Bab 5
"Bertanyalah kepada istri pertamamu, Mas. Jangan bertanya padaku," sarkas Hanina seraya menepis tangan Akmal yang mencoba meraih bayinya. "Kamu nggak perlu peduli sama Aqila. Sana pergi. Kamu akan terlambat ke kantor jika harus menangani Aqila."
"Tapi dia tengah menangis." Akmal menggeletakkan tasnya begitu saja di lantai, lalu mencoba meraih dan menggendong putri kecilnya. Anehnya, bayi itu langsung tenang setelah pundaknya ditepuk-tepuk oleh Akmal.
Ini sungguh ajaib. Seketika Hanina menghela nafas dan dalam sekejap dadanya terasa kembali normal.
"Segeralah kamu ke kantor, Mas. Jangan sampai Papa marah karena kamu terlambat pagi ini. Hari ini bukannya jadwal pertemuan bulanan dengan dewan komisaris?" Hanina mengingatkan seraya mengambil kembali Aqila yang sudah tenang dari gendongan suaminya.
"Ya baiklah. Kalau begitu aku berangkat." Pria itu berbalik tanpa menoleh lagi.
Bersamaan dengan itu, asisten rumah tangganya yang bernama Wati itu datang. Perempuan berumur 45 tahun itu berjalan mendekat kepadanya.
"Selamat pagi, Bu," sapa perempuan itu.
"Selamat pagi, Bi Wati. Selamat bekerja ya," ujar Hanina ramah.
"Saya mau ke kamar dulu untuk menyusui Aqila. Kebetulan sarapan pagi saya masih tertinggal di ruang makan. Tolong nanti antar ke kamar saya ya," pesannya.
"Baik, Bu," angguk perempuan itu, lalu melangkah masuk ke dalam.
Sementara itu, Hanina langsung menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamarnya.
Hanina merebahkan Aqila di sofa bayi. Bayi itu nampak anteng setelah digendong oleh papanya. Lagi-lagi perempuan itu menghela nafas teringat kejadian barusan.
"Harus bagaimana lagi Mama, Nak? Tetap saja Mama tidak mau berbagi suami." Hanina menggigit bibirnya.
Semuanya tergantung pada keputusan Akmal. Namun setidaknya saat ini Akmal sudah keluar dari kamar pribadinya. Akmal memilih tidur di kamar tamu, alih-alih tidur di kamar Risty. Tapi Hanina tidak peduli. Biarkan saja, yang penting Akmal tidak lagi tidur di kamarnya.
Dia sudah muak mendapati sosok pria itu terus berkeliaran di kamarnya. Andai saja menurunkan hati, ingin rasanya mengundang petugas keamanan untuk mengusir Risty dan Akmal.
"Aku harus segera bertindak. Keadaan ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama," gumam Hanina seraya meraih ponsel.
"Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" Suara Rio dari bagian HRD membelai telinganya saat panggilan tersambung.
"Rio, tolong siapkan ruangan untuk saya, karena lusa saya akan kembali ke kantor," pinta perempuan itu to the point.
"Ibu akan bekerja?" Nada kaget terdengar dari suara Rio.
"Betul. Mulai lusa saya akan mengambil alih jabatan yang diemban oleh suami saya, karena suami saya akan fokus untuk merintis usahanya yang baru," jelas Hanina.
"Dan tolong siapkan berkas-berkas pengunduran diri suami saya ya."
"Wah, sebenarnya sayang sekali. Selama bekerja di sini, kerja Pak Akmal cukup bagus. Tapi baiklah, Bu. Saya akan siapkan bekas-bekas pengunduran diri beliau ya, Bu."
"Baiklah, Rio. Selamat bekerja." Hanina tersenyum tipis, lalu segera memutus panggilan. Dia meletakkan ponselnya di meja nakas, lalu beranjak menuju area penyimpanan pakaian. Dia membuka salah satu lemari dan menemukan setelan kerjanya masih berjejer rapi.
"Aku akan kembali ke kantor, dan kamu tahu apa yang harus kamu lakukan, Mas," gumam Hanina. Pagi-pagi sekali, ia pun sudah menghubungi papanya untuk memberitahu jika Akmal memutuskan untuk mengundurkan diri dan dialah yang akan menjadi pimpinan perusahaan menggantikan Akmal. Alasannya tetap sama. Akmal akan fokus merintis usaha baru yang sampai sekarang pun Hanina belum bisa memikirkan usaha apa yang harus dijalani oleh Akmal demi meredam kecurigaan yang mungkin saja ada di hati papanya.
