Share

Bab 2

Miana melirik pria yang berbicara, Yosef Lucario, sahabat sejak kecil Henry. Keluarga Lucario juga merupakan keluarga yang berkuasa di Kota Jirya. Yosef paling memandang rendah Miana yang berasal dari keluarga miskin. Meskipun dia merupakan putra dari keluarga bermartabat, dia bersikap seperti sebuah pisau yang dapat diayunkan sesuka hati oleh Janice. Janice selalu menggunakannya untuk melawan Miana setiap saat.

Teringat akan hal tersebut, Miana tersenyum kecil dan berkata dengan lembut, "Kak Janice adalah kakak iparnya Henry, istri dari kakak tertua Henry. Kalau orang lain mendengar apa yang barusan kamu bilang, aku takut akan ada yang salah paham dan mengira mereka punya hubungan yang nggak seharusnya!"

Yosef baru saja sengaja berbicara kasar padanya, jadi dia tidak perlu memikirkan harga diri Yosef.

Dia mengakui bahwa dia sangat mencintai Henry, tetapi dia tidak serendah itu sampai akan menerima begitu saja perlakukan buruk teman-teman Henry.

Janice awalnya senang, tetapi setelah mendengar ucapan Miana, dia mengepalkan tangannya dengan marah. Ekspresi kesalnya sekilas terlihat di wajahnya.

'Miana! Wanita jalang ini!'

Meskipun dia sangat membenci Miana di dalam hatinya, di masih tersenyum lembut di luar dan berkata, "Henry dan aku tumbuh bersama, jadi sekalipun aku menjaganya, orang lain nggak akan mengatakan hal-hal yang nggak masuk akal! Sementara kamu, kamu sama sekali nggak peduli dengan kesehatan Henry. Hasil pemeriksaan bulan lalu, dia didiagnosis ada masalah pada lambungnya."

Ucapannya itu selain terdengar mengkhawatirkan Henry, juga terdengar menyalahkan Miana.

Miana tidak marah, sebaliknya tersenyum menawan dan berkata, "Berdasarkan ucapanmu tadi, berarti penyebab kematian kakaknya Henry karena kamu pembawa sial?"

Dia menghabiskan tiga tahun memperbaiki kondisi pencernaan Henry, jadi bagaimana mungkin terdiagnosis ada masalah pada lambungnya.

Janice yang terlebih dahulu menyerangnya, jadi jangan salahkan dirinya menyerang kembali.

Kata "pembawa sial" seketika membuat Janice kehilangan kendali emosinya dan dia mengangkat tangannya untuk menampar wajah Miana.

Dia pernah dikatai "pembawa sial" oleh ibu mertuanya.

Dia tidak menyangka Miana juga akan mengumpatnya seperti itu.

Dia merasa pria itu pada dasarnya berumur pendek, jadi apa hubungannya dengan dirinya!

Miana menahan pergelangan tangan Janice, menatapnya tajam dan berkata, "Nggak bisa menyangkal langsung main tangan, siapa yang membiasakan sikapmu ini!"

Miana bukan orang lemah yang akan membiarkan siapa pun menginjak-injaknya.

"Sakit, lepaskan!" Wajah Janice berkerut kesakitan dan suaranya terdengar begitu rapuh.

Yosef langsung panik hingga ingin menampar Miana, tetapi dicegat oleh Carel, "Kak Yosef, jangan gegabah!"

Karena ditahan, Yosef pun hanya bisa berteriak, "Miana! Cepat lepaskan tanganmu!"

Suara ribut itu membuat Henry mengernyit, dia perlahan membuka sepasang matanya dan bangkit duduk.

Melihat Henry bangun, mata Janice memancarkan niat liciknya. Dia segera menarik tangan Miana ke arah dadanya dengan kuat, lalu dia mundur beberapa langkah dan terjatuh duduk di lantai. "Kak Yosef, perutku sakit sekali!" serunya dengan ekspresi kesakitan sambil memegang perutnya.

Carel seketika tertegun.

Yosef mengambil kesempatan ini untuk melepaskan diri dan bergegas menghampiri Janice.

Namun, Henry yang menghampiri Janice terlebih dahulu. Dia segera membungkuk, mengendong Janice, lalu berbalik menatap tajam Miana dan berkata, "Kalau terjadi sesuatu pada Janice, kamu jangan berpikir bisa hidup tenang!"

