Share

Bab 6

Mendengar suara tersebut, Wiley segera menaikkan sekat partisi mobil.

Henry memandang wanita dalam pelukannya, seakan-akan telah tersihir, dan menundukkan kepalanya untuk mencium bibir wanita itu.

Miana teringat adegan Henry mencium Janice di kamar rawat hari ini, merasa sedikit mual, dan mendorong Henry, dia menutup mulutnya dan muntah kering.

Mendengar suara muntah Miana, raut wajah Henry langsung menggelap.

"Miana, apa maksudmu!"

'Aku menciumnya, tapi dia malah muntah?'

Miana segera mengambil tisu dan menyeka mulutnya. Kemudian, dia mengangkat kepalanya, menatap Henry dengan mata merah dan berseru, "Kita akan bercerai, nggak pantas melakukan hal seperti ini!"

Henry mengangkat dagu Miana, memaksa Miana untuk menatapnya. "Janji yang kamu buat belum terpenuhi, 'kan? Sekarang belum saatnya kita bicara tentang perceraian!"

Miana menatap wajah tampan pria di depannya, tertawa kecil dan berkata, "Aku pasti akan menyelesaikan hal itu sebelum fajar besok!"

Henry begitu ingin segera membersihkan reputasi Janice hanya karena Janice pernah memenangkan penghargaan, telah bersinar di atas panggung.

Dibandingkan dirinya, meskipun merupakan seorang pengacara perceraian terkenal di Kota Jirya, di mata Henry, pekerjaannya ini hanya sekadar untuk mencari nafkah, jadi Henry tidak peduli sama sekali dengan situasinya.

"Semoga kamu bisa menepati janjimu!" Henry tiba-tiba terlihat sedikit marah. 'Wanita ini sungguh keras kepala. Karena dia nggak kembali memohon padaku, kita lihat dia bisa berlagak sampai kapan.'

"Aku tentu akan menepatinya, kalau nggak, apa aku masih bisa hidup dengan damai kalau kamu yang turun tangan?" Sekalipun Miana merasa sedih, senyumannya makin terlihat cerah.

Selama tiga tahun pernikahan, dia telah merawat dan memperhatikan Henry dengan penuh kasih. Dia berpikir bahwa sedingin-dinginnya hati seseorang akan ada saatnya terhangatkan. Namun, tidak dengan Henry, yang sampai sekarang tetap bersikap begitu kejam padanya.

"Bagus kalau kamu tahu! Pokoknya, jangan bermain trik di depanku!" Henry entah mengapa merasa tidak nyaman saat melihat senyuman Miana itu.

"Bagaimana mungkin aku berani bermain trik dengan Pak Henry!" balas Miana sambil tersenyum.

Wajahnya tersenyum, tetapi hatinya berdarah.

Sudah seharusnya dia menyerah.

"Aku tentu tahu kamu nggak berani!" Henry mendengkus. Entah mengapa, dia merasa sikap Miana saat ini membuatnya tidak senang.

Miana menoleh ke samping, terlihat pantulan wajah pria itu di kaca jendela mobil.

Dia harus mengakui bahwa pria itu memang tampan.

Tidak heran begitu banyak wanita di Kota Jirya mengaguminya.

Sayang sekali, para wanita itu tidak ada yang bisa memenangkan hatinya.

Terkadang Miana sungguh mengagumi Janice karena mampu membuat pria seperti Henry hanya memikirkannya.

Suara dering ponsel memecah keheningan.

Henry mengeluarkan ponselnya, Miana pun melihat sekilas nama Janice muncul di layar ponsel itu dengan foto latar belakang Janice yang tersenyum cerah, ini membuat hatinya sedikit tidak nyaman.

"Ada apa?" ​​Henry melembutkan suaranya.

"Henry, bukankah kamu berjanji untuk datang dan makan malam bersamaku? Kenapa kamu belum datang?" Janice selalu bersikap manja di depan Henry.

Dia bisa bersikap seperti itu karena memang dimanjakan.

Volume ponsel Henry sangat keras, jadi Miana dapat mendengarnya dengan jelas. Hatinya saat ini terasa seperti tersumbat kapas, sedikit tidak nyaman, dan dia segera memalingkan wajahnya, melihat pohon-pohon di luar jendela.

Sebelum berumur enam tahun, dia juga dimanjakan oleh orang tuanya dan menjalani kehidupan yang sangat bahagia.

Suatu hari ketika dia berusia enam tahun, adik perempuannya yang berusia lima tahun mengajaknya keluar untuk membeli permen kapas. Namun, entah bagaimana, adiknya tersesat dan menghilang. Keluarganya telah menggunakan semua koneksi yang ada, tetapi tetap tidak berhasil menemukan adiknya.

Sejak hari itu, hari-harinya di rumah bagaikan neraka.

Tidak peduli seberapa bagus nilai ujiannya, berapa banyak piala, medali, atau beasiswa yang dia menangkan, orang tuanya tidak akan pernah memandangnya.

Mereka membencinya karena dia telah membuat putri kesayangan mereka menghilang.

Ketika dia berumur tujuh belas tahun, orang tuanya akhirnya menemukan adik perempuannya.

Dia pikir hidupnya akan menjadi lebih baik.

Namun, untuk menebus rasa bersalah mereka kepada si adik yang tidak mendapatkan kasih sayang, orang tuanya pun sangat memanjakan adiknya. Sementara dirinya, dia menjadi orang yang harus menebus dosa di depan adiknya.

