Bab 6
Bukannya tadi pagi Risty sangat menginginkan untuk menimang Aqila dan Akmal harus rela mengalah, menahan egonya yang ingin membela kepentingan istri pertamanya, demi menjaga ketentraman di rumah ini?Namun sekarang Akmal tidak akan mau mengalah lagi, karena ternyata Hanina mulai menggunakan kekuasaan yang dimilikinya.
Aqila adalah kelemahan Hanina dan sudah saatnya Akmal melanjutkan rencananya, karena baginya negosiasi dengan Hanina sudah menemukan jalan buntu.
Hanina tetap memaksa Akmal untuk memilih antara dirinya dan Risty.
Hanina pun sudah terlanjur tahu jika ia memiliki istri yang lain.
Akmal tidak pernah berpikir jika Hanina akan berbuat sejauh itu, tapi nasi sudah menjadi bubur. Seandainya dia tidak keceplosan malam itu, mungkin Hanina masih bisa diajak kompromi.
Namun nalurinya sebagai seorang suami tidak rela jika Hanina menganggap Risty sebagai selingkuhannya. Setidaknya dia lebih dulu hidup bersama dengan Risty ketimbang dengan Hanina.
Akmal selalu mensugesti dirinya jika Hanina hanya alat untuk mencapai keinginannya. Dia menikahi Hanina lantaran kepentingan anak dan ekonomi.
Hidup bersama dengan Risty tidak memiliki kemajuan. Bukan cuma tidak memiliki anak, tetapi juga keadaan ekonomi mereka tidak terlalu baik. Akmal meraih pencapaian setelah ia menikah dengan Hanina. Bisa tinggal di rumah mewah dengan fasilitas dari papa mertuanya, bahkan papa mertuanya mempercayai perusahaan di bawah kepemimpinannya. Itu sebenarnya sudah merupakan hal yang wah bagi Akmal yang dulunya hanya bekerja sebagai karyawan biasa.
"Mas, kembalikan Aqila. Aku mohon!" teriak Hanina yang rupanya tetap menyusul Akmal, hingga pria itu akhirnya sampai di depan pintu kamar Risty.
"Aku sudah berulang kali mengatakan jika kamu harus berbagi dengan Risty. Aku sudah berbaik hati membiarkan kamu tetap mengasuh Aqila, tetapi bagaimanapun, Risty harus diberi kesempatan untuk menimang Aqila, karena dia merindukan hadirnya seorang anak. Kamu pahami itu dong! Jangan egois!" Laki-laki itu menggeram sembari mendorong pintu dengan kakinya. Pintu yang tidak terkunci itu langsung terbuka.
Risty dengan wajah berbinar langsung menerima Aqila dari Akmal.
Namun Hanina justru mundur selangkah. Dia berdiri dengan tangan bersedekap menatap Akmal dan Risty bergantian.
"Apa perlu aku panggil petugas keamanan untuk mengusir kalian dari rumah ini? Ingat Mas, kamu sudah nggak punya apa-apa lagi!"
"Panggil saja kalau berani, dan Aqila akan ikut denganku bersama Risty!" balas Akmal. Dia malah berdiri di depan Risty, waspada jika seandainya wanita itu ingin mengambil kembali bayinya.
"Kamu berani memisahkan seorang ibu dari anaknya?! Naif sekali pikiranmu, Mas!"
"Dan kamu sudah berani memisahkan seorang laki-laki dari pekerjaannya! Kurasa itu cukup adil, bukan?" Bibir pria itu menyeringai.
"Memisahkan seorang lelaki dari pekerjaannya?" ulang Risty. Dia melangkah ke samping, kemudian maju ke depan, hingga kini posisi Akmal dan Risty berdampingan.
"Ada apa ini? Kenapa kalian bertengkar di kamarku, dan Mas Akmal menyerahkan Aqila padaku?!"
