Share

Jangan Bawa Anakku!

Bab 4

Jangan Bawa Anakku!

"Kalau kamu ingin sarapan, silahkan minta buatkan sama istri pertamamu. Bukankah aku hanya diperlukan rahimnya untuk melahirkan anakmu?! Sementara tugas-tugas yang lain, biarlah dilimpahkan kepada istri pertamamu. Bukankah seharusnya begitu yang lebih adil?"

"Lancang mulutmu! Seperti tidak pernah diajari bagaimana caranya menjadi istri yang baik!" Tanpa sadar Akmal mencengkeram lengan istrinya. Sebelah tangannya yang lain meraih nampan dan tanpa bisa dicegah lagi, Akmal menjatuhkan nampan itu ke lantai.

Cairan susu tumpah kemana-mana, berceceran membasahi karpet yang terhampar. Untung saja lantai dialasi oleh karpet, sehingga gelas dan piring yang terbuat dari kaca itu tidak pecah. 

Hanina menatap menu sarapannya yang akhirnya menjadi sia-sia.

"Seharusnya kamu lah yang perlu diajari bagaimana caranya menjadi suami yang baik. Kamu pikir keputusanmu untuk membohongiku lalu menjadikanku sebagai istri kedua itu adalah benar?!" balas Hanina. Dia mendorong tubuh sang suami, berusaha menjauhkannya dari sofa, tetapi tidak bisa. Tenaga Akmal begitu kuat dan dia masih saja berhimpitan dengan suaminya di sofa ini.

"Aku sudah menjadi suami yang baik dan aku punya alasan kenapa harus berbohong kepadamu soal status. Aku memang pria beristri sebelum menikahimu, tapi...."

"Itu kamu lakukan karena ingin punya anak. Iya, kan?!" Hanina menimpali sembari tersenyum sinis. Wanita itu lantas bangkit. Dia mengibaskan tangan Akmal. Sekarang sudah saatnya ia membangunkan putrinya, karena waktu sudah menunjukkan hampir pukul 07.00 pagi.

"Aku memang ingin punya anak, tapi setidaknya aku tidak menempuh jalan yang buruk. Aku menikahimu secara baik-baik, meskipun awalnya membohongimu." 

Merasa Hanina lolos darinya, pria itu pun menyusul bangkit dari sofa. Dia pergi menuju kamar mandi.

Hanina melengos. Dia hanya menghela nafas, lalu kembali fokus pada bayinya. Aqila sudah terbangun dan kini tengah asyik menyusu padanya. Lagi-lagi tanpa bisa ditahan, air matanya menetes. Namun Hanina langsung meraih tisu, menyeka wajahnya, agar tetes air matanya tidak turut membasahi wajah putrinya.

"Kasihan sekali kamu, Nak. Jika papa kamu lebih memilih istri pertamanya, berarti kita hanya tinggal berdua dan kamu akan kehilangan sosok seorang ayah. Tapi Mama harus gimana lagi? Mama nggak mau papa kamu punya istri lain. Mungkin Mama bisa memaafkan semua perlakuan papamu sejak tadi malam, tapi dia harus melepaskan istri pertamanya jika memang papamu ingin memilih bersama dengan kita." Hanina hanya mengucapkan kata-kata itu dalam hati. Dadanya terasa sesak, tapi perempuan itu berusaha untuk tetap tenang. Dia ingin momen menyusui ini bisa dilewatinya sebaik mungkin. Emosinya yang turun naik bisa jadi akan berpengaruh pada putri kecilnya juga.

Pintu kamar mandi terbuka dan Akmal sudah keluar. Hanina membiarkan Akmal menuju area penyimpanan pakaian. Hanina ingin tahu bagaimana reaksi Akmal saat ia mengabaikan pria itu.

Kurang lebih sepuluh menit kemudian, Akmal keluar. Dia sudah mengenakan celana bahan berwarna hitam dengan kemeja berwarna biru muda. Cukup serasi menurut Hanina.

"Di mana kamu menaruh kumpulan dasi, Nina?" tanya Akmal. Pria itu menatap Hanina dengan ekspresi bingung. 

