Pagi itu, Adnessa benar-benar di antar oleh Revan hingga kedalam kelas. Hari itu juga, Adnessa menjadi trending topik dan terkenal di penjuru kampus hanya gara-gara dirinya di antar oleh dosen tampan idaman para Mahasiswi disana."Aishhh, semua ini gara-gara pak Revan," gerutu Adnessa. Sepanjang ia berjalan di koridor, pasti akan ada bisikan dan tatapan yang tertuju padanya. Entah itu komentar positif atau negatif, semuanya berbaur menjadi satu."Cieee ... Monyong banget bibir, Lo. Senyum dong! Masa habis di anterin 2 cowok tampan masih gak puas, Lo, Ness?!" ucap Fransisca menghampiri Adnessa yang baru saja duduk di bangkunya."Iya, nih. Diborong semua, bagi-bagi napa, Ness?!" sahut Laluna dengan bibir cemberut.Adnessa menghela nafas panjang, "Kalian tidak mengerti, sih. Kalau bisa, dengan senang hati kalian angkut saja mereka berdua!""Astaga, Ness. Gue bercanda! Oh iya, pria yang berangkat bersama kamu tadi siapa?" tanya Fransisca penasaran."Siapa? Pak Revan?" tanya Adnessa yang t
*Flash Back.*"Tumben, Lo menghadiri rapat ini?" tanya Revan, sedikit heran. Ia tahu betul Axcel lebih suka berurusan dengan hal-hal yang lebih penting daripada rapat umum kampus."Ada beberapa hal yang ingin kupastikan sendiri," jawab Axcel, nadanya datar. Ia melirik sekilas ke sekeliling ruangan, seolah mencari sesuatu.Revan mengedikkan bahunya, mencoba bersikap santai. Namun, ia merasa ada sesuatu yang mengganjal. Biasanya, asisten Axcel yang akan hadir mewakilinya. Kehadiran Axcel sendiri menimbulkan pertanyaan besar. 'Apa ada masalah yang serius?' pikir Revan, merasa khawatir.Sebenarnya, Axcel tidak begitu tertarik dengan acara pertemuan umum itu. Kedatangannya ke kampus ini hanya untuk meredakan kegelisahannya tentang Adnessa. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal, perasaan yang membuatnya tidak tenang. Axcel yang sebelumnya telah mengatur asistennya untuk menghadiri pertemuan ini, tiba-tiba berubah pikiran setelah teringat akan bertemu Adnessa di kampus itu. Ia butuh melihatn
Semua orang yang tadinya berada di pihak Devita seketika berbalik tidak menyukainya, setelah melihat rekaman CCTV yang membuktikan jika dirinyalah yang bersalah.Bisik-bisik mulai terdengar di antara mereka. "Ternyata dia yang salah," bisik seorang mahasiswa."Memalukan sekali," sahut yang lain. Devita dapat mendengar semua itu, dan rasa malunya semakin membakar dirinya.Devita menatap tajam ke arah Adnessa, matanya menyipit penuh amarah. Niat hati memberikan pelajaran kepada Adnessa yang berani menggoda Revan, pria yang ia cintai, kini berbalik menghantam dirinya sendiri. Alih-alih mempermalukan Adnessa, justru Devita sendiri yang dipermalukan di depan umum oleh gadis itu. Rasa malu, marah, dan frustrasi bercampur aduk menjadi satu, membuatnya merasa sangat bodoh dan hina.'Berani-beraninya dia mempermalukanku seperti ini,' batin Devita, gadis itu terlihat mengepalkan tangannya menahan amarah. 'Lihat saja nanti, Adnessa. Kamu akan membayar ini,' desisnya dalam hati.Melihat bagaimana
Klakkk.Suara kursi yang direbahkan memecah keheningan. Entah terbawa suasana atau tidak, di tengah kecanggungan yang masih terasa, Axcel mengatur posisi kursinya agar sedikit landai sebelum perlahan menarik Adnessa agar duduk dengan nyaman di atasnya. Gerakan Axcel begitu lembut namun tegas, seolah ia tahu Adnessa tidak akan menolak.Seperti terhipnotis, Adnessa mengikuti apa yang Axcel lakukan. Jantungnya berdebar kencang, namun ada rasa penasaran dan keinginan yang lebih besar dari rasa takutnya. Adnessa dan Axcel seakan terbawa dalam sebuah euforia yang aneh, sorot mata keduanya sama-sama penuh dengan intensitas dan hasrat yang membara.Adnessa memejamkan matanya, merasakan sentuhan pertama tangan Axcel yang mulai meraba pahanya yang mulus, sentuhan yang membuatnya meremang.'Sungguh cantik!' Axcel merapikan rambut Adnessa, menyelipkannya di belakang telinga gadis itu dengan gerakan yang lembut dan penuh perhatian. Melihat penampilan Adnessa sekarang, dengan mata terpejam dan bibi
