Bab 4
Jangan Bawa Anakku! "Kalau kamu ingin sarapan, silahkan minta buatkan sama istri pertamamu. Bukankah aku hanya diperlukan rahimnya untuk melahirkan anakmu?! Sementara tugas-tugas yang lain, biarlah dilimpahkan kepada istri pertamamu. Bukankah seharusnya begitu yang lebih adil?""Lancang mulutmu! Seperti tidak pernah diajari bagaimana caranya menjadi istri yang baik!" Tanpa sadar Akmal mencengkeram lengan istrinya. Sebelah tangannya yang lain meraih nampan dan tanpa bisa dicegah lagi, Akmal menjatuhkan nampan itu ke lantai.
Cairan susu tumpah kemana-mana, berceceran membasahi karpet yang terhampar. Untung saja lantai dialasi oleh karpet, sehingga gelas dan piring yang terbuat dari kaca itu tidak pecah.
Hanina menatap menu sarapannya yang akhirnya menjadi sia-sia.
"Seharusnya kamu lah yang perlu diajari bagaimana caranya menjadi suami yang baik. Kamu pikir keputusanmu untuk membohongiku lalu menjadikanku sebagai istri kedua itu adalah benar?!" balas Hanina. Dia mendorong tubuh sang suami, berusaha menjauhkannya dari sofa, tetapi tidak bisa. Tenaga Akmal begitu kuat dan dia masih saja berhimpitan dengan suaminya di sofa ini.
"Aku sudah menjadi suami yang baik dan aku punya alasan kenapa harus berbohong kepadamu soal status. Aku memang pria beristri sebelum menikahimu, tapi...."
"Itu kamu lakukan karena ingin punya anak. Iya, kan?!" Hanina menimpali sembari tersenyum sinis. Wanita itu lantas bangkit. Dia mengibaskan tangan Akmal. Sekarang sudah saatnya ia membangunkan putrinya, karena waktu sudah menunjukkan hampir pukul 07.00 pagi.
"Aku memang ingin punya anak, tapi setidaknya aku tidak menempuh jalan yang buruk. Aku menikahimu secara baik-baik, meskipun awalnya membohongimu."
Merasa Hanina lolos darinya, pria itu pun menyusul bangkit dari sofa. Dia pergi menuju kamar mandi.
Hanina melengos. Dia hanya menghela nafas, lalu kembali fokus pada bayinya. Aqila sudah terbangun dan kini tengah asyik menyusu padanya. Lagi-lagi tanpa bisa ditahan, air matanya menetes. Namun Hanina langsung meraih tisu, menyeka wajahnya, agar tetes air matanya tidak turut membasahi wajah putrinya.
"Kasihan sekali kamu, Nak. Jika papa kamu lebih memilih istri pertamanya, berarti kita hanya tinggal berdua dan kamu akan kehilangan sosok seorang ayah. Tapi Mama harus gimana lagi? Mama nggak mau papa kamu punya istri lain. Mungkin Mama bisa memaafkan semua perlakuan papamu sejak tadi malam, tapi dia harus melepaskan istri pertamanya jika memang papamu ingin memilih bersama dengan kita." Hanina hanya mengucapkan kata-kata itu dalam hati. Dadanya terasa sesak, tapi perempuan itu berusaha untuk tetap tenang. Dia ingin momen menyusui ini bisa dilewatinya sebaik mungkin. Emosinya yang turun naik bisa jadi akan berpengaruh pada putri kecilnya juga.
Pintu kamar mandi terbuka dan Akmal sudah keluar. Hanina membiarkan Akmal menuju area penyimpanan pakaian. Hanina ingin tahu bagaimana reaksi Akmal saat ia mengabaikan pria itu.
Kurang lebih sepuluh menit kemudian, Akmal keluar. Dia sudah mengenakan celana bahan berwarna hitam dengan kemeja berwarna biru muda. Cukup serasi menurut Hanina.
"Di mana kamu menaruh kumpulan dasi, Nina?" tanya Akmal. Pria itu menatap Hanina dengan ekspresi bingung.