"Ah, itu kan cuma alasan." Hanina menyeringai, lalu menutup kembali lemari pakaian.
Bersamaan dengan ia keluar dari area penyimpanan pakaian, terdengar suara ketukan dari balik pintu kamarnya.
"Silahkan masuk, Bi. Taruh saja di meja sana." titah Hanina saat mendapati asisten rumah tangganya berdiri di depan pintu dan membawakan sebuah nampan.
"Baik, Bu."
Hanina mengangguk dan ia menyusul langkah Bi Wati menuju sofa. Akibat tangisan Aqila dan insiden berebut bayi itu, susu yang dibuat oleh Hanina akhirnya menjadi dingin. Tetapi tak apa. Ini masih bisa diminum.
Hanina menikmati sarapannya dengan lahap. Dia mengabaikan pikirannya soal ambisi Risty yang ingin mengambil bayinya.
"Sebentar lagi permainan kita mulai, Risty. Selamat menikmati," gumam Hanina.
***"Apa-apaan ini? Kamu mau mengusirku dari perusahaan?" bentak Akmal sembari melemparkan sebuah map ke arah Hanina.
Hanina yang tengah duduk santai di ranjang sembari memainkan ponselnya seketika mendongakkan wajah sekilas, lalu mengalihkan pandangannya kepada map yang kini sudah mendarat di pangkuannya.
"Menurutmu?" sahut wanita itu dengan santainya. Dia memindahkan map itu ke atas meja nakas di samping tempat tidur.
"Aku tidak menyangka kamu berani melakukan ini." Wajah pria itu diliputi oleh kemarahan.
Pagi ini sebenarnya dia sangat senang, karena profit perusahaan melonjak drastis terhitung tiga minggu pertama sejak kepemimpinannya. Akmal merasa ini sebuah prestasi. Tetapi setelah selesai meeting, dia langsung mendapatkan panggilan dari pihak HRD untuk menandatangani berkas sialan itu.
Siapa lagi yang bisa melakukan hal ini, kecuali Hanina atau papanya? Karena merekalah pemilik perusahaan yang sebenarnya. Papa Hanina pemegang saham mayoritas dan Akmal sendiri tidak memiliki saham sedikitpun. Dia mendapatkan jabatan CEO setelah Hanina melahirkan. Mungkin mertuanya itu menganggap jika kehidupan putrinya sudah bahagia, sehingga dia mempercayai Akmal untuk memegang tampuk kepemimpinan di perusahaan.
"Kenapa aku harus takut? Aku atau Papa sama saja. Jika aku tidak menyukai seseorang di perusahaan, maka aku dengan mudah menendangnya. Seharusnya kamu ingat itu sebelum berbuat, Mas."
"Kamu mencampur adukkan perusahaan dengan urusan pribadi kita. Kamu nggak lihat, selama kepemimpinanku profit perusahaan melonjak drastis, dan itu profit, Hanina. Kamu sama sekali nggak mempertimbangkan itu." Dada pria itu seketika turun naik, kesal tentu saja, karena dia menganggap ini tidak adil. Dia sudah bekerja keras untuk perusahaan selama tiga minggu ini, hanya untuk menarik simpati papa mertuanya, agar suatu saat kepemilikan saham bisa beralih kepadanya, mengingat dia adalah suami Hanina.
"Aku tidak pernah menukar profit perusahaan dengan luka yang kuterima. Uang itu bukan segalanya, Mas, dan aku bisa menggantikan kamu untuk memegang perusahaan. Jangan lupa, sejak kecil aku sudah disiapkan Papa untuk menjadi pewarisnya. Jadi nggak ada alasan bagiku untuk bergantung kepada suamiku." Lagi-lagi wajahnya mendongak. Hanina menatap tajam sang suami dengan memasang wajah datarnya. Dia berusaha untuk tetap tenang karena sudah memprediksi tanggapan Akmal seandainya tahu jika nantinya Rio menyodorkan berkas untuk ia tanda tangani sebagai bukti pengunduran diri dari PT. Hanina Indo Textile.
"Sombong kamu! Kamu itu baru saja melahirkan dan seharusnya tempatmu itu di rumah, bukan di kantor!" Akmal mendengus. "Atau mungkin kamu ingin menyerahkan Aqila secara sukarela di bawah pengasuhan Risty?!"
