Bab 9
Hanina sengaja pulang dengan dijemput oleh sopir papanya karena dia akan menjemput Aqila terlebih dulu. Bayi lucu itu nampak berbinar-binar saat mendapati Hanina datang dan membawanya ke dalam gendongan.
"Mau langsung pulang, Nak?" tanya ibunya.
"Iya, Ma. Takutnya keburu magrib. Kasihan Aqila," sahut perempuan itu. Hanina meraih tas perlengkapan Aqila, tapi tangan ibunya lebih sigap. Dia mengiringi langkah Hanina sembari membawa tas itu menuju ke mobil.
"Mama akan senang sekali seandainya kamu menginap, Nak. Sejak melahirkan, kamu belum pernah menginap di sini. Nggak apa-apa, ajak Akmal juga. Rumah ini selalu sepi tanpa kamu," bujuk perempuan paruh baya itu.
"Salah Mama dan Papa karena hanya punya anak tunggal." Hanina mencebikkan bibirnya.
"Mau bagaimana lagi? Papa dan Mama sudah tua. Sudah tidak bisa lagi bikin adik buat kamu." Tawa Liani, nama perempuan baya yang melahirkan Hanina ini seketika pecah. Dia mencubit pipi putrinya yang juga terlihat memerah.
"Ada-ada saja Mama ini. Mama ini masih muda dan cantik, tahu," timpal Hanina, lalu wanita itu membungkuk dan masuk ke dalam mobil.
Lambaian tangan Liani dibalas oleh Hanina dengan perasaan tak menentu. Wanita itu lagi-lagi mendesah, teringat kehidupan rumah tangganya yang rumit. Akan tidak mudah baginya untuk menyatakan kondisi rumah tangganya sekarang ini. Semoga saja orang tuanya tidak berkunjung ke rumahnya dalam waktu dekat.
Dia tidak mau membuat keadaan semakin tidak terkendali. Sudah cukup dia menghadapi dua orang di rumahnya, terutama Risty, wanita yang sangat berhasrat untuk menjadi ratu di rumahnya.
Satu hal yang membuat Hanina berpikir untuk bertahan tinggal di rumah itu. Rumah itu adalah rumahnya dan tidak ada yang berhak mengusirnya dari rumah itu. Sementara sikap Risty beberapa hari terakhir ini seolah menegaskan jika hanya ada Risty dan Akmal yang berhak mendiami rumah itu.
Perempuan itu menipiskan senyum di bibirnya. Dia meremas jemarinya sesaat. Beberapa hari terakhir ini dia mulai mengenali siapa sebenarnya Risty. Pantas saja dia rela suaminya menikah lagi, karena sebenarnya dia pun mengincar kemewahan dalam hidup, yang tidak bisa dipenuhi oleh Akmal, jika saja pria itu tidak menikahi Hanina.
Terkadang Hanina merasa hanya dijadikan alat oleh istri pertama Akmal, supaya memenuhi keinginannya untuk menaikkan gaya dan taraf hidup.
"Sudahlah, tak perlu dipikirkan, yang penting suasana di rumah aman terkendali. Mereka tidak akan berani macam-macam, karena aku sudah memasang kamera CCTV di setiap sudut rumah, bahkan di kamarku sekalipun, karena orang yang mengontrol kamera CCTV itu adalah aku sendiri." Hanina bergumam, lalu ia membuka pintu mobil setelah mobil itu berhenti di halaman rumahnya.
Wanita itu berjalan ke dalam, melintasi pagar pembatas halaman, dan melihat mobilnya terparkir. Tampaknya Akmal dan istri pertamanya itu sudah pulang.
Baguslah. Dengan begitu, berarti dia sudah berhasil mencegah niat dua orang itu untuk bersenang-senang dengan uangnya.
Baru saja Hanina masuk ke dalam rumah, tetapi tiba-tiba saja ada yang menimpuk dahinya. Perempuan itu menunduk dan mendapati benda kecil berbentuk kartu itu sudah berada di lantai dekat dengan kakinya.
"Kenapa akses kartu ini kamu blokir? Kamu mau bikin aku malu saat berbelanja?!"
