'Akhh, sialan?!' dengan mata terpejam, Adnessa memukul pelan kepalanya, ketika bayangan kejadian semalam melintas di otaknya. Apa lagi, bayangan wajah Axelio yang sangat menggoda saat itu terus menghantuinya, membuat Adnessa benar-benar tidak nyaman tinggal di kediaman Hansel.
"Setan bukan, tapi gak ada capeknya, apa? gentayangin gue mulu," keluh Adnessa.
Ternyata, sejak kejadian semalam, Adnessa tidak bisa beristirahat dengan tenang. Bahkan, hampir semalaman gadis itu tidak tidur. Untuk mengusir bayangan yang menganggu itu, Adnessa memutuskan untuk berolahraga, ya, walaupun jam menunjukkan masih sangat pagi, bahkan semburat cahaya matahari pun belum muncul.
"Mau kemana kamu?"
"Astaga?!" baru saja Adnessa keluar dari pintu kamarnya, sudah di kejutkan dengan suara berat Axcel.
Dengan tatapan kesal dan bibir cemberut, Adnessa menatap ke arah Axcel yang tengah bersandar di dinding, tepat di sebelah pintu kamarnya.
Apa dia baru saja pulang? Melihat Axcel masih mengenakan baju yang sama dengan yang di pakainnya ketika di bar kemarin, membuat Adnessa bertanya-tanya.
"Dih, sudah punya kekasih masih saja menganggu," gumam Adnessa seraya berlalu pergi, mengabaikan pertanyaan Axcel.
Apa yang salah dengan ucapan ku? Axcel tidak habis fikir lagi dengan sikap Adnessa yang berubah-ubah. Semalam, gadis itu tiba-tiba menciumnya, dan sekarang gadis itu tiba-tiba marah dengannya.
"Apa mungkin ini efek patah hati?" gumam Axcel yang hanya menatap punggung Adnessa. Kali ini, Axcel memang sengaja tidak mengejar Adnessa. Bukannya dia tidak perduli dengan gadis itu, hanya saja, Axcel ingin Adnessa memiliki waktu untuk menenangkan diri, karena jika dirinya memaksa dan mengejar gadis itu sekarang, yang ada hanya akan berujung dengan pertengkaran.
"Ah, sudahlah. lebih baik aku bersihkan diri dulu, setelah itu baru ku temui botol yakult. Semoga saja sudah tidak marah dengan ku," gumam Axcel yang telah bersiap menuju kamar mandi di kamarnya.
***
*Taman kediaman Hansel.*
"Aishhhh, baru sekali putaran kenapa lelah sekali?" gerutu Adnessa yang memutuskan untuk berhenti dan bersantai di salah satu bangku yang berada di taman itu.
Adnessa memejamkan matanya, menikmati ketenangan yang akhir-akhir ini jarang ia rasakan setelah tinggal di kediaman Hansel. Ya, walaupun rumah lamanya jauh lebih kecil bahkan tidak sebanding dengan kediaman Hansel, tapi tidak bisa di pungkiri jika dirinya lebih suka tinggal di rumah lamanya, 'Belum juga genap sebulan, tapi ... Ini sudah terlalu banyak masalah yang datang.'
"Pagi, Sayang!" ucap seorang pria dengan suara khasnya, membuat Adnessa segera membuka mata.
Axel? Sejak kapan dia berada di sini? Melihat Axel sudah duduk di sampingnya, Adnessa segera menegakkan tubuhnya dan bersiap untuk beranjak dari kursi taman yang sedari tadi ia duduki.
"Tenanglah, kenapa harus menghindariku?" ucap Axelio seraya menahan tangan Adnessa.
Kaos oblong dan celana pendek. Dari pakaian yang di kenakan Axel, sepertinya pria ini baru saja melakukan olahraga.