Perkataan itu membuat hati Miana seperti ditusuk-tusuk, terasa sangat sakit.

"Henry, aku yang terjatuh sendiri, bukan salahnya," ujar Janice yang mengernyit. Dia menarik-narik pakaian Henry sambil melanjutkan ucapannya, "Kenapa kamu langsung menyalahkan Miana tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi!"

"Aku melihat dia mendorongmu!" seru Henry dengan tatapan yang mengerikan.

"Kamu salah lihat, sungguh bukan Miana yang mendorongku, aku terjatuh sendiri!" Sikap Janice yang buru-buru menjelaskan ini malah terlihat seperti dia sedang berusaha menyembunyikan kebenaran.

Dia tentu tahu bahwa dari sudut pandang Henry, Miana-lah yang telah mendorongnya.

Melihat akting Janice, mata indah Miana sedikit menyipit, tertawa kecil dan berkata, "Dia sendiri sudah bilang kalau dia terjatuh sendiri, bukan karena aku mendorongnya! Henry, kamu sudah dengar itu, 'kan?"

Janice berpura-pura menjadi korban, ingin membuat Miana disalahkan, tetapi Miana tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Ekspresi Janice seketika menjadi kaku. "Henry, perutku sakit."

Janice tidak bisa mengalahkan Miana yang pandai bicara, jadi dia segera mengalihkan perhatian Henry.

"Tahan sebentar, aku akan mengantarmu ke rumah sakit!" ujar Henry dengan lembut. Dia berjalan pergi sambil menggendong Janice tanpa menoleh ke arah Miana.

Sosok pria itu perlahan menjauh di tengah cahaya remang-remang. Sementara Miana hanya merasa dadanya sesak, sulit bernapas.

Henry begitu dingin pada dirinya!

Cintanya yang mendalam selama sembilan tahun tampak konyol dan menyedihkan.

"Kak Miana, kamu baik-baik saja? Perlu aku antar pulang?" tanya Carel yang menghampirinya dan menatapnya dengan cemas. Dia merasa agak kesal pada dirinya sendiri.

Dia seharusnya tidak menelepon Miana.

"Nggak apa-apa, makasih!" Miana keluar dari lamunannya, menatap Carel sambil tersenyum kecil, lalu bertanya, "Kudengar kakakmu sudah kembali?"

Miana hanya ingin memastikan apakah itu benar atau tidak.

"Ya, dia baru kembali kemarin!"

"Oh, begitu ya. Sudah larut, aku pulang duluan," ujar Miana sambil melambai padanya. Dia lalu berbalik dan berjalan keluar.

Ketika mobilnya melaju di jalan layang, dia mendapati sebuah mobil tanpa pelat nomor mengikutinya. Jantungnya seketika berdebar. Dia segera menelepon nomor kontak darurat.

Begitu panggilan terhubung, suara tangisan seorang wanita terdengar dari ponselnya, "Henry, sakit sekali, aku nggak mau lagi!"

"Jangan menangis, bentar lagi selesai," bujuk pria itu dengan lembut.

Miana merasa hatinya seperti terkoyak-koyak dan rasa sakitnya membuatnya menderita. Dia menggertakkan giginya, lalu berteriak sekuat tenaga, "Henry, ada yang ingin membunuhku! Selamatkan aku!"

"Henry, cepat pergi selamatkan Miana! Aku bisa menjaga diriku sendiri, jangan khawatirkan aku!" Janice tiba-tiba batuk dengan keras karena tersedak ketika berbicara dengan tergesa-gesa.

"Kamu hanya berbicara saja sudah tersedak seperti ini, tapi kamu masih bilang bisa menjaga dirimu sendiri? Sudahlah, cepat tidur, jangan pedulikan orang dan hal-hal yang nggak penting!" Suara Henry terdengar dingin dan kata-katanya sangat menusuk hati.

Hati Miana hancur berkeping-keping, terasa begitu menyakitkan hingga membuatnya serasa tercekik. Akan tetapi, dia berusaha menahan rasa sakit itu dan berkata dengan suara serak, "Henry, aku berada di jalan layang Sinra, ada mobil terus mengejarku di belakang, mereka ingin membunuhku, cepat datang selamatkan aku!"

Miana terus memohon karena Henry adalah satu-satunya orang yang bisa menyelamatkannya.

