Bab 3
Ajakan Untuk Berdamai "Maaf..." Suara lirih itu seketika membuyarkan lamunan Hanina. Dia menoleh ke belakang, bahkan memutar badannya tanpa sadar.Kini posisinya dengan Akmal menjadi berhadapan. Hanina menatap pria ini sekilas, kemudian kembali membuang pandangannya ke bawah, menatap taman yang gelap di bawah sana.
Pria ini kini sudah berpakaian lengkap. Dia berdiri dengan tangan bersedekap di dada.
"Mau apa lagi kamu kemari, Mas? Bukankah seharusnya kamu berada di kamar Risty? Apa masih belum puas menyakitiku?"
"Maaf atas rasa sakit yang kamu rasakan, tetapi sekarang ataupun nanti akan sama saja. Aku tahu kamu kaget, tapi Mas tidak mungkin terus berbohong. Kenyataannya memang begitu. Risty adalah istri pertama Mas yang selama ini Mas sembunyikan...." Akmal berusaha meralat.
"Itu karena malam ini topengmu terbuka, Mas. Jadi Mas akhirnya mengaku. Iya, kan?" sergah Hanina. Dia memundurkan tubuhnya hingga punggungnya kini membentur dinding. Lagi-lagi dia membuang pandangannya tatkala tak sengaja bersitatap dengan pria itu. Entah kenapa Hanina merasa muak. Dia bahkan menepis tangan Akmal yang mencoba meraihnya.
Namun Akmal terlihat tidak putus asa. Dia malah meraih kedua tangan Hanina, menariknya, sehingga akhirnya terpaksa duduk. Keduanya duduk bersila saling berhadapan di balkon ini.
"Sebaiknya kita berdamai saja, Nina. Mas janji akan bersikap adil dan Aqila akan kita rawat sama-sama. Kamu adalah wanita yang melahirkan Aqila, tetapi Risty pun juga memiliki hak atas Aqila karena dia...."
"Maaf Mas, aku tidak pernah merasa menyewakan rahim untuk kalian berdua. Kamu belum melupakan kata-kataku barusan, kan?" Hanina mengingatkan. Suaranya berubah menjadi dingin, datar.
Dia memaksakan diri untuk menatap dalam-dalam pria itu.
Wajah tampan yang senantiasa ia puja, sosok Akmal yang begitu ia cintai setengah mati, hingga tidak memperdulikan penolakan papanya atas diri Akmal. Hanina terus membujuk papanya, sampai akhirnya dengan berat hati sang papa merestui pernikahan mereka. Perjuangan yang tidak mudah. Hanina menyesal karena telah mengabaikan larangan sang papa.
Ternyata Akmal bukanlah pria yang tepat untuknya.
Penyesalan memang selalu datang terlambat dan Akmal sudah terlanjur menjadi suaminya. Bukan cuma sebagai suami, tetapi Akmal menjadi pemimpin perusahaan milik papa Hanina.
Sebagai anak tunggal, Hanina lah yang nantinya akan mewarisi perusahaan itu. Papa Hanina menyerahkan mandat perusahaan kepada Akmal setelah Aqila lahir. Hanina pun menyetujui, karena ia ingin menjadi ibu rumah tangga saja, mengurus suami dan anak-anak. Pikiran yang sangat mulia waktu itu, yang sayangnya dibalas Akmal dengan keburukan.
Rumah tangga mereka dibangun atas dasar kebohongan.
Apa sebegitu berartinya sosok anak bagi seorang Akmal, sehingga dia rela menikah lagi dan bahkan istri pertamanya sendiri pun merelakan suaminya untuk menikah lagi hanya demi seorang anak?
"Apa Mas pikir aku mau percaya? Dari awal saja Mas sudah membohongiku, dan kupikir malam ini hanya awal." Hanina menggigit bibirnya. Akan tetapi dia tidak lagi menolak saat Akmal kembali meraih tangannya.
"Mas benar-benar minta maaf, tetapi Mas mohon sebaiknya kita segera berdamai. Jujur Mas nggak bisa memilih salah satu di antara kalian."
"Seandainya kita belum punya Aqila, maka aku yang akan mengalah, Mas. Meskipun sakit, tetapi setidaknya aku bisa menunjukkan kepada dunia, jika aku bukan perebut suami orang." Hanina menimpali.