'Aduhhhhh, kenapa harus muncul di saat seperti ini, sih?' Adnessa benar-benar tidak tau lagi dengan takdir yang dimilikinya. Kenapa dirinya harus di pertemukan dengan Axelio, ketika pria itu terlihat menggoda seperti sekarang?
Tubuh tinggi dengan otot lengan dan perut yang tercetak jelas dibalik baju tipis yang dikenakan Axelio, ditambah lagi dengan buliran keringat yang membasahi kening dan dada pria ini, membuat Adnessa sulit untuk berkata-kata. Jangankan untuk itu, untuk mengalihkan pandangannya dari Axelio saja, Adnessa sangat kesusahan.
Melihat ekspresi Adnessa saat ini, membuat Axelio tersenyum tipis. Tanpa menunggu jawaban dari gadis itu, Axelio menarik tangan Adnessa membuat tubuh gadis itu limbung dan terjatuh tepat di pangkuannya.
'Astaga, tuhan. Apa lagi ini?' batin Adnessa dengan jantung yang berdetak tidak beraturan.
"Pantas saja berat," gumam Axelio.
"Apa katamu?" tanya Adnessa kesal, dan berusaha untuk bangkit. Nmaun Axel masih saja menahannya.
"Jangan lupa olahraga, kamu itu cantik ... sayang kalau nanti beneran berubah jadi botol yakult!" sahut Axcelio dengan ekspresi congkaknya.
"Apaan sih, gak jelas banget," sahut Adnessa. Gadis itu segera beranjak dan melangkahkan kakinya meninggalkan Axelio. Sejujurnya ia tidak membenci Axelio, hanya saja, tingkah Axelio yang tiba-tiba menganggunya membuat Adnessa merasa kurang nyaman dan juga canggung.
"Sudah tidak marah?" tanya Axcel seraya mengenggam tangan Adnessa, untuk menghentikan langkah gadis itu.
Apa dia memperhatikan ku? Mendengar pertnyaan itu, perasaan Adnessa tiba-tiba saja seperti di penuhi bunga. Bahkan, sulit sekali untuk menyembunyikan kebahagiaan hatinya. Tapi, tetap saja Adnessa tertampar oleh kenyataan yang di lihatnya semalam, membuat bunga-bunga di hatinya itu seketika berguguran, 'Aishhh, mengharap apa lagi kamu?'
Axelio terdiam, melihat rona yang berada di pipi Adnessa perlahan memudar, dan berganti dengan bibir mungil yang mengerucut. Sadar dengan hal itu, Axcel segera menarik tangan Adnessa hingga gadis itu terduduk tepat di pangkuannya, "Saya membuat kesalahan? Katakanlah?!"
"Sudah punya kekasih, kenapa masih menganggu ku?!" ucap Adnessa yang berusaha untuk melepaskan tangan Axcel yang memeluknya.
Bukannya melepas, Axcel justru semakin mengeratkan pelukan itu, "Pffftttt, maksud kamu Erika?"
"Siapa pun itu, aku tidak peduli," jawab ketus Adnessa yang justru berhasil mengukir senyuman di bibir Axcel.
"Pfffttttt, kamu cemburu?" goda Axcel.
"Memangnya, seberapa penting kamu hingga harus membuat aku cemburu?" sahut Adnessa.
Karena begitu kesalnya, Adnessa sengaja menginjak kaki Axcel. Dan benar saja, hal itu berhasil membuat Adnessa terbebas dari jeratannya. Namun, beberapa saat kemusian Axcel kembali menarik tubuh Adnessa kedalam pelukannya dan mulai menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi semalam untuk meluruskan kesalah pahaman di antara mereka.
'Jadi, Erika bukan kekasih Axcel?! Dan semua itu ... Karena aku?' Adnessa terdiam mendengar semua penjelasan Axcel, dan jujur saja, hatinya sekarang merasa sedikit lega.
Apa ini yang namanya butterfly era? Adnessa tidak ingin terlalu percaya diri, tapi ini ... "Sudah, lepaskan aku. Aku ingin bersiap ke kampus!"
