"Mahasiswi baru? Silahkan perkenalkan dirimu!"
Sebenarnya, tidak bertanya pun Revan sudah tahu jika Adnessa adalah mahasiswi baru disini. Dan hal ini hanyalah alasan untuknya agar memiliki kesempatan untuk mendekati Adnessa.
"Baik, pak!" seketika, Adnessa dapat bernafas dengan lega.
"Pak Revan, saya tidak sekalian bapak suruh untuk maju ke depan?" tanya Laluna.
Revan menaikkan sebelah alisnya, ia sudah hafal sekali dengan sifat mahasiswinya itu yang sering menggodanya, "Kamu mau gantikan saya mengajar disini? Kalau memang begitu, saya persilahkan!"
"Boro-boro, kalau beneran gue yang ngajar, mungkin generasi gen z akan semakin berantakkan," gumam Laluna seraya menelan salivanya dengan kasar.
"Pfffttttttt. Katanya dengan senang hati, pak!" sahut Fransisca dengan lantang, seraya menertawai sahabatnya.
"ya ampun, Sis. Apa-apaan sih, Lo?" keluh Laluna yag membuatnya mendapat sorakan dari teman yang lain.
Sebenarnya, hal seperti ini sudah hal yang biasa untuk Revan. Karena di kampus ini, tidak hanya satu atau dua mahasiswi saja yang setiap hari menganggunya. Tapi, setiap kali dirinya mengajar di kelas ini, memang Laluna tidak pernah absen untuk menggodanya.
"Sudah-sudah, kalian tenang! Biarkan teman baru kalian ini memperkenalkan diri dulu, sebelum kita mulai kegiatan belajar hari ini. Silahkkan, kamu memperkenalkan diri!" ucap Revan mempersilahkan Adnessa.
"Bowleh sayang," sahut Laluna lirih dengan mata berbinar menatap ke arah Revan.
Gugup? Tentu saja Adnessa gugup. Apa lagi, saat ini semua mata menatap ke arahnya, "Ehemm, selamat pagi! Saya Adnessa Aisy, mahasiswi pindahan dari universitas x kota sebelah! kalian bisa memanggil saya Nessa! "
"Nama yang indah," gumam Revan setelah mendengar Adnessa menyebutkan namanya.
"Pak, sudah selesai. Apa saya sudah boleh duduk?"
"Sebentar. Saya minta kamu kemari, dan tolong kamu lengkapi data diri kamu dulu!" ucap Revan meminta Adnessa untuk datang ke mejanya.
"Baik, pak!" Adnessa segera melangkahkan kakinya menuju meja Revan dan mengisi semua biodata miliknya, agar tidak terlalu membuang-buang waktu.
"Sudah, pak!"
Revan mengambil lembaran yang baru saja di isi oleh Revan. Semuanya sudah oke, hanya saja ... "08 berapa?" tanya Revan to the poin.
Apa ada yang terlewatkan? Adnessa segera menatap kembali ke arah lembaran kertas yang tadi baru saja ia isi.
'Tidak ada,' karena seingatnya tadi, ia sudah cukup teliti mengisinya dan tidak ada yang terlewat.
"Boleh saya meminta nomor ponsel kamu?" tanya Revan.
Adnessa terdiam, mencerna apa yang baru saja di katakan oleh Revan, "Untuk apa, pak?"
"Tentunya untuk kepentingan kampus!" sahut Revan beralibi.
Adnessa mengangguk, dan segera mengeluarkan ponselnya.
Revan tersenyum senang setelah mendapat nomor ponsel gadis yang di incarnya, "Baiklah, kamu boleh kembali!"
"Gila. itu pak Revan beneran tersenyum?" ucap Laluna yang keheranan melihat dosen kulkasnya itu tersenyum.
"Eh, iya, ya?!" sahut Fransisca yang ikut keheranan.
"Ness, tadi kenapa pak Revan bisa tersenyum?" tanya Laluna setelah Adnessa kembali ke bangkunya.
"Iya, Ness?" Fransisca yang biasanya cuek dalam segala hal, kini ikut penasaran.
