melupakan satu hal, jika Hanina melahirkan Aqila melewati operasi caesar. Apa yang membuat pria ini begitu emosi, hingga sampai hati membuat tubuhnya terbanting ke lantai? Apakah benar apa yang dikatakan oleh Akmal jika dia hanyalah istri kedua?Tapi jika benar Akmal hanya berbohong, tidak mungkin ia semarah ini kepadanya.Air mata Hanina kembali menderas."Kamu nggak perlu menangis, Hanina. Kenyataannya kamu itu hanyalah istri kedua. Dan kamu harus bisa menerima kenyataan ini. Aku ini adalah istri pertama Mas Akmal dan aku lebih berhak daripada kamu!" Risty berujar sinis tanpa beranjak dari tempat duduknya semula."Sudah saatnya kamu mengetahui kenyataan ini. Aku sudah bosan menjadi istri pertama yang disembunyikan. Aku juga
Bab 3Ajakan Untuk Berdamai"Maaf..." Suara lirih itu seketika membuyarkan lamunan Hanina. Dia menoleh ke belakang, bahkan memutar badannya tanpa sadar. Kini posisinya dengan Akmal menjadi berhadapan. Hanina menatap pria ini sekilas, kemudian kembali membuang pandangannya ke bawah, menatap taman yang gelap di bawah sana. Pria ini kini sudah berpakaian lengkap. Dia berdiri dengan tangan bersedekap di dada."Mau apa lagi kamu kemari, Mas? Bukankah seharusnya kamu berada di kamar Risty? Apa masih belum puas menyakitiku?""Maaf atas rasa sakit yang kamu rasakan, tetapi sekarang ataupun nanti akan sama saja. Aku tahu kamu kaget, tapi Mas tidak mungkin terus berbohong. Kenyataannya memang begitu. Risty adalah istri pertama Mas yang selama ini Mas sembunyikan...." Akmal berusaha meralat."Itu karena malam ini topengmu terbuka, Mas. Jadi Mas akhirnya mengaku. Iya, kan?" sergah Hanina. Dia memundurkan tubuhnya hingga punggungnya kini membentur dinding. Lagi-lagi dia membuang pandangannya tat
Bab 4Jangan Bawa Anakku!"Kalau kamu ingin sarapan, silahkan minta buatkan sama istri pertamamu. Bukankah aku hanya diperlukan rahimnya untuk melahirkan anakmu?! Sementara tugas-tugas yang lain, biarlah dilimpahkan kepada istri pertamamu. Bukankah seharusnya begitu yang lebih adil?""Lancang mulutmu! Seperti tidak pernah diajari bagaimana caranya menjadi istri yang baik!" Tanpa sadar Akmal mencengkeram lengan istrinya. Sebelah tangannya yang lain meraih nampan dan tanpa bisa dicegah lagi, Akmal menjatuhkan nampan itu ke lantai.Cairan susu tumpah kemana-mana, berceceran membasahi karpet yang terhampar. Untung saja lantai dialasi oleh karpet, sehingga gelas dan piring yang terbuat dari kaca itu tidak pecah. Hanina menatap menu sarapannya yang akhirnya menjadi sia-sia."Seharusnya kamu lah yang perlu diajari bagaimana caranya menjadi suami yang baik. Kamu pikir keputusanmu untuk membohongiku lalu menjadikanku sebagai istri kedua itu adalah benar?!" balas Hanina. Dia mendorong tubuh sa
Bab 5"Bertanyalah kepada istri pertamamu, Mas. Jangan bertanya padaku," sarkas Hanina seraya menepis tangan Akmal yang mencoba meraih bayinya. "Kamu nggak perlu peduli sama Aqila. Sana pergi. Kamu akan terlambat ke kantor jika harus menangani Aqila.""Tapi dia tengah menangis." Akmal menggeletakkan tasnya begitu saja di lantai, lalu mencoba meraih dan menggendong putri kecilnya. Anehnya, bayi itu langsung tenang setelah pundaknya ditepuk-tepuk oleh Akmal. Ini sungguh ajaib. Seketika Hanina menghela nafas dan dalam sekejap dadanya terasa kembali normal. "Segeralah kamu ke kantor, Mas. Jangan sampai Papa marah karena kamu terlambat pagi ini. Hari ini bukannya jadwal pertemuan bulanan dengan dewan komisaris?" Hanina mengingatkan seraya mengambil kembali Aqila yang sudah tenang dari gendongan suaminya."Ya baiklah. Kalau begitu aku berangkat." Pria itu berbalik tanpa menoleh lagi. Bersamaan dengan itu, asisten rumah tangganya yang bernama Wati itu datang. Perempuan berumur 45 tahun it