"Sebelum menikah, aku sudah biasa ngantor, Mas. Apa kamu lupa?! Bekerja bukanlah hal yang asing buatku Papa sudah mendidikku untuk menjadi seorang wanita yang nantinya mampu menjadi pewarisnya."
"Soal Aqila, itu gampang. Aku bisa menitipkannya pada Mama...."
"Tampaknya kamu memang harus segera diberi pelajaran," geram laki-laki itu. Secepat kilat ia meraih putrinya, lalu menggendongnya dan berbalik keluar dari kamar.
Hanina yang kaget langsung menyusul suaminya. Namun Akmal lebih gesit. Dia terus menuruni anak-anak tangga dan akhirnya sampai ke ruang tengah.
"Kembalikan Aqila, Mas!"
"Aku akan mengembalikan Aqila, jika kamu mau menarik berkas-berkas itu dari pihak HRD," balas Akmal tanpa menoleh.
"Oh, jadi kamu mengancamku?" Hanina menyipitkan matanya.
"Menurut kamu?" Pria itu mengusap pundak putri kecilnya lalu berjalan dengan langkah-langkah yang lebar menuju ke kamar istri pertamanya.
Bab 6 Bukannya tadi pagi Risty sangat menginginkan untuk menimang Aqila dan Akmal harus rela mengalah, menahan egonya yang ingin membela kepentingan istri pertamanya, demi menjaga ketentraman di rumah ini? Namun sekarang Akmal tidak akan mau mengalah lagi, karena ternyata Hanina mulai menggunakan kekuasaan yang dimilikinya.Aqila adalah kelemahan Hanina dan sudah saatnya Akmal melanjutkan rencananya, karena baginya negosiasi dengan Hanina sudah menemukan jalan buntu.Hanina tetap memaksa Akmal untuk memilih antara dirinya dan Risty.Hanina pun sudah terlanjur tahu jika ia memiliki istri yang lain. Akmal tidak pernah berpikir jika Hanina akan berbuat sejauh itu, tapi nasi sudah menjadi bubur. Seandainya dia tidak keceplosan malam itu, mungkin Hanina masih bisa diajak kompromi. Namun nalurinya sebagai seorang suami tidak rela jika Hanina menganggap Risty sebagai selingkuhannya. Setidaknya dia lebih dulu hidup bersama dengan Risty ketimbang dengan Hanina. Akmal selalu mensugesti diri
Bab 7"Setidaknya Hanina tidak perlu tahu jika aku punya istri yang lain dan dia hanya dijadikan sebagai istri kedua. Kau tahu apa arti istri kedua bagi sebagian orang, bukan?" Akmal mendengus, lalu memilih berbalik. Tidak ada gunanya ia marah-marah, toh tetap saja ia harus memikirkan cara supaya jabatan itu kembali kepada dirinya. Dia tidak mau menjadi pengangguran. Mencari pekerjaan lain di situasi sekarang ini bukan hal yang mudah. Dulu pun dia hanya bekerja sebagai seorang staf dan gaji yang diterimanya tidak seberapa, sementara dia harus membiayai Risty, juga ibunya. Jika yang menjadi istrinya hanya Hanina, tentu tidak masalah, karena tanpa ia biayai sekalipun, Hanina sudah kaya, bahkan apa yang ia miliki sekarang ini sebenarnya juga milik Hanina, hanya saja Risty yang terlalu pongah ataupun percaya diri dan menganggap jika Akmal sudah memiliki segalanya.Hal yang tidak dipahami oleh sebagian orang, jika sebenarnya seorang pimpinan perusahaan itu bisa saja di depak, karena bag
Bab 8"Kamu mau bikin usaha apa, Mal? Kalau memang prospeknya bagus, Papa pasti dukung kok. Nanti kamu bikin proposal, biar Papa yang jadi investor pertama kamu," tawar pria setengah tua itu antusias.Hanina memutar bola matanya malas, tak mau menanggapi ucapan sang papa. Dia menyerahkan Aqila kepada ibunya, kemudian segera menggamit lengan pria muda yang kini tengah duduk berhadapan dengan papanya itu."Aduh, Pa, soal itu nanti saja dibahasnya ya. Bakalan panjang pembicaraan. Aku mau buru-buru ke kantor nih. Mas Akmal udah janji mau nganterin," sergah perempuan itu. Mukanya sengaja dibuat cemberut, yang di tanggapi Darmawan dengan tawanya yang lebar."Kamu itu, Nak. Ada-ada saja." Pria itu bangkit, lalu menepuk bahu menantunya. "Kalau kamu butuh sharing sama Papa, Papa selalu bersedia kapanpun. Jangan sungkan sama papa ya, Nak. Kamu sudah nunjukin di hadapan Papa, jika kamu punya kemampuan yang bagus.""Terima kasih, Pa. Nanti kita bahas lagi soal itu. Sekarang aku mau mengantar Han