Axelio tersenyum, menatap punggung Adnessa yang semakin menjauh. Sebenarnya, selama ini ia menyadari jika Adnessa selalu menghindar dan ketus kepadanya. Tapi, entah kenapa hal ini membuatnya semakin penasaran dengan gadis itu, 'Memang semua adalah salahku,'
*Ruang makan*
Beberapa jam telah berlalu. kini, Adnessa sudah terlihat rapi mengenakan celana jeans hitam dan kemeja berwarna coffe dengan sebelah tangannya yang menenteng beberapa buku buku. Gadis itu, terlihat tengah terburu-buru menuruni anak tangga, hingga tidak menyadari keberadaan Axelio yang duduk di meja makan, menunggunya.
"Sarapan dulu! Saya tau kamu belum makan sejak semalam," ucap Axelio, menghentikan langkah Adnessa.
"Tidak perlu, aku terburu-buru," tolak Adnessa beralasan.
Axelio menghela nafas dan beranjak dari kursi, dirinya tau jika Adnessa enggan makan karena ada dirinya di sana, "Makanlah dulu. Tunggu kakak kembali!"
"Nggak, aku buru-buru!"
"Makan, atau kakak cium seperti semalam?" frontal Acel.
Seketika Adnssa menghentikan langkahnya, setelah mendengar kalimat Axcel, "Mengancam ku?"
"Tidak. Itu hanya sebuah pilihan!"
"Cihhhh," akhirnya Adnessa melangkahkan kakinya kembali menuju meja makan, dan duduk bersebrangan dengan Axcel.
"Makanlah, tunggu kakak kembali!" ucap Axcel sebelum beranjak.
Hening, Adnessa tidak menjawab. namun, setelah sekian detik, gadis itu menatap punggung Axcel yang semakin menjauh menaiki anak tangga, 'Apa dia sudah sarapan?' batin Adnessa melihat tidak ada sisa makanan di atas piring Axcel.
'Apa ini? Aku mulai mengkhawatirkannya?!'
***
Di tengah kesibukannya. Pagi ini, Axcel memang sengaja meluangkan waktunya untuk mengantar Adnessa."Ngapain masih disana?" tanya Adnessa melihat mobil Axcel yang tidak segera pergi."Suka-suka saya, dong! saya bangun rumah di sini pun tidak akan ada yang berani melarang," sahut Axcel dengan wajah congkaknya."Sombong sekali," gerutu Adnessa yang memilih meninggalkan tempat itu, dan enggan meladeni ucapan Axcel yang pasti nantinya hanya akan membuatnya kesal."Sa?!" panggil Axcel."Jangan nengok, jangan berhenti!!" gumam Adnessa memperingatkan dirinya sendiri dan semakin mempercepat langkahnya."Adnessa sayang. Jangan telat makan dan jaga diri baik-baik, ya. Kalau ada yang gangguin nanti, bilang saja sudah punya saya!" teriak Axcell, membuat Adnessa yang mendengarnya merasa malu."Dasar gila, apa dia tidak malu mengatakan hal seperti itu?" entah itu hanya sebuah candaan atau bagaimana. Namun, menurut Adnessa, kalimat seperti tadi tidak seharusnya di ucapkan sembarangan seperti ini. Kar
"Mahasiswi baru? Silahkan perkenalkan dirimu!" Sebenarnya, tidak bertanya pun Revan sudah tahu jika Adnessa adalah mahasiswi baru disini. Dan hal ini hanyalah alasan untuknya agar memiliki kesempatan untuk mendekati Adnessa."Baik, pak!" seketika, Adnessa dapat bernafas dengan lega."Pak Revan, saya tidak sekalian bapak suruh untuk maju ke depan?" tanya Laluna.Revan menaikkan sebelah alisnya, ia sudah hafal sekali dengan sifat mahasiswinya itu yang sering menggodanya, "Kamu mau gantikan saya mengajar disini? Kalau memang begitu, saya persilahkan!""Boro-boro, kalau beneran gue yang ngajar, mungkin generasi gen z akan semakin berantakkan," gumam Laluna seraya menelan salivanya dengan kasar. "Pfffttttttt. Katanya dengan senang hati, pak!" sahut Fransisca dengan lantang, seraya menertawai sahabatnya."ya ampun, Sis. Apa-apaan sih, Lo?" keluh Laluna yag membuatnya mendapat sorakan dari teman yang lain.Sebenarnya, hal seperti ini sudah hal yang biasa untuk Revan. Karena di kampus ini,
