Gadis cantik dengan penampilan sedikit tomboy itu menatap dingin ke arah pria yang duduk bersebelahan dengan ibunya, Margaretha Moore. Adnessa Aisy, seorang mahasiswi di salah satu universitas bergengsi di kotanya itu terang-terangan memperlihatkan ketidak sukaannya dengan pria yang sekarang sudah bersetatus sebagai ayahnya. Matanya menyipit, meneliti setiap gerak-gerik pria itu, seolah mencari celah atau kekurangan yang bisa ia gunakan untuk membenarkan prasangkanya.
"Ckkk, ini konyol," gerutu Adnessa pelan, namun cukup jelas untuk didengar oleh ibunya.
Adnessa menyilangkan kedua tangannya di depan dada, ekspresinya menunjukkan penolakan mentah-mentah. Pantas saja wanita yang selalu sibuk dengan pekerjaannya itu rela menyempatkan waktu untuk mengajaknya pergi keluar seperti ini. Biasanya, Margaretha lebih sering mengirim pesan singkat atau menelepon daripada meluangkan waktu untuk bertemu langsung. Ternyata, ada alasan lain di balik itu semua.
Ya, memang benar, tujuan Margaretha kali ini khusus untuk memberitahukan pernikahannya kepada Adnessa, putri tunggalnya. Selain itu, juga untuk memperkenalkan anggota keluarga baru kepada putri tunggalnya itu. Sebuah senyum tipis sempat terukir di bibir Margaretha saat membayangkan reaksi bahagia putrinya. Tapi, sepertinya semua tidak sesuai dengan apa yang dia harapkan. Adnessa sama sekali tidak menyambut berita ini dengan baik. Bahkan, aura dingin dan penolakan yang dipancarkan Adnessa membuat senyum Margaretha memudar.
"Nessa, jangan menatapnya seperti itu! Om Jhonatan sekarang adalah ayah kamu!" tegur Margaretha, melihat bagaimana cara putrinya menatap ke arah Jonathan. Dengan mata menyipit, Adnessa tersenyum miring menatap ke arah ibunya, "Kemana saja? Kenapa baru sekarang memberitahu aku? Setelah semuanya sudah terjadi, Ma." Pantas saja Adnessa tidak menyukai pernikahan baru ibunya, ternyata semua itu terjadi tanpa meminta pendapat dari Adnessa, dan lagi dirinya mengetahui semua ini setelah pernikahan itu berlangsung. 'Sebenarnya, apa mama masih menganggap aku sebagai putrinya?' "Maafkan mama, Ness. mama melakukan semua ini bukan tanpa alasan. Lagi pula, jika mama memberitahu kamu lebih dulu, apa kamu akan memberikan restu kepada kami?" perlahan, Margaretha mencoba untuk menjelaskan kepada putrinya tentang situasinya sekarang. Restu? Hah, sepertinya ini benar-benar tidak masuk akal. Jika pria yang akan menikahi ibunya benar-benar baik dan pantas untuk ibunya, tidak mungkin Adnessa tidak memberi restu. Walaupun dirinya terlihat sangat cuek dengan kehidupan ibunya, bukan berarti Adnessa tidak memperhatikan kebahagiaan ibunya. Adnessa menghela nafas beratnya, berusaha meredam emosi yang bergejolak di dadanya. Setelah mendengar penjelasan dari Margaretha, yang terdengar seperti pembelaan diri daripada penjelasan yang tulus, Adnessa merasa semakin kecewa."Sudahlah. Lagi pula, tanpa restu dariku, kalian juga sudah menikah!" ucapnya dengan nada dingin dan datar, menyiratkan kekecewaan yang mendalam. Kalimat itu bagaikan tamparan keras bagi Margaretha, yang menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca.
Tanpa banyak berbicara lagi, Adnessa beranjak dari kursi yang ia tempati dan meninggalkan tempat itu. Ia tidak tahan lagi berada di sana
"ADNESSA?" panggil Margaretha dengan suara bergetar. Melihat putrinya pergi dalam keadaan seperti itu, tentu saja Margaretha cemas. Bahkan, beberapa kali Margareth mencoba untuk memanggil putrinya. Namun, gadis itu tidak menghiraukan sama sekali panggilannya dan terus melangkahkan kakinya tanpa menoleh sedikit pun. "Hahhh, sungguh memuakkan," gerutu Adnessa, langkah kakinya semakin cepat meninggalkan restoran. Ia tidak peduli lagi dengan panggilan ibunya. Baginya, percakapan ini sudah berakhir.Melihat kecemasan Margaretha yang semakin menjadi, Jhonatan tidak tinggal diam. Dengan sabar, pria itu mencoba untuk menenangkan istrinya, menggenggam tangannya dengan lembut. "Biarkan dia pergi, Sayang. Mungkin Adnessa masih terkejut mendengar berita mendadak ini, dan membutuhkan waktu untuk menenangkan diri," ucapnya dengan nada menenangkan.
