Share

Bab 9

Suara Miana membuat Henry terangsang dan dia pun memeluk pinggang Miana dengan erat, seakan-akan ingin meremasnya ke dalam tubuhnya.

"Miana, kamu juga menginginkanku, 'kan? Ayo, panggil aku 'Sayang', aku ingin mendengarnya."

Keduanya telah menikah selama tiga tahun, hampir setiap hari mereka melakukan hubungan intim. Bagaimana membuat Miana terangsang, membuat Miana merasa sangat nikmat, Henry paling tahu.

Oleh karena itu, dia mampu membuat Miana merasakan sesuatu dalam waktu singkat setiap saat, bahkan tidak sabar untuk mengundangnya.

Dia belum melakukannya dengan Miana selama dua hari, jadi dia tentu ingin melakukannya.

Sekarang, wanita lembut itu berada dalam pelukannya, dia tentu tidak ingin melepaskannya.

Selain itu, dia belum pernah melakukannya di luar, jadi ingin mencobanya.

Miana menggigit bibirnya erat-erat, tidak ingin mengeluarkan suara yang memalukan.

Henry terlihat dingin dan mulia di luar, tetapi memiliki selera buruk ketika berada di atas kasur, dia suka sengaja menyiksa Miana, tidak membiarkan Miana merasa puas dan memaksa Miana memanggilnya "Sayang".

Di rumah mereka sendiri tidak ada orang lain, keduanya bisa bermain sesuka hati.

Namun, mereka sekarang berada di taman di rumah lama.

Meskipun tidak akan ada pembantu yang datang, jika suaranya terlalu keras, orang lain pasti bisa mendengarnya.

Miana masih ingin menjaga harga dirinya!

Henry merasa sangat tidak nyaman, tetapi dia tetap ingin memaksa Miana untuk memanggilnya dengan sebutan "Sayang", jadi dia terus mengusap titik sensitif Miana dengan tangannya secara perlahan. Bibir tipisnya itu mendekat ke sisi telinga Miana dan dia berbisik.

"Turuti aku, panggil 'Sayang'!"

"Sayang, ayo, biarkan aku dengar kamu memanggilku 'Sayang'!"

Pada saat ini, Henry hanya ingin menekan wanita di pelukannya dan menindasnya dengan kejam.

Iblis ....'

Tubuhnya bergejolak, Miana tidak bisa mengendalikan dirinya dan berteriak, "Sayang ...."

Suaranya penuh dengan kegembiraan dan juga sedikit rasa malu.

Nafsu yang terpancar di mata Henry makin mendalam, dia langsung mengangkat ujung gaun Miana dengan tangannya.

Apa yang akan mereka lakukan selanjutnya, mereka berdua tentu tahu tanpa perlu mengatakannya.

Miana tidak tahan digoda oleh Henry, dia pun menyembunyikan wajah merahnya di pelukan Henry. Ujung hidungnya bersentuhan dengan dada Henry, dia hanya merasa bahagia dan manis.

Dia mulai berpikir dirinya mungkin benar-benar sudah salah paham dengan Henry.

Henry tidak memiliki perasaan seperti itu terhadap Janice.

Dia mulai bertanya-tanya, bagaimana kalau dia memberi tahu Henry tentang kehamilannya?

Henry adalah ayah dari anak di dalam perutnya, berhak mengetahuinya.

Pada saat ini, jendela di lantai dua terbuka. Janice berdiri di depan jendela, memandangi dua orang di taman, tangan yang terkulai di sisi tubuhnya mengepal erat, kuku-kukunya sampai menancap ke dalam dagingnya, terasa sakit.

'Bagaimana Henry bisa mencintai Miana!'

Sorot matanya memancarkan kebencian, detik berikutnya, dia mengeluarkan ponsel dan menelepon Henry.

....

Dering ponsel yang tiba-tiba memecah momen romantis di antara mereka.

Henry menyeka tangannya dengan ujung gaun Miana, lalu mengeluarkan ponselnya.

Melihat nama Janice di layar ponsel itu, Miana refleks mengepalkan tangannya.

