Bab 2
Bukan Ibu Pengganti "Aku istri kedua?!" Hanina tergagap. Perlu usaha lebih keras untuk membuat tubuhnya tegak. Tubuhnya serasa remuk dan sakit, terutama bagian perutnya. Hanina meringis atas rasa perih di area jahitan bekas luka caesarnya.Tampaknya Akmal melupakan satu hal, jika Hanina melahirkan Aqila melewati operasi caesar. Apa yang membuat pria ini begitu emosi, hingga sampai hati membuat tubuhnya terbanting ke lantai? Apakah benar apa yang dikatakan oleh Akmal jika dia hanyalah istri kedua?
Tapi jika benar Akmal hanya berbohong, tidak mungkin ia semarah ini kepadanya.
Air mata Hanina kembali menderas.
"Kamu nggak perlu menangis, Hanina. Kenyataannya kamu itu hanyalah istri kedua. Dan kamu harus bisa menerima kenyataan ini. Aku ini adalah istri pertama Mas Akmal dan aku lebih berhak daripada kamu!" Risty berujar sinis tanpa beranjak dari tempat duduknya semula.
"Sudah saatnya kamu mengetahui kenyataan ini. Aku sudah bosan menjadi istri pertama yang disembunyikan. Aku juga mau menikmati hidup seperti yang kamu nikmati saat ini. Enak saja Mas Akmal menyembunyikan aku, membiarkan aku hidup sederhana, sementara kamu begitu dimanjakan oleh Mas Akmal, hingga kamu hamil dan melahirkan Aqila." Perempuan itu terus mengoceh. Rasa iri dan dengki yang berkecamuk di hatinya kini sudah saatnya ia lampiaskan.
Berpegangan dengan lengan Akmal, Hanina berusaha untuk melangkah, meski langkahnya terasa lemah.
"Kalau benar aku memang istri kedua, kenapa kamu biarkan suamimu untuk menikah lagi? Bukankah seharusnya kamu mencegah Mas Akmal untuk menikahiku? Bukankah tidak ada seorangpun wanita yang mau dimadu? Apakah Mas Akmal menikahiku tanpa sepengetahuan kamu?" Tiba-tiba pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Hanina saat dia berpikir bahwa tidak mungkin ada seorang istri yang membiarkan suaminya untuk menikah lagi.
Bagi Hanina, ini tidak logis. Tidak mungkin Risty merelakan suaminya untuk menikah lagi, jika memang terbukti mereka saling mencintai dan rumah tangga mereka baik-baik saja.
"Karena aku ingin punya anak. Dan asal kamu tahu, Aqila itu adalah anakku, bukan anakmu. Aqila adalah anak yang dijanjikan Mas Akmal untukku." Ungkapan Risty yang disambut tawa oleh Hanina. Tawa yang sumbang dan getir.
"Jangan mimpi, Risty. Kamu masuk ke rumah ini dengan posisi sebagai baby sister. Dan aku adalah wanita yang sudah mengandung dan melahirkan Aqila. Lalu, kamu mengakui begitu saja Aqila sebagai anak kamu?" Tangan Hanina seketika mengepal, meski itu tidak membuatnya berkeinginan untuk mendaratkannya ke salah satu bagian tubuh wanita itu.
Energinya untuk melakukan kekerasan fisik sudah habis. Fisiknya sudah terlalu lemah saat ini. Hanina tidak berdaya, bahkan untuk menegakkan tubuh dan berjalan saja rasanya hampir tidak kuat.
"Tak akan pernah aku biarkan Aqila kamu sentuh, mulai detik ini!" tekan perempuan itu.
Namun beberapa detik kemudian, pandangan mata Hanina tertuju ke arah suaminya. "Dan kamu, Mas. Apa ini yang sudah kamu rencanakan? Apa yang kamu inginkan sebenarnya dari kebohongan ini, hah?!"
"Karena aku ingin punya anak, dan Risty itu mandul. Dia tidak bisa memberikan anak kepadaku. Untuk itulah aku menikahimu!"
"Dan Aqila tetap menjadi anakku, bukan anak Risty. Ingat itu, Mas!" Wanita itu menunjuk-nunjuk suaminya. Sekarang ia sudah mulai paham jalan pikiran suaminya. Pantas saja saat menikah, Akmal sama sekali tidak mengizinkan Hanina untuk memasang alat kontrasepsi.
Kepedihan tambahan yang harus dia rasakan, yaitu dianggap sebagai pabrik anak oleh suami sendiri, demi menyenangkan istri pertamanya. Bagaikan menabur garam di atas luka.
"Tidak. Risty adalah ibunya Aqila. Itulah kenapa setelah Aqila lahir, aku membawa Risty ke rumah ini, dan kamu harus terima kenyataan, Hanina!"
