Share

Tahu Diri

Bab 7

"Setidaknya Hanina tidak perlu tahu jika aku punya istri yang lain dan dia hanya dijadikan sebagai istri kedua. Kau tahu apa arti istri kedua bagi sebagian orang, bukan?" Akmal mendengus, lalu memilih berbalik. 

Tidak ada gunanya ia marah-marah, toh tetap saja ia harus memikirkan cara supaya jabatan itu kembali kepada dirinya. Dia tidak mau menjadi pengangguran. Mencari pekerjaan lain di situasi sekarang ini bukan hal yang mudah. Dulu pun dia hanya bekerja sebagai seorang staf dan gaji yang diterimanya tidak seberapa, sementara dia harus membiayai Risty, juga ibunya.  

Jika yang menjadi istrinya hanya Hanina, tentu tidak masalah, karena tanpa ia biayai sekalipun, Hanina sudah kaya, bahkan apa yang ia miliki sekarang ini sebenarnya juga milik Hanina, hanya saja Risty yang terlalu pongah ataupun percaya diri dan menganggap jika Akmal sudah memiliki segalanya.

Hal yang tidak dipahami oleh sebagian orang, jika sebenarnya seorang pimpinan perusahaan itu bisa saja di depak, karena bagaimanapun, direktur, CEO, GM, atau istilah apapun itu, sebenarnya hanya karyawan, lebih tepatnya karyawan nomor satu di sebuah perusahaan. Jika dewan komisaris atau pemilik saham tidak menyukai seseorang yang menjadi pemimpin perusahaan mereka, maka dengan mudahnya seorang pemimpin perusahaan di depak. Direktur itu bukan pemilik, yang berkuasa sebenarnya adalah para pemegang saham. 

Risty tidak memahami ini dan Akmal pun melupakan fakta itu, sehingga dengan mudahnya ia mengamini pengakuan Risty, jika sebenarnya dia adalah istri pertama Akmal. 

Sama sekali tidak terpikirkan oleh Akmal jika Hanina akan bertindak sejauh ini, bahkan sekarang dia merasa takut jika seandainya Hanina mengadu kepada papanya. Jika sampai Hanina mengadu, maka tamatlah riwayatnya. Dia akan kembali ke kehidupan asalnya, bahkan mungkin akan lebih miskin dari sebelumnya.

Lalu, apakah ibunya dan Risty bersedia untuk kembali hidup miskin? 

Tanpa sadar Akmal menggeleng. Dia berani taruhan, ibunya dan Risty pasti akan mengamuk jika mendapati jatah uang bulanan mereka berkurang drastis.

Kini Akmal sudah berada di depan pintu kamar tamu yang menjadi tempat tinggalnya selama beberapa hari ini. Namun sentuhan tangan itu kembali membuat Akmal menoleh.

"Kenapa kamu menyusulku? Aku butuh sendiri saat ini."

"Kamu melupakan perjanjian kita. Bukankah kamu bilang jika kamu akan bersikap adil pada aku dan Hanina, tapi nyatanya apa?! Sampai saat ini, kamu belum membuktikan janjimu!"

"Kamu baru seminggu tinggal di rumah ini dan sudah membuat kekacauan. Apa masih perlu aku menepati janjiku?!" tukas pria itu seraya mendorong pintu.

"Ya iyalah. Aku juga berhak tinggal di rumah ini. Ini rumahmu, kan?!" balas Risty.

Namun pria itu malah tertawa sumbang. 

"Rumah ini adalah hadiah pernikahan kami, aku dan Hanina. Sertifikat rumahnya pun masih atas nama Hanina. Kamu itu terlalu tergesa-gesa. Aku pikir dengan menjadikanmu sebagai baby sisternya Aqila, kamu bisa diam." Lagi-lagi Akmal menghela nafas. 

"Ternyata kamu malah membuat kekacauan. Dan itu fatal akibatnya." Tak punya pilihan, Akmal menarik Risty masuk ke dalam kamarnya, lalu mengunci pintu rapat-rapat.

"Tapi kamu juga menikmatinya, kan? Kamu juga kangen denganku? Apalagi sekarang kamu sedang puasa. Kamu pasti pengen kebutuhan biologismu terpenuhi, bukan?" Wanita itu mengejek lantas menggigit bibirnya, dan dengan gerakan sensual, dia merangkul leher pria itu, kakinya berjinjit, mendaratkan kecupan di bibir Akmal sekilas.

"Sudahlah. Aku sedang tidak mood, Risty." Akmal mengibaskan pelan tangan wanita itu.

***

Pagi-pagi sekali Hanina sudah memandikan bayinya, mendandaninya dengan cantik, kemudian memberinya ASI. 

Dia tidak akan pernah membuang waktunya yang berharga untuk bertengkar dengan Akmal, meski setiap pagi Akmal selalu mengetuk pintu, meminta izin masuk untuk sekedar menggendong Aqila. Akan tetapi Hanina tidak percaya. Hanina takut Akmal akan memberikan Aqila kepada Risty.

Dia tak sudi Aqila disentuh oleh wanita itu.