"Tersenyum?" memangnya, tadi pak Revan ada senyum? Adnessa yang mendapat pertanyaan itu sedikit binggung, karena memang dirinya tadi tidak terlalu memperhatikan Revan. Justru, yang ada di otaknya hanyalah ingin segera kembali ketempatnya.
"Kamu tidak lihat, Ness?" tanya Laluna.
Dengan polosnya, Adnessa menggeleng, "Memangnya kenapa kalau pak Revan tersenyum?"
"Itu hal langka, Ness. Biar pun pak Revan adalah dosen Favorit sejuta umat, tapi beliau itu masuk katagori dosen killer dan juga jarang sekali terlihat senyum," jelas Fransisca.
"Ehemmm. Kalian bertiga ... Apa sudah bosan dengan mata kuliah saya? Kalau bosan, kalian bisa keluar!" tanya Revan yang menunjuk ke arah Laluna, Fransisca, dann Adnessa.
"Tukan, Ness," lirih Laluna seraya menatap ke arah Adnessa.
Setelah mendapat teguran dan terancam keluar dari kelas, Akhirnya Laluna, Fransisca, dan Adnessa tidak lagi sibuk dengan dirinya sendiri, bahkan ketiga gadis itu terlihat fokus dengan apa yang Revan ajarkan.
"Akhhhhhh, akhirnya selesai juga!" girang Fransisca seraya meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku.
Lain halnya dengan Laluna, walaupun kapasitas otaknya yang kecil dan susah untuk menerima banyak pelajaran. Namun, gadis itu selalu mengeluh ketika jam mengajar Revan telah habis dikelasnya, "Yah. Luna sedih, Luna sedih banget."
"Gaya Lo, sedih. Memangnnya semua pelajaran tadi masuk di otak, Lo?" tanya Fransisca.
"Tentu ... Tidak!" sahut laluna.
"Pffffttttttt," melihat kerandoman dua teman barunya itu membuat Adnessa nyaman dan merasa tidak kesepian lagi berada di kota ini.
"Ness, ke kantin, yuk!" Ajak Fransisca.
"Boleh!" dengan senang hati, Adnessa menerima ajakan Fransisca.
"Ness, lu punya cowok, nggak, sih?" tanya Laluna di sela langkah mereka menuju kantin.
"Ah kebiasaan, lo. Kepo," sahut Fransisca.
"Jomblo diam!" balas Laluna tidak kalah menohok dari Fransisca.
"Pffffttttttt. Entahlah, sepertinya sih akan segera berakhir!" sahut Adnessa miris, mengingat kekasihnya yang berhianat dengan sahabatnya sendiri.
"Eh, Loh, maksudnya bagaimana?" tanya Fransisca.
"Apa tidak masalah gue bercerita?"
"Biarpun itu 24 jam, gue lebih memilih untuk dengerin Lo bercerita daripada harus lihat lo ikut trend terjun bebas seperti yang lagi Viral di tok-tok," sahut Laluna.
"Anjay, kelas?!" sahut Fransisca yang mendengar sahabatnya itu tiba-tiba saja berkata bijak.
Sudah berapa kali Adnessa tertawa lepas melihat tingkah Laluna dan Fransisca yang random, 'Ternyata, pilihan ku untuk pindah ke kota ini adalah keputusan yang paling tepat.'
Dengan senang hati, Adnessa mulai menceritakan ayang yang terjadi kepadanya. Anggap saja, ini sebagai salah satu cara untuk dirinya mengurangi beban di hatinya.
***
"Kemana gadis itu?" hampir dua jam lamanya Axcel menunggu Adnessa, namun gadis yang di tunggunya itu tidak kunjung terlihat.
Saat Axcel berniat untuk masuk kedalam kampus untuk mencari keberadaan adik tirinya, tidak sengaja ia bertemu dengan Revan.
"Bro. Ngapain?" tanya Revan.
"Lo ngelihat adek gue, nggak?"
"Adek Lo? bukannya sudah pulang dari tadi? Tadi gue sempat nawarin tumpangan, tapi dia nolak. Katanya udah Lo jemput," sahut Revan.
"Gue jemput?" tapi, selama ia menunggu Adnessa di depan, tadi. Sama sekali ia tidak melihat betang hidung adek tirinya itu.