Risty keheranan, meskipun dia merasa senang lantaran bisa menggendong Aqila lagi setelah selama beberapa hari tidak bisa menyentuh bayi itu.
Dia sungguh-sungguh menyayangi Aqila seperti anaknya sendiri. Baginya Aqila tetaplah anaknya, walaupun Aqila lahir dari rahim wanita lain yang menjadi madunya. Sebagai seorang wanita dan istri, tetap saja Risty merasakan sakit hati, meskipun pernikahan Akmal dan Hanina berada dalam pengetahuannya. Namun melihat Akmal begitu memanjakan Hanina, meskipun dia tahu itu hanya akting, tetap saja hati perempuan itu terbakar cemburu. Risty mendesak Akmal untuk pindah ke rumah Hanina agar ia bisa segera menimang bayinya.
Lalu dibuatlah skenario itu, seolah-olah Risty melamar pekerjaan sebagai baby sister dan itu atas rekomendasi Akmal. Hanina yang polos menerima Risty tanpa mengetahui siapa sebenarnya perempuan itu. Setelah tinggal dalam satu atap, Risty mulai menjalankan rencananya. Dia menagih janji Akmal agar berlaku adil. Setiap malam, Akmal ke kamarnya dan mereka bercinta.
Seminggu berlalu, dan semuanya aman, kecuali malam itu, saat Hanina memergoki mereka berdua tengah berada dalam satu kamar.
Namun Risty yang merasa posisinya cukup kuat, karena sudah berhasil tinggal di rumah mewah itu, langsung saja mengatakan hal yang sebenarnya. Dan itu rupanya diamini oleh Akmal.
"Iya, Risty. Asal kamu tahu, perusahaan itu adalah milik papaku dan Mas Akmal, walaupun ia adalah pimpinan perusahaan, tetap saja adalah karyawan, lebih tepatnya karyawan nomor satu. Aku dan Papa bisa mendepaknya kapan saja. Dan mulai lusa, aku akan kembali masuk kantor dan menduduki jabatan yang selama ini dipegang oleh Mas Akmal," jelas Hanina tanpa mengalihkan tatapannya pada Risty. Dia akan mencari cara supaya Aqila kembali ke dalam gendongannya.
"Apa? Kamu didepak dari perusahaan, Mas?" Teriakan wanita itu membahana dan mengejutkan Aqila. Bayi itu pun kembali menangis. Tanpa sadar tangan Risty melayang, menampar suaminya. Rengkuhan sebelah tangannya pada Aqila pun mengendur, dan itu dimanfaatkan oleh Hanina untuk mengambil kembali bayinya dari Risty.
Setelah berhasil mendapatkan kembali Aqila, Hanina segera berlalu dari kamar itu, dan membiarkan Akmal dan Risty bertengkar. Tentu saja dia tidak sudi melihat pemandangan itu, walaupun ia merasa jika keduanya sudah masuk ke dalam perangkapnya
"Pasti akan menjadi tontonan yang menarik, tetapi aku tidak peduli. Aqila harus segera ditenangkan," gumam Hanina seraya mengusap kepala putrinya. Kini ia tengah menaiki anak tangga untuk kembali ke kamarnya.
"Kaget ya, Sayang? Maaf ya, suara tante Risty memang kayak gitu." Wanita itu menciumi putrinya saat mereka sudah berada di kamar. Hanina sengaja mengunci pintu agar Akmal tidak bisa masuk lagi ke kamar ini.
*** "Ini gara-gara kamu. Andai kamu bersabar sedikit lagi, tentu kejadian ini tidak akan pernah terjadi. Andai saja aku bisa menjadi salah satu pemegang saham di perusahaan, Hanina dan papanya tidak akan mudah mendepakku. Sekarang apa yang terjadi, hah?!""Kamu sih ngeyel, sok-sokan ingin segera bertemu dengan Aqila, jadi begini nih." Kemarahan Akmal sampai ke puncak. Dia bahkan sempat mendaratkan tamparan pada wanita itu, hingga membuat tubuh istri pertamanya itu terhuyung, lalu akhirnya jatuh ke atas ranjang.