Hanina mendecakkan lidah. Benar dugaannya. Akmal memang tidak akan hafal tempat penyimpanan barang-barang pribadinya sendiri, karena selama ini Hanina yang mengurus semuanya. Hanina yang biasa menyiapkan setelan kerjanya, kecuali pagi ini.
Ini memang di sengaja oleh Hanina, demi untuk memberikan suaminya sebuah pelajaran.
"Ada di laci lemari pakaianmu yang nomor 2, Mas. Kamu cari saja sendiri. Aku sedang menyusui Aqila," sahutnya.
Pria itu kembali menuju area penyimpanan pakaian dan tidak sampai lima menit, dia sudah kembali lagi dengan membawa dasi berwarna biru dengan garis hitam.
"Tidak bisa memakai dasi sendiri?" sarkas perempuan itu. Kali ini Aqila memang sudah selesai menyusu dan Hanina merebahkannya di sofa bayi.
"Tolong kamu pakaikan ya, please," bujuk Akmal dengan raut wajah memelas.
Hanina yang tidak tega segera memakaikan dasi itu ke leher sang suami. Namun tak ada senyum yang biasa terlukis di bibirnya.
"Sudah selesai. Sekarang pergilah ke dapur. Suruh Risty bikin sarapan buat kamu. Jangan sampai asam lambungmu kumat karena pergi ke kantor tidak sarapan," titah perempuan itu.
Namun sebenarnya yang menjadi alasannya adalah, Hanina sudah muak dengan tampang Akmal di kamar ini, lagi pula ia harus segera membereskan kekacauan yang dibuat Akmal barusan.
Hanina membungkuk, memunguti piring dan gelas serta nampan yang tergeletak di lantai. Dia mengambil tisu berlembar-lembar, kemudian mulai membersihkan karpet. Memang tidak terlalu bersih, tetapi setidaknya lebih enak dipandang. Untung saja hanya cairan susu, sementara sarapannya cukup aman. Potongan sandwich nya bisa ia susun kembali.
"Masih bisa dikonsumsi, hanya saja aku harus membuat ulang susuku. Mas Akmal memang keterlaluan," gumam Hanina seraya melemparkan gumpalan tisu ke tong sampah.
Hanina melewati rutinitas paginya dengan memandikan Aqila, mendandaninya secantik mungkin, memakaikan baju dan bandonya. Hanina menatap putrinya yang sudah sangat cantik itu penuh rasa cinta. Masih bayi saja secantik ini. Bagaimana jika ia kelak tumbuh dewasa? Matanya kembali berkaca-kaca, mengingat nasib sang putri yang mungkin ke depannya akan kehilangan sosok seorang ayah.
***
"Ayolah Nina, please. Kasih kesempatan Risty untuk menggendong Aqila. Dia nggak akan menyakiti Aqila kok. Dia itu sayang banget sama Aqila," bujuk Akmal.Ini sudah beberapa hari sejak kejadian malam itu. Dan Hanina menepati janjinya. Dia tidak sudi memberikan Aqila kepada Risty, apapun alasannya, bahkan Akmal pun sering ia larang untuk menggendong Aqila, kecuali di kamar mereka.
Hanina sangat protektif terhadap Aqila, meskipun ia tahu Risty sangat menginginkan dan tidak mungkin menyakiti Aqila. Justru karena itu. Hanina sengaja ingin memberikan pelajaran, agar istri pertama Akmal itu tidak mudah mengakui anak orang lain sebagai anak sendiri.
Dia adalah istri kedua, yang hamil dan melahirkan secara alami, tanpa bantuan teknologi buatan seperti inseminasi buatan atau bayi tabung. Tidak ada perjanjian lain selain itu. Ini bukan cerita novel tentang seseorang yang menyewakan rahim untuk pasangan suami istri yang tidak memungkinkan untuk memiliki anak. Dia bukan ibu pengganti yang dituntut untuk menyerahkan anaknya kepada pasangan suami istri yang menyewa rahimnya. Aqila mutlak anaknya. Dia yang mengandung dan melahirkan Aqila. Apa salah jika ia tidak mengizinkan Risty untuk menggendong bayinya?
Persetan dengan kemarahan Risty. Sudah cukup sepasang suami istri itu menipunya dan kini saatnya ia harus memberi mereka pelajaran.