Jhonatan mengerti situasi ini. Ia sadar, dirinya tidak pernah muncul atau bahkan sekadar memperkenalkan diri kepada putri tunggal Margaretha, dan tiba-tiba saja dirinya muncul dengan status sebagai ayahnya. Wajar jika Adnessa terkejut dan sulit untuk menerimanya. Ia sendiri pun merasa bersalah karena situasi ini.
"Tapi, seharusnya hari ini kita memperkenalkan mereka dengan baik!" gumam Margaretha dengan raut wajah yang terlihat sedih dan kecewa. Matanya berkaca-kaca, menatap ke arah pintu yang baru saja dilewati Adnessa. Ia merasa gagal sebagai seorang ibu. Ia ingin putrinya menerima keluarga baru ini, tapi sepertinya harapannya pupus."Tidak apa-apa, kita bisa mengatur ulang acaranya nanti!" sahut Jhonatan lembut, seraya mencium kening Margareth sekilas.
"Baiklah!"Beberapa saat setelah kepergian Adnessa, suasana di meja itu masih terasa kaku dan dipenuhi kekecewaan. Margaretha masih terlihat sedih dan Jhonatan berusaha menenangkannya dengan sentuhan lembut. Tiba-tiba, seorang laki-laki yang memiliki garis wajah hampir mirip dengan Jhonatan tiba dan duduk di meja yang sama. Tidak lain adalah putra semata wayang Jhonatan, Axelio Hansel.
"Maaf, aku terlambat, Ma, Pa!" ucap Axelio dengan nada menyesal, sembari memberikan senyum sopan kepada Margaretha dan ayahnya. Ia kemudian melirik ke sekeliling, seolah mencari seseorang. "Bukankah seharusnya ada orang lain di sini?" tanyanya dengan sedikit mengerutkan kening.
Axelio, CEO muda yang memimpin salah satu perusahaan di bawah naungan Hansel Group. Di usianya yang baru saja menginjak 26 tahun, Axelio sudah berhasil mengembangkan Hansel Publishing hingga meraup keuntungan ratusan triliun. Tak heran, Axelio banyak disegani dan dikagumi banyak orang, terutama kaum hawa. Ia memiliki karisma yang kuat dan aura kepemimpinan yang terpancar kuat.
Jhonatan dan Margareth yang tadinya sudah bersiap untuk pergi menyusul Adnessa, akhirnya mengurungkan niatnya setelah melihat kedatangan Axelio.
Axelio yang baru saja pulang dari luar negeri tentu saja tidak begitu mengetahui tentang kehidupan ayahnya. Satu-satunya yang Axelio tau, Ayahnya telah menikah dengan sekertarisnya, dan untuk hal detail lainnya, memang Axelio tidak mau terlalu ikut campur. Bahkan bagaimana wajah dari seorang yang akan menjadi ibu tirinya, baru kali ini Axelio mengetahuinya."Tidak apa-apa! Oh, iya, Axel, perkenalkan ini Margaretha, wanita yang baru saja Papah nikahi!" ucap Jhonatan, berusaha mencairkan suasana yang masih terasa canggung. Ia merangkul bahu Margaretha dengan sayang.
Margaretha tersenyum hangat kepada Axelio, mencoba bersikap ramah dan terbuka. "Panggil saja Mama, seperti Nessa memanggil saya!" ujarnya dengan nada lembut.
"Nessa?" Axelio mengerutkan kening, menatap ayahnya dan Margaretha secara bergantian.
"Ahh, iya," Margaretha menghela nafas pelan, raut wajahnya kembali terlihat sedih. "Sayang sekali adik tirimu baru saja pergi beberapa menit lalu. Jadi, kami belum bisa memperkenalkan kalian!"
Adik tiri? Untuk hal ini, Axelio tidak pernah menduganya. Pasalnya, dilihat dari wajah wanita yang kini menjadi ibu tirinya, Margaretha, sama sekali tidak terlihat jika ia telah memiliki anak. Namun, Axelio tidak terlalu memikirkannya. Ia hanya memberikan respon berupa anggukan kecil, tanda ia menerima informasi tersebut tanpa mempermasalahkannya.
"Baiklah, kalau begitu, Axel juga mau pergi. Masih banyak pekerjaan yang belum Axel selesaikan!" ucap Axelio, beranjak dari duduknya. Walaupun ia baru beberapa hari kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan urusan bisnis di luar negeri, ia sudah aktif kembali di perusahaan yang ayahnya kelola. Dedikasinya pada pekerjaan memang luar biasa.