Adnessa yang baru saja membuka pintu kamarnya, heran melihat keberadaan Axcel dan Revan berdiri di depan kamarnya, "Kalian, ngapain di sini?"Revan dan Axcel memang bersahabat, tidak heran jika melihat dosen muda itu berada di kediaman Hansel. Tapi, melihat dua pria ini berdiri di depan pintu kamarnya dengan nafas yang naik turun, membuat Adnessa bertanya-tanya."Saya? Saya mengkhawatirkan kamu," sahut Revan to the poin.Adnessa semakin binggung, "Hah? Apa anda salah bicara, Pak?"Maksudnya, dirinya tidak sepenting itu kenapa seorang dosen seperti Revan bisa mengkhawatirkannya?! Apa aku membuat masalah? Adnessa mencoba untuk mengingat apa yang ia lakukan, yang mungkin membuat masalah tanpa ia sadari.Melihat pakaian yang di kenakan Adnessa sedikit terbuka, Axcel segera melepaskan jas yang ia kenakan untuk Adnessa.'Astaga. Malu sekali,' batin Adnessa yang baru saja menyadari pakaiannya."Maksud saya, tadi Axcel datang ke kampus untuk menjemput kamu, dan saya teringat jika kamu sudah pu
Deg. Adnessa terdiam, mengira jika kalimat waktu itu hanyalah sebuah lelucon dan Axcel telah melupakannya. Kenyataannya, pria itu Justru menanyakan jawaban tentang pengakuannya pagi tadi."Saya menyukai kamu!" jelas Axcel.Dalam konteks apa? Adnessa tidak ingin terlalu percaya diri, karena tidak semua kata menyukai itu bisa di artikan dalam bentuk pasangan, bisa saja itu hanya sekedar suka layaknya seorang kakak kepada adiknya. Lagi pula, selamanya mereka akan menjadi saudara. Andai kata, suatu saat nanti Axel benar-benar memiliki perasaan kepadanya, Adnessa berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak menyukai pria di depannya ini."Aku juga menyukai mu, karena kita adalah saudara!" Adnessa tersenyum, menatap sekilas wajah Axcel. Saudara? Kebahagiaan di wajah Axcel perlahan meredup, "Apa hanya sebatas itu?""Maksudnya?""Saya menyukai kamu lebih dari perasaan seorang kakak kepada saudari perempuanya. Bagaimana dengan kamu? Apakah perasaan kamu hanya sebatas itu?" tanya Axcel penuh
"Ness, sedang apa kamu?" tanya Margaretha melihat wajah gugup putrinya. Margaretha yang penasaran, akhirnya menghampiri Adnessa yang terdiam di depan pintu kamar mandi. "Ahh, tidak, Ma. Mama kapan pulang?" tanya Adnessa yang sengaja mengalihkan pembicaraan."Mama, baru saja pulang. Beneran kamu tidak kenapa-kenapa?" tanya Margaretha curiga. Walaupu mereka jarang memiliki waktu bersama, tapi, yang namanya ibu pasti sangat mengenali anaknya.Adnessa tersenyum, sebenarnya sangat tidak nyaman berada di posisi sekarang. Tapi, tidak mungkin juga ia mengatakan yang sejujurnya, 'Yang ada di coret dari kartu keluarga.'"Mama memang terlalu sibuk dan jarang ada waktu untuk kamu. Tapi, kalau kamu sedang ada masalah, cerita sama mama!" Adnessa tersenyum, "Adnessa tidak ada masalah, kok, ma!"Margaretha mengangguk, firasat seorang ibu tidak akan pernah salah. Tapi, biar bagaimana pun ia tidak bisa memaksa Adnessa, dan memilih untuk menunggu kapan gadis itu siap untuk bercerita, "Ya sudah, kalau