Bukan hanya itu alasannya. Dia pun tidak ingin memberi kesempatan kepada Akmal dan Aqila untuk membangun kedekatan emosi. Hanina tahu, di dalam hati Akmal masih mendua. Dia juga tidak mungkin memaksa Akmal untuk hidup bersamanya dan menyingkirkan Risty. Tidak seperti itu. Jadi jika memang Akmal tidak bisa meninggalkan Risty, dia yang akan mengalah. Hanina harus membiasakan Aqila hidup berdua dengannya saja, tanpa sosok seorang ayah.

Aqila tengah berbaring di sofa bayi dengan nyaman, sementara Hanina sedang merias dirinya. Celana panjang lebar, atasan blouse dengan blazer, serta kerudung yang melekat di kepalanya. Hanina terlihat cantik dan modis. 

Setelah siap, perempuan itu segera menggendong Aqila, kemudian mengambil tas kerja dan tas perlengkapan bayinya.

Sedikit merepotkan, tapi tak apa. Hanina akan membiasakan diri menjalani perannya sebagai orang tua tunggal bagi Aqila. Kemungkinan seperti itu sangat besar, mengingat sikap Akmal yang tak jelas sampai hari ini.

Hanina hanya istri kedua. Dia dinikahi oleh Akmal lantaran Akmal menginginkan seorang anak dan mungkin juga harta dan perusahaan yang dimilikinya. Tak ada cinta yang tulus dari Akmal untuknya.

Hanina tahu diri.

Dia bekerja dan kembali ke kantor bukan sekedar ingin memberi pelajaran kepada Akmal dan Risty, tetapi juga untuk meneguhkan eksistensinya sebagai single mom.

"Sayang, biar aku bawakan tasnya Aqila dan tas kerjamu," tawar Akmal saat mendapati Hanina melintas di ruang tengah.

"Aku bisa sendiri, Mas," jawab Hanina tanpa mengurangi kecepatan langkahnya yang kini hampir mencapai ruang tamu.

"Tolong jangan keras kepala, Hanina. Kamu itu masih istri Mas. Oke?" Pria itu merebut tas perlengkapan Aqila dan tas kerja Hanina, lalu menjejeri langkah perempuan itu. Mereka keluar dari rumah dan berjalan menuju mobil.

"Kamu yakin akan kerja hari ini?" usik Akmal. Dia membawa dua tas itu hanya dengan menggunakan satu tangannya, sementara tangannya yang lain memegang tangan Hanina. Namun Hanina menepis dengan halus.

"Yakin, Mas. Melati sudah mengatur jadwalku hari ini."

"Tapi kamu akan kerepotan, Sayang. Lihatlah, Mas saja terasa nggak nyaman melihat kerepotan kamu. Tolong pikirkan lagi keputusanmu ini, Sayang. Biar urusan perusahaan Mas yang handle, setidaknya sampai Aqila agak besar. Kamu kan tahu sendiri, gimana kinerja Mas? Mas nggak bakalan curang kok sama perusahaan kamu," bujuk Akmal. Nada suaranya dibuat serendah mungkin dan dengan tatapan yang teduh, berusaha untuk memberi pengertian kepada perempuan itu.

Membujuk Hanina memang tidak mudah dan Akmal tahu benar itu, apalagi ia sudah membuat luka di hati perempuan yang menjadi ibu dari anaknya ini. Akmal harus kembali memulai dari nol untuk mengambil hati istri keduanya ini.

"Aku tahu Mas nggak bakalan curang dan aku percaya Mas akan melakukan yang terbaik bagi perusahaan, tapi tetap aja aku nggak bisa, Mas. Aku nggak bisa menerima kebohongan kamu, jadi tolong kamu mengerti itu. Jika Mas ingin bekerja, segera cari pekerjaan yang lain. Jangan bergantung kepadaku atau perusahaanku." 

Usai mengucapkan kata-kata itu, Hanina membuka pintu mobilnya, kemudian merebahkan Aqila di stroller yang memang sudah berada di mobil itu. 

"Ya sudah. Baiklah, sekarang Mas yang antar kamu ke kantor. Kali ini tidak ada bantahan." Pria itu mencegah istrinya yang akan masuk ke mobil melalui pintu di samping kemudi. Dia malah membukakan pintu sebelah kiri dan sedikit mendorong tubuh istrinya agar masuk ke dalam mobil lewat pintu yang sudah ia buka.

Hanina mengalah. Perempuan itu menghela nafas saat mobil yang dikemudikan oleh suaminya keluar dari halaman rumah mereka.

"Aqila dititipkan sama Mama, kan?" tanya Akmal memastikan yang diiringi anggukan oleh wanita itu.

"Baiklah, kita akan ke rumah Mama dulu, tapi Mas mohon, jangan bawa masalah rumah tangga kita. Papa sama Mama nggak usah tahu dulu ya. Mas mohon banget sama kamu. Kita akan selesaikan sama-sama...."

"Aku bukan anak kecil yang suka mengadu, Mas. Kamu tenang aja," sergah Hanina sembari menengok ke belakang tempat duduknya. Posisi stroller masih tak bergerak dari tempatnya walaupun mobil sedikit terguncang karena roda mobil menabrak sebuah lubang kecil.

Pria itu menghela nafas lega. Dia mempercepat laju mobil sembari melirik arloji di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Sebentar lagi mereka akan sampai ke rumah orang tua Hanina.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status