"Apa jangan-jangan?" seketika fikiran buruk melintas di kepala Axcel, membuat pria itu tergesa-gesa kembali menuju mobilnya.
"Apa ada yang tidak beres?" gumam Revan yang ikut panik.
***
Adnessa yang baru saja membuka pintu kamarnya, heran melihat keberadaan Axcel dan Revan berdiri di depan kamarnya, "Kalian, ngapain di sini?"Revan dan Axcel memang bersahabat, tidak heran jika melihat dosen muda itu berada di kediaman Hansel. Tapi, melihat dua pria ini berdiri di depan pintu kamarnya dengan nafas yang naik turun, membuat Adnessa bertanya-tanya."Saya? Saya mengkhawatirkan kamu," sahut Revan to the poin.Adnessa semakin binggung, "Hah? Apa anda salah bicara, Pak?"Maksudnya, dirinya tidak sepenting itu kenapa seorang dosen seperti Revan bisa mengkhawatirkannya?! Apa aku membuat masalah? Adnessa mencoba untuk mengingat apa yang ia lakukan, yang mungkin membuat masalah tanpa ia sadari.Melihat pakaian yang di kenakan Adnessa sedikit terbuka, Axcel segera melepaskan jas yang ia kenakan untuk Adnessa.'Astaga. Malu sekali,' batin Adnessa yang baru saja menyadari pakaiannya."Maksud saya, tadi Axcel datang ke kampus untuk menjemput kamu, dan saya teringat jika kamu sudah pu
Deg. Adnessa terdiam, mengira jika kalimat waktu itu hanyalah sebuah lelucon dan Axcel telah melupakannya. Kenyataannya, pria itu Justru menanyakan jawaban tentang pengakuannya pagi tadi."Saya menyukai kamu!" jelas Axcel.Dalam konteks apa? Adnessa tidak ingin terlalu percaya diri, karena tidak semua kata menyukai itu bisa di artikan dalam bentuk pasangan, bisa saja itu hanya sekedar suka layaknya seorang kakak kepada adiknya. Lagi pula, selamanya mereka akan menjadi saudara. Andai kata, suatu saat nanti Axel benar-benar memiliki perasaan kepadanya, Adnessa berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak menyukai pria di depannya ini."Aku juga menyukai mu, karena kita adalah saudara!" Adnessa tersenyum, menatap sekilas wajah Axcel. Saudara? Kebahagiaan di wajah Axcel perlahan meredup, "Apa hanya sebatas itu?""Maksudnya?""Saya menyukai kamu lebih dari perasaan seorang kakak kepada saudari perempuanya. Bagaimana dengan kamu? Apakah perasaan kamu hanya sebatas itu?" tanya Axcel penuh
"Ness, sedang apa kamu?" tanya Margaretha melihat wajah gugup putrinya. Margaretha yang penasaran, akhirnya menghampiri Adnessa yang terdiam di depan pintu kamar mandi. "Ahh, tidak, Ma. Mama kapan pulang?" tanya Adnessa yang sengaja mengalihkan pembicaraan."Mama, baru saja pulang. Beneran kamu tidak kenapa-kenapa?" tanya Margaretha curiga. Walaupu mereka jarang memiliki waktu bersama, tapi, yang namanya ibu pasti sangat mengenali anaknya.Adnessa tersenyum, sebenarnya sangat tidak nyaman berada di posisi sekarang. Tapi, tidak mungkin juga ia mengatakan yang sejujurnya, 'Yang ada di coret dari kartu keluarga.'"Mama memang terlalu sibuk dan jarang ada waktu untuk kamu. Tapi, kalau kamu sedang ada masalah, cerita sama mama!" Adnessa tersenyum, "Adnessa tidak ada masalah, kok, ma!"Margaretha mengangguk, firasat seorang ibu tidak akan pernah salah. Tapi, biar bagaimana pun ia tidak bisa memaksa Adnessa, dan memilih untuk menunggu kapan gadis itu siap untuk bercerita, "Ya sudah, kalau