Hanina mendongak, lalu menatap Akmal dalam-dalam, pria yang berdiri dengan kedua tangan bersedekap di dada. Namun sesaat kemudian dia membungkuk, memungut kartu itu dan menaruhnya di dalam tas kerja miliknya.
"Menurut kamu, apa yang harus aku lakukan jika mendapati suami dan istri pertamanya bersenang-senang dengan menggunakan uang yang aku hasilkan dari kerja kerasku?!" sahut Hanina dingin. Dia tak menghiraukan Akmal, tetapi terus melangkah melewati ruang tamu. Namun sebuah tangan yang bertengger di bahunya membuat langkah perempuan itu terhenti.
"Tapi itu fasilitas untukku. Kamu memberikan kartu itu agar aku bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga kita...."
"Fasilitas itu memang aku berikan agar kamu lebih mudah memenuhi kebutuhan rumah tangga kita, tetapi bukan memenuhi kebutuhan istri pertama kamu yang matre itu. Kamu pikir aku tidak tahu, berapa uang yang kamu belanjakan hari ini?!" Hanina terpaksa menggeletakkan tas perlengkapan Aqila dan tas kerjanya ke lantai, lalu mengibaskan tangan itu dari bahunya.
"200 juta, Mas! Dan itu bukan jumlah yang sedikit. Menafkahi istri pertamamu adalah kewajibanmu, bukan kewajibanku, apalagi kalian menggunakan uangku untuk bersenang-senang."
"Kamu sekarang pelit!"
"Ya, aku pelit karena kamu sudah membohongiku, Mas." Perempuan itu sedikit membungkuk, kembali meraih tas kerja dan tas perlengkapan Aqila, lalu merengsek, melewati tubuh suaminya dan akhirnya menaiki anak-anak tangga.
Akmal menyusul sang istri. Dia pun menaiki anak-anak tangga, sehingga tetap saja mereka mencapai lantai dua rumah ini secara bersamaan.
Hanina tak punya pilihan, selain membiarkan Akmal masuk ke dalam kamar. Perempuan itu menurunkan Aqila dari gendongan dan merebahkan putrinya di sofa bayi.
"Sayang, aku minta maaf untuk itu. Aku tidak bermaksud membohongimu, tetapi keadaan yang tak memungkinkan. Jika aku tidak membohongimu, kamu nggak akan pernah mau menjadi istriku, sementara...."
"Sementara kamu butuh uang dan anak, iya kan?!" tukas Hanina menimpali.
"Kamu salah paham, Hanina. Tidak seperti itu maksudku."
"Aku sudah tidak percaya lagi dengan ketulusan cinta seorang pria, Mas, bahkan mungkin aku sudah tidak percaya lagi dengan sebuah pernikahan. Kenapa setiap pernikahan selalu mengukur untung dan rugi? Seumur hidupku aku dicintai dan diperlakukan seperti putri oleh ayah dan ibuku, tapi ketika aku menikah...? Apa aku sudah salah memilih suami?!" Mata Hanina memanas. Beberapa detik kemudian, air matanya kembali tumpah.
Akmal yang merasa tidak tega akhirnya duduk, lalu membawa perempuan itu ke dalam pelukannya.
"Aku nggak keberatan menerima kamu yang strata ekonominya di bawah aku. Aku nggak keberatan membiayai rumah tangga ini, bersedia berjuang dan mendampingi kamu dari nol. Aku hanya ingin ketulusan dari kamu, Mas. Jika kamu membohongiku seperti ini, apa artinya kita bersama? Apa artinya kita memiliki anak?"
Pria itu bangkit, kemudian menarik tangan Hanina, melepaskan blazer yang melapisi tubuh perempuan itu, lalu berlanjut dengan melepas kerudung yang dikenakan oleh istrinya.
Tubuh Hanina yang lemah dan lelah, rasanya tak memiliki lagi kekuatan untuk melawan Akmal. Dia membiarkan Akmal merebahkan tubuhnya, lalu memeluknya kembali.
