Bab 8
"Kamu mau bikin usaha apa, Mal? Kalau memang prospeknya bagus, Papa pasti dukung kok. Nanti kamu bikin proposal, biar Papa yang jadi investor pertama kamu," tawar pria setengah tua itu antusias.
Hanina memutar bola matanya malas, tak mau menanggapi ucapan sang papa. Dia menyerahkan Aqila kepada ibunya, kemudian segera menggamit lengan pria muda yang kini tengah duduk berhadapan dengan papanya itu.
"Aduh, Pa, soal itu nanti saja dibahasnya ya. Bakalan panjang pembicaraan. Aku mau buru-buru ke kantor nih. Mas Akmal udah janji mau nganterin," sergah perempuan itu. Mukanya sengaja dibuat cemberut, yang di tanggapi Darmawan dengan tawanya yang lebar.
"Kamu itu, Nak. Ada-ada saja."
Pria itu bangkit, lalu menepuk bahu menantunya. "Kalau kamu butuh sharing sama Papa, Papa selalu bersedia kapanpun. Jangan sungkan sama papa ya, Nak. Kamu sudah nunjukin di hadapan Papa, jika kamu punya kemampuan yang bagus."
"Terima kasih, Pa. Nanti kita bahas lagi soal itu. Sekarang aku mau mengantar Hanina dulu ya, karena setelah ini aku ada janji sama teman, mau bahas hal yang sama juga," sahut Akmal meski sebenarnya ia tidak memiliki janji apapun.
Sandiwara ini harus sempurna, setidaknya saat ini Hanina masih bisa diajak kompromi. Jadi ia pun harus mengimbangi. Akmal tetap berlaku sopan di hadapan orang tua Hanina. Dia mencium tangan kedua mertuanya, lalu menggandeng istrinya keluar dari rumah itu, kembali ke mobil mereka.
"Kamu ada janji sama siapa?" tanya Hanina begitu mobil berhenti di parkiran kendaraan gedung induk PT Hanina Indo Textile.
Namun pria itu mengulas senyumnya.
"Aku tidak punya janji dengan siapapun. Habis ini mungkin langsung pulang saja. Kalau kamu ingin dijemput, kamu bisa hubungi aku," ujarnya santai.
"Mau jadi sopir nih?" ledek Hanina.
"Yang penting kamu mau maafin aku. Jangankan jadi sopir, jadi baby sisternya Aqila pun aku mau."
Perempuan itu hanya menggeleng, lalu mengambil remote dan pintu pun akhirnya terbuka. Hanina keluar dari mobil. Setelah itu, mobil yang membawa Hanina perlahan bergerak memutar dan akhirnya kembali berbalik, meninggalkan area parkir.
"Dibalik sikap manismu pagi ini, ada sesuatu yang tidak bisa aku penuhi, Mas. Maaf, aku tidak bisa mengembalikan jabatanmu. Hatiku terlalu sakit."
Hanina meraup udara sebanyak-banyaknya, lalu menghembuskannya pelan-pelan, hingga akhirnya kembali melangkah membawa dirinya menuju lift yang akan mengantarnya menuju lantai tempat di mana ruangannya berada. Rio sudah menghubunginya lebih dulu dan mengatakan bahwa dia sudah bisa menempati ruangannya yang lama.
"Selamat pagi, Bu. Semua keperluan Ibu hari ini sudah saya siapkan." Melati menyambut di depan pintu ruang kerjanya dan Hanina pun melangkah masuk.
"Terima kasih, Mel." Hanina melambaikan tangan, menyuruh Melati untuk mendekat.
"Tolong bacakan jadwal kegiatan saya pagi ini," titahnya.
"Hari ini Ibu akan menghadiri meeting dengan Pak Irwan, yang merupakan perwakilan dari sebuah perusahaan supplier kita, terus ada rapat dengan jajaran tim marketing untuk mengevaluasi data penjualan bulan ini...." Melati membaca sesuai apa yang tertera di layar ipad-nya.
"Mengevaluasi data penjualan? Apa maksud kamu? Bukannya kita sudah menghitung profit and loss seminggu yang lalu, sebelum rapat dengan dewan komisaris?" Hanina mengerutkan keningnya.