Hanina mendecakkan lidah. Benar dugaannya. Akmal memang tidak akan hafal tempat penyimpanan barang-barang pribadinya sendiri, karena selama ini Hanina yang mengurus semuanya. Hanina yang biasa menyiapkan setelan kerjanya, kecuali pagi ini.

Ini memang di sengaja oleh Hanina, demi untuk memberikan suaminya sebuah pelajaran.

"Ada di laci lemari pakaianmu yang nomor 2, Mas. Kamu cari saja sendiri. Aku sedang menyusui Aqila," sahutnya.

Pria itu kembali menuju area penyimpanan pakaian dan tidak sampai lima menit, dia sudah kembali lagi dengan membawa dasi berwarna biru dengan garis hitam.

"Tidak bisa memakai dasi sendiri?" sarkas perempuan itu. Kali ini Aqila memang sudah selesai menyusu dan Hanina merebahkannya di sofa bayi.

"Tolong kamu pakaikan ya, please," bujuk Akmal dengan raut wajah memelas. 

Hanina yang tidak tega segera memakaikan dasi itu ke leher sang suami. Namun tak ada senyum yang biasa terlukis di bibirnya.

"Sudah selesai. Sekarang pergilah ke dapur. Suruh Risty bikin sarapan buat kamu. Jangan sampai asam lambungmu kumat karena pergi ke kantor tidak sarapan," titah perempuan itu.

Namun sebenarnya yang menjadi alasannya adalah, Hanina sudah muak dengan tampang Akmal di kamar ini, lagi pula ia harus segera membereskan kekacauan yang dibuat Akmal barusan.

Hanina membungkuk, memunguti piring dan gelas serta nampan yang tergeletak di lantai. Dia mengambil tisu berlembar-lembar, kemudian mulai membersihkan karpet. Memang tidak terlalu bersih, tetapi setidaknya lebih enak dipandang. Untung saja hanya cairan susu, sementara sarapannya cukup aman. Potongan sandwich nya bisa ia susun kembali.

"Masih bisa dikonsumsi, hanya saja aku harus membuat ulang susuku. Mas Akmal memang keterlaluan," gumam Hanina seraya melemparkan gumpalan tisu ke tong sampah.

Hanina melewati rutinitas paginya dengan memandikan Aqila, mendandaninya secantik mungkin, memakaikan baju dan bandonya. Hanina menatap putrinya yang sudah sangat cantik itu penuh rasa cinta. Masih bayi saja secantik ini. Bagaimana jika ia kelak tumbuh dewasa? Matanya kembali berkaca-kaca, mengingat nasib sang putri yang mungkin ke depannya akan kehilangan sosok seorang ayah.

***

"Ayolah Nina, please. Kasih kesempatan Risty untuk menggendong Aqila. Dia nggak akan menyakiti Aqila kok. Dia itu sayang  banget sama Aqila," bujuk Akmal.

Ini sudah beberapa hari sejak kejadian malam itu. Dan Hanina menepati janjinya. Dia tidak sudi memberikan Aqila kepada Risty, apapun alasannya, bahkan Akmal pun sering ia larang untuk menggendong Aqila, kecuali di kamar mereka.

Hanina sangat protektif terhadap Aqila, meskipun ia tahu Risty sangat menginginkan dan tidak mungkin menyakiti Aqila. Justru karena itu. Hanina sengaja ingin memberikan pelajaran, agar istri pertama Akmal itu tidak mudah mengakui anak orang lain sebagai anak sendiri.

Dia adalah istri kedua, yang hamil dan melahirkan secara alami, tanpa bantuan teknologi buatan seperti inseminasi buatan atau bayi tabung. Tidak ada perjanjian lain selain itu. Ini bukan cerita novel tentang seseorang yang menyewakan rahim untuk pasangan suami istri yang tidak memungkinkan untuk memiliki anak. Dia bukan ibu pengganti yang dituntut untuk menyerahkan anaknya kepada pasangan suami istri yang menyewa rahimnya. Aqila mutlak anaknya. Dia yang mengandung dan melahirkan Aqila. Apa salah jika ia tidak mengizinkan Risty untuk menggendong bayinya?