"Aku akan berusaha memperlakukan kalian secara adil, dan kamu masih boleh menggendong Aqila, Hanina. Akan tetapi, yang mengurus bayi itu adalah Risty, karena Aqila adalah anak Risty. Kamu tak lebih sebagai wanita yang sudah melahirkan Aqila." Keputusan Akmal yang sepihak membuat tangan Hanina kembali mengepal.
"Aku nggak sudi! Aku yang sudah melahirkan Aqila dan aku adalah ibu kandungnya. Aku bukan ibu pengganti. Aku tidak pernah menyewakan rahim untuk kalian. Aqila memang lahir dari benihmu, Mas. Tapi Risty itu siapa?! Berani sekali mengaku-ngaku sebagai ibunya Aqila. Ingat Mas, sekali lagi kamu bilang begitu, aku akan usir dia dari rumah ini. Aku nggak perlu seorang baby sister, apalagi dia adalah istri pertama kamu. Dan aku tidak mau tahu ya, Mas. Mulai sekarang kamu harus menentukan pilihan. Aku atau Risty. Jika kamu memilih bersama aku dan anakmu, ceraikan Risty. Aku tidak sudi kamu punya istri yang lain!" Hanina berteriak kencang. Kata-katanya meluncur bagai air bah.
"Aku mencintai Risty dan justru karena ingin memiliki anak, jadi aku menikahi kamu. Paham?!" Suara Akmal menggelegar dan itu seperti menusuk-nusuk ulu hati Hanina. Tangan Akmal pun kini berada di bahu Hanina, menekan bahu perempuan itu kuat-kuat, yang membuat pertahanan Hanina kembali diuji.
Hanina hampir saja jatuh kembali, tapi ia berusaha menegakkan tubuhnya sekuat mungkin. Dia tidak mau kalah.
Boleh jadi ia adalah istri kedua, tetapi dia adalah ibu kandung Aqila dan dia berhak mempertahankan putrinya.
"Jika kamu memilih Risty, tidak apa-apa. Mungkin hubungan kita memang hanya sampai di sini. Silahkan kamu kemasi barang-barang kamu, Mas, dan bawa pergi wanita yang kamu akui sebagai istri pertamamu ini dari rumahku." Dada perempuan itu turun naik. Nafasnya memburu. Dia menatap benci wanita yang kini sudah berbaring itu. Wanita yang tersenyum penuh kemenangan.
Hanina kembali membuang muka, lalu bergerak menepis tangan Akmal dari bahunya yang membuat pria itu terdorong satu langkah. Hanina berlari keluar dari kamar itu. Dia melupakan rasa hausnya dan memilih menapaki anak-anak tangga kembali ke lantai atas Entah berapa menit dia menghabiskan waktu untuk berdebat dengan dua orang itu dan menerima perlakuan buruk mereka.
"Dasar pengkhianat! Aku benci kamu, Mas!" Hanina memukul-mukul dinding saat dia sudah sampai di depan pintu kamarnya. Dia tidak segera masuk ke ruang pribadinya itu, tetapi tubuhnya yang seolah lemas tak bertenaga luruh begitu saja ke lantai.
"Aku benci kamu, Mas. Kenapa kamu baru mengungkap fakta ini setelah kita punya anak, setelah aku menyerahkan segalanya sama kamu? Apa mau kamu? Apa yang sudah kamu rencanakan?" Air mata Hanina kian deras mengalir.
Tanpa bisa dikontrol lagi, Hanina meraung sejadi-jadinya. Dia shock, kaget, perasaan benci dan cinta bercampur menjadi satu. Dia sangat mencintai Akmal dan sangat percaya kepada pria itu. Akmal adalah pria pilihannya sendiri, padahal begitu banyak pria yang tertarik kepada Hanina, karena ia adalah putri seorang pengusaha terkenal. Hanina Rahma Elfrida adalah putri tunggal seorang pengusaha, pemilik perusahaan tekstil besar di negeri ini.
"Apa aku sudah salah memilih suami? Apa aku sudah salah memilihmu, Mas?"
Hanina kembali bangkit dan berjalan lemah menuju balkon. Udara malam jelang dini hari menerpa wajah dan menggeraikan rambutnya yang tak tertutup oleh kerudung.