Belum sempat Axelio melangkah pergi, seorang gadis dengan penampilan yang cukup unik—perpaduan antara feminin dan tomboy—menghampiri meja yang ia dan orang tuanya tempati. Raut wajahnya tampak kesal dan khawatir.
"Ma, apa rumah kita sudah berpindah tangan?" tanya Adnessa dengan nada suara yang meninggi, menunjukkan kekesalannya. Ia baru saja menerima telepon dari seseorang yang mengaku sebagai pemilik baru rumah yang telah bertahun-tahun ia dan ibunya tempati. Kabar ini tentu saja membuatnya panik dan marah.
Mendengar pertanyaan putrinya, Margaretha terdiam, tidak bisa berkata-kata. Ia menunduk, merasa bersalah. Ia tahu, hanya dengan cara itulah—menjual rumah mereka—ia bisa membujuk Adnessa yang keras kepala untuk pindah ke kota bersamanya dan memulai hidup baru dengan Jhonatan.
Adnesaa menghela nafasnya, "Jadi, ini semua benar, ma?"
Akhirnya Margaretha mengangguk, "Ini demi kebaikan kamu, sayang!" Tidak habis fikir, kenapa banyak sekali kejutan yang dia dapatkah hari ini? Mulai dari pernikahan ibunya, rumah yang baru beberapa jam dia tinggalkan telah terjual, dan kini dirinya harus menuruti permintaan ibunya yang mengajaknya untuk pindah ke kota. Ke tempat asing yang belum pernah dia kunjungi, bahkan dirinya juga harus meninggalkan universitas yang telah memberikan banyak kenangan itu. 'Menjengkelkan sekali,' dengan wajah cemberut, di dalam hati, Adnessa sudah mengumpat menahan amarahnya. "Hmmm. Kenapa mama bisa semudah itu melakukan ini? Bagaimana dengan kuliah ku, ma?" tanya Adnessa. Margaretha menarik tangan putrinya dengan lembut, "Sayang, dengarkan mama! Apa kamu tidak ingin menghabiskan banyak waktu bersama mama? Dan masalah kuliah kamu nanti, mama dan papa sudah menyiapkan universitas terbaik untuk kamu di sana!" Jhonatan tersenyum lembut dan mengangguk, ketika Adnessa menatap ke arahnya. "Tapi, tetap saja, Ma. Tidak mudah untuk memulai semuanya dari awal!" sahut Adnessa yang masih keberatan dengan keputusan Margaretha. "Memulai apa? Di sana kamu hanya tinggal masuk, semuanya sudah mama dan papa persiapkan untuk kamu!" jelas Margaretha. "Aku tidak ingin menerima sesuatu dari orang asing!" ketus Adnessa. Melihat sikap Adnessa, Axelio yang sedari tadi memperhatikan gadis itu tanpa sadar tersenyum tipis, sepertinya sedikit tertarik dengan Adnessa. "Dia bukan orang asing, Nessa. Dia sekarang suami mama! Mama tidak ingin lagi mendengar bantahan dari kamu, sayang! Sebenarnya, apa yang membuat kamu keberatan untuk ikut dengan mama? Apakah itu karena Geovan?" sahut Margaretha dengan suara yang semakin melembut, seraya memegang bahu putrinya. Adnessa terdiam, tidak ada gunanya lagi berdebat dengan Margaretha. Setelah di pikir-pikir, di dunia ini dia hanya memiliki ibunya, tidak ada salahnya juga jika mengalah, 'Masalah rindu, mungkin aku bisa menemuinya di akhir pekan!' "Baiklah!" singkat Adnessa dengan ekspresi wajah yang terlihat pasrah. "Teimakasih, sayang!" Margaretha tidak bisa lagi menyembunyikan kebahagiaannya, mendengar Adnessa yang akhirnya bersedia untuk ikut bersamanya. "Baiklah, aku ingin segera beristirahat. Kemana aku harus pulang?" tanya Adnessa dengan wajah malas. "Kebetulan sekali, kakak kamu juga akan keluar. Sepertinya, kalian akan searah!" sahut Jhonatan. "Ohh, iya. Bagaimana kalau Adnessa di antar oleh kakak dulu?" timpal Margaretha. Margaretha dan Jhonatan sengaja memberikan ruang untuk putra dan putrinya agar saling mengenal. Berharap, tidak ada lagi kecanggungan di antara mereka, karena impian Jhonatan kedepannya adalah membuat keluarga kecil yang di penuhi dengan kebahagiaan. Melihat putra dan putrinya akur, sepertinya itu sangat membahagiakan. "Kakak?" mendengar apa yang di katakan oleh mereka, tentu saja Adnessa bertanya-tanya. Dan baru menyadari jika di sampingnya ada seoraang anak laki-laki. Tatapan mata Adnessa dan Axelio tidak sengaja saling beradu. Tapi, beberapa saat kemudian Adnessa segera mengalihkan pandangannya ketika melihat Axelio tersenyum kecil dengan tatapan aneh ke arahnya, 'Iyuhh, apa-apaan dia?' Jhonatan tersenyum, melihat bagaimana reaksi putranya yang begitu tenang mengetahui gadis di sampingnya adalah adik tirinya, 'Syukurlah, ini harapan terakhir saya. Semoga keluarga ini benar-benar menjadi keluarga paling bahagia!' Rupanya, kegagalan yang pernah Jhonatan alami dulu, meninggalkan trauma tersendiri di hidupnya. Bahkan, selama bertahun-tahun Jhonatan sengaja untuk memilih hidup menyendiri tanpa adanya pendamping hidup. Namun, kedatangan Margaretha di dalam hidupnya, mampu mengubah pemikirannya itu."Jadi, bagaimana? Apa adik masih bersedia jika aku yang mengantar pulang?" tanya Axelio yang sudah beranjak dari kursinya, seraya merapikan jas yang ia kenakan. Tatapannya tertuju pada Adnessa, mencoba bersikap ramah namun tetap mempertahankan aura profesionalnya.