"Jujur, aku bukan seorang pria yang pandai berakting. Dari awal, aku menikahimu karena aku memang butuh perbaikan ekonomi dan juga anak. Selama menikah dengan Risty, aku tidak mendapatkan semua itu. Kandungan Risty bermasalah. Bahkan Mama dan Risty selalu menuntutku untuk memberikan jatah bulanan dengan jumlah yang besar dan pekerjaanku saat itu hanya seorang karyawan biasa dengan gaji yang tidak seberapa. Aku pusing, Nin. Dan saat itu hanya kamu yang mau menghiburku disaat lelah itu mendera. Kamu masih ingat dengan pertemuan kita, bukan?" Akmal mengingatkan pertemuan mereka pertama kali di sebuah cafe. Hanina yang menjadi pengunjung cafe itu, sedangkan Akmal bekerja sebagai pelayan cafe, di samping pekerjaan utamanya menjadi karyawan di sebuah perusahaan.
"Aku tidak bermaksud memanfaatkan kamu, Nin. Kamu itu wanita baik. Seandainya aku belum punya istri, pasti aku akan bisa mencintai kamu. Namun, dari dulu sampai saat ini, rasa itu tidak bisa bohong. Aku masih mencintai istri pertamaku, bahkan sampai kita memiliki seorang anak, tetap saja rasa itu tidak berubah, meski tak bisa dipungkiri, aku juga menyayangimu. Apalagi kamu sudah memberikan aku seorang anak...."
"Kalau kamu memang nggak bisa mencintaiku, ceraikan aku, Mas. Kamu harus memilih antara aku dan Risty. Aku tahu, mungkin Risty juga sakit karena suaminya menikah lagi. Kamu nggak akan bisa hidup tenang dengan dua orang wanita di sampingmu. Bagaimanapun hidup ini harus seimbang. Satu wanita untuk satu pria, bukannya dua wanita untuk satu pria. Sungguh pun aku tidak menolak konsep poligami, tetapi jika poligami yang kamu jalankan seperti ini, rasanya...." Hanina menggeleng. Wajahnya basah. Bahkan kini tetes bening itu mengalir sampai ke bantal yang ia tiduri.
"Akan beda ceritanya kalau kamu jujur. Jika saat itu kamu mengatakan dirimu sebagai pria beristri dan kamu menginginkan seorang anak dariku, mungkin aku bisa masih bisa terima itu, Mas. Aku nggak bisa kamu bohongi seperti ini. Hatiku sakit, apalagi istri pertamamu ternyata juga ikut memanfaatkan aku. Kamu lihat sendiri, kan, transaksi hari ini berapa? Kamu habis uang 200 juta hanya untuk menyenangkannya. Apa itu adil buat aku?!"
Bab 10"Aku nggak sanggup, Mas. Aku nggak sanggup berbagi." Hanina menutup wajahnya yang basah dengan kedua belah telapak tangannya, Namun Akmal segera menarik tangan itu, lalu menghujani perempuan itu dengan kecupan yang bertubi-tubi."Tapi aku nggak bisa menceraikan kamu jika Aqila harus ikut denganmu. Aqila itu impianku, cita-citaku sejak lama. Kau tahu arti keturunan bagi seorang lelaki, bukan?""Aku tahu, Mas, tapi aku juga nggak bisa egois. Aku nggak mungkin menyingkirkan istri pertama kamu, karena kamu masih mencintainya. Aku nggak mau menyiksa dua orang yang saling mencintai, meskipun aku juga mencintai kamu. Aku nggak bisa hidup berdampingan dengan istri kamu yang lain, Mas." Hanina menggeleng.Dia memandang wajah itu, dan menemukan wajah dan sorot mata Akmal sudah berubah kembali seperti saat ia pertama kali bertemu dengan pria ini. Hanina mendesah berat. Rasanya sulit membedakan mana Akmal yang asli dan mana yang bukan alias akting. Sikapnya seringkali berubah semenjak kej