'Lagi-lagi Janice.'

"Ada apa?" Di tengah pikirannya melayang-layang, Miana mendengar pria di sampingnya berbicara.

Suara itu penuh dengan hasrat, berpadu dengan malam yang menggoda, sungguh memikat hati.

Jika sebelumnya, Miana pasti akan tergelitik oleh suara itu.

Namun, dia saat ini hanya merasakan seperti ada duri yang tersangkut di tenggorokannya.

Tidak bisa dimuntahkan ataupun ditelan, sungguh tidak nyaman.

"Oke, aku akan segera kembali, tunggu aku!"

Miana tidak mendengar dengan jelas pembicaraan mereka, hanya mendapati suara Henry terdengar cemas.

"Perut Janice sakit, aku akan mengantarnya ke rumah sakit dulu, kamu istirahatlah lebih awal." Setelah mengatakan ini, Henry pergi dengan tergesa-gesa, tanpa melihat Miana sedikit pun sebelum pergi.

Jika berada di luar, Miana pasti akan menjadi sasaran para preman.

Henry mengambil langkah besar, lalu sosoknya pun menghilang dari pandangan.

Miana merasa seluruh kekuatannya seakan-akan telah terkuras, tubuhnya begitu lemas hingga hampir jatuh.

Hanya karena perut Janice sakit, Henry meninggalkannya di sini dan pergi.

Pada akhirnya, orang terpenting di hati Henry adalah Janice.

Bersandar di pohon, Miana menarik napas dalam-dalam.

Awalnya dia masih tidak rela dan ingin mencoba lagi dengan Henry.

Namun, melihat situasi ini, kini dia benar-benar putus asa.

Henry telah melewatkan dua kesempatan untuk mengetahui bahwa dia hamil, jadi dia tidak perlu memberitahunya lagi selamanya.

Setelah kekuatannya sedikit pulih, Miana perlahan berjalan masuk ke rumah.

Saat dia berjalan ke pintu, dia kebetulan melihat Henry sedang menggendong Janice dan berjalan keluar dengan tergesa-gesa.

Miana berhenti, pandangannya jatuh pada wanita di pelukan Henry. "Ada apa dengannya?"

Setiap kali Janice mengatakan terjadi sesuatu, Henry selalu bergegas mendatanginya.

Malam itu, ketika dia menelepon minta tolong, Henry malah mengira dia sedang berbohong.

Memang benar, mereka yang dimanjakan tidak akan takut apa pun.

"Miana, jangan membuat masalah! Kalau terjadi sesuatu padanya, kamu nggak akan bisa menanggung konsekuensinya!" Suara dingin Henry membuat orang terasa tertekan.

Miana pun teringat, Henry selalu berbicara dengan lembut dengan Janice.

Sungguh sangat berbedak ketika berbicara dengan dirinya.

"Ada sopir di rumah, biarkan sopir mengantarnya ke rumah sakit! Kalian semalam baru saja masuk topik tren tagar teratas, apa kamu ingin mengulanginya lagi malam ini? Henry, kamu barusan berjanji akan menghabiskan sisa hidupmu dengan Mia! Kamu harus menepati janjimu!" Suara Eddy yang keras tiba-tiba terdengar. Miana saat ini baru menyadari bahwa Eddy sedang berdiri di belakang Henry dengan ekspresi dingin.

Janice begitu marah ketika mendengar kata-kata itu.

'Bisa-bisanya Henry berjanji pada pria tua yang nggak kunjung mati ini kalau dia akan menghabiskan sisa hidupnya bersama Miana!'

'Bagaimana mungkin!'

Mata dingin Henry tertuju Miana. Dia tidak menjawab Eddy, malah bertanya padan Miana, "Kamu nggak akan menjelaskan masalah tren tagar itu?"

Mengenai masalah tren tagar, Henry menyimpulkan bahwa Miana-lah yang sudah mengadu pada kakeknya.