Apa? Pulang bersamanya? batin Adnessa dengan perasaan tidak nyaman. Melihat dari bagaimana cara pria ini melihatnya saja sudah cukup untuk membuatnya ragu. Apakah ia akan pulang dengan selamat? Pria ini terlalu percaya diri dan tatapannya... entahlah, sulit dijelaskan, tapi membuat Adnessa merasa risih.
"Ah, sepertinya itu sangat merepotkan!" dengan senyum paksa yang terlihat jelas di wajahnya, Adnessa mencoba menolak permintaan kedua orang tuanya dengan halus. Ia berharap mereka mengerti dan tidak memaksanya.
Sedangkan di sisi lain, Axelio sebenarnya merasa lega jika Adnessa menolak. Mengingat ia harus segera pergi untuk menghadiri sebuah pesta penting, dan jika ia harus mengantar Adnessa, sudah dipastikan itu akan memakan banyak waktu dan bisa membuatnya terlambat. "Kalau begitu, Axel pamit dulu, Ma, Pa!" ucapnya, berbalik untuk benar-benar pergi.
Namun, belum sampai Axelio melangkah jauh, Jhonatan berseru, "Tunggu! Kamu harus tetap mengantar adik kamu pulang, Xel. Kalau tidak—"
"Baiklah-baiklah, Pa!" potong Axelio dengan nada pasrah, menghela nafas pelan. Ia mengerti ayahnya tidak akan menyerah begitu saja.
Apa? Apa mereka sedang bercanda membiarkan ku pulang bersama pria ini?! batin Adnessa dengan panik dan kesal. Ia menatap ibunya dengan tatapan memohon, berharap ada pembelaan. Namun, margaretha hanya tersenyum seolah menyetujuinya.
***"Kenapa tidak memfotoku saja?!" gumam Adnessa, ketika melangkah melewati Axelio yang masih saja menatapnya dengan tatapan aneh. Ia mempercepat langkahnya, sedikit kesal dengan perhatian Axelio yang menurutnya berlebihan. Ia merasa seperti sedang diawasi oleh pengawal, bukan oleh seorang kakak tiri.Axelio menghela napas. Ia tahu Adnessa tidak suka dengan kehadirannya, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan tanggung jawab yang diberikan Jhonatan dan Margaretha. Kota ini memang bukan tempat yang ramah bagi anak-anak, apalagi bagi seseorang yang baru pertama kali datang. Ia ingat betul pesan Margaretha, "Axelio, tolong jaga Adnessa baik-baik. Dia masih beradaptasi dengan kota ini.""Adnessa, tunggu sebentar," kata Axelio, berusaha menyamai langkah gadis itu. Ia tidak ingin terlihat terlalu mengejar, tetapi juga tidak ingin kehilangan jejaknya di tengah keramaian.Adnessa tidak mengindahkan panggilan Axelio. Ia terus berjalan, bahkan hampir menabrak seorang ibu yang sedang mendorong kereta ba
BYURRRRR ...Pada akhirnya, Adnessa dan Axelio sama-sama terjatuh kedalam kolam. Axelio yang saat itu tengah memeluk Adnessa, tanpa sengaja melihat tubuh adik tirinya yang terlihat menggoda dengan keadaan yang basah kuyup, tanpa terkecuali, hingga menampakan lekuk tubuhnya yang indah, bahkan dadanya pun terlihat jelas menonjol.'Sebenarnya, ini sebuah musibah atau berkah?!' batin Axelio seraya mengusap kasar wajahnya. Entah kenapa, Axelio menjadi sedikit gusar hingga kesulitan untuk menelan salifanya.'Apa-apaan ini? Kenapa dia menatap ku seperti itu?' Spontan, Adnessa menyilangkan kedua tangannya di depan dada, dan segera mendorong Axelio untuk menjauh.'Shittt,' hal itu membuat Axelio seketika sadar dengan apa yang baru saja dia pikirkan. Lagi pula, pria dewasa mana yang tidak berfikiran buruk ketika di suguhkan dengan pemandangan seperti itu?Setelah pelukan itu terlepas, tanpa sepatah kata, Adnessa berbalik badan dan berjalan menepi, meninggalkan Axelio yang masih terdiam menatapn