Bab 9Hanina sengaja pulang dengan dijemput oleh sopir papanya karena dia akan menjemput Aqila terlebih dulu. Bayi lucu itu nampak berbinar-binar saat mendapati Hanina datang dan membawanya ke dalam gendongan."Mau langsung pulang, Nak?" tanya ibunya."Iya, Ma. Takutnya keburu magrib. Kasihan Aqila," sahut perempuan itu. Hanina meraih tas perlengkapan Aqila, tapi tangan ibunya lebih sigap. Dia mengiringi langkah Hanina sembari membawa tas itu menuju ke mobil."Mama akan senang sekali seandainya kamu menginap, Nak. Sejak melahirkan, kamu belum pernah menginap di sini. Nggak apa-apa, ajak Akmal juga. Rumah ini selalu sepi tanpa kamu," bujuk perempuan paruh baya itu."Salah Mama dan Papa karena hanya punya anak tunggal." Hanina mencebikkan bibirnya."Mau bagaimana lagi? Papa dan Mama sudah tua. Sudah tidak bisa lagi bikin adik buat kamu." Tawa Liani, nama perempuan baya yang melahirkan Hanina ini seketika pecah. Dia mencubit pipi putrinya yang juga terlihat memerah."Ada-ada saja Mama in
Bab 10"Aku nggak sanggup, Mas. Aku nggak sanggup berbagi." Hanina menutup wajahnya yang basah dengan kedua belah telapak tangannya, Namun Akmal segera menarik tangan itu, lalu menghujani perempuan itu dengan kecupan yang bertubi-tubi."Tapi aku nggak bisa menceraikan kamu jika Aqila harus ikut denganmu. Aqila itu impianku, cita-citaku sejak lama. Kau tahu arti keturunan bagi seorang lelaki, bukan?""Aku tahu, Mas, tapi aku juga nggak bisa egois. Aku nggak mungkin menyingkirkan istri pertama kamu, karena kamu masih mencintainya. Aku nggak mau menyiksa dua orang yang saling mencintai, meskipun aku juga mencintai kamu. Aku nggak bisa hidup berdampingan dengan istri kamu yang lain, Mas." Hanina menggeleng.Dia memandang wajah itu, dan menemukan wajah dan sorot mata Akmal sudah berubah kembali seperti saat ia pertama kali bertemu dengan pria ini. Hanina mendesah berat. Rasanya sulit membedakan mana Akmal yang asli dan mana yang bukan alias akting. Sikapnya seringkali berubah semenjak kej
Bab 11"Mas, kamu nggak bisa begitu dong. Memangnya kamu mau membuat aku kelaparan?!" Risty mengabaikan makan malamnya, dan berlari menyusul Akmal yang sudah berada di depan tangga. Pria itu tampak menaiki anak-anak tangga dengan cepat untuk segera sampai di lantai atas."Mas, tunggu! Kamu mau ke mana sih?""Kamu nggak lihat apa yang aku bawa?" Pria itu menatap mata istri pertamanya. Dadanya turun naik menahan kesal yang teramat sangat. "Kenapa piringnya ada dua? Masa iya makan malam Hanina sebanyak itu?" Mata Risty seketika menyipit. Dia baru menyadari, ternyata di dalam nampan itu ada dua buah piring dan dua buah gelas berisi penuh makanan dan minuman."Kami akan malam bersama, dan kamu makan sendiri saja di ruang makan, oke?" Akmal melanjutkan langkah tanpa menghiraukan istrinya yang terus saja berjalan mengiringinya, sampai akhirnya mereka tiba di depan pintu kamar Hanina."Apa? Mas mau makan malam sama Hanina? Kamu mengabaikanku, Mas!" Risty tersentak. Sepasang matanya membulat s