"Maaf, tuan, menganggu waktunya. Ini ada den Revan datang katanya ada perlu dengan tuan muda!" Ketika suasana sedikit menegang, tiba-tiba seorang pelayan di kediaman itu datang, memberi tahu kedatangan Revan.Jhonatan mengangguk, mempersilahkan sahabat putranya itu untuk bergabung, sarapan bersama."Baik, tuan.""Selamat pagi om, tante!" sapa Revan yang baru saja datang."Pagiii. Silahkan duduk, Van. mari kita sarapan bersama!" sahut Jhonatan menyambut kedatangan Revan."Iya, nak Revan. Jangan sungkan-sungkan!" timpal Margaretha."Ahhh, jadi merepotkan Om dan tante," sahut Revan terkekeh, dengan senang hati bergabung di meja makan."Bagaimana kabar Ayah kamu, sehat?" tanya Jhonatan. Tidak hanya Axcel yang bersahabat dengan Revan, ternyata Jhonatan dan Ruan, ayah kandung Revan merupakan kawan lama. Tidak heran jika mereka terlihat seperti saudara."Alhamdhulillah sehat, om. Kalau om? Emmm, sepertinya saya tidak perlu bertanya, sejak kedatangan tante Margaretha seharusnya Om Jhonatan se
"Beraninya bersikap tidak sopan disini!" ucap Axcel, suaranya meninggi. menghempas kasar tangan Geovan yang menyentuh bahu Adnessa. "Kamu tidak apa-apa, Ness?!" tanya Revan khawatir. Adnessa menggeleng, dengan wajah tertekan gadis itu bersikap seolah tidak terjadi sesuatu. "Woahhh, pantas saja kamu memblokir semua kontakku. Ternyata, kamu sudah mendapat mainan baru?!" Geovan bertepuk tangan, terang-terangan menyindir Adnessa. Sedikit pun Adnessa tidak tersulut emosi. Dengan santai gadis itu bersedekap dada, tersenyum sinis kearah Geovan, "Heh, lucu sekali." "Memang, wanita murahan seperti kamu itu tidak bisa hidup tanpa laki-laki. Sebenarnya, seberapa kesepian kamu disini hingga bermain dengan dua pria sekaligus, hmmm?!" ucap Geovan yang semakin keterlaluan, membuat Adnessa tidak bisa menahan diri lagi.Revan yang mendengar Adnessa di rendahkan di depan mata kepalanya, tentu saja tidak terima. Pria itu hampir saja memukul Giovan, namun, ia urungkan ketika Adnessa sudah lebih dulu
Pagi itu, Adnessa benar-benar di antar oleh Revan hingga kedalam kelas. Hari itu juga, Adnessa menjadi trending topik dan terkenal di penjuru kampus hanya gara-gara dirinya di antar oleh dosen tampan idaman para Mahasiswi disana."Aishhh, semua ini gara-gara pak Revan," gerutu Adnessa. Sepanjang ia berjalan di koridor, pasti akan ada bisikan dan tatapan yang tertuju padanya. Entah itu komentar positif atau negatif, semuanya berbaur menjadi satu."Cieee ... Monyong banget bibir, Lo. Senyum dong! Masa habis di anterin 2 cowok tampan masih gak puas, Lo, Ness?!" ucap Fransisca menghampiri Adnessa yang baru saja duduk di bangkunya."Iya, nih. Diborong semua, bagi-bagi napa, Ness?!" sahut Laluna dengan bibir cemberut.Adnessa menghela nafas panjang, "Kalian tidak mengerti, sih. Kalau bisa, dengan senang hati kalian angkut saja mereka berdua!""Astaga, Ness. Gue bercanda! Oh iya, pria yang berangkat bersama kamu tadi siapa?" tanya Fransisca penasaran."Siapa? Pak Revan?" tanya Adnessa yang t
*Flash Back.*"Tumben, Lo menghadiri rapat ini?" tanya Revan, sedikit heran. Ia tahu betul Axcel lebih suka berurusan dengan hal-hal yang lebih penting daripada rapat umum kampus."Ada beberapa hal yang ingin kupastikan sendiri," jawab Axcel, nadanya datar. Ia melirik sekilas ke sekeliling ruangan, seolah mencari sesuatu.Revan mengedikkan bahunya, mencoba bersikap santai. Namun, ia merasa ada sesuatu yang mengganjal. Biasanya, asisten Axcel yang akan hadir mewakilinya. Kehadiran Axcel sendiri menimbulkan pertanyaan besar. 'Apa ada masalah yang serius?' pikir Revan, merasa khawatir.Sebenarnya, Axcel tidak begitu tertarik dengan acara pertemuan umum itu. Kedatangannya ke kampus ini hanya untuk meredakan kegelisahannya tentang Adnessa. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal, perasaan yang membuatnya tidak tenang. Axcel yang sebelumnya telah mengatur asistennya untuk menghadiri pertemuan ini, tiba-tiba berubah pikiran setelah teringat akan bertemu Adnessa di kampus itu. Ia butuh melihatn