Suara tangisan bayi yang terdengar membuat Hanina seketika bangkit tanpa mempedulikan tanggapan Akmal. Namun Akmal pun ternyata menyusul. Hanina masuk ke dalam kamar pribadi mereka. Ternyata benar, Aqila memang kembali terbangun. Hanina lantas menggendong Aqila dan membawanya ke sofa di sudut ruangan.
"Kita bisa...."
"Sudahlah, Mas. Hentikan bicaramu. Aqila sedang menyusu dan suasana harus tenang. Aku tidak mau dia rewel lantaran mendengar suara Mas yang terus mengoceh," potong Hanina tanpa mengalihkan tatapannya pada Aqila yang nampak asyik menyusu.
Akhirnya pria itu diam. Dia mengamati anak dan istrinya, interaksi yang sungguh membuatnya terasa sangat terharu. Hanina memang ibu kandung Aqila, wanita yang telah mengandung dan melahirkan Aqila. Bagaimanapun Risty mengakui Aqila sebagai anaknya, tetap saja hak asuh akan dimenangkan oleh Hanina. Akmal tidak mungkin bisa memungkiri semua itu.
Akmal sangat mencintai istri pertamanya dan dia tidak mungkin melepaskan Risty begitu saja. Justru pernikahan dengan Hanina merupakan bagian dari rencananya untuk memberikan anak kepada Risty.
Rahim Risty bermasalah dan ia divonis mandul. Nyaris tidak ada harapan bagi Risty untuk memiliki anak, kecuali ya, mungkin bayi tabung. Itu pun prosesnya bisa saja gagal. Proses bayi tabung pun memerlukan biaya yang sangat besar. Jalan satu-satunya adalah menikahi seorang wanita dan keberuntungan berpihak kepada Akmal. Dia mendapatkan hati seorang gadis cantik, putri tunggal seorang pengusaha bernama Hanina.
"Kamu mau apa, Nina?" Akmal tersentak dari lamunannya saat melihat istrinya melangkah memasuki walk in closet setelah perempuan itu merebahkan kembali Aqila yang tertidur di box bayi.
"Membereskan barang-barang kamu, Mas. Aku rasa lebih baik kamu tinggal di kamar Risty, sampai kamu punya keputusan. Jika memang kamu memilih Risty, silahkan pergi dari rumahku."
Namun sebelum Hanina membuka pintu lemari, tangan Akmal lebih dulu menangkap tubuh perempuan itu dan membawanya keluar dari area penyimpanan pakaian.
"Kamu mengusirku?!" desis Akmal. Dan dengan gerakan cepat dia membuat Hanina terlentang di pembaringan.
"Setidaknya aku melakukan hal yang benar, karena aku tidak mau suamiku memiliki istri yang lain. Jadi jika kamu memang berat untuk melepaskan Risty, aku yang akan mengalah dan Aqila ikut denganku. Aku rasa semua itu sudah jelas. Kamu boleh saja punya keputusan, tapi aku pun juga punya keputusan." Wanita itu menggeliat. Dia bermaksud berontak, tetapi niat itu akhirnya ia urungkan. Dia tidak mau bertengkar di kamar ini yang membuat Aqila bisa saja terbangun oleh keributan yang mungkin mereka ciptakan nantinya.
Hanina membiarkan Akmal mendekapnya, meski matanya sulit untuk ia pejamkan, lantaran telinganya terus mendengar suara Akmal yang membujuknya agar mau berdampingan dengan Risty.
Tidak!
Dia tidak sudi.
Hanina memang istri kedua, tapi ia bukan perebut suami orang.
Hanina tidak akan pernah mau mengalah. Seandainya dulu ia tahu jika Akmal sudah memiliki istri, tidak mungkin ia menerima pria itu. Namun yang terjadi adalah, Akmal mengakui dirinya masih bujangan saat melamar dirinya.
Sampai pagi menjelang, Hanina tetap tidak bisa memejamkan mata. Justru Akmal yang tertidur di sampingnya. Wajah itu nampak begitu damai. Padahal tadi malam pria itu sudah menorehkan luka yang cukup dalam di hati Hanina.
Hanina menyingkirkan tangan besar pria itu dari tubuhnya, lalu beringsut pelan hingga akhirnya sampai di tepi pembaringan. Hanina bangkit dan berjalan perlahan menuju kamar mandi.