Persetan dengan kemarahan Risty. Sudah cukup sepasang suami istri itu menipunya dan kini saatnya ia harus memberi mereka pelajaran. 

"Kalau aku bilang tidak mau, ya tidak. Kamu masih ingat kan, ucapanku malam itu? Keputusan yang sudah aku buat itu nggak bisa diganggu gugat, Mas!" 

"Iya, Mas tahu, tapi kamu kasih kesempatan dong sama Risty untuk menggendong Aqila. Sebentar saja. Setelah itu boleh kamu ambil lagi." Akmal kembali membujuk.

"Maaf Mas, aku nggak bisa. Aqila anakku dan aku tidak akan mengizinkan istri pertamamu menyentuh ataupun menggendong Aqila. Jangan mentang-mentang ia adalah istri pertamamu, lalu dia bisa seenaknya. Ingat, dia cuma numpang di rumah ini. Ini rumahku dan akulah yang mengatur semuanya," ketus Hanina. Perempuan itu berjalan sembari menggendong bayinya. Dia menuruni anak-anak tangga, bermaksud akan ke dapur. 

Hari masih pagi dan dia harus kembali membuat sarapan untuknya. Berhubung sekarang Akmal tidak bisa dipercaya, Hanina akhirnya memilih membawa Aqila ke dapur.

Hanina membuat sarapan yang praktis saja supaya cepat selesai. Segelas susu khusus ibu menyusui dan dua tangkup roti isi selai kacang. Memang itu tidak membuatnya kenyang, tetapi setidaknya bisa mengganjal perutnya. Nanti dia akan makan lagi setelah Akmal berangkat kerja. 

Pada siang hari akan ada asisten rumah tangga yang datang dan Risty pasti tidak akan berani macam-macam. Mungkin akan ada sedikit pertanyaan dari asisten rumah tangganya, kenapa Risty yang merupakan baby sister di rumah ini tidak melakukan kegiatan apapun untuk mengurus bayi. Namun Hanina sudah menyiapkan jawaban yang cukup logis untuk itu.

Setelah membuat susu, Hanina segera berjalan menuju lemari makanan bermaksud mengambil roti dan selai. Namun sudut matanya menangkap bayangan Risty yang terlihat mengendap-endap menuju stroller tempat Aqila ia baringkan. Hanina mengurungkan niatnya. Dia memutar tubuhnya secepat kilat. Namun terlambat. Risty sudah terlanjur mengambil Aqila dan menggendong bayi itu.

"Tunggu, Risty. Jangan bawa anakku!" teriak Hanina berlari mengejar perempuan itu yang rupanya sedang menuju ke kamarnya. 

Hanina berhasil meraih tangan Risty tepat saat perempuan itu tengah berada di depan pintu. Sekuat tenaga Hanina berupaya mencegah agar jangan sampai Risty berhasil membuka pintu kamarnya, tetapi pintu itu tetap saja terbuka.

Dorongan tubuh keduanya yang kuat memaksa Hanina dan Risty akhirnya masuk bersamaan ke dalam kamar itu.

"Kembalikan Aqila. Dia anakku, bukan anakmu!" sentak perempuan itu. Dia mencoba membebaskan tangan perempuan itu dari tubuh putrinya.

Risty mempererat pegangannya pada tubuh Aqila. Sementara Hanina membungkukkan tubuhnya sedikit, menundukkan kepalanya, lalu menggigit lengan perempuan itu kuat-kuat. Risty menjerit keras dan itu membuat Aqila menangis lantaran terkejut. Pegangan Risty pada tubuh Aqila mengendur dan kesempatan itu digunakan oleh Hanina untuk mengambil bayinya.

Hanina tak lagi menghiraukan sarapannya yang tergeletak di atas meja makan. Dia langsung membawa putrinya menjauh dari Risty. Di ruang tengah yang merupakan ruang penghubung antara lantai dasar dengan lantai atas rumah ini, dia hampir saja menabrak Akmal yang sudah siap dengan menenteng tas kerjanya.

"Ada apa ini? Kenapa Aqila menangis kejar? Kamu apain anakku?!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status