"Kalau aku bilang tidak mau, ya tidak. Kamu masih ingat kan, ucapanku malam itu? Keputusan yang sudah aku buat itu nggak bisa diganggu gugat, Mas!"
"Iya, Mas tahu, tapi kamu kasih kesempatan dong sama Risty untuk menggendong Aqila. Sebentar saja. Setelah itu boleh kamu ambil lagi." Akmal kembali membujuk.
"Maaf Mas, aku nggak bisa. Aqila anakku dan aku tidak akan mengizinkan istri pertamamu menyentuh ataupun menggendong Aqila. Jangan mentang-mentang ia adalah istri pertamamu, lalu dia bisa seenaknya. Ingat, dia cuma numpang di rumah ini. Ini rumahku dan akulah yang mengatur semuanya," ketus Hanina. Perempuan itu berjalan sembari menggendong bayinya. Dia menuruni anak-anak tangga, bermaksud akan ke dapur.
Hari masih pagi dan dia harus kembali membuat sarapan untuknya. Berhubung sekarang Akmal tidak bisa dipercaya, Hanina akhirnya memilih membawa Aqila ke dapur.
Hanina membuat sarapan yang praktis saja supaya cepat selesai. Segelas susu khusus ibu menyusui dan dua tangkup roti isi selai kacang. Memang itu tidak membuatnya kenyang, tetapi setidaknya bisa mengganjal perutnya. Nanti dia akan makan lagi setelah Akmal berangkat kerja.
Pada siang hari akan ada asisten rumah tangga yang datang dan Risty pasti tidak akan berani macam-macam. Mungkin akan ada sedikit pertanyaan dari asisten rumah tangganya, kenapa Risty yang merupakan baby sister di rumah ini tidak melakukan kegiatan apapun untuk mengurus bayi. Namun Hanina sudah menyiapkan jawaban yang cukup logis untuk itu.
Setelah membuat susu, Hanina segera berjalan menuju lemari makanan bermaksud mengambil roti dan selai. Namun sudut matanya menangkap bayangan Risty yang terlihat mengendap-endap menuju stroller tempat Aqila ia baringkan. Hanina mengurungkan niatnya. Dia memutar tubuhnya secepat kilat. Namun terlambat. Risty sudah terlanjur mengambil Aqila dan menggendong bayi itu.
"Tunggu, Risty. Jangan bawa anakku!" teriak Hanina berlari mengejar perempuan itu yang rupanya sedang menuju ke kamarnya.
Hanina berhasil meraih tangan Risty tepat saat perempuan itu tengah berada di depan pintu. Sekuat tenaga Hanina berupaya mencegah agar jangan sampai Risty berhasil membuka pintu kamarnya, tetapi pintu itu tetap saja terbuka.
Dorongan tubuh keduanya yang kuat memaksa Hanina dan Risty akhirnya masuk bersamaan ke dalam kamar itu.
"Kembalikan Aqila. Dia anakku, bukan anakmu!" sentak perempuan itu. Dia mencoba membebaskan tangan perempuan itu dari tubuh putrinya.
Risty mempererat pegangannya pada tubuh Aqila. Sementara Hanina membungkukkan tubuhnya sedikit, menundukkan kepalanya, lalu menggigit lengan perempuan itu kuat-kuat. Risty menjerit keras dan itu membuat Aqila menangis lantaran terkejut. Pegangan Risty pada tubuh Aqila mengendur dan kesempatan itu digunakan oleh Hanina untuk mengambil bayinya.
Hanina tak lagi menghiraukan sarapannya yang tergeletak di atas meja makan. Dia langsung membawa putrinya menjauh dari Risty. Di ruang tengah yang merupakan ruang penghubung antara lantai dasar dengan lantai atas rumah ini, dia hampir saja menabrak Akmal yang sudah siap dengan menenteng tas kerjanya.
"Ada apa ini? Kenapa Aqila menangis kejar? Kamu apain anakku?!"