"Betul Bu, tetapi ditengarai ada kecurangan penggelembungkan data penjualan," sahut Melati.
Hanina terdiam sejenak. Dia mulai mencerna ucapan Melati sembari menatap gadis itu. Keduanya duduk berhadapan di sofa, dan Hanina meletakkan tas kerja di sampingnya.
"Penggelembungan data penjualan? Ya sudahlah. Nanti kamu siapkan bahan-bahannya ya, biar saya pelajari sekarang."
"Baik Bu, nanti akan saya kirimkan filenya untuk Ibu pelajari."
"Terima kasih, Mel." Perempuan itu mengangguk, lalu mengibaskan tangan, menyuruh Melati kembali ke mejanya.
Gadis itu mengangguk patuh, kemudian bangkit.
Hanina memang memutuskan untuk bekerja satu ruangan dengan Melati, apalagi asisten pribadi merangkap sekretarisnya itu adalah seorang perempuan. Jadi tidak masalah jika mereka bekerja dalam satu ruangan.
Melati sudah mengirimkan file untuk Hanina pelajari. Baru membuka halaman pertama saja, Hanina langsung terkejut. Berbanding terbalik dengan yang dilaporkan oleh suaminya selama ini, justru data yang ia dapat adalah penurunan penjualan pada bulan ini.
"Bagaimana bisa ini terjadi?" Hanina memijat pelipisnya sembari terus menatap layar laptop. "Padahal data-data yang kemarin sudah masuk di dewan komisaris. Bagaimana ini?"
"Mas Akmal memang keterlaluan. Seniat itu rupanya dia pada perusahaan dan keluarga kami." Hanina mengumpat dalam hati seraya mematikan laptop. Dia sudah selesai mempelajari semuanya dan kini saatnya dia bertemu dengan klien.
Harina merapikan penampilannya lalu segera mengajak Melati untuk keluar. Kedua perempuan itu berjalan beriringan menuju lift dan akhirnya sampai ke lantai dasar. Sebuah mobil sudah siap membawa mereka bertemu dengan seorang klien dari sebuah perusahaan supplier.
Irwan datang bersama stafnya. Perwakilan dari perusahaan supplier itu nampak sudah menunggu di meja yang sudah mereka reservasi. Meeting berjalan dengan lancar, meski ini hari pertama Hanina bekerja, tetapi dia memang menguasai permasalahan di perusahaannya dan semuanya berjalan dengan baik. Acara diakhiri dengan santap siang bersama meskipun waktu baru menunjukkan pukul 11.00 siang. Namun Hanina yang memang ibu menyusui menyantap makanannya dengan lahap, apalagi pagi dia hanya sarapan susu dan roti dan itu tidak akan kenyang bagi ibu menyusui seperti dirinya.
"Terima kasih untuk hari ini dan waktunya juga, Pak. Senang bertemu dengan Anda. Saya harap kerjasama antar perusahaan akan terjalin lebih baik kedepannya," ucap Hanina seraya menjabat tangan pria berumur 40 tahunan itu.
"Sama-sama, Bu Hanina. Dan kami senang sekali ternyata Bu Hanina sendiri yang datang. Di pertemuan kemarin di wakili oleh Pak Akmal."
"Betul sekali, Pak Irwan." Perempuan itu tersenyum manis. "Tapi mulai hari ini sayalah yang akan menggantikan beliau sebagai CEO di perusahaan kami, karena Pak Akmal akan fokus untuk merintis usahanya yang baru."
"Wow... hebat sekali. Usaha di bidang apa ya, kalau boleh saya tahu. Siapa tahu perusahaan kami bisa bekerjasama dengan perusahaan Pak Akmal nantinya," ujar Irwan yang merasa menangkap sebuah peluang.