Tiga tahun lalu, setelah menghadiri sebuah pesta, entah bagaimana dia tidur di kasur yang sama dengan Henry.

Kemudian, dia pun menikah dengan Henry.

Pada awalnya, dia punya banyak harapan pada pernikahan ini. Dia berusaha keras untuk belajar bagaimana merawat Henry dengan baik.

Namun, baru sekarang dia sadar bahwa hubungan antara dia dan Henry mirip dengan hubungannya dengan keluarganya.

Tidak peduli seberapa hebat dia, tidak peduli seberapa banyak dia berkorban, mereka tidak akan pernah memperhatikannya, apalagi menyukainya.

"Kakek meneleponku, memintaku pulang untuk makan malam bersama. Kalau kamu ingin ikut, aku akan mengirim seseorang untuk menjemputmu."

"Aku ingin kamu yang menjemputku!" Suara manja Janice terdengar di ujung ponsel.

Miana merasa sedikit sesak di dadanya.

Memang benar mereka yang dimanjakan tidak akan takut apa pun.

"Aku akan mengirim seseorang untuk menjemputmu, dengarkan aku ya!" Nada suara Henry tanpa dia sadari terdengar sedikit penuh kasih.

Miana membuka jendela mobil, suara deru angin yang masuk ke telinganya menutupi suara Henry, ini membuat rasa sakit di hatinya lumayan berkurang.

Henry menutup telepon, mengernyit sambil menatap sisi wajah wanita di sampingnya.

"Miana, apa yang kamu lakukan!"

'Bisa-bisanya buka jendela di cuaca dingin seperti ini.'

'Wajah pun akan mati rasa karena kedinginan.'

Miana menutup jendela mobil, menoleh ke arah Henry dan berkata, "Kakek nggak menyukai Janice, kalau Janice datang, tekanan darah Kakek mungkin akan naik."

Dia tidak berhak mencegah Janice datang, jadi hanya bisa mengingatkan Henry dengan cara ini.

"Kamu yang nggak ingin bertemu Janice, jadi sengaja menggunakan Kakek sebagai alasan! Miana, cemburu ada batasnya!" seru Henry sambil menelepon seseorang.

Miana pun tidak mengatakan apa-apa lagi.

Dia bermaksud baik mengingatkan, tetapi Henry malah mengatainya sedang cemburu.

'Terserah saja,' pikir Miana di dalam hatinya.

Kemudian, sepanjang perjalanan, Henry sibuk melakukan rapat panggilan video.

Miana kehilangan minat untuk memandang Henry, dia pun bersandar di sandaran kursi, menutup matanya untuk beristirahat, dan pada akhirnya tertidur.

Mobil terus melaju menuju rumah lama.

Setelah menutup laptop, Henry mengusap-usap keningnya.

Dia saat ini baru menyadari bahwa Miana tertidur. Melihat ini, dia tanpa sadar mengatup-ngatupkan bibirnya.

Kecantikan Miana memang tidak diragukan. Meskipun sedang tidur, tanpa sepasang mata yang indah itu, Miana tetap saja sangat cantik.

Henry tiba-tiba teringat bahwa selama tiga tahun pernikahan mereka, dia belum pernah melihat wajah Miana yang sedang tidur.

Setiap malam, tidak peduli seberapa larut atau lelahnya , Miana akan mandi, mengoleskan losion badan, merawat kulit wajahnya., dan kadang-kadang pergi ke ruang kerja untuk menyiapkan berkas kasus yang akan dibawa ke pengadilan keesokan harinya.

Pada saat Miana naik ke kasur, Henry sudah tertidur.

Di pagi hari, Miana akan bangun pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan, memilih pakaian yang akan Henry kenakan hari itu, menyetrikanya dan meletakkannya di samping kasur. Saat Henry bangun, kasur di sebelahnya sudah dingin.

Henry mengerutkan kening.

Setelah dihitung-hitung, waktu tidur Miana sehari hanya lima jam.

Meskipun begitu melelahkan, dia tetap menolak ketika disuruh berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya.

Pada saat ini, pintu mobil terbuka dan suara Janice terdengar, "Henry, cepat turun dan masuk bersamaku. Aku khawatir Kakek akan memarahiku!"

Janice mengulurkan tangan untuk menarik Henry keluar.

"Tunggu sebentar." Henry sadar kembali dari lamunannya. Dia melepaskan tangan Janice, melepas mantelnya dan menutupi Miana dengan mantel itu sebelum dia keluar dari mobil.

Melihat tindakan Henry itu, terpancar sekilas rasa kebenciannya.

Wiley menatap kedua orang itu pergi sambil berpikir, 'Selama tiga tahun ini, Pak Henry akan memintaku menyiapkan hadiah untuk istrinya. Aku selalu berpikir bahwa istrinya memiliki tempat istimewa di hatinya!'

'Sekarang aku tiba-tiba ragu dengan penglihatanku sendiri, apa aku perlu memeriksanya ke dokter mata?'

'Pak Henry begitu dingin terhadap istrinya, sama seperti terhadap orang lain, jadi apanya yang istimewa?'

Pada saat ini, kepala pelayan tiba-tiba datang dengan tergesa-gesa dan berteriak, "Nyonya, cepat turun dari mobil, Pak Eddy pingsan!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status