Karena suara Revan yang cukup keras, membuat semua orang yang berada di sekitar menatap kearah mereka berdua.Dengan raut wajah yang terlihat tidak nyaman, akhirnya Adnessa menjelaskan bagaimana dirinya bisa menjadi putri di keluarga Hansel, "Ckkk, ibu ku menikah dengan om Jhonatan. Jadi, mau tidak mau, saya menjadi adik tiri Axel!" Revan mengangguk paham, "Ohhh, seperti itu. Sepertinya, nanti kita akan sering bertemu!"Adnessa hanya mengedikkan bahunya, dan terus melangkahkan kaki mengelilingi tempat itu. Semakin lama, Adnessa merasa tempat ini lumayan nyaman dan matanya terpana ketika melihat sebuah area kolam dari kejauhan."Van!" Revan yang tengah bersemangat menemani Adnessa berkeliling harus menghentikan langkahnya, setelah mendengar suara seseorang memanggilnya."Woy, bro! Siapa ini?" tanya seorang pria yang sepertinya kenal dekat dengan Revan.Seperti pria lain pada umunya ketika melihat gadis cantik yang belum pernah dijumpai. Pria itu menatap kearah Adnessa dengan pandanga
"Turunkan aku! Aku tidak sudi di sentuh oleh tangan mu yang kotor itu!" gumam Adnessa dengan suara yang terdengar tidak begitu jelas.Walaupun dalam keadaan setengah sadar, Adnessa masih bisa mengenali siapa lelaki yang memaksa dirinya untuk meninggalkan tempat ini. Seketika, membuatnya merasa jiji saat teringat apa yang di lihatnya di kolam tadi.Sepertinya, usaha Adnessa sia-sia. Walaupun gadis itu telah meronta bahkan mengumpati Axelio dengan kalimat pedasnya agar kakak tirinya itu mau menurunkannya, namun, kenyatannya Axelio tidak goyah sedikit pun dan tetap membawa Adnessa pergi dari tempat itu."Aku benci kamu, aku benci semua orang!" ucap Adnessa seraya memukul pundak Axelio.Tepat di sebelah mobil miliknya, akhirnya Axelio menghentikan langkahnya dan menurunkan Adnessa. Dengan tangan terkepal dan wajah memerah menahan kesal, Axelio menyudutkan tubuh Adnessa di kap mobilnya. Dua pasang mata itu saling beradu tatap dengan pandangan masing-masing. Axelio dengan tatapan kesalnya d
Axelio terus melangkah, mengikis jarak diantara dirinya dan Adnessa. Lagi-lagi, hal itu membuat Adnessa tersudut. Glekkk. Di saat seperti ini, mata elang dengan alis tebal yang semakin memperkuat karakter tegas Axelio itu, justru membuat Adnessa kesulitan untuk mengontrol dirinya, bahkan matanya pun tidak beralih sedikit pun dari Axelio. 'Jika boleh mengatakannya dengan jujur, sepertinya aku mulai terpikat dengan pria bajingan ini,' batin Adnessa tanpa sadar. Namun, beberapa saat kemudian Adnessa segera menunduk, untungnya ia segera menyadari ada yang salah dengan otaknya.'Aishhhh, bodoh, apa yang kamu pikirkan barusan?' batin Adnessa merutuki dirinya. DEG. Jantung Adnessa kembali berdesir hebat ketika Axelio tiba-tiba mengangkat dagunya, membawa wajahnya untuk menatap kearah lelaki itu yang kini berdiri tepat di depannya. Bahkan, wajah Axelio kini berada tepat di depan wajah Adnessa dengan jarak yang hanya beberapa inchi. Dengan lembut, Axelio merapikan anak rambut Adnessa yang
"AXELL!"Disaat semuanya sudah hampir terlambat. Terlihat, seorang gadis berparas cantik meneriakkan nama Axelio, membuat tiga pria yang tengah berdebat itu menoleh. Tentu saja hal itu membuat Axelio sedikit bernafas lega, karena akhirnya ada yang mengalihkan perhatian dua sahabatnya ini.'Erika?' Axel mengernyit, melihat siluet yang sangat di kenalnya berjalan mendekat.Dengan senyum lebar, tanpa permisi Erika bergelayut manja di lengan Axelio. Namun, sepertinya Axelio tidak menyambut baik sikap Erika itu, bahkan Axcel segera melepaskan pelukan gadis itu darinya.Mendapat penolakan dari Axelio, tentu saja Erika merasa ada yang berbeda, "Ada apa, xel?""Pffftttttt. Pakek nanya, tentulah Axel risih sama lo!" sahut Aldy.Risih? tidak mungkin. Tadi saja ketika berada di kolam renang dirinya sudah hampir berhasil, mana mungkin Axcel risih dengannya, "Bilang saja kalau lo iri dengan Axcel, heh.""Iri? Gue tarik semua ucapan gue dulu yang sempat mengagumi cewek kayak lo," sahut Aldy. Memang