Setelah mencuci wajah dan buang air kecil, Hanina keluar dari kamar mandi, terus berjalan menuju pintu kamarnya. Mumpung Aqila masih tidur, Hanina memutuskan untuk segera sarapan.
Meskipun sebenarnya ia tidak berselera makan, tetapi untuk berpikir dan mengambil keputusan dengan hati yang jernih, Hanina butuh nutrisi. Dia pun tak mau tumbang, apalagi ia memberikan ASI eksklusif untuk bayinya.
Pintu kamar Risty masih tertutup rapat saat ia melewati kamar itu dalam perjalanannya menuju dapur. Hanina tersenyum sinis. Mungkin Risty masih tidur, kecapean setelah melayani Akmal bergulat hampir sepanjang malam, kecuali dini hari itu saat Akmal menyusulnya ke balkon.
Setelah melihat bahan-bahan yang ada di kulkas, Hanina memutuskan untuk membuat sandwich telur mayones. Setelah sandwich-nya jadi, dia melengkapinya dengan segelas susu ibu menyusui. Hanina kembali ke kamarnya dengan membawa sebuah nampan.
"Harum sekali..." Ternyata pria itu sudah bangun saat Hanina kembali ke kamar ini.
"Ya," sahut Hanina pendek. Dia mulai menyeruput susunya. Cairan hangat itu mulai mengaliri tenggorokannya yang terasa sangat kering lantaran tadi malam batal minum.
Hanina menatap ke salah satu sudut ruang. Ternyata sudah ada sekardus air mineral yang segel kardusnya belum terbuka. Rupanya Akmal menyadari jika persediaan air mineral di dalam kamar mereka sudah habis dan entah kapan Akmal membawanya ke kamar ini.
Sembari menguap beberapa kali, Akmal beranjak menuju sofa tempat Hanina duduk.
"Kok sandwich-nya cuma satu. Sarapan buat aku mana?" tanya pria itu seolah tanpa dosa. Otaknya hanya mengingat kebiasaan Hanina yang selalu menyiapkan sarapan pagi untuknya. Keduanya bahkan seringkali sarapan berdua di kamar ini.
"Kamu mau sarapan?" Ditatapnya sejenak sang suami yang kini malah sudah duduk di sampingnya.
Pria itu mengangguk.
"Aku rasa tugas yang kamu bebankan untukku sudah selesai. Bukankah aku sudah melahirkan anakmu?" Wanita itu berujar sinis dan menjauhkan nampan saat tangan Akmal mencoba meraih potongan sandwich yang sudah ia buat.
"Kalau kamu ingin sarapan, silahkan minta buatkan sama istri pertamamu. Bukankah aku hanya diperlukan rahimnya untuk melahirkan anakmu?! Sementara tugas-tugas yang lain, biarlah dilimpahkan kepada istri pertamamu. Bukankah seharusnya begitu yang lebih adil?"
Bab 4Jangan Bawa Anakku!"Kalau kamu ingin sarapan, silahkan minta buatkan sama istri pertamamu. Bukankah aku hanya diperlukan rahimnya untuk melahirkan anakmu?! Sementara tugas-tugas yang lain, biarlah dilimpahkan kepada istri pertamamu. Bukankah seharusnya begitu yang lebih adil?""Lancang mulutmu! Seperti tidak pernah diajari bagaimana caranya menjadi istri yang baik!" Tanpa sadar Akmal mencengkeram lengan istrinya. Sebelah tangannya yang lain meraih nampan dan tanpa bisa dicegah lagi, Akmal menjatuhkan nampan itu ke lantai.Cairan susu tumpah kemana-mana, berceceran membasahi karpet yang terhampar. Untung saja lantai dialasi oleh karpet, sehingga gelas dan piring yang terbuat dari kaca itu tidak pecah. Hanina menatap menu sarapannya yang akhirnya menjadi sia-sia."Seharusnya kamu lah yang perlu diajari bagaimana caranya menjadi suami yang baik. Kamu pikir keputusanmu untuk membohongiku lalu menjadikanku sebagai istri kedua itu adalah benar?!" balas Hanina. Dia mendorong tubuh sa