Bab 12"Malam ini aku yang akan menemanimu tidur disini.""Aku nggak bisa mengabulkan permintaanmu loh, Mas. Jadi nggak ada gunanya kamu menemaniku di sini. Lebih baik kamu tidur di kamarmu atau di kamar Risty, lagian bukannya dia tadi ngambek? Bujuk saja dia dulu," ujar Hanina datar. Perempuan itu bangkit dan meraih Aqila yang rupanya terbangun lagi, kemudian segera menyusui bayinya.Hanina setengah berbaring sembari menyusui bayinya. Perempuan itu nampak begitu menikmati perannya sebagai seorang ibu. Menyaksikan pemandangan itu, entah kenapa hati Akmal merasa trenyuh.Hanina benar. Dia tidak sedang menyewakan rahimnya kepada siapapun. Diantara mereka tidak ada kesepakatan soal itu. Akmal menikahi Hanina dan Hanina melahirkan anaknya. Posisi Hanina bukan sekedar seorang wanita yang membuat anaknya terlahir ke dunia ini seperti yang ia sugestikan selama ini kepada dirinya sendiri.Dia menikahi Hanina, dan menggaulinya secara sah. Aqila mutlak buah hati mereka, bukan anaknya bersama de
Bab 13Hanina tidak menanggapi ucapan ibunya, tetapi malah bangkit sembari menggendong bayinya. Dia berjalan menuju kamarnya sendiri, kamar yang sudah ditempatinya saat masih gadis dulu. Kebetulan letaknya di lantai dasar, sehingga Hanina tidak perlu naik tangga. Kamar ini masih saja seperti yang dulu. Ruangan yang dicat merah muda khas anak perempuan, yang pernah menjadi saksi dirinya tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik dan cerdas. Hanina menyelesaikan S2 nya, kemudian bekerja di perusahaan papanya sendiri, lalu bertemu dengan Akmal dan akhirnya menikah. Hanina merasa hidupnya sempurna, sebelum akhirnya peristiwa malam itu membuka rahasia besar kebusukan suaminya sendiri."Kamu belum jawab pertanyaan Mama, Nak." Ternyata Liani menyusul dengan membawakan dua tas itu."Apanya yang harus kujawab, Ma? Aku tidak punya masalah dengan Mas Akmal. Hanya saja malam ini aku sedikit lelah, jadi aku menginap di sini saja ya." pinta Hanina sekalian. Dia merebahkan Aqila di pembaringannya yang
Bab 149"Selamat datang di rumah kita, istriku," bisik Akmal. "Terima kasih, Mas." Mata perempuan itu berkaca-kaca. Tanpa sadar ia menggenggam tangan prianya. Hanina merasa sangat terharu, tak menyangka jika dia masih diberi kesempatan untuk menginjakkan kaki di rumah yang pernah dijualnya ini.Hanina terpaksa menjual rumah ini karena kesulitan keuangan setelah perusahaan mereka bangkrut. Dia perlu modal untuk membangun usaha dan tempat tinggal baru, sementara hampir semua aset mereka sudah habis untuk membayar hutang. Masih untung papanya tidak masuk penjara, karena terlilit hutang. Mereka masih mampu memenuhi kewajibannya, meskipun harus menghabiskan hampir semua aset."Sama-sama, Sayang. Aku juga sangat bersyukur karena akhirnya kita bisa kembali menempati rumah ini. Beruntung orang yang memiliki rumah ini sebelumnya mau mengerti dan bersedia menjual kembali rumah ini kepada kita.""Ya. Kamu sudah berkali-kali cerita soal itu." Perempuan itu akhirnya sampai di sofa dan mendudukka
Bab 148Dua bulan kemudian.Akmal berjalan mondar-mandir di area depan Hanina Hotel. Dia memastikan semuanya bisa rampung tepat waktu, karena mulai besok hotel ini akan resmi beroperasi. Dengan letak cukup strategis yang sangat dekat dengan tempat wisata religi, menjadi jaminan jika Hanina Hotel akan segera kebanjiran tamu pengunjung.Pria itu tahu apa yang harus ia lakukan setelah memutuskan keluar dari grup Aston. Meski terasa berat, karena bagaimanapun Aston adalah tempatnya bernaung pertama kali, tapi Akmal memutuskan untuk mandiri. Dia ingin merasakan menjadi seorang pengusaha dalam artian yang sebenarnya, bukan hanya sekedar karyawan, meskipun posisi terakhirnya adalah karyawan nomor satu. Namun karyawan tetaplah karyawan.Setelah merasa cukup, Akmal dengan didampingi om Danu segera masuk kembali ke bangunan yang megah itu. Sembari berjalan menuju ruang pertemuan, dia terus menikmati pemandangan yang memanjakan matanya. Area dalam hotel ini sudah benar-benar selesai, dan interi