"Maaf, tuan, menganggu waktunya. Ini ada den Revan datang katanya ada perlu dengan tuan muda!" Ketika suasana sedikit menegang, tiba-tiba seorang pelayan di kediaman itu datang, memberi tahu kedatangan Revan.Jhonatan mengangguk, mempersilahkan sahabat putranya itu untuk bergabung, sarapan bersama."Baik, tuan.""Selamat pagi om, tante!" sapa Revan yang baru saja datang."Pagiii. Silahkan duduk, Van. mari kita sarapan bersama!" sahut Jhonatan menyambut kedatangan Revan."Iya, nak Revan. Jangan sungkan-sungkan!" timpal Margaretha."Ahhh, jadi merepotkan Om dan tante," sahut Revan terkekeh, dengan senang hati bergabung di meja makan."Bagaimana kabar Ayah kamu, sehat?" tanya Jhonatan. Tidak hanya Axcel yang bersahabat dengan Revan, ternyata Jhonatan dan Ruan, ayah kandung Revan merupakan kawan lama. Tidak heran jika mereka terlihat seperti saudara."Alhamdhulillah sehat, om. Kalau om? Emmm, sepertinya saya tidak perlu bertanya, sejak kedatangan tante Margaretha seharusnya Om Jhonatan se
"Beraninya bersikap tidak sopan disini!" ucap Axcel, suaranya meninggi. menghempas kasar tangan Geovan yang menyentuh bahu Adnessa. "Kamu tidak apa-apa, Ness?!" tanya Revan khawatir. Adnessa menggeleng, dengan wajah tertekan gadis itu bersikap seolah tidak terjadi sesuatu. "Woahhh, pantas saja kamu memblokir semua kontakku. Ternyata, kamu sudah mendapat mainan baru?!" Geovan bertepuk tangan, terang-terangan menyindir Adnessa. Sedikit pun Adnessa tidak tersulut emosi. Dengan santai gadis itu bersedekap dada, tersenyum sinis kearah Geovan, "Heh, lucu sekali." "Memang, wanita murahan seperti kamu itu tidak bisa hidup tanpa laki-laki. Sebenarnya, seberapa kesepian kamu disini hingga bermain dengan dua pria sekaligus, hmmm?!" ucap Geovan yang semakin keterlaluan, membuat Adnessa tidak bisa menahan diri lagi.Revan yang mendengar Adnessa di rendahkan di depan mata kepalanya, tentu saja tidak terima. Pria itu hampir saja memukul Giovan, namun, ia urungkan ketika Adnessa sudah lebih dulu
Pagi itu, Adnessa benar-benar di antar oleh Revan hingga kedalam kelas. Hari itu juga, Adnessa menjadi trending topik dan terkenal di penjuru kampus hanya gara-gara dirinya di antar oleh dosen tampan idaman para Mahasiswi disana."Aishhh, semua ini gara-gara pak Revan," gerutu Adnessa. Sepanjang ia berjalan di koridor, pasti akan ada bisikan dan tatapan yang tertuju padanya. Entah itu komentar positif atau negatif, semuanya berbaur menjadi satu."Cieee ... Monyong banget bibir, Lo. Senyum dong! Masa habis di anterin 2 cowok tampan masih gak puas, Lo, Ness?!" ucap Fransisca menghampiri Adnessa yang baru saja duduk di bangkunya."Iya, nih. Diborong semua, bagi-bagi napa, Ness?!" sahut Laluna dengan bibir cemberut.Adnessa menghela nafas panjang, "Kalian tidak mengerti, sih. Kalau bisa, dengan senang hati kalian angkut saja mereka berdua!""Astaga, Ness. Gue bercanda! Oh iya, pria yang berangkat bersama kamu tadi siapa?" tanya Fransisca penasaran."Siapa? Pak Revan?" tanya Adnessa yang t