Melihat Adnessa di dalam mobil Axcel, Erika tersenyum sinis, bibirnya tertarik ke atas dengan mata yang menyipit, memperlihatkan deretan giginya yang putih. Tatapannya dipenuhi kebencian, "Apa yang kamu lakukan di dalam mobil Axcel?!" tanyanya dengan nada tajam.Dengan tenang, Adnessa membalas tatapan Erika, "Apa kamu tidak bisa melihatnya?"Erika menggeram, rahangnya mengeras, matanya memerah. "Kamu ... ?" sahutnya dengan emosi yang tertahan.Dasar perempuan murahan! Berani-beraninya dia dekat-dekat dengan Axcel. Lihat saja nanti! batin Erika dengan geram. Jika saja tidak ada Axcel di sini, mungkin saja ia sudah merobek wajah Adnessa yang menurutnya sangat menyebalkan.Adnessa menaikkan sebelah alisnya, menatap Erika yang wajahnya memerah padam dan matanya berkilat-kilat karena marah, "Memangnya, apa ada yang salah dengan keberadaan ku disini? Kami bersaudara," Adnessa sengaja menekankan kata 'bersaudara', "jika aku berada di mobil Axcel, tentu saja karena dia menjemput ku untuk pula
"Ada apa dengan wajahmu?!" tanya Erika, senyum penuh arti terukir di bibirnya. Ia memperhatikan dengan saksama perubahan ekspresi Revan saat mendengar hinaannya terhadap Adnessa. Ada sedikit rasa puas melihat reaksinya.Erika, dengan dress merah menyala yang sedikit terbuka di bagian dadanya, melangkah mendekat ke mobil Revan. Gerakannya anggun dan provokatif, seolah sengaja memamerkan lekuk tubuhnya. Tubuh molek Erika memang mampu menghipnotis mata para pria di sekitarnya, tatapan mata mereka mengikuti setiap gerakannya. Namun, tidak demikian dengan Revan. Sejak pertama kali melihat Erika mengejar-ngejar Axcel, sahabatnya, hingga detik ini, ia justru merasa geli. Tidak ada sedikit pun ketertarikan yang ia rasakan pada gadis yang kini berdiri di depan kaca mobilnya.Revan menatap Erika dengan tatapan datar, nyaris jijik. Dalam hatinya, ia menggelengkan kepala. "Di, Aldy. Wanita seperti ini bisa-bisanya lo suka," gumamnya pelan, teringat pada Aldy, sahabatnya yang dulu pernah mati-matia
Revan menatap Axcel dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada campuran antara kebingungan, kekhawatiran, dan mungkin sedikit kecemburuan di matanya. Pemandangan Axcel yang menggendong Adnessa yang tertidur pulas jelas bukan sesuatu yang ia harapkan. Keheningan sesaat menyelimuti ruangan, hanya suara napas Adnessa yang terdengar pelan."Axcel, apa—" Revan memulai kalimatnya dengan nada serius, namun suara desisan Axcel memotongnya dengan cepat."Ssttttttttt!" Axcel meletakkan jari telunjuknya di bibirnya, memberi isyarat kepada Revan untuk diam. Ia menatap Revan dengan tatapan tajam, memperingatkannya untuk tidak bersuara keras. Ia kemudian melirik ke arah Adnessa yang masih tertidur di gendongannya, memastikan gadis itu tidak terbangun.Revan mengikuti arah pandang Axcel dan sekilas menatap Adnessa. Ia melihat wajah gadis itu yang terlihat begitu damai dalam tidurnya. Revan menghela napas panjang, seolah memberikan izin kepada Axcel untuk mengantar Adnessa ke tempat yang lebih nyaman.