Bab 3Ajakan Untuk Berdamai"Maaf..." Suara lirih itu seketika membuyarkan lamunan Hanina. Dia menoleh ke belakang, bahkan memutar badannya tanpa sadar. Kini posisinya dengan Akmal menjadi berhadapan. Hanina menatap pria ini sekilas, kemudian kembali membuang pandangannya ke bawah, menatap taman yang gelap di bawah sana. Pria ini kini sudah berpakaian lengkap. Dia berdiri dengan tangan bersedekap di dada."Mau apa lagi kamu kemari, Mas? Bukankah seharusnya kamu berada di kamar Risty? Apa masih belum puas menyakitiku?""Maaf atas rasa sakit yang kamu rasakan, tetapi sekarang ataupun nanti akan sama saja. Aku tahu kamu kaget, tapi Mas tidak mungkin terus berbohong. Kenyataannya memang begitu. Risty adalah istri pertama Mas yang selama ini Mas sembunyikan...." Akmal berusaha meralat."Itu karena malam ini topengmu terbuka, Mas. Jadi Mas akhirnya mengaku. Iya, kan?" sergah Hanina. Dia memundurkan tubuhnya hingga punggungnya kini membentur dinding. Lagi-lagi dia membuang pandangannya tat
Bab 4Jangan Bawa Anakku!"Kalau kamu ingin sarapan, silahkan minta buatkan sama istri pertamamu. Bukankah aku hanya diperlukan rahimnya untuk melahirkan anakmu?! Sementara tugas-tugas yang lain, biarlah dilimpahkan kepada istri pertamamu. Bukankah seharusnya begitu yang lebih adil?""Lancang mulutmu! Seperti tidak pernah diajari bagaimana caranya menjadi istri yang baik!" Tanpa sadar Akmal mencengkeram lengan istrinya. Sebelah tangannya yang lain meraih nampan dan tanpa bisa dicegah lagi, Akmal menjatuhkan nampan itu ke lantai.Cairan susu tumpah kemana-mana, berceceran membasahi karpet yang terhampar. Untung saja lantai dialasi oleh karpet, sehingga gelas dan piring yang terbuat dari kaca itu tidak pecah. Hanina menatap menu sarapannya yang akhirnya menjadi sia-sia."Seharusnya kamu lah yang perlu diajari bagaimana caranya menjadi suami yang baik. Kamu pikir keputusanmu untuk membohongiku lalu menjadikanku sebagai istri kedua itu adalah benar?!" balas Hanina. Dia mendorong tubuh sa
Bab 5"Bertanyalah kepada istri pertamamu, Mas. Jangan bertanya padaku," sarkas Hanina seraya menepis tangan Akmal yang mencoba meraih bayinya. "Kamu nggak perlu peduli sama Aqila. Sana pergi. Kamu akan terlambat ke kantor jika harus menangani Aqila.""Tapi dia tengah menangis." Akmal menggeletakkan tasnya begitu saja di lantai, lalu mencoba meraih dan menggendong putri kecilnya. Anehnya, bayi itu langsung tenang setelah pundaknya ditepuk-tepuk oleh Akmal. Ini sungguh ajaib. Seketika Hanina menghela nafas dan dalam sekejap dadanya terasa kembali normal. "Segeralah kamu ke kantor, Mas. Jangan sampai Papa marah karena kamu terlambat pagi ini. Hari ini bukannya jadwal pertemuan bulanan dengan dewan komisaris?" Hanina mengingatkan seraya mengambil kembali Aqila yang sudah tenang dari gendongan suaminya."Ya baiklah. Kalau begitu aku berangkat." Pria itu berbalik tanpa menoleh lagi. Bersamaan dengan itu, asisten rumah tangganya yang bernama Wati itu datang. Perempuan berumur 45 tahun it
Bab 6 Bukannya tadi pagi Risty sangat menginginkan untuk menimang Aqila dan Akmal harus rela mengalah, menahan egonya yang ingin membela kepentingan istri pertamanya, demi menjaga ketentraman di rumah ini? Namun sekarang Akmal tidak akan mau mengalah lagi, karena ternyata Hanina mulai menggunakan kekuasaan yang dimilikinya.Aqila adalah kelemahan Hanina dan sudah saatnya Akmal melanjutkan rencananya, karena baginya negosiasi dengan Hanina sudah menemukan jalan buntu.Hanina tetap memaksa Akmal untuk memilih antara dirinya dan Risty.Hanina pun sudah terlanjur tahu jika ia memiliki istri yang lain. Akmal tidak pernah berpikir jika Hanina akan berbuat sejauh itu, tapi nasi sudah menjadi bubur. Seandainya dia tidak keceplosan malam itu, mungkin Hanina masih bisa diajak kompromi. Namun nalurinya sebagai seorang suami tidak rela jika Hanina menganggap Risty sebagai selingkuhannya. Setidaknya dia lebih dulu hidup bersama dengan Risty ketimbang dengan Hanina. Akmal selalu mensugesti diri