"Mohon maaf, Pak Irwan. Hal ini belum bisa dipublish. Nanti di saat launching, pasti perusahaan Pak Irwan dan perusahaan yang lain akan kami undang. Tunggu tanggal mainnya ya." Lagi-lagi Hanina tersenyum, meski di dalam hatinya mengumpat. Tentu saja tidak akan ada ceritanya Akmal membangun sebuah perusahaan, karena jangankan membangun sebuah perusahaan, menghandle perusahaan yang sudah tumbuh dan berjaya pun Akmal tidak sanggup, buktinya demi untuk terlihat hebat di matanya, Akmal sampai rela memanipulasi data penjualan dan juga tentu saja profit di perusahaan.
Keuntungan apalagi yang ingin dicapai oleh Akmal dengan memanipulasi data penjualan perusahaan, kecuali ingin mengambil hatinya dan juga sang papa?
Itu sangat logis, bukan?
Benar-benar menyebalkan.
Hanina segera berbalik diiringi oleh Melati yang setia menenteng tas kerjanya. Keduanya berjalan beriringan. Namun langkah Hanina seketika terhenti saat dia melihat dua sosok yang sangat dikenalnya tengah berjalan masuk ke area restoran ini.
"Loh, mereka?" Kening Hanina seketika berkerut saat teringat ucapan Akmal tadi pagi, jika ia tidak sedang membuat janji dengan siapapun.
"Kenapa ia malah keluar bersama Risty?!" Mata Hanina kembali memicing melihat beberapa paper bag yang berlogo toko pakaian dan tas terkenal tengah di tenteng oleh Akmal dan Risty.
"Habis shopping rupanya." Hanina membatin sembari melanjutkan langkah diiringi oleh Melati. Hanina sengaja tidak menyapa Akmal dan Risty, tapi langsung berjalan keluar dari restoran itu, kembali ke mobil.
Sepanjang perjalanan Hanina terus memikirkan sepasang suami istri itu, sampai akhirnya ia memutuskan untuk membuka ponselnya dan mengklik aplikasi m-banking.
"200 juta?' Hanina seketika membelalak saat melihat beberapa transaksi yang dilakukan oleh Akmal, karena kartu debit yang digunakan oleh Akmal untuk membayar belanjaan itu adalah miliknya. Kartu debit itu memang fasilitas yang ia berikan kepada Akmal untuk memudahkan pria itu memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka.
"Ini nggak bisa dibiarkan. Jangan sampai aku rugi besar lantaran Mas Akmal malah membelanjai istri pertamanya dengan menggunakan uangku. Aku yang kerja, tapi mereka yang menghabiskan uangnya. Ogah." Raut wajah Hanina yang seketika berubah masam. Dia segera menghubungi call center dan meminta kepada pihak bank untuk memblokir akses kartu debit miliknya.
Bab 9Hanina sengaja pulang dengan dijemput oleh sopir papanya karena dia akan menjemput Aqila terlebih dulu. Bayi lucu itu nampak berbinar-binar saat mendapati Hanina datang dan membawanya ke dalam gendongan."Mau langsung pulang, Nak?" tanya ibunya."Iya, Ma. Takutnya keburu magrib. Kasihan Aqila," sahut perempuan itu. Hanina meraih tas perlengkapan Aqila, tapi tangan ibunya lebih sigap. Dia mengiringi langkah Hanina sembari membawa tas itu menuju ke mobil."Mama akan senang sekali seandainya kamu menginap, Nak. Sejak melahirkan, kamu belum pernah menginap di sini. Nggak apa-apa, ajak Akmal juga. Rumah ini selalu sepi tanpa kamu," bujuk perempuan paruh baya itu."Salah Mama dan Papa karena hanya punya anak tunggal." Hanina mencebikkan bibirnya."Mau bagaimana lagi? Papa dan Mama sudah tua. Sudah tidak bisa lagi bikin adik buat kamu." Tawa Liani, nama perempuan baya yang melahirkan Hanina ini seketika pecah. Dia mencubit pipi putrinya yang juga terlihat memerah."Ada-ada saja Mama in