Bab 5"Bertanyalah kepada istri pertamamu, Mas. Jangan bertanya padaku," sarkas Hanina seraya menepis tangan Akmal yang mencoba meraih bayinya. "Kamu nggak perlu peduli sama Aqila. Sana pergi. Kamu akan terlambat ke kantor jika harus menangani Aqila.""Tapi dia tengah menangis." Akmal menggeletakkan tasnya begitu saja di lantai, lalu mencoba meraih dan menggendong putri kecilnya. Anehnya, bayi itu langsung tenang setelah pundaknya ditepuk-tepuk oleh Akmal. Ini sungguh ajaib. Seketika Hanina menghela nafas dan dalam sekejap dadanya terasa kembali normal. "Segeralah kamu ke kantor, Mas. Jangan sampai Papa marah karena kamu terlambat pagi ini. Hari ini bukannya jadwal pertemuan bulanan dengan dewan komisaris?" Hanina mengingatkan seraya mengambil kembali Aqila yang sudah tenang dari gendongan suaminya."Ya baiklah. Kalau begitu aku berangkat." Pria itu berbalik tanpa menoleh lagi. Bersamaan dengan itu, asisten rumah tangganya yang bernama Wati itu datang. Perempuan berumur 45 tahun it
Bab 6 Bukannya tadi pagi Risty sangat menginginkan untuk menimang Aqila dan Akmal harus rela mengalah, menahan egonya yang ingin membela kepentingan istri pertamanya, demi menjaga ketentraman di rumah ini? Namun sekarang Akmal tidak akan mau mengalah lagi, karena ternyata Hanina mulai menggunakan kekuasaan yang dimilikinya.Aqila adalah kelemahan Hanina dan sudah saatnya Akmal melanjutkan rencananya, karena baginya negosiasi dengan Hanina sudah menemukan jalan buntu.Hanina tetap memaksa Akmal untuk memilih antara dirinya dan Risty.Hanina pun sudah terlanjur tahu jika ia memiliki istri yang lain. Akmal tidak pernah berpikir jika Hanina akan berbuat sejauh itu, tapi nasi sudah menjadi bubur. Seandainya dia tidak keceplosan malam itu, mungkin Hanina masih bisa diajak kompromi. Namun nalurinya sebagai seorang suami tidak rela jika Hanina menganggap Risty sebagai selingkuhannya. Setidaknya dia lebih dulu hidup bersama dengan Risty ketimbang dengan Hanina. Akmal selalu mensugesti diri
Bab 7"Setidaknya Hanina tidak perlu tahu jika aku punya istri yang lain dan dia hanya dijadikan sebagai istri kedua. Kau tahu apa arti istri kedua bagi sebagian orang, bukan?" Akmal mendengus, lalu memilih berbalik. Tidak ada gunanya ia marah-marah, toh tetap saja ia harus memikirkan cara supaya jabatan itu kembali kepada dirinya. Dia tidak mau menjadi pengangguran. Mencari pekerjaan lain di situasi sekarang ini bukan hal yang mudah. Dulu pun dia hanya bekerja sebagai seorang staf dan gaji yang diterimanya tidak seberapa, sementara dia harus membiayai Risty, juga ibunya. Jika yang menjadi istrinya hanya Hanina, tentu tidak masalah, karena tanpa ia biayai sekalipun, Hanina sudah kaya, bahkan apa yang ia miliki sekarang ini sebenarnya juga milik Hanina, hanya saja Risty yang terlalu pongah ataupun percaya diri dan menganggap jika Akmal sudah memiliki segalanya.Hal yang tidak dipahami oleh sebagian orang, jika sebenarnya seorang pimpinan perusahaan itu bisa saja di depak, karena bag
Bab 8"Kamu mau bikin usaha apa, Mal? Kalau memang prospeknya bagus, Papa pasti dukung kok. Nanti kamu bikin proposal, biar Papa yang jadi investor pertama kamu," tawar pria setengah tua itu antusias.Hanina memutar bola matanya malas, tak mau menanggapi ucapan sang papa. Dia menyerahkan Aqila kepada ibunya, kemudian segera menggamit lengan pria muda yang kini tengah duduk berhadapan dengan papanya itu."Aduh, Pa, soal itu nanti saja dibahasnya ya. Bakalan panjang pembicaraan. Aku mau buru-buru ke kantor nih. Mas Akmal udah janji mau nganterin," sergah perempuan itu. Mukanya sengaja dibuat cemberut, yang di tanggapi Darmawan dengan tawanya yang lebar."Kamu itu, Nak. Ada-ada saja." Pria itu bangkit, lalu menepuk bahu menantunya. "Kalau kamu butuh sharing sama Papa, Papa selalu bersedia kapanpun. Jangan sungkan sama papa ya, Nak. Kamu sudah nunjukin di hadapan Papa, jika kamu punya kemampuan yang bagus.""Terima kasih, Pa. Nanti kita bahas lagi soal itu. Sekarang aku mau mengantar Han