Bab 5"Bertanyalah kepada istri pertamamu, Mas. Jangan bertanya padaku," sarkas Hanina seraya menepis tangan Akmal yang mencoba meraih bayinya. "Kamu nggak perlu peduli sama Aqila. Sana pergi. Kamu akan terlambat ke kantor jika harus menangani Aqila.""Tapi dia tengah menangis." Akmal menggeletakkan tasnya begitu saja di lantai, lalu mencoba meraih dan menggendong putri kecilnya. Anehnya, bayi itu langsung tenang setelah pundaknya ditepuk-tepuk oleh Akmal. Ini sungguh ajaib. Seketika Hanina menghela nafas dan dalam sekejap dadanya terasa kembali normal. "Segeralah kamu ke kantor, Mas. Jangan sampai Papa marah karena kamu terlambat pagi ini. Hari ini bukannya jadwal pertemuan bulanan dengan dewan komisaris?" Hanina mengingatkan seraya mengambil kembali Aqila yang sudah tenang dari gendongan suaminya."Ya baiklah. Kalau begitu aku berangkat." Pria itu berbalik tanpa menoleh lagi. Bersamaan dengan itu, asisten rumah tangganya yang bernama Wati itu datang. Perempuan berumur 45 tahun it
Bab 6 Bukannya tadi pagi Risty sangat menginginkan untuk menimang Aqila dan Akmal harus rela mengalah, menahan egonya yang ingin membela kepentingan istri pertamanya, demi menjaga ketentraman di rumah ini? Namun sekarang Akmal tidak akan mau mengalah lagi, karena ternyata Hanina mulai menggunakan kekuasaan yang dimilikinya.Aqila adalah kelemahan Hanina dan sudah saatnya Akmal melanjutkan rencananya, karena baginya negosiasi dengan Hanina sudah menemukan jalan buntu.Hanina tetap memaksa Akmal untuk memilih antara dirinya dan Risty.Hanina pun sudah terlanjur tahu jika ia memiliki istri yang lain. Akmal tidak pernah berpikir jika Hanina akan berbuat sejauh itu, tapi nasi sudah menjadi bubur. Seandainya dia tidak keceplosan malam itu, mungkin Hanina masih bisa diajak kompromi. Namun nalurinya sebagai seorang suami tidak rela jika Hanina menganggap Risty sebagai selingkuhannya. Setidaknya dia lebih dulu hidup bersama dengan Risty ketimbang dengan Hanina. Akmal selalu mensugesti diri
Bab 7"Setidaknya Hanina tidak perlu tahu jika aku punya istri yang lain dan dia hanya dijadikan sebagai istri kedua. Kau tahu apa arti istri kedua bagi sebagian orang, bukan?" Akmal mendengus, lalu memilih berbalik. Tidak ada gunanya ia marah-marah, toh tetap saja ia harus memikirkan cara supaya jabatan itu kembali kepada dirinya. Dia tidak mau menjadi pengangguran. Mencari pekerjaan lain di situasi sekarang ini bukan hal yang mudah. Dulu pun dia hanya bekerja sebagai seorang staf dan gaji yang diterimanya tidak seberapa, sementara dia harus membiayai Risty, juga ibunya. Jika yang menjadi istrinya hanya Hanina, tentu tidak masalah, karena tanpa ia biayai sekalipun, Hanina sudah kaya, bahkan apa yang ia miliki sekarang ini sebenarnya juga milik Hanina, hanya saja Risty yang terlalu pongah ataupun percaya diri dan menganggap jika Akmal sudah memiliki segalanya.Hal yang tidak dipahami oleh sebagian orang, jika sebenarnya seorang pimpinan perusahaan itu bisa saja di depak, karena bag