Bab 6 Bukannya tadi pagi Risty sangat menginginkan untuk menimang Aqila dan Akmal harus rela mengalah, menahan egonya yang ingin membela kepentingan istri pertamanya, demi menjaga ketentraman di rumah ini? Namun sekarang Akmal tidak akan mau mengalah lagi, karena ternyata Hanina mulai menggunakan kekuasaan yang dimilikinya.Aqila adalah kelemahan Hanina dan sudah saatnya Akmal melanjutkan rencananya, karena baginya negosiasi dengan Hanina sudah menemukan jalan buntu.Hanina tetap memaksa Akmal untuk memilih antara dirinya dan Risty.Hanina pun sudah terlanjur tahu jika ia memiliki istri yang lain. Akmal tidak pernah berpikir jika Hanina akan berbuat sejauh itu, tapi nasi sudah menjadi bubur. Seandainya dia tidak keceplosan malam itu, mungkin Hanina masih bisa diajak kompromi. Namun nalurinya sebagai seorang suami tidak rela jika Hanina menganggap Risty sebagai selingkuhannya. Setidaknya dia lebih dulu hidup bersama dengan Risty ketimbang dengan Hanina. Akmal selalu mensugesti diri
Bab 7"Setidaknya Hanina tidak perlu tahu jika aku punya istri yang lain dan dia hanya dijadikan sebagai istri kedua. Kau tahu apa arti istri kedua bagi sebagian orang, bukan?" Akmal mendengus, lalu memilih berbalik. Tidak ada gunanya ia marah-marah, toh tetap saja ia harus memikirkan cara supaya jabatan itu kembali kepada dirinya. Dia tidak mau menjadi pengangguran. Mencari pekerjaan lain di situasi sekarang ini bukan hal yang mudah. Dulu pun dia hanya bekerja sebagai seorang staf dan gaji yang diterimanya tidak seberapa, sementara dia harus membiayai Risty, juga ibunya. Jika yang menjadi istrinya hanya Hanina, tentu tidak masalah, karena tanpa ia biayai sekalipun, Hanina sudah kaya, bahkan apa yang ia miliki sekarang ini sebenarnya juga milik Hanina, hanya saja Risty yang terlalu pongah ataupun percaya diri dan menganggap jika Akmal sudah memiliki segalanya.Hal yang tidak dipahami oleh sebagian orang, jika sebenarnya seorang pimpinan perusahaan itu bisa saja di depak, karena bag
Bab 8"Kamu mau bikin usaha apa, Mal? Kalau memang prospeknya bagus, Papa pasti dukung kok. Nanti kamu bikin proposal, biar Papa yang jadi investor pertama kamu," tawar pria setengah tua itu antusias.Hanina memutar bola matanya malas, tak mau menanggapi ucapan sang papa. Dia menyerahkan Aqila kepada ibunya, kemudian segera menggamit lengan pria muda yang kini tengah duduk berhadapan dengan papanya itu."Aduh, Pa, soal itu nanti saja dibahasnya ya. Bakalan panjang pembicaraan. Aku mau buru-buru ke kantor nih. Mas Akmal udah janji mau nganterin," sergah perempuan itu. Mukanya sengaja dibuat cemberut, yang di tanggapi Darmawan dengan tawanya yang lebar."Kamu itu, Nak. Ada-ada saja." Pria itu bangkit, lalu menepuk bahu menantunya. "Kalau kamu butuh sharing sama Papa, Papa selalu bersedia kapanpun. Jangan sungkan sama papa ya, Nak. Kamu sudah nunjukin di hadapan Papa, jika kamu punya kemampuan yang bagus.""Terima kasih, Pa. Nanti kita bahas lagi soal itu. Sekarang aku mau mengantar Han