Semua orang yang tadinya berada di pihak Devita seketika berbalik tidak menyukainya, setelah melihat rekaman CCTV yang membuktikan jika dirinyalah yang bersalah.Bisik-bisik mulai terdengar di antara mereka. "Ternyata dia yang salah," bisik seorang mahasiswa."Memalukan sekali," sahut yang lain. Devita dapat mendengar semua itu, dan rasa malunya semakin membakar dirinya.Devita menatap tajam ke arah Adnessa, matanya menyipit penuh amarah. Niat hati memberikan pelajaran kepada Adnessa yang berani menggoda Revan, pria yang ia cintai, kini berbalik menghantam dirinya sendiri. Alih-alih mempermalukan Adnessa, justru Devita sendiri yang dipermalukan di depan umum oleh gadis itu. Rasa malu, marah, dan frustrasi bercampur aduk menjadi satu, membuatnya merasa sangat bodoh dan hina.'Berani-beraninya dia mempermalukanku seperti ini,' batin Devita, gadis itu terlihat mengepalkan tangannya menahan amarah. 'Lihat saja nanti, Adnessa. Kamu akan membayar ini,' desisnya dalam hati.Melihat bagaimana
"Hoammm," Adnessa meregangkan otot-otot tubuhnya setelah beberapa jam beristirahat dengan nyenyak. Mengingat hari ini adalah weekend, waktu yang tepat untuknya bersantai dan memanjakan diri setelah beberapa hari menghabiskan sebagian besar waktunya untuk kuliah dan juga memikirkan tentang Revan dan Axcel. Ia merasa perlu melepaskan penat dan mengisi kembali energinya.Perlahan, Adnessa menurunkan kakinya dari ranjang yang empuk sembari menjedai simpel rambut panjangnya yang tergerai sedikit berantakan. Ia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya, membersihkan wajahnya dengan air segar serta menggosok gigi sebelum akhirnya keluar dari kamar dan memulai aktivitas paginya."Bau apa ini?!" Adnessa yang baru saja keluar dari kamar, sedikit penasaran dengan aroma sedap yang menyeruak hingga ke lantai dua rumahnya. Aroma itu sangat menggugah selera dan berhasil membuat cacing-cacing di perutnya meronta-ronta minta diisi. Ia merasa perutnya tiba-tiba lapar.Adness
Setelah semua acara yang seharusnya ia gunakan untuk bersenang-senang dengan dua sahabatnya, kini berantakan akibat ulah Axcel dan Revan, ditambah lagi Laluna dan Fransisca yang kini mencurigai hubungan di antara dirinya dan Axcel, kakak tirinya. Adnessa merasa semakin tertekan dan bingung."Jangan-jangan…" ucap Fransisca, menggantung kalimatnya, menciptakan suasana yang semakin menegangkan. Ia menatap ke arah Adnessa dengan segudang teka-teki dari sorot matanya. Entah apa yang dipikirkannya, Adnessa bisa merasakan bahwa Fransisca sedang mencoba menyusun kepingan-kepingan informasi yang ia dapatkan untuk menarik sebuah kesimpulan.Tiba-tiba, suara deru napas terdengar dari belakang Adnessa. "Ness, kenapa kamu meninggalkan saya?" tanya Revan dengan napas tersenggal-senggal, menandakan ia baru saja berlari. Diikuti oleh Axcel yang berjalan di belakangnya dengan langkah pasti dan penuh wibawa, kontras dengan Revan yang terlihat panik.Revan sangat panik setelah memenangkan taruhan biliar