Bab 8"Kamu mau bikin usaha apa, Mal? Kalau memang prospeknya bagus, Papa pasti dukung kok. Nanti kamu bikin proposal, biar Papa yang jadi investor pertama kamu," tawar pria setengah tua itu antusias.Hanina memutar bola matanya malas, tak mau menanggapi ucapan sang papa. Dia menyerahkan Aqila kepada ibunya, kemudian segera menggamit lengan pria muda yang kini tengah duduk berhadapan dengan papanya itu."Aduh, Pa, soal itu nanti saja dibahasnya ya. Bakalan panjang pembicaraan. Aku mau buru-buru ke kantor nih. Mas Akmal udah janji mau nganterin," sergah perempuan itu. Mukanya sengaja dibuat cemberut, yang di tanggapi Darmawan dengan tawanya yang lebar."Kamu itu, Nak. Ada-ada saja." Pria itu bangkit, lalu menepuk bahu menantunya. "Kalau kamu butuh sharing sama Papa, Papa selalu bersedia kapanpun. Jangan sungkan sama papa ya, Nak. Kamu sudah nunjukin di hadapan Papa, jika kamu punya kemampuan yang bagus.""Terima kasih, Pa. Nanti kita bahas lagi soal itu. Sekarang aku mau mengantar Han
Bab 9Hanina sengaja pulang dengan dijemput oleh sopir papanya karena dia akan menjemput Aqila terlebih dulu. Bayi lucu itu nampak berbinar-binar saat mendapati Hanina datang dan membawanya ke dalam gendongan."Mau langsung pulang, Nak?" tanya ibunya."Iya, Ma. Takutnya keburu magrib. Kasihan Aqila," sahut perempuan itu. Hanina meraih tas perlengkapan Aqila, tapi tangan ibunya lebih sigap. Dia mengiringi langkah Hanina sembari membawa tas itu menuju ke mobil."Mama akan senang sekali seandainya kamu menginap, Nak. Sejak melahirkan, kamu belum pernah menginap di sini. Nggak apa-apa, ajak Akmal juga. Rumah ini selalu sepi tanpa kamu," bujuk perempuan paruh baya itu."Salah Mama dan Papa karena hanya punya anak tunggal." Hanina mencebikkan bibirnya."Mau bagaimana lagi? Papa dan Mama sudah tua. Sudah tidak bisa lagi bikin adik buat kamu." Tawa Liani, nama perempuan baya yang melahirkan Hanina ini seketika pecah. Dia mencubit pipi putrinya yang juga terlihat memerah."Ada-ada saja Mama in
Bab 10"Aku nggak sanggup, Mas. Aku nggak sanggup berbagi." Hanina menutup wajahnya yang basah dengan kedua belah telapak tangannya, Namun Akmal segera menarik tangan itu, lalu menghujani perempuan itu dengan kecupan yang bertubi-tubi."Tapi aku nggak bisa menceraikan kamu jika Aqila harus ikut denganmu. Aqila itu impianku, cita-citaku sejak lama. Kau tahu arti keturunan bagi seorang lelaki, bukan?""Aku tahu, Mas, tapi aku juga nggak bisa egois. Aku nggak mungkin menyingkirkan istri pertama kamu, karena kamu masih mencintainya. Aku nggak mau menyiksa dua orang yang saling mencintai, meskipun aku juga mencintai kamu. Aku nggak bisa hidup berdampingan dengan istri kamu yang lain, Mas." Hanina menggeleng.Dia memandang wajah itu, dan menemukan wajah dan sorot mata Akmal sudah berubah kembali seperti saat ia pertama kali bertemu dengan pria ini. Hanina mendesah berat. Rasanya sulit membedakan mana Akmal yang asli dan mana yang bukan alias akting. Sikapnya seringkali berubah semenjak kej
Bab 11"Mas, kamu nggak bisa begitu dong. Memangnya kamu mau membuat aku kelaparan?!" Risty mengabaikan makan malamnya, dan berlari menyusul Akmal yang sudah berada di depan tangga. Pria itu tampak menaiki anak-anak tangga dengan cepat untuk segera sampai di lantai atas."Mas, tunggu! Kamu mau ke mana sih?""Kamu nggak lihat apa yang aku bawa?" Pria itu menatap mata istri pertamanya. Dadanya turun naik menahan kesal yang teramat sangat. "Kenapa piringnya ada dua? Masa iya makan malam Hanina sebanyak itu?" Mata Risty seketika menyipit. Dia baru menyadari, ternyata di dalam nampan itu ada dua buah piring dan dua buah gelas berisi penuh makanan dan minuman."Kami akan malam bersama, dan kamu makan sendiri saja di ruang makan, oke?" Akmal melanjutkan langkah tanpa menghiraukan istrinya yang terus saja berjalan mengiringinya, sampai akhirnya mereka tiba di depan pintu kamar Hanina."Apa? Mas mau makan malam sama Hanina? Kamu mengabaikanku, Mas!" Risty tersentak. Sepasang matanya membulat s