Kejadian sore tadi terus terngiang memenuhi kepala Axcel. Sudah hampir tiga jam pria tampan bertubuh atletis itu duduk di kursi bar pribadinya yang berada di kediaman Hansel, merenungkan isi hatinya dan takdirnya. Cahaya lampu temaram memantul pada gelas wine yang dipegangnya, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding, seolah ikut mengejek kebingungannya."Apa saya tidak boleh menyukainya?" gumam Axcel dengan suara lirih, nyaris berbisik. Ia menatap cairan merah dalam gelasnya, seolah mencari jawaban di sana. Namun, yang ia lihat hanyalah pantulan wajahnya sendiri yang terlihat lelah dan putus asa. Ia kembali meneguk segelas wine yang sedari tadi menemaninya, berharap alkohol itu bisa meredakan gejolak di hatinya, meskipun ia tahu itu hanya sementara.Axcel serasa dibuat gila dengan keadaannya sendiri. Ia mengacak rambutnya frustrasi, merasa terperangkap dalam situasi yang sulit. Baru kali ini ia benar-benar menyukai seorang gadis, merasakan getaran aneh yang membuatnya berd
"Hoammm," Adnessa meregangkan otot-otot tubuhnya setelah beberapa jam beristirahat dengan nyenyak. Mengingat hari ini adalah weekend, waktu yang tepat untuknya bersantai dan memanjakan diri setelah beberapa hari menghabiskan sebagian besar waktunya untuk kuliah dan juga memikirkan tentang Revan dan Axcel. Ia merasa perlu melepaskan penat dan mengisi kembali energinya.Perlahan, Adnessa menurunkan kakinya dari ranjang yang empuk sembari menjedai simpel rambut panjangnya yang tergerai sedikit berantakan. Ia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya, membersihkan wajahnya dengan air segar serta menggosok gigi sebelum akhirnya keluar dari kamar dan memulai aktivitas paginya."Bau apa ini?!" Adnessa yang baru saja keluar dari kamar, sedikit penasaran dengan aroma sedap yang menyeruak hingga ke lantai dua rumahnya. Aroma itu sangat menggugah selera dan berhasil membuat cacing-cacing di perutnya meronta-ronta minta diisi. Ia merasa perutnya tiba-tiba lapar.Adness
Setelah semua acara yang seharusnya ia gunakan untuk bersenang-senang dengan dua sahabatnya, kini berantakan akibat ulah Axcel dan Revan, ditambah lagi Laluna dan Fransisca yang kini mencurigai hubungan di antara dirinya dan Axcel, kakak tirinya. Adnessa merasa semakin tertekan dan bingung."Jangan-jangan…" ucap Fransisca, menggantung kalimatnya, menciptakan suasana yang semakin menegangkan. Ia menatap ke arah Adnessa dengan segudang teka-teki dari sorot matanya. Entah apa yang dipikirkannya, Adnessa bisa merasakan bahwa Fransisca sedang mencoba menyusun kepingan-kepingan informasi yang ia dapatkan untuk menarik sebuah kesimpulan.Tiba-tiba, suara deru napas terdengar dari belakang Adnessa. "Ness, kenapa kamu meninggalkan saya?" tanya Revan dengan napas tersenggal-senggal, menandakan ia baru saja berlari. Diikuti oleh Axcel yang berjalan di belakangnya dengan langkah pasti dan penuh wibawa, kontras dengan Revan yang terlihat panik.Revan sangat panik setelah memenangkan taruhan biliar