Bab 147Dia dan Akmal memang sudah punya cerita masing-masing dan tidak saling mencampuri urusan satu sama lain. Sungguh, Risty hanya sekedar menanyakan. Entah bagaimana penampakan pria itu sekarang. Tentunya lebih keren dibandingkan saat bersamanya dulu. Bersama dengan Hanina, Akmal memperoleh banyak pencapaian dalam hidup dan finansial. Perempuan itu memejamkan mata, lalu segera membuka matanya kembali saat merasakan tepukan lembut di bahunya."Ini bukan saat yang tepat untuk bernostalgia. Kita ke sini datang sebagai tamu, bukan sebagai mantan." Rio mengucapkan dengan cara berbisik, lantaran tak ingin Aqila mendengar ucapannya.Risty mengangguk. Akhirnya dia memilih untuk menggendong Aqila dan membawa balita cantik itu ke halaman rumah.Di halaman ada bangku dan ayunan. Risty membawa Aqila duduk di ayunan yang berbahan besi kuat itu."Aqila mau adik apa? Cowok atau cewek?" tanya Risty sembari menggerakkan batang besi penyangga ayunan, sehingga tempat duduknya sekarang bergerak-ger
Bab 146Rio berusaha mengabaikan pertanyaan sang istri dan memilih untuk berdiri. Dia mengajak Risty menuju ruang makan, meski sebenarnya dia tidak sedang mood. Ternyata semua makanan sudah terhidang rapi di meja makan. Pria itu tersenyum tipis, lalu menarik kursi dan duduk."Mari kita makan, Ris. Terima kasih sudah memasak.""Bukan aku, tapi si Bibik," balas Risty seraya mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dan lauk pauk, lalu menyerahkannya kepada Rio."Tapi kamu hebat, bisa belajar dalam waktu singkat. Aku senang melihat perubahan kamu. Kamu terlihat bersungguh-sungguh untuk membuat diri kamu menjadi lebih baik," pujinya tulus."Tapi tetap saja aku sudah punya cacat. Masa laluku bersama dengan mas Akmal sungguh buruk. Aku bahkan pernah menjadi wanita panggilan untuk menyambung hidup." Risty mengulas senyuman, meski sebenarnya ia masih menyimpan berbagai tanya di benaknya soal sikap Rio semenjak mereka pulang dari acara pernikahannya Dira dan Reza."Setiap manusia punya cac
Bab 145"Nggak usah didengerin ucapan Mama. Kalau memang kamu nggak siap melakukan hubungan suami istri, aku bisa menunggu kok. Santai aja," ujar Reza menenangkan Dira yang terlihat amat gelisah saat mereka dalam perjalanan pulang dari bandara untuk mengantar rombongan ibunya."Bukan soal itu. Aku hanya kepikiran soal kita kedepannya. Aku nggak menyangka kita bisa melangkah sejauh ini," keluh gadis itu."Tidak apa-apa. Memang sudah jalannya begitu, yang penting kamu bisa menjalaninya dengan baik.""Aku nggak yakin." Tatapan Dira nampak kosong, meski di sepanjang perjalanan, nampak gedung-gedung pencakar langit berdiri dengan angkuh, mengalahkan rumah-rumah petak di sekitarnya."Aku akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meyakinkan kamu. Yang penting kamu nggak menentang jalan yang sudah kita ambil. Ini hanya soal waktu, jadi kita kembalikan saja kepada waktu.""Kamu begitu yakin, Reza?""Tidak ada hal yang membuatku tidak yakin, karena kurasa yang ada dalam dirimu itu bukan cinta,