Bab 9Hanina sengaja pulang dengan dijemput oleh sopir papanya karena dia akan menjemput Aqila terlebih dulu. Bayi lucu itu nampak berbinar-binar saat mendapati Hanina datang dan membawanya ke dalam gendongan."Mau langsung pulang, Nak?" tanya ibunya."Iya, Ma. Takutnya keburu magrib. Kasihan Aqila," sahut perempuan itu. Hanina meraih tas perlengkapan Aqila, tapi tangan ibunya lebih sigap. Dia mengiringi langkah Hanina sembari membawa tas itu menuju ke mobil."Mama akan senang sekali seandainya kamu menginap, Nak. Sejak melahirkan, kamu belum pernah menginap di sini. Nggak apa-apa, ajak Akmal juga. Rumah ini selalu sepi tanpa kamu," bujuk perempuan paruh baya itu."Salah Mama dan Papa karena hanya punya anak tunggal." Hanina mencebikkan bibirnya."Mau bagaimana lagi? Papa dan Mama sudah tua. Sudah tidak bisa lagi bikin adik buat kamu." Tawa Liani, nama perempuan baya yang melahirkan Hanina ini seketika pecah. Dia mencubit pipi putrinya yang juga terlihat memerah."Ada-ada saja Mama in
Bab 149"Selamat datang di rumah kita, istriku," bisik Akmal. "Terima kasih, Mas." Mata perempuan itu berkaca-kaca. Tanpa sadar ia menggenggam tangan prianya. Hanina merasa sangat terharu, tak menyangka jika dia masih diberi kesempatan untuk menginjakkan kaki di rumah yang pernah dijualnya ini.Hanina terpaksa menjual rumah ini karena kesulitan keuangan setelah perusahaan mereka bangkrut. Dia perlu modal untuk membangun usaha dan tempat tinggal baru, sementara hampir semua aset mereka sudah habis untuk membayar hutang. Masih untung papanya tidak masuk penjara, karena terlilit hutang. Mereka masih mampu memenuhi kewajibannya, meskipun harus menghabiskan hampir semua aset."Sama-sama, Sayang. Aku juga sangat bersyukur karena akhirnya kita bisa kembali menempati rumah ini. Beruntung orang yang memiliki rumah ini sebelumnya mau mengerti dan bersedia menjual kembali rumah ini kepada kita.""Ya. Kamu sudah berkali-kali cerita soal itu." Perempuan itu akhirnya sampai di sofa dan mendudukka
Bab 148Dua bulan kemudian.Akmal berjalan mondar-mandir di area depan Hanina Hotel. Dia memastikan semuanya bisa rampung tepat waktu, karena mulai besok hotel ini akan resmi beroperasi. Dengan letak cukup strategis yang sangat dekat dengan tempat wisata religi, menjadi jaminan jika Hanina Hotel akan segera kebanjiran tamu pengunjung.Pria itu tahu apa yang harus ia lakukan setelah memutuskan keluar dari grup Aston. Meski terasa berat, karena bagaimanapun Aston adalah tempatnya bernaung pertama kali, tapi Akmal memutuskan untuk mandiri. Dia ingin merasakan menjadi seorang pengusaha dalam artian yang sebenarnya, bukan hanya sekedar karyawan, meskipun posisi terakhirnya adalah karyawan nomor satu. Namun karyawan tetaplah karyawan.Setelah merasa cukup, Akmal dengan didampingi om Danu segera masuk kembali ke bangunan yang megah itu. Sembari berjalan menuju ruang pertemuan, dia terus menikmati pemandangan yang memanjakan matanya. Area dalam hotel ini sudah benar-benar selesai, dan interi