Bab 9Hanina sengaja pulang dengan dijemput oleh sopir papanya karena dia akan menjemput Aqila terlebih dulu. Bayi lucu itu nampak berbinar-binar saat mendapati Hanina datang dan membawanya ke dalam gendongan."Mau langsung pulang, Nak?" tanya ibunya."Iya, Ma. Takutnya keburu magrib. Kasihan Aqila," sahut perempuan itu. Hanina meraih tas perlengkapan Aqila, tapi tangan ibunya lebih sigap. Dia mengiringi langkah Hanina sembari membawa tas itu menuju ke mobil."Mama akan senang sekali seandainya kamu menginap, Nak. Sejak melahirkan, kamu belum pernah menginap di sini. Nggak apa-apa, ajak Akmal juga. Rumah ini selalu sepi tanpa kamu," bujuk perempuan paruh baya itu."Salah Mama dan Papa karena hanya punya anak tunggal." Hanina mencebikkan bibirnya."Mau bagaimana lagi? Papa dan Mama sudah tua. Sudah tidak bisa lagi bikin adik buat kamu." Tawa Liani, nama perempuan baya yang melahirkan Hanina ini seketika pecah. Dia mencubit pipi putrinya yang juga terlihat memerah."Ada-ada saja Mama in
Bab 10"Aku nggak sanggup, Mas. Aku nggak sanggup berbagi." Hanina menutup wajahnya yang basah dengan kedua belah telapak tangannya, Namun Akmal segera menarik tangan itu, lalu menghujani perempuan itu dengan kecupan yang bertubi-tubi."Tapi aku nggak bisa menceraikan kamu jika Aqila harus ikut denganmu. Aqila itu impianku, cita-citaku sejak lama. Kau tahu arti keturunan bagi seorang lelaki, bukan?""Aku tahu, Mas, tapi aku juga nggak bisa egois. Aku nggak mungkin menyingkirkan istri pertama kamu, karena kamu masih mencintainya. Aku nggak mau menyiksa dua orang yang saling mencintai, meskipun aku juga mencintai kamu. Aku nggak bisa hidup berdampingan dengan istri kamu yang lain, Mas." Hanina menggeleng.Dia memandang wajah itu, dan menemukan wajah dan sorot mata Akmal sudah berubah kembali seperti saat ia pertama kali bertemu dengan pria ini. Hanina mendesah berat. Rasanya sulit membedakan mana Akmal yang asli dan mana yang bukan alias akting. Sikapnya seringkali berubah semenjak kej
Bab 11"Mas, kamu nggak bisa begitu dong. Memangnya kamu mau membuat aku kelaparan?!" Risty mengabaikan makan malamnya, dan berlari menyusul Akmal yang sudah berada di depan tangga. Pria itu tampak menaiki anak-anak tangga dengan cepat untuk segera sampai di lantai atas."Mas, tunggu! Kamu mau ke mana sih?""Kamu nggak lihat apa yang aku bawa?" Pria itu menatap mata istri pertamanya. Dadanya turun naik menahan kesal yang teramat sangat. "Kenapa piringnya ada dua? Masa iya makan malam Hanina sebanyak itu?" Mata Risty seketika menyipit. Dia baru menyadari, ternyata di dalam nampan itu ada dua buah piring dan dua buah gelas berisi penuh makanan dan minuman."Kami akan malam bersama, dan kamu makan sendiri saja di ruang makan, oke?" Akmal melanjutkan langkah tanpa menghiraukan istrinya yang terus saja berjalan mengiringinya, sampai akhirnya mereka tiba di depan pintu kamar Hanina."Apa? Mas mau makan malam sama Hanina? Kamu mengabaikanku, Mas!" Risty tersentak. Sepasang matanya membulat s