"Ngaco," sangkal Adnessa. Sebenarnya ia sudah tahu bagaimana perasaan Revan kepadanya. Beberapa hari lalu, pria itu juga sudah mengakui perasaannya dengan terang terangan, bukan hanya di depannya, Revan juga mengakui perasaannya di depan Axcel. Hanya saja, ia belum berani untuk bercerita kepada dua sahabatnya ini. Mengingat, Laluna yang begitu tergila-gila dengan Revan, meskipun tidak sampai segila Devita yang sampai menyerang orang lain, Adnessa tetap merasa khawatir reaksinya akan berlebihan dan mungkin menyakitkan.Suasana di pollroom seketika berubah menjadi tegang, setelah pertandingan antara Revan dan Samudra dimulai. Sorak sorai kecil dari beberapa penonton yang tertarik dengan taruhan tersebut menambah intensitas pertandingan. Belum sampai 10 menit permainan itu dimulai, Adnessa sudah merasa tidak enak untuk menyaksikannya. Ia melihat bagaimana Revan dan Samudra saling beradu strategi dan kekuatan dengan tatapan yang serius dan fokus. Ia tidak suka melihat mereka berdua bersai
"Lo siapa?" tanya pria itu dengan nada tidak senang, tidak terima melihat Axcel menghalangi niatnya untuk mendekati Adnessa. Ia menatap Axcel dengan tatapan menantang, merasa harga dirinya diinjak."Saya?" tanya Axcel dengan senyum miring yang memperlihatkan sedikit ejekan, seraya menunjuk ke arah dirinya sendiri dengan ekspresi seolah menahan tawa. Ia merasa geli dengan keberanian pria itu yang mencoba mendekati Adnessa di depannya.'Aduh,' Adnessa mulai berkeringat dingin, jantungnya berdebar tidak karuan. Ia merasa sangat khawatir jika Axcel lepas kendali dan mengatakan hubungan mereka yang sesungguhnya di depan umum. Ia melirik Laluna dan Fransisca sekilas, melihat ekspresi bingung mereka. 'Apa yang akan mereka pikirkan nanti?' batinya cemas, membayangkan reaksi kedua sahabatnya jika mengetahui hubungannya dengan Axcel."Stop, minggir!" ucap Revan dengan nada tenang namun tegas. Ia dengan santainya berjalan di antara Axcel dan pria itu, seolah memberikan jarak agar mereka semakin b
"Kalian serius mau ikut?" tanya Adnessa kepada Axcel dan Revan, dengan nada yang masih tidak percaya bahwa dua orang itu benar-benar mengikutinya sampai ke tempat ini. Ia menatap mereka berdua dengan tatapan menyelidik, mencoba memastikan bahwa mereka tidak sedang bercanda.Axcel dan Revan mengangguk bersamaan, dengan wajah yang terlihat sedikit kelelahan karena berlari kecil mengikuti langkah Adnessa yang cukup cepat. Mereka berdua memasang senyum meyakinkan, menunjukkan bahwa mereka serius dengan keinginan mereka untuk ikut.Adnessa menghela napas panjang, merasa sedikit pasrah dengan situasi ini. 'Kira-kira, kekacauan apa lagi yang akan mereka buat nanti?' batinnya, dengan sedikit rasa khawatir membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi dengan kehadiran dua pria ini di poolroom. Ia mengalihkan pandangannya dari Axcel dan Revan dan menatap ke arah gedung di depannya.Ingin rasanya Adnessa menolak kedua pria ini agar tidak ikut dengannya. Ia merasa kehadiran mereka hanya
"Ngapain lo di situ, Van?" Axcel yang baru saja selesai mandi dan bersiap turun ke lantai bawah untuk makan malam, terkejut setelah membuka pintu kamarnya dan melihat Revan berdiri tepat di depan pintu kamar Adnessa dengan wajah yang terlihat cemas. Ia mengerutkan kening, bingung dengan kehadiran sahabatnya di sana.Sebenarnya, bukan cemas yang sepenuhnya tepat untuk menggambarkan ekspresi Revan. Lebih tepatnya, ia gelisah. Revan sedari tadi menunggu Adnessa di depan pintu kamarnya, berharap gadis itu segera keluar. Namun, karena Adnessa tak kunjung keluar, Revan menjadi tidak sabar dan khawatir. Ia sangat ingin membuka pintu itu dan memastikan keadaan Adnessa baik-baik saja, tetapi ia ragu, takut dianggap terlalu lancang dan melanggar privasi gadis itu. "Kenapa sedari tadi Adnessa tidak kunjung keluar, Xel?" tanya Revan dengan nada khawatir yang bercampur dengan rasa penasaran.Axcel menjadi sedikit cemas mendengar kalimat Revan. Ia pun ikut merasa khawatir dengan Adnessa. Tanpa berp