'Akhh, sialan?!' dengan mata terpejam, Adnessa memukul pelan kepalanya, ketika bayangan kejadian semalam melintas di otaknya. Apa lagi, bayangan wajah Axelio yang sangat menggoda saat itu terus menghantuinya, membuat Adnessa benar-benar tidak nyaman tinggal di kediaman Hansel."Setan bukan, tapi gak ada capeknya, apa? gentayangin gue mulu," keluh Adnessa. Ternyata, sejak kejadian semalam, Adnessa tidak bisa beristirahat dengan tenang. Bahkan, hampir semalaman gadis itu tidak tidur. Untuk mengusir bayangan yang menganggu itu, Adnessa memutuskan untuk berolahraga, ya, walaupun jam menunjukkan masih sangat pagi, bahkan semburat cahaya matahari pun belum muncul."Mau kemana kamu?" "Astaga?!" baru saja Adnessa keluar dari pintu kamarnya, sudah di kejutkan dengan suara berat Axcel.Dengan tatapan kesal dan bibir cemberut, Adnessa menatap ke arah Axcel yang tengah bersandar di dinding, tepat di sebelah pintu kamarnya. Apa dia baru saja pulang? Melihat Axcel masih mengenakan baju yang sama
Di tengah kesibukannya. Pagi ini, Axcel memang sengaja meluangkan waktunya untuk mengantar Adnessa."Ngapain masih disana?" tanya Adnessa melihat mobil Axcel yang tidak segera pergi."Suka-suka saya, dong! saya bangun rumah di sini pun tidak akan ada yang berani melarang," sahut Axcel dengan wajah congkaknya."Sombong sekali," gerutu Adnessa yang memilih meninggalkan tempat itu, dan enggan meladeni ucapan Axcel yang pasti nantinya hanya akan membuatnya kesal."Sa?!" panggil Axcel."Jangan nengok, jangan berhenti!!" gumam Adnessa memperingatkan dirinya sendiri dan semakin mempercepat langkahnya."Adnessa sayang. Jangan telat makan dan jaga diri baik-baik, ya. Kalau ada yang gangguin nanti, bilang saja sudah punya saya!" teriak Axcell, membuat Adnessa yang mendengarnya merasa malu."Dasar gila, apa dia tidak malu mengatakan hal seperti itu?" entah itu hanya sebuah candaan atau bagaimana. Namun, menurut Adnessa, kalimat seperti tadi tidak seharusnya di ucapkan sembarangan seperti ini. Kar
Akhirnya Axcel melepaskan cekikannya di leher Erika, setelah gadis itu mengatakan sesuatu yang kembali membuatnya bimbang. Kata-kata Erika tadi seperti belati yang menusuk langsung ke jantungnya, membuatnya kehilangan kendali atas amarahnya."Uhuk uhuk uhukkkk," Erika memegang lehernya yang terasa sakit, bekas cekikan Axcel membekas merah di sana. Ia terbatuk-batuk, berusaha mengisi paru-parunya dengan udara sebanyak mungkin. Matanya menatap Axcel dengan campuran rasa takut dan kemenangan.Sedangkan Axcel, ia segera melangkah pergi dari tempat itu, membawa pikirannya yang kalut untuk menenangkan diri. Ia merasa seperti berada di labirin yang gelap, tidak tahu jalan keluar. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan siapa yang bermain-main dengannya.Sedangkan Axcel, ia segera melangkah pergi dari tempat itu, membawa pikirannya yang kalut untuk menenangkan diri. Ia merasa seperti berada di labirin yang gelap, tidak tahu jalan keluar. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarny
Apa aku tidak salah dengar?' Adnessa menatap Revan dengan mata berkaca-kaca, hatinya sedikit terenyuh dengan ketulusan Revan. Ia tidak menyangka Revan akan mengatakan hal itu di depannya, mempertaruhkan persahabatan yang telah lama terjalin demi dirinya, demi melindunginya. Sedangkan selama ini, dirinya seolah terus mempermainkan perasaan Revan yang selalu berkorban untuknya.Axcel terdiam, rahangnya mengeras. Ia merasa terpojok dan tidak berdaya. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia merasa Revan benar-benar serius dengan ucapannya."Lo tidak bisa melakukan ini, Van," ucap Axcel dengan suara lirih, berusaha meyakinkan Revan. "Adnessa adalah milik gue.""Milik lo?" Revan tertawa sinis. "Sejak kapan Adnessa menjadi milik lo? Lo bahkan tidak bisa menjaganya. Lo hanya membuatnya menderita," ucap Revan yang tidak bisa lagi menahan kekesalan dan kekecewaannya, sia-sia dirinya menahan perasaan selama ini, membiarkan Adnessa terus bersama Axcel. Namun, Axcel justru menyia-nyiakannya, tida