Bab 10"Aku nggak sanggup, Mas. Aku nggak sanggup berbagi." Hanina menutup wajahnya yang basah dengan kedua belah telapak tangannya, Namun Akmal segera menarik tangan itu, lalu menghujani perempuan itu dengan kecupan yang bertubi-tubi."Tapi aku nggak bisa menceraikan kamu jika Aqila harus ikut denganmu. Aqila itu impianku, cita-citaku sejak lama. Kau tahu arti keturunan bagi seorang lelaki, bukan?""Aku tahu, Mas, tapi aku juga nggak bisa egois. Aku nggak mungkin menyingkirkan istri pertama kamu, karena kamu masih mencintainya. Aku nggak mau menyiksa dua orang yang saling mencintai, meskipun aku juga mencintai kamu. Aku nggak bisa hidup berdampingan dengan istri kamu yang lain, Mas." Hanina menggeleng.Dia memandang wajah itu, dan menemukan wajah dan sorot mata Akmal sudah berubah kembali seperti saat ia pertama kali bertemu dengan pria ini. Hanina mendesah berat. Rasanya sulit membedakan mana Akmal yang asli dan mana yang bukan alias akting. Sikapnya seringkali berubah semenjak kej
Bab 11"Mas, kamu nggak bisa begitu dong. Memangnya kamu mau membuat aku kelaparan?!" Risty mengabaikan makan malamnya, dan berlari menyusul Akmal yang sudah berada di depan tangga. Pria itu tampak menaiki anak-anak tangga dengan cepat untuk segera sampai di lantai atas."Mas, tunggu! Kamu mau ke mana sih?""Kamu nggak lihat apa yang aku bawa?" Pria itu menatap mata istri pertamanya. Dadanya turun naik menahan kesal yang teramat sangat. "Kenapa piringnya ada dua? Masa iya makan malam Hanina sebanyak itu?" Mata Risty seketika menyipit. Dia baru menyadari, ternyata di dalam nampan itu ada dua buah piring dan dua buah gelas berisi penuh makanan dan minuman."Kami akan malam bersama, dan kamu makan sendiri saja di ruang makan, oke?" Akmal melanjutkan langkah tanpa menghiraukan istrinya yang terus saja berjalan mengiringinya, sampai akhirnya mereka tiba di depan pintu kamar Hanina."Apa? Mas mau makan malam sama Hanina? Kamu mengabaikanku, Mas!" Risty tersentak. Sepasang matanya membulat s
Bab 12"Malam ini aku yang akan menemanimu tidur disini.""Aku nggak bisa mengabulkan permintaanmu loh, Mas. Jadi nggak ada gunanya kamu menemaniku di sini. Lebih baik kamu tidur di kamarmu atau di kamar Risty, lagian bukannya dia tadi ngambek? Bujuk saja dia dulu," ujar Hanina datar. Perempuan itu bangkit dan meraih Aqila yang rupanya terbangun lagi, kemudian segera menyusui bayinya.Hanina setengah berbaring sembari menyusui bayinya. Perempuan itu nampak begitu menikmati perannya sebagai seorang ibu. Menyaksikan pemandangan itu, entah kenapa hati Akmal merasa trenyuh.Hanina benar. Dia tidak sedang menyewakan rahimnya kepada siapapun. Diantara mereka tidak ada kesepakatan soal itu. Akmal menikahi Hanina dan Hanina melahirkan anaknya. Posisi Hanina bukan sekedar seorang wanita yang membuat anaknya terlahir ke dunia ini seperti yang ia sugestikan selama ini kepada dirinya sendiri.Dia menikahi Hanina, dan menggaulinya secara sah. Aqila mutlak buah hati mereka, bukan anaknya bersama de
Bab 13Hanina tidak menanggapi ucapan ibunya, tetapi malah bangkit sembari menggendong bayinya. Dia berjalan menuju kamarnya sendiri, kamar yang sudah ditempatinya saat masih gadis dulu. Kebetulan letaknya di lantai dasar, sehingga Hanina tidak perlu naik tangga. Kamar ini masih saja seperti yang dulu. Ruangan yang dicat merah muda khas anak perempuan, yang pernah menjadi saksi dirinya tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik dan cerdas. Hanina menyelesaikan S2 nya, kemudian bekerja di perusahaan papanya sendiri, lalu bertemu dengan Akmal dan akhirnya menikah. Hanina merasa hidupnya sempurna, sebelum akhirnya peristiwa malam itu membuka rahasia besar kebusukan suaminya sendiri."Kamu belum jawab pertanyaan Mama, Nak." Ternyata Liani menyusul dengan membawakan dua tas itu."Apanya yang harus kujawab, Ma? Aku tidak punya masalah dengan Mas Akmal. Hanya saja malam ini aku sedikit lelah, jadi aku menginap di sini saja ya." pinta Hanina sekalian. Dia merebahkan Aqila di pembaringannya yang