Adnessa menghela napas, bayangan dirinya di cermin pagi itu tak ubahnya hantu pucat. Mata sayunya, lingkar hitam di bawahnya, saksi bisu malam tanpa lelap. Kata-kata Axcel semalam berputar-putar di kepalanya, racun yang menggerogoti ketenangannya."Dari mana dia tahu?" bisiknya, dahinya berkerut dalam.Gemericik air dari wastafel kamar mandi menjadi latar sunyi lamunannya. Namun, ketenangan itu pecah saat sepasang tangan kekar melingkar posesif di perutnya, membuatnya tersentak keras."Axcel!" serunya, mendorong tubuh itu menjauh. Matanya menyala marah, suaranya bergetar. "Apa yang kau lakukan di sini?!"Perlahan, Axcel mengulurkan tangannya, meraih jemari Adnessa dengan cengkeraman penuh keyakinan. "Menikahlah denganku, Ness," ucapnya, suaranya serak namun tegas. Mata elangnya, yang biasa memancarkan dominasi, kini redup, penuh permohonan."Kau gila!" Adnessa mendesis, menarik tangannya dengan kasar. "Di saat tunanganmu mengandung anakmu, kau malah mengajakku menikah? Lucu sekali!""
Mata Axcel terbelalak setelah membaca laporan yang baru saja diberikan oleh kaki tangannya beberapa saat lalu. Tangannya bergetar, mata dan wajahnya memerah seperti menahan sebuah rasa yang tiba-tiba saja menggebu. "Adnessa hamil?!" lirihnya.Axcel terdiam, menatap beberapa lembar kertas di tangannya. Baru kali ini ia tahu alasan kenapa Adnessa beberapa saat lalu tiba-tiba ingin bersekolah di luar negeri dan sekarang justru ingin menikah, ternyata gadis itu tengah mengandung. Mengetahui fakta ini, masih ada sedikit pertanyaan yang mengganjal di hatinya. Siapa ayah anak ini?!"Jangan-jangan ayah anak ini..." Axcel segera melangkahkan kakinya terburu-buru menuju kamar Adnessa, memastikan siapa sebenarnya ayah dari anak yang dikandungnya. Jika di lihat dari laporan ini, mungkin saja anak itu miliknya.Pria tampan bermata biru dengan postur tubuh atletis itu melangkahkan kakinya lebar, seluruh tubuhnya berdesir merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan, membayangkan kenyataan ini. Ia memoho
"Aku memilih..." Adnessa menatap ke arah Revan dengan perasaan ragu. "Aku lebih memilih Pak Revan," ucapnya mantap. Dari semua pilihan yang ada di dalam otaknya, sepertinya ini adalah pilihan yang terbaik. Mengingat Axcel yang telah bertunangan dan bahkan segera memiliki keturunan dari Erika. Untuk apa lagi dirinya bimbang? Sudah jelas, jika bersama Revan jauh lebih baik.Revan tersenyum. Kebahagiaan di wajahnya, tidak bisa lagi disembunyikan. "Terima kasih karena sudah percaya dengan saya, sayang!" sahutnya seraya menggenggam tangan Adnessa erat."Tidak mungkin," lirih Axcel, tidak percaya. Perlahan ia melepaskan genggaman tangannya di tangan Adnessa. Menatap kearah Adnessa dan Revan dengan tatapan sulit di jelaskan."Gue harap, ini yang terakhir kalinya lo ganggu Adnessa seperti ini, Xel!" ucap Revan datar, suaranya terdengar tegas memperingatkan Axcel. Pelukannya juga terlihat posesif kepada Adnessa, seolah memberitahu jika Adnessa telah menjadi miliknya. "Sebentar lagi, kami juga