"Kok aku yang disalahin?! Seharusnya Hanina yang salah! Bukannya ia yang sudah membuat kamu kehilangan jabatanmu di perusahaan?" Risty meringis. Meski tubuhnya jatuh ke ranjang, tetap saja pipinya terasa perih.
Nyaris tak percaya, laki-laki yang bergelar suaminya itu berani menamparnya. Selama ini, walaupun Akmal menikah lagi, dia tidak pernah diperlakukan kasar, bahkan sepanjang pernikahannya dengan Hanina, Akmal masih mengunjunginya di rumah kontrakan, walaupun tidak bisa setiap hari dan hanya beberapa jam saja di sela-sela waktu kerja laki-laki itu.
"Memang kamu yang salah! Seandainya kamu tidak memaksa mengakui jika kamu istri pertamaku, Hanina pasti nggak akan semarah itu. Paling-paling ia menganggap kamu sebagai selingkuhanku, dan aku bisa lebih mudah menangani Hanina. Tinggal bilang khilaf, dan tak akan mengulangi kembali, selesai urusan. Kalau kejadiannya begini...."
"Kamu pikir membujuk perempuan yang merasa dikhianati itu soal mudah?" sergah Risty cepat. Dia tentu tak mau disalahkan, lagi pula ia merasa usahanya selama ini sudah cukup.
Membiarkan suaminya menikah lagi dengan perempuan lain bukan urusan mudah baginya. Andai saja Hanina bukan orang kaya dan memiliki potensi bisa memberikan anak untuk Akmal, dia tentu tidak akan sudi berbagi suami.
Bab 7"Setidaknya Hanina tidak perlu tahu jika aku punya istri yang lain dan dia hanya dijadikan sebagai istri kedua. Kau tahu apa arti istri kedua bagi sebagian orang, bukan?" Akmal mendengus, lalu memilih berbalik. Tidak ada gunanya ia marah-marah, toh tetap saja ia harus memikirkan cara supaya jabatan itu kembali kepada dirinya. Dia tidak mau menjadi pengangguran. Mencari pekerjaan lain di situasi sekarang ini bukan hal yang mudah. Dulu pun dia hanya bekerja sebagai seorang staf dan gaji yang diterimanya tidak seberapa, sementara dia harus membiayai Risty, juga ibunya. Jika yang menjadi istrinya hanya Hanina, tentu tidak masalah, karena tanpa ia biayai sekalipun, Hanina sudah kaya, bahkan apa yang ia miliki sekarang ini sebenarnya juga milik Hanina, hanya saja Risty yang terlalu pongah ataupun percaya diri dan menganggap jika Akmal sudah memiliki segalanya.Hal yang tidak dipahami oleh sebagian orang, jika sebenarnya seorang pimpinan perusahaan itu bisa saja di depak, karena bag
Bab 8"Kamu mau bikin usaha apa, Mal? Kalau memang prospeknya bagus, Papa pasti dukung kok. Nanti kamu bikin proposal, biar Papa yang jadi investor pertama kamu," tawar pria setengah tua itu antusias.Hanina memutar bola matanya malas, tak mau menanggapi ucapan sang papa. Dia menyerahkan Aqila kepada ibunya, kemudian segera menggamit lengan pria muda yang kini tengah duduk berhadapan dengan papanya itu."Aduh, Pa, soal itu nanti saja dibahasnya ya. Bakalan panjang pembicaraan. Aku mau buru-buru ke kantor nih. Mas Akmal udah janji mau nganterin," sergah perempuan itu. Mukanya sengaja dibuat cemberut, yang di tanggapi Darmawan dengan tawanya yang lebar."Kamu itu, Nak. Ada-ada saja." Pria itu bangkit, lalu menepuk bahu menantunya. "Kalau kamu butuh sharing sama Papa, Papa selalu bersedia kapanpun. Jangan sungkan sama papa ya, Nak. Kamu sudah nunjukin di hadapan Papa, jika kamu punya kemampuan yang bagus.""Terima kasih, Pa. Nanti kita bahas lagi soal itu. Sekarang aku mau mengantar Han