Bab 11"Mas, kamu nggak bisa begitu dong. Memangnya kamu mau membuat aku kelaparan?!" Risty mengabaikan makan malamnya, dan berlari menyusul Akmal yang sudah berada di depan tangga. Pria itu tampak menaiki anak-anak tangga dengan cepat untuk segera sampai di lantai atas."Mas, tunggu! Kamu mau ke mana sih?""Kamu nggak lihat apa yang aku bawa?" Pria itu menatap mata istri pertamanya. Dadanya turun naik menahan kesal yang teramat sangat. "Kenapa piringnya ada dua? Masa iya makan malam Hanina sebanyak itu?" Mata Risty seketika menyipit. Dia baru menyadari, ternyata di dalam nampan itu ada dua buah piring dan dua buah gelas berisi penuh makanan dan minuman."Kami akan malam bersama, dan kamu makan sendiri saja di ruang makan, oke?" Akmal melanjutkan langkah tanpa menghiraukan istrinya yang terus saja berjalan mengiringinya, sampai akhirnya mereka tiba di depan pintu kamar Hanina."Apa? Mas mau makan malam sama Hanina? Kamu mengabaikanku, Mas!" Risty tersentak. Sepasang matanya membulat s
Bab 12"Malam ini aku yang akan menemanimu tidur disini.""Aku nggak bisa mengabulkan permintaanmu loh, Mas. Jadi nggak ada gunanya kamu menemaniku di sini. Lebih baik kamu tidur di kamarmu atau di kamar Risty, lagian bukannya dia tadi ngambek? Bujuk saja dia dulu," ujar Hanina datar. Perempuan itu bangkit dan meraih Aqila yang rupanya terbangun lagi, kemudian segera menyusui bayinya.Hanina setengah berbaring sembari menyusui bayinya. Perempuan itu nampak begitu menikmati perannya sebagai seorang ibu. Menyaksikan pemandangan itu, entah kenapa hati Akmal merasa trenyuh.Hanina benar. Dia tidak sedang menyewakan rahimnya kepada siapapun. Diantara mereka tidak ada kesepakatan soal itu. Akmal menikahi Hanina dan Hanina melahirkan anaknya. Posisi Hanina bukan sekedar seorang wanita yang membuat anaknya terlahir ke dunia ini seperti yang ia sugestikan selama ini kepada dirinya sendiri.Dia menikahi Hanina, dan menggaulinya secara sah. Aqila mutlak buah hati mereka, bukan anaknya bersama de
Bab 13Hanina tidak menanggapi ucapan ibunya, tetapi malah bangkit sembari menggendong bayinya. Dia berjalan menuju kamarnya sendiri, kamar yang sudah ditempatinya saat masih gadis dulu. Kebetulan letaknya di lantai dasar, sehingga Hanina tidak perlu naik tangga. Kamar ini masih saja seperti yang dulu. Ruangan yang dicat merah muda khas anak perempuan, yang pernah menjadi saksi dirinya tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik dan cerdas. Hanina menyelesaikan S2 nya, kemudian bekerja di perusahaan papanya sendiri, lalu bertemu dengan Akmal dan akhirnya menikah. Hanina merasa hidupnya sempurna, sebelum akhirnya peristiwa malam itu membuka rahasia besar kebusukan suaminya sendiri."Kamu belum jawab pertanyaan Mama, Nak." Ternyata Liani menyusul dengan membawakan dua tas itu."Apanya yang harus kujawab, Ma? Aku tidak punya masalah dengan Mas Akmal. Hanya saja malam ini aku sedikit lelah, jadi aku menginap di sini saja ya." pinta Hanina sekalian. Dia merebahkan Aqila di pembaringannya yang
Bab 14 "Kamu dari mana saja seharian, Mas?" Hanina menguap beberapa kali. Dia sebenarnya sangat mengantuk dan ingin segera tidur. Namun tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka yang memunculkan sosok Akmal.Pria itu berjalan mendekat, selangkah demi selangkah dan akhirnya sampai di tepi tempat tidur."Aku dari cafe, Nin," jawab Akmal jujur."Dari cafenya Mas Ricky?" Hanina langsung teringat pertemuan pertamanya dengan Akmal saat pria itu masih bekerja di cafe milik sahabatnya."Kamu masih ingat dengan sahabatku itu, Nin?" Pria itu duduk di sisi istrinya. Tangannya terulur memainkan ujung helaian hitam milik istrinya yang tergerai sepundak."Aku sudah lama tidak bertemu dengannya, tepatnya mungkin sejak kita menikah. Dulu dia hadir di acara pernikahan kita, bukan?""Iya, dia hadir waktu itu," angguk Akmal."Terus, ngapain aja kamu seharian di sana? Mau benar-benar membuka usaha dengan Mas Ricky?""Lebih tepatnya aku bekerja di cafenya Ricky, jadi pelayan seperti dulu....""Jadi pelayan la