Mobil yang dikendarai oleh Revan telah berhenti di pelataran kediaman Hansel. Seulas senyuman tersungging menghiasi wajah tampannya melihat Adnessa yang masih tertidur pulas, bersandar di bahunya.Revan yang tadinya ingin membangunkan Adnessa, mengurungkan niatnya. Ia memutuskan untuk menunggu sampai gadis itu terbangun sendiri. "Apakah hari ini begitu melelahkan, sayang?" lirih Revan, merapikan anak rambut Adnessa yang sedikit berantakan dengan lembut. Dengan hati-hati, Revan membenarkan jas miliknya yang ia gunakan untuk menyelimuti Adnessa, tidak ingin mengganggu tidur gadis itu."Sudah bangun, sayang?" tanya Revan, ketika melihat Adnessa mengerjap.Dengan mata memerah khas bangun tidur, Adnessa terlihat bingung. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke arah sekitar."Sudah sampai dari tadi?""Hmmm," sahut Revan dengan lembut.Adnessa menegakkan tubuhnya, "Kenapa tidak membangunkan ku?!""Kamu terlihat begitu lelah, sayang. Saya tidak tega untuk membangunkanmu!" sahut Revan.Adnessa m
'Adnessa?' batin Axcel bimbang, melihat siluet yang sangat mirip dengan Adnessa. Apakah yang ia lihat tadi benar-benar Adnessa atau hanya orang yang mirip saja dengan gadis itu?Tanpa sadar Axcel melangkah, mengikuti gadis yang terlihat mirip dengan Adnessa, membuat Erika yang tengah bersamanya menatap bingung ke arah Axcel yang tiba-tiba pergi."Axcel? Ada apa denganmu?" Erika, yang merasa diabaikan, menatap Axcel dengan kesal. Sedari tadi ia berbicara, namun Axcel hanya diam, dan sekarang justru meninggalkannya.Axcel tersadar, ia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Erika yang tergopoh-gopoh mengikuti langkahnya. "Tidak ada. Saya hanya ingin mencari ruang untuk merokok!" sahutnya beralasan.Erika menatapnya curiga, tapi kemudian mengangguk. "Ya sudah, tapi cepat kembali! Sebentar lagi giliranku dan kamu harus menemaniku, Axcel!"Axcel mengangguk, ia segera melangkahkan kakinya keluar, mencari jejak gadis yang sangat mirip dengan Adnessa tadi.Sesampainya di depan rumah sakit
Adnessa menumpahkan segalanya kepada Laluna dan Fransisca. Ia menceritakan kehamilannya, sosok Axcel yang penuh misteri, dan keputusan Revan yang tiba-tiba untuk menikahinya. Air mata mengalir di pipinya, membasahi kisah yang selama ini ia simpan rapat-rapat.Laluna dan Fransisca mendengarkan dengan seksama, mata mereka membulat karena terkejut, air mata menetes karena simpati. Mereka merasa kasihan pada Adnessa, tetapi juga kagum dengan kekuatan dan ketegarannya."Gue nggak nyangka lo ngalamin semua ini, Ness," ucap Laluna, suaranya bergetar, memeluk Adnessa erat. "Kenapa lo nggak cerita sama kita, sih?""Iya, Ness," timpal Fransisca, mengangguk setuju. "Kuat banget lo nyimpan masalah serumit ini sendirian," lanjutnya, memeluk Adnessa erat, menyalurkan kekuatan kepada sahabatnya."Mau bagaimana lagi?" sahut Adnessa sendu, mengusap perutnya yang masih rata. "Sebenarnya gue juga nggak ingin berada di situasi seperti ini. Tapi... gue takut kalian akan marah dan menjauh setelah tahu masa