Bab 144Luka itu kembali terbuka. Dia tidak menyangka Rio dan Risty muncul, padahal gadis itu merasa tidak pernah mengundang kedua orang itu. Lalu siapa yang mengundangnya? Apakah Hanina?!"Kamu harus hadapi semuanya, Dira. Jangan menghindar terus, karena terapi yang paling baik buat kesembuhan hati kamu adalah bertemu dengan orang yang membuat hatimu sakit, walaupun mungkin di awal perih. Tapi percayalah, lukamu akan segera sembuh." Hanina berbisik, lalu dia segera undur dua langkah dan memberikan kesempatan kepada para undangan yang lain untuk bersalaman dengan Dira dan Reza.Lagi-lagi gadis itu mengangguk dan anggukan itu pula yang ia tunjukkan saat harus bersalaman dengan Rio dan Risty. Pria di samping Dira itu hanya tersenyum kecut manakala akhirnya bisa bertemu langsung dengan pria yang sangat dicintai oleh Dira.Tanpa sadar dia membandingkan antara ia dengan Rio. Dilihat dari postur tubuh, dia tidak kalah dengan Rio, sama-sama gagah dan tampan, meski tentu struktur wajah mereka
Bab 143Aroma bunga yang semerbak tercium dengan jelas dari bunga-bunga yang disebarkan ke seluruh penjuru ruangan ini. Ruangan tamu di rumahnya yang tidak terlalu luas kini disulap menjadi ruangan tempat akad nikah. Pagi ini Reza akan melafalkan akad nikah atas nama dirinya. Dira menghela nafas. Akhirnya dia menyerah. Dia bersedia menikah dengan Reza, meski tak ada sedikitpun rasa cintanya pada pria itu. Sebelumnya dia selalu berkhayal jika ia akan menikah satu kali seumur hidup dengan orang yang ia cintai, tapi kenapa semuanya menjadi begini? Seolah takdir memaksanya untuk menerima pria itu. Dia hanya menganggap Reza sebagai teman, malaikat penolongnya. Seandainya tidak ada Reza waktu itu, maka barangkali dia sudah rusak oleh kecerobohan yang dibuatnya sendiri.Klub malam bukanlah tempat yang baik untuk gadis perawan seperti dirinya."Sebentar lagi mempelai pria akan datang, Nak. Jangan cemberut terus," tegur ibunya yang saat itu sudah masuk ke dalam ruangan dan kini duduk di sis
Bab 142Hanina celingak-celinguk, sembari mengerjapkan matanya berulang kali. Bayangan yang sempat dilihatnya barusan kini telah lenyap, padahal dia merasa belum lima menit ia memalingkan wajah ke arah lain, tapi sosok yang ia kenali sebagai Reza dan Dira itu sudah lenyap dari pandangannya."Kenapa, Sayang?" Akmal yang tengah menggendong Aqila itu pun memasang tampang keheranan menyaksikan tingkah istrinya. Dia memang lebih fokus pada putrinya dan mengabaikan sekelilingnya."Aku seperti melihat Dira di sini, tapi ke mana ya? Barusan dia ada di situ," tunjuk Hanina pada sebuah bangku dan meja yang memang barusan digunakan oleh Dira dan Reza untuk duduk bersantai sembari menikmati udara dan pemandangan laut."Nggak ada tuh." Akmal menatap arah yang ditunjuk oleh istrinya. Hanya ada sepasang kursi dan meja yang di atasnya dua batok kelapa dan bungkus cemilan."Tapi aku seperti melihat mereka. Aku masih mengenali Dira dan...." Perempuan itu menyanggah."Kok bilang mereka? Memangnya kamu l
Bab 141Reza tertegun sejenak. Namun sedetik kemudian dia sudah bisa menguasai diri. "Tenanglah, aku nggak sakit kok. Kamu nggak perlu segitunya." Pria itu menarik tubuh Dira hingga akhirnya gadis itu kembali bangkit dan terduduk di ranjang.Keduanya kini duduk berhadapan dan lagi-lagi Reza menangkup kedua pipi gadis itu."Aku akan tanggung jawab. Sejak awal aku yang membawamu kemari, meskipun itu atas keinginanmu sendiri. Jika memang kedua orang tua kita mengira kita tinggal bersama atau melakukan hal yang tidak benar, aku akan berusaha meluruskannya. Kamu tenang aja." Reza meyakinkan."Bagaimana aku bisa tenang jika sudah seperti ini? Bagaimana kalau nanti kita dipaksa untuk menikah? Aku nggak mau kita terlibat dengan urusan pribadi. Lagi pula kita nggak ada hubungan apa-apa, masa iya dipaksakan gitu? Aku nggak mau tahu, kamu harus pastikan mereka bisa mengerti bahwa kita nggak ada hubungan apa-apa. Aku ke sini cuma untuk kerja," oceh Dira panjang lebar."Ya, tinggal nikah saja." P