Bab 147Dia dan Akmal memang sudah punya cerita masing-masing dan tidak saling mencampuri urusan satu sama lain. Sungguh, Risty hanya sekedar menanyakan. Entah bagaimana penampakan pria itu sekarang. Tentunya lebih keren dibandingkan saat bersamanya dulu. Bersama dengan Hanina, Akmal memperoleh banyak pencapaian dalam hidup dan finansial. Perempuan itu memejamkan mata, lalu segera membuka matanya kembali saat merasakan tepukan lembut di bahunya."Ini bukan saat yang tepat untuk bernostalgia. Kita ke sini datang sebagai tamu, bukan sebagai mantan." Rio mengucapkan dengan cara berbisik, lantaran tak ingin Aqila mendengar ucapannya.Risty mengangguk. Akhirnya dia memilih untuk menggendong Aqila dan membawa balita cantik itu ke halaman rumah.Di halaman ada bangku dan ayunan. Risty membawa Aqila duduk di ayunan yang berbahan besi kuat itu."Aqila mau adik apa? Cowok atau cewek?" tanya Risty sembari menggerakkan batang besi penyangga ayunan, sehingga tempat duduknya sekarang bergerak-ger
Bab 146Rio berusaha mengabaikan pertanyaan sang istri dan memilih untuk berdiri. Dia mengajak Risty menuju ruang makan, meski sebenarnya dia tidak sedang mood. Ternyata semua makanan sudah terhidang rapi di meja makan. Pria itu tersenyum tipis, lalu menarik kursi dan duduk."Mari kita makan, Ris. Terima kasih sudah memasak.""Bukan aku, tapi si Bibik," balas Risty seraya mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dan lauk pauk, lalu menyerahkannya kepada Rio."Tapi kamu hebat, bisa belajar dalam waktu singkat. Aku senang melihat perubahan kamu. Kamu terlihat bersungguh-sungguh untuk membuat diri kamu menjadi lebih baik," pujinya tulus."Tapi tetap saja aku sudah punya cacat. Masa laluku bersama dengan mas Akmal sungguh buruk. Aku bahkan pernah menjadi wanita panggilan untuk menyambung hidup." Risty mengulas senyuman, meski sebenarnya ia masih menyimpan berbagai tanya di benaknya soal sikap Rio semenjak mereka pulang dari acara pernikahannya Dira dan Reza."Setiap manusia punya cac
Bab 145"Nggak usah didengerin ucapan Mama. Kalau memang kamu nggak siap melakukan hubungan suami istri, aku bisa menunggu kok. Santai aja," ujar Reza menenangkan Dira yang terlihat amat gelisah saat mereka dalam perjalanan pulang dari bandara untuk mengantar rombongan ibunya."Bukan soal itu. Aku hanya kepikiran soal kita kedepannya. Aku nggak menyangka kita bisa melangkah sejauh ini," keluh gadis itu."Tidak apa-apa. Memang sudah jalannya begitu, yang penting kamu bisa menjalaninya dengan baik.""Aku nggak yakin." Tatapan Dira nampak kosong, meski di sepanjang perjalanan, nampak gedung-gedung pencakar langit berdiri dengan angkuh, mengalahkan rumah-rumah petak di sekitarnya."Aku akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meyakinkan kamu. Yang penting kamu nggak menentang jalan yang sudah kita ambil. Ini hanya soal waktu, jadi kita kembalikan saja kepada waktu.""Kamu begitu yakin, Reza?""Tidak ada hal yang membuatku tidak yakin, karena kurasa yang ada dalam dirimu itu bukan cinta,
Bab 144Luka itu kembali terbuka. Dia tidak menyangka Rio dan Risty muncul, padahal gadis itu merasa tidak pernah mengundang kedua orang itu. Lalu siapa yang mengundangnya? Apakah Hanina?!"Kamu harus hadapi semuanya, Dira. Jangan menghindar terus, karena terapi yang paling baik buat kesembuhan hati kamu adalah bertemu dengan orang yang membuat hatimu sakit, walaupun mungkin di awal perih. Tapi percayalah, lukamu akan segera sembuh." Hanina berbisik, lalu dia segera undur dua langkah dan memberikan kesempatan kepada para undangan yang lain untuk bersalaman dengan Dira dan Reza.Lagi-lagi gadis itu mengangguk dan anggukan itu pula yang ia tunjukkan saat harus bersalaman dengan Rio dan Risty. Pria di samping Dira itu hanya tersenyum kecut manakala akhirnya bisa bertemu langsung dengan pria yang sangat dicintai oleh Dira.Tanpa sadar dia membandingkan antara ia dengan Rio. Dilihat dari postur tubuh, dia tidak kalah dengan Rio, sama-sama gagah dan tampan, meski tentu struktur wajah mereka