"Kalau seseorang selalu berbohong, jangankan aku nggak percaya, kamu sendiri bahkan nggak akan percaya, bukan? Miana, sudahi dramamu ini, jangan keterlaluan!"

"Henry, aku serius, benaran ada mobil mengejarku! Cepat selamatkan aku!"

"Kalau begitu tunggu sampai kamu mati, aku akan mengurus jenazahmu dan mengadakan pemakaman besar dengan status Nyonya Jirgan untukmu! Miana, berhenti meneleponku!"

Setelah berkata dengan nada dingin seperti itu, Henry pun menutup teleponnya.

Miana langsung putus asa begitu mendengar panggilan terputus.

Selanjutnya, tiba-tiba terdengar suara benturan yang sangat keras.

Miana yang termenung pun tersentak dan sadar kembali, dia mendapati mobilnya sedang melaju ke arah pagar pembatas, jadi dia bergegas memutar kemudinya, tetapi mobil di belakang menabrak mobilnya lagi.

Seluruh mobilnya berguncang.

Di tengah kepanikan, Miana bahkan tidak tahu nomor siapa yang dia hubungi.

Detik berikutnya, terdengar suara cemas sahabatnya, Sherry Xavia, "Mia, kamu di mana? Bicaralah?" Air mata Miana mengalir tak terkendali, dia menggigit bibirnya dengan keras agar tetap tersadar dan berkata, "Di ... jalan layang Sinra."

Setelah berusaha keras mengatakan itu, Miana merasa pandangannya menjadi gelap, lalu kesadarannya pun menghilang.

Dia jatuh ke dalam mimpi yang panjang.

Dia memimpikan pertemuan pertamanya dengan Henry ketika dia masih berusia empat belas tahun.

Dia langsung jatuh cinta pada pandangan pertama itu.

Setelah itu dia pun terjatuh ke dalam jurang yang dalam.

Saat tersadar kembali, Miana mendapati dirinya terbaring di ranjang rumah sakit. Sherry yang duduk di samping terlihat begitu cemas.

"Mia, kamu sudah sadar!" seru Sherry dengan terkejut. "Mia, apa kamu tahu? Kamu hamil! Aku punya anak angkat!"

Miana mengelus perutnya, terdiam sejenak sebelum berkata dengan pelan, "Sher, aku sudah putuskan akan bercerai dengan Henry, tapi anak ini, aku akan tetap melahirkannya!"

Saat mengetahui dirinya hamil, Miana tidak pernah berpikir untuk menggugurkan anaknya.

Sherry tampak terkejut dan bertanya, "Kamu bilang, kamu ingin bercerai dengan Henry?"

Sherry satu-satunya orang di dunia ini yang tahu betapa Miana sangat mencintai Henry.

Saat mendengar Miana mengatakan ingin bercerai dengan Henry, dia merasa dirinya sudah salah dengar.

Sudut bibir Miana naik, menunjukkan senyuman yang lebih menyedihkan daripada menangis. "Janice juga hamil dan Henry ingin dia melahirkan anak itu!"

Kakaknya Henry meninggal dalam kecelakaan mobil setahun yang lalu, jadi anak yang dikandung Janice tentu bukan anak dari kakaknya.

Mendengar itu, sepasang mata Sherry memerah karena marah, sekujur tubuhnya pun gemetar dan dia berseru, "Henry bajingan, dia selalu berduaan dengan wanita jalang itu sudah cukup keterlaluan, sekarang mereka bahkan punya anak haram! Aku benar-benar ingin membunuh pasangan berengsek itu!"

Hati Miana terasa sakit. Dia menggenggam tangan Sherry dan berkata dengan pelan, "Kamu seharusnya berpikir, aku hamil dan setelah bercerai dengannya, aku bisa menikah dengan pria lain. Pada saat itu, anak Henry akan menganggap pria lain sebagai ayahnya! Bukankah ini sangat memuaskan?"

Di dunia ini, hanya Sherry yang selalu berada di sisinya!

Sherry sangat terhibur dengan kata-kata Miana hingga dia tertawa terbahak-bahak.

Tiba-tiba, terdengar suara ponsel berdering dan Miana pun mengambil ponselnya. Begitu melihat panggilan masuk itu dari Henry, dia segera menolaknya.

Namun, dengan cepat ponselnya berdering lagi.

Miana mengerutkan kening dan menjawab, "Ada urusan apa?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status