Fransisca dan Laluna yang penasaran degan hubungan mereka, akhirnya "Ness, tunggu!" teriak Laluna, mencoba menghentikan langkah Adnessa."Kalian kenapa?" tanya Adnessa. Menatap bingung ke arah dua sahabatnya bergantian, melihat dua sahabatnya berdiri di belakangnya dengan napas terengah-engah.Dengan napas tersenggal-senggal karena habis berlari mengejar langkah Adnessa, Laluna dan Fransisca saling menatap. Mereka sedikit ragu ingin bertanya tentang hubungan sahabatnya ini dengan dosen mereka, melihat Revan yang masih berada di sana.Laluna menyenggol bahu Fransisca, meminta agar gadis itu yang menanyakannya."Apaan sih, lo?" gumam Fransisca, "Lo takut?""Bukannya gue takut, hanya saja gue tidak memiliki banyak energi untuk mendengar kebenarannya nanti!" sahut Laluna beralasan."Ckkk," decak Fransisca kesal dengan sikap Laluna.Adnessa mengerutkan kening, melihat gelagat aneh dua sahabatnya ini. "Apa yang tengah kalian diskusikan?"Fransisca dan Laluna terkesiap mendengar pertanyaan
"Saya... saya akan pergi, Pak," ucap Adnessa, suaranya bergetar. "Saya akan pindah sekolah ke luar negeri.""Pindah sekolah?" ulang Revan, alisnya terangkat. "Kenapa tiba-tiba?""Saya... saya ingin mencari pengalaman baru, Pak," jawab Adnessa, berbohong. Ia tidak ingin Revan tahu tentang kehamilannya."Pengalaman baru?" gumam Revan, menatap Adnessa dengan tatapan curiga. "Atau kamu ingin menghindar dari saya?"Adnessa terdiam, ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia merasa takut jika Revan akan marah atau kecewa."Saya... saya tidak menghindar dari Anda, Pak," jawab Adnessa akhirnya, berbohong lagi. "Saya hanya ingin mencari pengalaman baru."Revan menghela napas panjang, "Lalu, apa Axcel mengetahui hal ini?!" Tanyanya dengan kening berkerut, berfikir jika Adnessa telah memberitahukan kehamilannya kepada Axcel."Tahu," singkat Adnessa. Memang Axcel mengetahui niatnya yang ingin berseklah di luar negeri.Revan mengangguk, ia mengerti kenapa Adnessa tiba-tiba ingin pindah ke luar negeri. P
Semalaman Adnessa benar-benar tidak bisa beristirahat dengan tenang, ia terus memikirkan langkah apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Membesarkan anak seorang diri... Itu bukanlah hal yang mudah, apalagi di usianya yang masih belia."Kamu sakit, Ness?!" tanya Margaretha, melihat wajah Adnessa yang tampak pucat.Adnessa menggeleng, "Adnessa baik-baik saja, Ma. Hanya perut Adnessa teasa sedikit sakit!" sahutnya yang memang merasa mual, melihat beberapa makanan yang tersaji di atas meja."Apa perlu kita periksakan ke rumah sakit?" tanya Jhonatan cemas, takut jika ada kondisi serius yang tidak segera mereka ketahui tentang kesehatan Adnessa.Ke rumah sakit? Yang ada akan menambah masalah untuknya. Untuk saat ini, ia belum memiliki keberanian untuk mengatakan kondisinya yang sebenarnya. "Tidak perlu, Pa. Ini hanya sakit biasa, Nessa juga sudah minum obat tadi. Nanti juga mereda sendiri sakitnya," sahutnya berbohong."Benarkah?" tanya Jhonatan sedikit ragu.Margaretha menepuk pelan pundak