Bab 12"Malam ini aku yang akan menemanimu tidur disini.""Aku nggak bisa mengabulkan permintaanmu loh, Mas. Jadi nggak ada gunanya kamu menemaniku di sini. Lebih baik kamu tidur di kamarmu atau di kamar Risty, lagian bukannya dia tadi ngambek? Bujuk saja dia dulu," ujar Hanina datar. Perempuan itu bangkit dan meraih Aqila yang rupanya terbangun lagi, kemudian segera menyusui bayinya.Hanina setengah berbaring sembari menyusui bayinya. Perempuan itu nampak begitu menikmati perannya sebagai seorang ibu. Menyaksikan pemandangan itu, entah kenapa hati Akmal merasa trenyuh.Hanina benar. Dia tidak sedang menyewakan rahimnya kepada siapapun. Diantara mereka tidak ada kesepakatan soal itu. Akmal menikahi Hanina dan Hanina melahirkan anaknya. Posisi Hanina bukan sekedar seorang wanita yang membuat anaknya terlahir ke dunia ini seperti yang ia sugestikan selama ini kepada dirinya sendiri.Dia menikahi Hanina, dan menggaulinya secara sah. Aqila mutlak buah hati mereka, bukan anaknya bersama de
Bab 144Luka itu kembali terbuka. Dia tidak menyangka Rio dan Risty muncul, padahal gadis itu merasa tidak pernah mengundang kedua orang itu. Lalu siapa yang mengundangnya? Apakah Hanina?!"Kamu harus hadapi semuanya, Dira. Jangan menghindar terus, karena terapi yang paling baik buat kesembuhan hati kamu adalah bertemu dengan orang yang membuat hatimu sakit, walaupun mungkin di awal perih. Tapi percayalah, lukamu akan segera sembuh." Hanina berbisik, lalu dia segera undur dua langkah dan memberikan kesempatan kepada para undangan yang lain untuk bersalaman dengan Dira dan Reza.Lagi-lagi gadis itu mengangguk dan anggukan itu pula yang ia tunjukkan saat harus bersalaman dengan Rio dan Risty. Pria di samping Dira itu hanya tersenyum kecut manakala akhirnya bisa bertemu langsung dengan pria yang sangat dicintai oleh Dira.Tanpa sadar dia membandingkan antara ia dengan Rio. Dilihat dari postur tubuh, dia tidak kalah dengan Rio, sama-sama gagah dan tampan, meski tentu struktur wajah mereka
Bab 143Aroma bunga yang semerbak tercium dengan jelas dari bunga-bunga yang disebarkan ke seluruh penjuru ruangan ini. Ruangan tamu di rumahnya yang tidak terlalu luas kini disulap menjadi ruangan tempat akad nikah. Pagi ini Reza akan melafalkan akad nikah atas nama dirinya. Dira menghela nafas. Akhirnya dia menyerah. Dia bersedia menikah dengan Reza, meski tak ada sedikitpun rasa cintanya pada pria itu. Sebelumnya dia selalu berkhayal jika ia akan menikah satu kali seumur hidup dengan orang yang ia cintai, tapi kenapa semuanya menjadi begini? Seolah takdir memaksanya untuk menerima pria itu. Dia hanya menganggap Reza sebagai teman, malaikat penolongnya. Seandainya tidak ada Reza waktu itu, maka barangkali dia sudah rusak oleh kecerobohan yang dibuatnya sendiri.Klub malam bukanlah tempat yang baik untuk gadis perawan seperti dirinya."Sebentar lagi mempelai pria akan datang, Nak. Jangan cemberut terus," tegur ibunya yang saat itu sudah masuk ke dalam ruangan dan kini duduk di sis