Shhhh," desis Axcel, merasakan denyutan tajam yang menghantam kepalanya. Ia mengerjap, kelopak matanya terasa berat, dan pandangannya kabur. Ada sesuatu yang berat menimpa tubuhnya, sesuatu yang hangat dan lembut.Axcel tersentak, matanya melebar saat melihat siapa yang tidur di sampingnya, menindih tubuhnya dengan selimut yang melorot. Erika. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan bibirnya sedikit bengkak. Membuat Erika yang tengah terlelap di sampingnya ikut tersentak dan terbangun."Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Axcel dengan suara serak, tenggorokannya terasa kering. Penampilannya sangat berantakan, kemejanya kusut, dan matanya merah menatap Erika dengan tatapan dingin dan penuh pertanyaan.Erika menarik selimut yang sedikit melorot, membenarkannya untuk menutupi tubuhnya yang telanjang. Sebelum ia mengangkat wajahnya, menatap mata Axcel dengan intensitas yang membuat bulu kuduk Axcel meremang, "Kamu jahat sekali, Axcel," sahutnya, menjawab pertanyaan Axcel dengan nada le
Plakk.Revan menepuk pelan uluran tangan sahabatnya ke arah Adnessa, "Apa-apaan syarat seperti itu?" ucapnya sedikit cemburu. Ia merasa tidak suka melihat Aldynata menggoda Adnessa.Aldynata mengedikkan bahunya mendengar pertanyaan Revan, seolah acuh tak acuh dengan sahabatnya itu yang hampir terbakar cemburu. Dengan sengaja, Aldynata justru kembali mengulurkan tangannya ke arah Adnessa, seolah menantang Revan."Ha-hanya berdansa saja, kan?!" tanya Adnessa terbata, sedikit ada keraguan di hatinya untuk menerima uluran tangan Aldynata. Ia merasa tidak nyaman dengan situasi ini.Revan yang melihat itu mendengus kesal. Sebelum semuanya terlambat, dengan cepat Revan menerima uluran tangan Aldynata yang sebenarnya pria itu tunjukkan untuk Adnessa. Ia tidak ingin Adnessa berdansa dengan Aldynata.Adnessa dan Aldynata seketika menatap aneh ke arah Revan. Mereka berdua merasa bingung dengan tindakan Revan yang tiba-tiba.Aldynata segera menarik tangannya kembali, "Gue gak suka bambu, ya, anyi
Axcel menarik tangan Erika yang ia sangka Adnessa itu ke dalam pelukannya, ia memeluknya dengan sangat erat. Ia merasa sangat merindukan Adnessa, dan ia ingin merasakan kehangatan dan kenyamanan yang hanya bisa diberikan oleh Adnessa.Sedangkan Erika, ia terkejut mendengar Axcel memanggil nama Adnessa. Ia merasa sangat marah dan cemburu. Ia tidak menyangka Axcel akan memikirkan Adnessa di saat seperti ini."Aku di sini, Xel," ucap Erika dengan suara lembut, berusaha menenangkan Axcel. Ia ingin Axcel melihatnya, bukan Adnessa. Ia ingin Axcel melupakan Adnessa dan mencintainya.Axcel menggelengkan kepalanya, "Bukan kamu, Ness," ucapnya dengan suara serak. "Aku merindukanmu." Ia memeluk Erika semakin erat, berharap ia bisa merasakan kehadiran Adnessa.Erika mengepalkan tangannya, menahan amarah yang membara di dadanya. Ia merasa sangat terhina dan direndahkan. Ia tidak menyangka Axcel akan begitu mencintai Adnessa, meskipun mereka sudah berpisah."Axcel, aku di sini," ucap Erika lagi, be