Bab 7"Setidaknya Hanina tidak perlu tahu jika aku punya istri yang lain dan dia hanya dijadikan sebagai istri kedua. Kau tahu apa arti istri kedua bagi sebagian orang, bukan?" Akmal mendengus, lalu memilih berbalik. Tidak ada gunanya ia marah-marah, toh tetap saja ia harus memikirkan cara supaya jabatan itu kembali kepada dirinya. Dia tidak mau menjadi pengangguran. Mencari pekerjaan lain di situasi sekarang ini bukan hal yang mudah. Dulu pun dia hanya bekerja sebagai seorang staf dan gaji yang diterimanya tidak seberapa, sementara dia harus membiayai Risty, juga ibunya. Jika yang menjadi istrinya hanya Hanina, tentu tidak masalah, karena tanpa ia biayai sekalipun, Hanina sudah kaya, bahkan apa yang ia miliki sekarang ini sebenarnya juga milik Hanina, hanya saja Risty yang terlalu pongah ataupun percaya diri dan menganggap jika Akmal sudah memiliki segalanya.Hal yang tidak dipahami oleh sebagian orang, jika sebenarnya seorang pimpinan perusahaan itu bisa saja di depak, karena bag
Bab 8"Kamu mau bikin usaha apa, Mal? Kalau memang prospeknya bagus, Papa pasti dukung kok. Nanti kamu bikin proposal, biar Papa yang jadi investor pertama kamu," tawar pria setengah tua itu antusias.Hanina memutar bola matanya malas, tak mau menanggapi ucapan sang papa. Dia menyerahkan Aqila kepada ibunya, kemudian segera menggamit lengan pria muda yang kini tengah duduk berhadapan dengan papanya itu."Aduh, Pa, soal itu nanti saja dibahasnya ya. Bakalan panjang pembicaraan. Aku mau buru-buru ke kantor nih. Mas Akmal udah janji mau nganterin," sergah perempuan itu. Mukanya sengaja dibuat cemberut, yang di tanggapi Darmawan dengan tawanya yang lebar."Kamu itu, Nak. Ada-ada saja." Pria itu bangkit, lalu menepuk bahu menantunya. "Kalau kamu butuh sharing sama Papa, Papa selalu bersedia kapanpun. Jangan sungkan sama papa ya, Nak. Kamu sudah nunjukin di hadapan Papa, jika kamu punya kemampuan yang bagus.""Terima kasih, Pa. Nanti kita bahas lagi soal itu. Sekarang aku mau mengantar Han
Bab 9Hanina sengaja pulang dengan dijemput oleh sopir papanya karena dia akan menjemput Aqila terlebih dulu. Bayi lucu itu nampak berbinar-binar saat mendapati Hanina datang dan membawanya ke dalam gendongan."Mau langsung pulang, Nak?" tanya ibunya."Iya, Ma. Takutnya keburu magrib. Kasihan Aqila," sahut perempuan itu. Hanina meraih tas perlengkapan Aqila, tapi tangan ibunya lebih sigap. Dia mengiringi langkah Hanina sembari membawa tas itu menuju ke mobil."Mama akan senang sekali seandainya kamu menginap, Nak. Sejak melahirkan, kamu belum pernah menginap di sini. Nggak apa-apa, ajak Akmal juga. Rumah ini selalu sepi tanpa kamu," bujuk perempuan paruh baya itu."Salah Mama dan Papa karena hanya punya anak tunggal." Hanina mencebikkan bibirnya."Mau bagaimana lagi? Papa dan Mama sudah tua. Sudah tidak bisa lagi bikin adik buat kamu." Tawa Liani, nama perempuan baya yang melahirkan Hanina ini seketika pecah. Dia mencubit pipi putrinya yang juga terlihat memerah."Ada-ada saja Mama in
Bab 10"Aku nggak sanggup, Mas. Aku nggak sanggup berbagi." Hanina menutup wajahnya yang basah dengan kedua belah telapak tangannya, Namun Akmal segera menarik tangan itu, lalu menghujani perempuan itu dengan kecupan yang bertubi-tubi."Tapi aku nggak bisa menceraikan kamu jika Aqila harus ikut denganmu. Aqila itu impianku, cita-citaku sejak lama. Kau tahu arti keturunan bagi seorang lelaki, bukan?""Aku tahu, Mas, tapi aku juga nggak bisa egois. Aku nggak mungkin menyingkirkan istri pertama kamu, karena kamu masih mencintainya. Aku nggak mau menyiksa dua orang yang saling mencintai, meskipun aku juga mencintai kamu. Aku nggak bisa hidup berdampingan dengan istri kamu yang lain, Mas." Hanina menggeleng.Dia memandang wajah itu, dan menemukan wajah dan sorot mata Akmal sudah berubah kembali seperti saat ia pertama kali bertemu dengan pria ini. Hanina mendesah berat. Rasanya sulit membedakan mana Akmal yang asli dan mana yang bukan alias akting. Sikapnya seringkali berubah semenjak kej