Bab 142Hanina celingak-celinguk, sembari mengerjapkan matanya berulang kali. Bayangan yang sempat dilihatnya barusan kini telah lenyap, padahal dia merasa belum lima menit ia memalingkan wajah ke arah lain, tapi sosok yang ia kenali sebagai Reza dan Dira itu sudah lenyap dari pandangannya."Kenapa, Sayang?" Akmal yang tengah menggendong Aqila itu pun memasang tampang keheranan menyaksikan tingkah istrinya. Dia memang lebih fokus pada putrinya dan mengabaikan sekelilingnya."Aku seperti melihat Dira di sini, tapi ke mana ya? Barusan dia ada di situ," tunjuk Hanina pada sebuah bangku dan meja yang memang barusan digunakan oleh Dira dan Reza untuk duduk bersantai sembari menikmati udara dan pemandangan laut."Nggak ada tuh." Akmal menatap arah yang ditunjuk oleh istrinya. Hanya ada sepasang kursi dan meja yang di atasnya dua batok kelapa dan bungkus cemilan."Tapi aku seperti melihat mereka. Aku masih mengenali Dira dan...." Perempuan itu menyanggah."Kok bilang mereka? Memangnya kamu l
Bab 141Reza tertegun sejenak. Namun sedetik kemudian dia sudah bisa menguasai diri. "Tenanglah, aku nggak sakit kok. Kamu nggak perlu segitunya." Pria itu menarik tubuh Dira hingga akhirnya gadis itu kembali bangkit dan terduduk di ranjang.Keduanya kini duduk berhadapan dan lagi-lagi Reza menangkup kedua pipi gadis itu."Aku akan tanggung jawab. Sejak awal aku yang membawamu kemari, meskipun itu atas keinginanmu sendiri. Jika memang kedua orang tua kita mengira kita tinggal bersama atau melakukan hal yang tidak benar, aku akan berusaha meluruskannya. Kamu tenang aja." Reza meyakinkan."Bagaimana aku bisa tenang jika sudah seperti ini? Bagaimana kalau nanti kita dipaksa untuk menikah? Aku nggak mau kita terlibat dengan urusan pribadi. Lagi pula kita nggak ada hubungan apa-apa, masa iya dipaksakan gitu? Aku nggak mau tahu, kamu harus pastikan mereka bisa mengerti bahwa kita nggak ada hubungan apa-apa. Aku ke sini cuma untuk kerja," oceh Dira panjang lebar."Ya, tinggal nikah saja." P
Bab 140Dengan berat hati, Adira memberikan alamatnya di Jakarta. Kali ini ia tidak punya pilihan, meski perasaannya semakin resah, tak bisa membayangkan bagaimana tanggapan orang tuanya nanti seandainya ibunya Reza benar-benar datang ke rumahnya.Dia tidak kuasa membayangkan kemarahan bapak dan ibunya.Namun menilik dari sikap yang ditunjukkan oleh perempuan tua itu, sepertinya Kartika memang serius. Ibunda dari Reza itu kini sedang menelpon seseorang dan terlibat pembicaraan serius. Bahkan Dira mendengar namanya dan Reza disebut-sebut dalam pembicaraan mereka.Apa yang sedang direncanakan oleh perempuan tua itu?"Baiklah. Sekarang Mama pamit dulu. Dan ingat Reza, jangan macam-macam dengan anak gadis orang selama kamu belum bisa menghalalkannya," pesan Kartika yang iringi anggukan oleh Reza."Iya Ma. Jangan khawatir. Aku bukan pria rendahan yang suka mengumbar hawa nafsuku pada sembarang wanita," sahut Reza menimpali."Kecuali pada gadis ini, kan?" balas Kartika seraya mendengus. Seb
Bab 139Perempuan bernama Kartika itu menatap Adira dari atas ke bawah. "Jadi kamu yang bernama Adira?!""Iya Tante, maaf." Adira seolah kehabisan kata-kata. Dia tidak menyangka jika ternyata ibunda dari Reza ini pagi-pagi sudah sampai di apartemen ini. Apakah Sonya sudah bercerita tentang mereka? Mengapa Sonya bercerita secepat itu? Padahal mereka baru saja bertemu kemarin siang. "Sudah berapa lama kalian tinggal bersama?" Tentu saja perempuan tua itu langsung mengira hal yang tidak-tidak. Saat ini Adira hanya mengenakan celana pendek dengan atasan gaun tanpa lengan, itu pun dari bahan kain yang cenderung menerawang. Adira pun tidak menyadari penampilannya ini karena saat keluar kamar pertama kali usai bangun tidur, dia lupa jika di apartemennya ini ada seorang lelaki dewasa yang berpotensi akan terangsang saat melihat penampilannya yang seksi.Gadis itu meringis saat menyadari penampilannya. Pantas saja tatapan Reza saat ia memasak tadi begitu berbeda. "Ya Tuhan, aku terlihat beg