Bab 15"Mas, kamu sudah pulang?" Risty menyongsong kedatangan suaminya. Dia berlari kecil menuju mobil yang baru saja berhenti. Namun nyali wanita itu seketika menciut ketika melihat sosok perempuan yang berada di sisi suaminya.Hanina, istri kedua suaminya. Perempuan itu terlihat duduk santai sembari memangku tas kerjanya.Namun bukan Risty namanya jika ia mundur begitu saja. Pantang baginya untuk menyerah, apalagi sekarang sikap Akmal lebih banyak membela istri keduanya, padahal saat akan menikahi Hanina dulu, Akmal terlihat begitu berat. Jika bukan atas desakan ibunya dan Risty yang menginginkan perubahan ekonomi dan juga keturunan, Akmal tentu tidak akan pernah menikahi Hanina.Hanina berdecih mendapati penampilan Rizky saat ini. Berani sekali perempuan itu keluar dari rumah hanya dengan mengenakan pakaian tidurnya. Perempuan itu begitu cantik dan seksi, tapi entah kenapa terlihat seperti wanita murahan."Seperti yang kamu lihat," sahut Akmal. Dia menepis halus sepasang tangan istr
Bab 16Hanina luruh seketika, namun otaknya langsung memberi kode agar ia segera meninggalkan tempat itu. Jangan sampai ibu mertuanya tahu jika ia mencuri dengar pembicaraan antara ibu mertuanya dengan Risty dari balik dinding kamar. Niatnya yang akan ke dapur untuk membuat sarapan pun urung. Hanina bergegas balik ke ruang tamu dan memilih duduk di sofa untuk mengatur nafasnya. Hanya mendengar perdebatan antara ibu mertuanya dan Risty sudah membuat nafasnya ngos-ngosan seperti orang yang habis lari maraton.Hanina memejamkan mata, belajar mencerna setiap ucapan yang ia dengar. Ada rasa sesal di hati sudah mengenal Akmal dan keluarganya. Kenapa mereka tidak memiliki rasa tulus?Kenapa Akmal, ibunya, bahkan istri pertama Akmal menganggap ia sebagai tambang emas? Kenapa setiap hubungan yang terjalin harus berdasarkan untung dan rugi dari sisi materi?Jika begini caranya, apa bedanya dengan bisnis? Sementara sebuah rumah tangga harusnya dibangun atas dasar cinta dan ketulusan, bukan kare
Bab 17"Kamu sudah tidak mencintaiku lagi, Mas?" lirih perempuan itu. Wajahnya seketika berubah pias. Risty bersandar di depan pintu dan melupakan niatnya sementara untuk masuk ke dalam rumah ini serta mengusir suami dan ibu mertuanya.Sejak peristiwa malam itu, sikap suaminya benar-benar berubah. Padahal dia berharap dengan tinggalnya mereka satu atap, akan membuat Akmal lebih perhatian kepadanya. Sejak Akmal menikahi Hanina, dia selalu merasa was-was, takut jika Akmal berpaling, meski Risty tetap percaya diri jika dia tetaplah yang utama dan keadaan ini hanya sementara. Setelah mereka mendapatkan apa yang diinginkan, maka Hanina akan segera ditendang jauh dari kehidupan rumah tangga mereka.Kenapa apa yang ia rencanakan malah jauh panggang daripada api?Risty mengakui ia memang ceroboh, tetapi seharusnya jika rencana mereka gagal, maka Akmal harus mengambil sikap untuk menceraikan Hanina. Lagi pula sekarang, apa yang mereka harapkan dari perempuan itu? Akses keuangan sudah dicabut d