Adnessa melangkahkan kakinya mundur beberapa langkah, melihat Axcel berdiri di depannya. Perasaannya seketika berubah menjadi campur aduk. Ia menatap was-was ke sekeliling Axcel, mencari seseorang yang mungkin saja ikut hadir bersamanya. Dirinya benar-benar sudah tidak ingin ikut terlibat dalam masalah Axcel dan Erika lagi."Ada apa?" tanya Axcel, melihat Adnessa menatap aneh ke arahnya. Axcel yang merasa khawatir, spontan menyentuh lengan Adnessa, mencoba untuk mengikis jarak dan dinding penghalang yang hadir di antara mereka setelah malam pertunangan itu. Ia merasa Adnessa semakin menjaga jarak dengannya.Merasakan sentuhan Axcel, Adnessa segera menarik tangannya membuat Axcel tersenyum miring dengan tatapan mata yang ikut berubah, sorot mata yang tadinya menyiratkan kekhawatiran seketika berubah menjadi tatapan amarah dan kekecewaan."Aku masih ada urusan," pamit Adnessa sengaja untuk menghindari Axcel, ia tidak ingin lagi membuat masalah. Ia selalu mengingatkan kepada dirinya send
Revan dan Adnessa terlihat sangat serasi, bahkan baju mereka juga terlihat senada. Baru saja mereka keluar dari mobil, sudah banyak pasang mata yang berlalu lalang di pelataran gedung itu menatap ke arah mereka, tidak sedikit juga yang memuji Adnessa dan Axcel. Revan dengan gagahnya dan auranya yang berkarisma, bersanding dengan gadis cantik dan anggun, tentu saja akan menyita perhatian banyak orang. Apalagi, selama hidupnya baru kali ini Revan membawa seorang gadis datang ke acara resmi seperti ini.Revan memberikan kode agar tangan Adnessa melingkar di lengannya. Ia ingin terlihat seperti pasangan yang serasi dan bahagia di depan semua orang. Meskipun, pada kenyataannya tidak ada hubungan lebih di antara mereka berdua, selain hubungan antara dosen dan mahasiswi."Kenapa, Pak?" tanya Adnessa yang tidak peka, ia justru menatap bingung dan heran ke arah Revan. Ia tidak mengerti apa maksud Revan dengan kode yang diberikan kepadanya."Pegang lengan saya, Ness!" ucap Revan dengan sabar, i
Revan membawa Adnessa menuju sebuah butik yang cukup terkenal di kotanya. Butik itu sangat besar dengan baju-baju mewah dan elegan yang terpajang sangat indah, membuat Adnessa takjub dengan pemandangan itu. Ia merasa seperti masuk ke dalam dunia mimpi, di mana segala sesuatu terlihat begitu sempurna dan mewah."Kenapa Anda membawa saya kemari, Pak?" tanya Adnessa dengan suara yang sedikit bergetar. Ia masih binggung dengan apa yang sedang terjadi. Revan tersenyum tipis mendengar pertanyaan Adnessa. "Tentu saja untuk memilihkan gaun yang akan kamu kenakan di acara nanti malam!" Sahut Revan dengan entengnya, seolah-olah apa yang ia lakukan adalah hal yang biasa saja."Tidak mungkin juga kan, kita makan di sini. Ini butik, bukan restoran, Ness," lanjut Revan menggoda Adnessa, ia terkekeh pelan melihat ekspresi Adnessa yang menurutnya begitu menggemaskan. Ia suka melihat Adnessa yang terlihat bingung dan salah tingkah seperti ini.'Yang bilang ini restoran juga siapa? Orang kayak gini, k
Rencananya untuk menemui Axcel di kantor pria itu akhirnya gagal, dan Erika memutuskan untuk pulang dengan hati yang penuh amarah dan dendam. Namun, di tengah perjalanan, entah kenapa ia teringat dengan sebuah rencana yang akan membantunya untuk bersatu dengan Axcel. Rencana yang licik dan berbahaya, tapi ia merasa tidak punya pilihan lain."Apa aku harus menggunakan cara itu?" gumam Erika, mempertimbangkan ide yang baru saja muncul di otaknya. Ia tahu rencana ini sangat berisiko, tapi ia sudah tidak tahan lagi dengan penolakan Axcel. Ia ingin memiliki Axcel seutuhnya, dan ia akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya.Tiba-tiba Erika teringat dengan seseorang yang bisa membantunya mewujudkan rencana ini. Matanya berbinar dan segera ia mengambil ponselnya untuk menghubungi orang itu."Selamat siang, Nona Erika! Apa ada sesuatu yang bisa saya bantu?" terdengar suara seorang pria dari balik panggilan itu, membuat Erika tersenyum miring. Ia sudah menemukan orang yang tepat untuk memban