Bab 138"Malam ini Papa ingin mengunjungimu, Nak. Jangan marah ya," ucap Akmal dalam hati saat ia memulai penyatuan mereka. Hanina memekik tertahan ketika merasakan liang surgawinya yang terasa penuh. Seperti biasa, Akmal memang seperti itu. Dan kali ini pria itu begitu kuat, menghentak di atas tubuhnya.Dia tak munafik. Salah satu alasan yang membuat dia bertahan selama ini adalah karena permainan Akmal di tempat tidur. Sentuhannya, caranya mendamba, serta saat dia meracau nikmat, semua itu membuatnya tak bisa move on, walaupun sudah bertahun-tahun mereka berpisah. Nyatanya Akmal memang sedahsyat itu di atas pembaringan. Jadi tidak heran jika ia dengan mudah hamil Aqila sebulan setelah mereka menikah. Dan hal itu pula yang membuat Sierra begitu tergila-gila dan penasaran karena mendengar cerita Risty tentang Akmal yang begitu luar biasa jika tengah berada di tempat tidur.Satu pelajaran yang membuat semua orang harusnya tahu jika urusan tempat tidur adalah rahasia rumah tangga yang
Bab 137"Lumayan, tapi opening stand Hanina Collection tadi cukup ramai. Para jamaahnya Ustadz Zubair juga terlihat antusias mungkin mereka senang karena mendapatkan barang sekelas butik dengan harga kaki lima." Perempuan itu terkekeh-kekeh mengenang keseruan tadi sore. Dia memang sangat menikmati berinteraksi dengan para jamaahnya Ustadz Zubair yang ramah-ramah. Berasa mendapatkan teman baru saja! "Emak-emak memang begitu. Termasuk aku sendiri. Memangnya siapa sih yang nggak mau dapat barang berkualitas dengan harga murah?"Akmal langsung tepuk jidat. Dia melirik Aqila yang kini sudah berbaring di tempat tidur, berharap semoga saja pembicaraan mereka tidak membuat tidur putrinya terganggu. Aqila tidur di dalam gendongannya saat mereka akan menuju kemari, sehingga Akmal langsung merebahkan putrinya di pembaringan, sementara Hanina menaruh tasnya di atas meja nakas."Para perempuan memang selalu begitu, dan aku nggak masalah, Sayang. Lagi pula kecintaan kamu pada dunia fashion akhirn
Bab 136"Aku mau tidur sebentar, Dira....""Tidur di kamarku?!" Dira yang kaget tanpa sadar merapatkan tubuhnya ke dinding dengan mata tetap memandang Reza yang kini melangkah menuju ranjang."Nanti sore ada pertemuan dengan salah seorang klien yang merupakan calon investor di perusahaan. Jadi tolong bangunin aku nanti ya."Reza benar-benar lelah, bukan cuma fisik tetapi juga pikirannya, apalagi dengan kejutan yang didapatnya siang ini. Kembalinya Sonya yang tiba-tiba membuat kepalanya dipenuhi sesak oleh pertanyaan.Bagaimana bisa Sonya menghilang? Sonya bahkan hanya mengatakan jika ia bepergian ke luar negeri dan tidak ada informasi apapun yang didapatnya selain itu.Merasa tak nyaman berduaan di kamar, akhirnya Dira memilih meninggalkan kamar itu, membiarkan Reza yang benar-benar tidur di ranjangnya. Dia mengambil tas kerjanya, kemudian membawanya menuju ruang tamu. Dari dalam tas ia mengeluarkan laptop dan mulai membenahi pekerjaannya. Beberapa hari ini dia sudah mulai aktif beke