Bab 143Aroma bunga yang semerbak tercium dengan jelas dari bunga-bunga yang disebarkan ke seluruh penjuru ruangan ini. Ruangan tamu di rumahnya yang tidak terlalu luas kini disulap menjadi ruangan tempat akad nikah. Pagi ini Reza akan melafalkan akad nikah atas nama dirinya. Dira menghela nafas. Akhirnya dia menyerah. Dia bersedia menikah dengan Reza, meski tak ada sedikitpun rasa cintanya pada pria itu. Sebelumnya dia selalu berkhayal jika ia akan menikah satu kali seumur hidup dengan orang yang ia cintai, tapi kenapa semuanya menjadi begini? Seolah takdir memaksanya untuk menerima pria itu. Dia hanya menganggap Reza sebagai teman, malaikat penolongnya. Seandainya tidak ada Reza waktu itu, maka barangkali dia sudah rusak oleh kecerobohan yang dibuatnya sendiri.Klub malam bukanlah tempat yang baik untuk gadis perawan seperti dirinya."Sebentar lagi mempelai pria akan datang, Nak. Jangan cemberut terus," tegur ibunya yang saat itu sudah masuk ke dalam ruangan dan kini duduk di sis
Bab 142Hanina celingak-celinguk, sembari mengerjapkan matanya berulang kali. Bayangan yang sempat dilihatnya barusan kini telah lenyap, padahal dia merasa belum lima menit ia memalingkan wajah ke arah lain, tapi sosok yang ia kenali sebagai Reza dan Dira itu sudah lenyap dari pandangannya."Kenapa, Sayang?" Akmal yang tengah menggendong Aqila itu pun memasang tampang keheranan menyaksikan tingkah istrinya. Dia memang lebih fokus pada putrinya dan mengabaikan sekelilingnya."Aku seperti melihat Dira di sini, tapi ke mana ya? Barusan dia ada di situ," tunjuk Hanina pada sebuah bangku dan meja yang memang barusan digunakan oleh Dira dan Reza untuk duduk bersantai sembari menikmati udara dan pemandangan laut."Nggak ada tuh." Akmal menatap arah yang ditunjuk oleh istrinya. Hanya ada sepasang kursi dan meja yang di atasnya dua batok kelapa dan bungkus cemilan."Tapi aku seperti melihat mereka. Aku masih mengenali Dira dan...." Perempuan itu menyanggah."Kok bilang mereka? Memangnya kamu l
Bab 141Reza tertegun sejenak. Namun sedetik kemudian dia sudah bisa menguasai diri. "Tenanglah, aku nggak sakit kok. Kamu nggak perlu segitunya." Pria itu menarik tubuh Dira hingga akhirnya gadis itu kembali bangkit dan terduduk di ranjang.Keduanya kini duduk berhadapan dan lagi-lagi Reza menangkup kedua pipi gadis itu."Aku akan tanggung jawab. Sejak awal aku yang membawamu kemari, meskipun itu atas keinginanmu sendiri. Jika memang kedua orang tua kita mengira kita tinggal bersama atau melakukan hal yang tidak benar, aku akan berusaha meluruskannya. Kamu tenang aja." Reza meyakinkan."Bagaimana aku bisa tenang jika sudah seperti ini? Bagaimana kalau nanti kita dipaksa untuk menikah? Aku nggak mau kita terlibat dengan urusan pribadi. Lagi pula kita nggak ada hubungan apa-apa, masa iya dipaksakan gitu? Aku nggak mau tahu, kamu harus pastikan mereka bisa mengerti bahwa kita nggak ada hubungan apa-apa. Aku ke sini cuma untuk kerja," oceh Dira panjang lebar."Ya, tinggal nikah saja." P