Bab 9Hanina sengaja pulang dengan dijemput oleh sopir papanya karena dia akan menjemput Aqila terlebih dulu. Bayi lucu itu nampak berbinar-binar saat mendapati Hanina datang dan membawanya ke dalam gendongan."Mau langsung pulang, Nak?" tanya ibunya."Iya, Ma. Takutnya keburu magrib. Kasihan Aqila," sahut perempuan itu. Hanina meraih tas perlengkapan Aqila, tapi tangan ibunya lebih sigap. Dia mengiringi langkah Hanina sembari membawa tas itu menuju ke mobil."Mama akan senang sekali seandainya kamu menginap, Nak. Sejak melahirkan, kamu belum pernah menginap di sini. Nggak apa-apa, ajak Akmal juga. Rumah ini selalu sepi tanpa kamu," bujuk perempuan paruh baya itu."Salah Mama dan Papa karena hanya punya anak tunggal." Hanina mencebikkan bibirnya."Mau bagaimana lagi? Papa dan Mama sudah tua. Sudah tidak bisa lagi bikin adik buat kamu." Tawa Liani, nama perempuan baya yang melahirkan Hanina ini seketika pecah. Dia mencubit pipi putrinya yang juga terlihat memerah."Ada-ada saja Mama in
Bab 10"Aku nggak sanggup, Mas. Aku nggak sanggup berbagi." Hanina menutup wajahnya yang basah dengan kedua belah telapak tangannya, Namun Akmal segera menarik tangan itu, lalu menghujani perempuan itu dengan kecupan yang bertubi-tubi."Tapi aku nggak bisa menceraikan kamu jika Aqila harus ikut denganmu. Aqila itu impianku, cita-citaku sejak lama. Kau tahu arti keturunan bagi seorang lelaki, bukan?""Aku tahu, Mas, tapi aku juga nggak bisa egois. Aku nggak mungkin menyingkirkan istri pertama kamu, karena kamu masih mencintainya. Aku nggak mau menyiksa dua orang yang saling mencintai, meskipun aku juga mencintai kamu. Aku nggak bisa hidup berdampingan dengan istri kamu yang lain, Mas." Hanina menggeleng.Dia memandang wajah itu, dan menemukan wajah dan sorot mata Akmal sudah berubah kembali seperti saat ia pertama kali bertemu dengan pria ini. Hanina mendesah berat. Rasanya sulit membedakan mana Akmal yang asli dan mana yang bukan alias akting. Sikapnya seringkali berubah semenjak kej
Bab 11"Mas, kamu nggak bisa begitu dong. Memangnya kamu mau membuat aku kelaparan?!" Risty mengabaikan makan malamnya, dan berlari menyusul Akmal yang sudah berada di depan tangga. Pria itu tampak menaiki anak-anak tangga dengan cepat untuk segera sampai di lantai atas."Mas, tunggu! Kamu mau ke mana sih?""Kamu nggak lihat apa yang aku bawa?" Pria itu menatap mata istri pertamanya. Dadanya turun naik menahan kesal yang teramat sangat. "Kenapa piringnya ada dua? Masa iya makan malam Hanina sebanyak itu?" Mata Risty seketika menyipit. Dia baru menyadari, ternyata di dalam nampan itu ada dua buah piring dan dua buah gelas berisi penuh makanan dan minuman."Kami akan malam bersama, dan kamu makan sendiri saja di ruang makan, oke?" Akmal melanjutkan langkah tanpa menghiraukan istrinya yang terus saja berjalan mengiringinya, sampai akhirnya mereka tiba di depan pintu kamar Hanina."Apa? Mas mau makan malam sama Hanina? Kamu mengabaikanku, Mas!" Risty tersentak. Sepasang matanya membulat s