"Jangan bercanda, Dy," sahut Revan mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Aldy. Ia tertawa kaku, tawanya terdengar dipaksakan, dan tatapannya seolah memberi peringatan halus kepada sahabatnya itu untuk tidak meneruskan leluconnya. Ada nada tidak suka yang tersirat dalam tawanya."Tidak lucu jika kita semua menyukai gadis yang sama," timpal Axcel dengan nada lebih serius, menatap Aldy dengan tatapan antara menyelidik dan tidak percaya. Ia mencoba membaca ekspresi Aldy, mencari tahu apakah sahabatnya itu benar-benar serius dengan ucapannya."Pffftttttt, bagaimana jika gue jatuh cinta sejak pandangan pertama?" tanya Aldy dengan senyuman yang mengembang di wajahnya. Senyumnya terlihat tulus, namun ada sedikit misteri di matanya yang membuat Axcel dan Revan sedikit bingung. Dari cara berbicara Aldy saat ini, mereka berdua tidak bisa memastikan apakah ini hanya sebuah lelucon atau sahabatnya itu benar-benar menyukai Adnessa.Revan tertawa lagi, kali ini tawanya terdengar lebih lepas, me
Revan dan Axcel terlihat antusias, meskipun dengan cara yang berbeda, menunggu jawaban Adnessa setelah Revan melempar pertanyaan yang membingungkan dan sekaligus mengejutkan tersebut. Revan menatap Adnessa dengan tatapan penuh harap, sementara Axcel menatapnya dengan campuran cemas dan pasrah.Bagaimana ini? Adnessa terlihat sangat bimbang, pikirannya berkecamuk. Ia takut jika keputusannya akan menyakiti salah satu di antara mereka. Mengingat persahabatan yang terjalin erat di antara Revan dan Axcel, ia juga tidak ingin membuat keputusan yang pada akhirnya menciptakan selisih paham dan menghancurkan tali persahabatan yang begitu berharga bagi keduanya. Ia merasa terjebak di antara dua pilihan yang sulit.Angin yang berhembus di halaman kediaman Hansel sore itu, membawa serta aroma dedaunan dan tanah basah, seolah ikut merasakan situasi dramatis yang tengah terjadi. Rambut Adnessa yang tergerai indah, kini terlihat sedikit berantakan tersapu angin, menambah kesan rapuh pada dirinya. Ad
Revan tidak menunjukkan ekspresi yang berarti setelah mendengar kalimat Erika. Ia hanya menoleh perlahan, mengalihkan pandangannya dari Erika ke Axcel, lalu ke Adnessa, dan kembali lagi ke Axcel. Matanya mengamati mereka berdua dengan seksama, mencoba membaca raut wajah dan bahasa tubuh mereka. Ternyata, dugaanku selama ini benar, batin Revan, sebuah kekecewaan yang dalam menyentuh hatinya, meskipun ia berusaha keras untuk tidak menunjukkannya. Ia sudah lama mencurigai ada sesuatu yang lebih dari sekadar persaudaraan di antara Axcel dan Adnessa, dan kini Erika telah mengkonfirmasi dugaannya tersebut."Gue bisa jelasin ini semua, Van!" ucap Axcel memecah keheningan yang mulai terasa menyesakkan. Ia merasa tatapan Revan padanya begitu intens dan sulit diartikan, membuatnya merasa bersalah dan ingin segera menjelaskan duduk perkaranya.Revan menaikkan sebelah alisnya, sebuah gerakan yang familiar dan sering ia lakukan saat ia merasa tidak percaya atau meremehkan sesuatu. Pria berparas ta