Miana merasa hatinya sakit, tetapi menunjukkan senyuman sinis dan balik bertanya, "Kenapa kamu nggak menyuruh Kak Janice menjelaskan?"

'Bukan aku yang menyebabkan tren tagar itu muncul, bagaimana aku bisa menjelaskannya?'

'Aku harus berbohong?'

"Miana, apa maksudmu? Kamu berpikir aku yang membeli tren tagar itu?" Janice yang sebelumnya menghadap ke pelukan Henry menoleh, menatap Miana dengan mata berkaca-kaca, menunjukkan ekspresi terkejut dan sedih.

"Aku nggak bilang kamu yang beli, kalau kamu bersikeras berpikir seperti itu, aku nggak bisa berbuat apa-apa," balas Miana dengan ekspresi sangat tenang.

'Menyalahkan orang lain atas perbuatannya dan masih bersikap seolah-olah nggak bersalah.'

Miana merasa sayang sekali Janice tidak menjadi aktris.

Dia yakin, dengan bakat akting Janice itu, setidaknya bisa mendapatkan piala emas.

"Miana, kamu lupa apa yang kamu janjikan padaku?" Henry menatap Miana dengan tajam dan sedikit mengintimidasi.

"Aku yang akan menangani masalah tren tagar itu! Kalian semua diam!" seru Eddy. Dia kemudian memelototi Henry dan berkata, "Biarkan sopir yang antar dia ke rumah sakit! Ada yang ingin kubicarakan denganmu! Cepat ikut aku ke ruang kerja!"

Setelah mengatakan itu, Eddy menarik Miana dan masuk ke dalam rumah.

Henry mengatup-ngatupkan bibirnya.

Eddy sudah mengatakan bahwa dia yang akan menangani masalah tren tagar itu, jadi tidak ada yang berani melakukan protes.

'Miana, akal bulus kamu benar-benar banyak!' pikir Janice.

Janice menangis tersedu-sedu dan berkata, "Henry, turunkan aku, aku akan pergi ke rumah sakit sendiri, kalau nggak, Kakek akan pingsan lagi karena marah padaku."

Dia tahu bahwa Eddy berpura-pura pingsan sebelumnya, membohongi Henry untuk mengusir dirinya. Dia pun mengumpat Eddy beberapa kali di dalam hatinya.

'Dasar tua bangka!'

'Kenapa nggak mati saja sih!'

'Sungguh mengganggu saja!'

Raut wajah Henry makin mengelap dan dia berkata dengan nada dingin, "Kamu sedang hamil, kamu harus menjaga emosimu tetap stabil, jangan sebentar-bentar menangis!"

Henry tidak mengerti mengapa kakeknya tidak menyukai Janice.

Bahkan, berpura-pura pingsan karena tidak ingin melihat Janice.

Dengan ekspresi sedih dan rasa bersalah, Janice mengeluh, "Kakek terlalu memihak! Jelas-jelas itu kesalahan Miana, tapi Kakek tetap membelanya!"

Meskipun sekarang Eddy tidak lagi memegang kendali, dia masih memiliki hak mutlak dalam keluarga Jirgan.

Bahkan, Henry pun akan mendengarkannya.

Saat baru menjadi cucu menantunya, Janice selalu berusaha menyenangkan Eddy.

Akan tetapi, Eddy selalu bersikap suam-suam kuku terhadapnya.

Ketika Miana menjadi cucu menantunya. Eddy memberikan semua perhatian dan kasih sayangnya kepada Miana.

Janice tidak pernah bisa mengerti mengapa perlakukan Eddy berbeda seperti itu.

"Bicara begitu banyak, perutmu nggak sakit lagi?" tanya Henry dengan lembut sambil menatap Janice.

Miana memperlakukan Eddy dengan baik, Eddy tentu lebih menyukai Miana.

Janice tiba-tiba berteriak kesakitan, "Sakit sekali, cepat bawa aku ke rumah sakit!" Aktingnya kali ini sungguh terlihat sangat palsu.

Begitu dia selesai berbicara, terdengar suara Miana berteriak, "Henry, Kakek memintamu cepat datang!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status