Bab 12"Malam ini aku yang akan menemanimu tidur disini.""Aku nggak bisa mengabulkan permintaanmu loh, Mas. Jadi nggak ada gunanya kamu menemaniku di sini. Lebih baik kamu tidur di kamarmu atau di kamar Risty, lagian bukannya dia tadi ngambek? Bujuk saja dia dulu," ujar Hanina datar. Perempuan itu bangkit dan meraih Aqila yang rupanya terbangun lagi, kemudian segera menyusui bayinya.Hanina setengah berbaring sembari menyusui bayinya. Perempuan itu nampak begitu menikmati perannya sebagai seorang ibu. Menyaksikan pemandangan itu, entah kenapa hati Akmal merasa trenyuh.Hanina benar. Dia tidak sedang menyewakan rahimnya kepada siapapun. Diantara mereka tidak ada kesepakatan soal itu. Akmal menikahi Hanina dan Hanina melahirkan anaknya. Posisi Hanina bukan sekedar seorang wanita yang membuat anaknya terlahir ke dunia ini seperti yang ia sugestikan selama ini kepada dirinya sendiri.Dia menikahi Hanina, dan menggaulinya secara sah. Aqila mutlak buah hati mereka, bukan anaknya bersama de
Bab 13Hanina tidak menanggapi ucapan ibunya, tetapi malah bangkit sembari menggendong bayinya. Dia berjalan menuju kamarnya sendiri, kamar yang sudah ditempatinya saat masih gadis dulu. Kebetulan letaknya di lantai dasar, sehingga Hanina tidak perlu naik tangga. Kamar ini masih saja seperti yang dulu. Ruangan yang dicat merah muda khas anak perempuan, yang pernah menjadi saksi dirinya tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik dan cerdas. Hanina menyelesaikan S2 nya, kemudian bekerja di perusahaan papanya sendiri, lalu bertemu dengan Akmal dan akhirnya menikah. Hanina merasa hidupnya sempurna, sebelum akhirnya peristiwa malam itu membuka rahasia besar kebusukan suaminya sendiri."Kamu belum jawab pertanyaan Mama, Nak." Ternyata Liani menyusul dengan membawakan dua tas itu."Apanya yang harus kujawab, Ma? Aku tidak punya masalah dengan Mas Akmal. Hanya saja malam ini aku sedikit lelah, jadi aku menginap di sini saja ya." pinta Hanina sekalian. Dia merebahkan Aqila di pembaringannya yang
Bab 14 "Kamu dari mana saja seharian, Mas?" Hanina menguap beberapa kali. Dia sebenarnya sangat mengantuk dan ingin segera tidur. Namun tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka yang memunculkan sosok Akmal.Pria itu berjalan mendekat, selangkah demi selangkah dan akhirnya sampai di tepi tempat tidur."Aku dari cafe, Nin," jawab Akmal jujur."Dari cafenya Mas Ricky?" Hanina langsung teringat pertemuan pertamanya dengan Akmal saat pria itu masih bekerja di cafe milik sahabatnya."Kamu masih ingat dengan sahabatku itu, Nin?" Pria itu duduk di sisi istrinya. Tangannya terulur memainkan ujung helaian hitam milik istrinya yang tergerai sepundak."Aku sudah lama tidak bertemu dengannya, tepatnya mungkin sejak kita menikah. Dulu dia hadir di acara pernikahan kita, bukan?""Iya, dia hadir waktu itu," angguk Akmal."Terus, ngapain aja kamu seharian di sana? Mau benar-benar membuka usaha dengan Mas Ricky?""Lebih tepatnya aku bekerja di cafenya Ricky, jadi pelayan seperti dulu....""Jadi pelayan la