Bab 14 "Kamu dari mana saja seharian, Mas?" Hanina menguap beberapa kali. Dia sebenarnya sangat mengantuk dan ingin segera tidur. Namun tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka yang memunculkan sosok Akmal.Pria itu berjalan mendekat, selangkah demi selangkah dan akhirnya sampai di tepi tempat tidur."Aku dari cafe, Nin," jawab Akmal jujur."Dari cafenya Mas Ricky?" Hanina langsung teringat pertemuan pertamanya dengan Akmal saat pria itu masih bekerja di cafe milik sahabatnya."Kamu masih ingat dengan sahabatku itu, Nin?" Pria itu duduk di sisi istrinya. Tangannya terulur memainkan ujung helaian hitam milik istrinya yang tergerai sepundak."Aku sudah lama tidak bertemu dengannya, tepatnya mungkin sejak kita menikah. Dulu dia hadir di acara pernikahan kita, bukan?""Iya, dia hadir waktu itu," angguk Akmal."Terus, ngapain aja kamu seharian di sana? Mau benar-benar membuka usaha dengan Mas Ricky?""Lebih tepatnya aku bekerja di cafenya Ricky, jadi pelayan seperti dulu....""Jadi pelayan la
Bab 15"Mas, kamu sudah pulang?" Risty menyongsong kedatangan suaminya. Dia berlari kecil menuju mobil yang baru saja berhenti. Namun nyali wanita itu seketika menciut ketika melihat sosok perempuan yang berada di sisi suaminya.Hanina, istri kedua suaminya. Perempuan itu terlihat duduk santai sembari memangku tas kerjanya.Namun bukan Risty namanya jika ia mundur begitu saja. Pantang baginya untuk menyerah, apalagi sekarang sikap Akmal lebih banyak membela istri keduanya, padahal saat akan menikahi Hanina dulu, Akmal terlihat begitu berat. Jika bukan atas desakan ibunya dan Risty yang menginginkan perubahan ekonomi dan juga keturunan, Akmal tentu tidak akan pernah menikahi Hanina.Hanina berdecih mendapati penampilan Rizky saat ini. Berani sekali perempuan itu keluar dari rumah hanya dengan mengenakan pakaian tidurnya. Perempuan itu begitu cantik dan seksi, tapi entah kenapa terlihat seperti wanita murahan."Seperti yang kamu lihat," sahut Akmal. Dia menepis halus sepasang tangan istr
Bab 16Hanina luruh seketika, namun otaknya langsung memberi kode agar ia segera meninggalkan tempat itu. Jangan sampai ibu mertuanya tahu jika ia mencuri dengar pembicaraan antara ibu mertuanya dengan Risty dari balik dinding kamar. Niatnya yang akan ke dapur untuk membuat sarapan pun urung. Hanina bergegas balik ke ruang tamu dan memilih duduk di sofa untuk mengatur nafasnya. Hanya mendengar perdebatan antara ibu mertuanya dan Risty sudah membuat nafasnya ngos-ngosan seperti orang yang habis lari maraton.Hanina memejamkan mata, belajar mencerna setiap ucapan yang ia dengar. Ada rasa sesal di hati sudah mengenal Akmal dan keluarganya. Kenapa mereka tidak memiliki rasa tulus?Kenapa Akmal, ibunya, bahkan istri pertama Akmal menganggap ia sebagai tambang emas? Kenapa setiap hubungan yang terjalin harus berdasarkan untung dan rugi dari sisi materi?Jika begini caranya, apa bedanya dengan bisnis? Sementara sebuah rumah tangga harusnya dibangun atas dasar cinta dan ketulusan, bukan kare