"Ngaco," sangkal Adnessa. Sebenarnya ia sudah tahu bagaimana perasaan Revan kepadanya. Beberapa hari lalu, pria itu juga sudah mengakui perasaannya dengan terang terangan, bukan hanya di depannya, Revan juga mengakui perasaannya di depan Axcel. Hanya saja, ia belum berani untuk bercerita kepada dua sahabatnya ini. Mengingat, Laluna yang begitu tergila-gila dengan Revan, meskipun tidak sampai segila Devita yang sampai menyerang orang lain, Adnessa tetap merasa khawatir reaksinya akan berlebihan dan mungkin menyakitkan.Suasana di pollroom seketika berubah menjadi tegang, setelah pertandingan antara Revan dan Samudra dimulai. Sorak sorai kecil dari beberapa penonton yang tertarik dengan taruhan tersebut menambah intensitas pertandingan. Belum sampai 10 menit permainan itu dimulai, Adnessa sudah merasa tidak enak untuk menyaksikannya. Ia melihat bagaimana Revan dan Samudra saling beradu strategi dan kekuatan dengan tatapan yang serius dan fokus. Ia tidak suka melihat mereka berdua bersai
"Lo siapa?" tanya pria itu dengan nada tidak senang, tidak terima melihat Axcel menghalangi niatnya untuk mendekati Adnessa. Ia menatap Axcel dengan tatapan menantang, merasa harga dirinya diinjak."Saya?" tanya Axcel dengan senyum miring yang memperlihatkan sedikit ejekan, seraya menunjuk ke arah dirinya sendiri dengan ekspresi seolah menahan tawa. Ia merasa geli dengan keberanian pria itu yang mencoba mendekati Adnessa di depannya.'Aduh,' Adnessa mulai berkeringat dingin, jantungnya berdebar tidak karuan. Ia merasa sangat khawatir jika Axcel lepas kendali dan mengatakan hubungan mereka yang sesungguhnya di depan umum. Ia melirik Laluna dan Fransisca sekilas, melihat ekspresi bingung mereka. 'Apa yang akan mereka pikirkan nanti?' batinya cemas, membayangkan reaksi kedua sahabatnya jika mengetahui hubungannya dengan Axcel."Stop, minggir!" ucap Revan dengan nada tenang namun tegas. Ia dengan santainya berjalan di antara Axcel dan pria itu, seolah memberikan jarak agar mereka semakin b
"Kalian serius mau ikut?" tanya Adnessa kepada Axcel dan Revan, dengan nada yang masih tidak percaya bahwa dua orang itu benar-benar mengikutinya sampai ke tempat ini. Ia menatap mereka berdua dengan tatapan menyelidik, mencoba memastikan bahwa mereka tidak sedang bercanda.Axcel dan Revan mengangguk bersamaan, dengan wajah yang terlihat sedikit kelelahan karena berlari kecil mengikuti langkah Adnessa yang cukup cepat. Mereka berdua memasang senyum meyakinkan, menunjukkan bahwa mereka serius dengan keinginan mereka untuk ikut.Adnessa menghela napas panjang, merasa sedikit pasrah dengan situasi ini. 'Kira-kira, kekacauan apa lagi yang akan mereka buat nanti?' batinnya, dengan sedikit rasa khawatir membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi dengan kehadiran dua pria ini di poolroom. Ia mengalihkan pandangannya dari Axcel dan Revan dan menatap ke arah gedung di depannya.Ingin rasanya Adnessa menolak kedua pria ini agar tidak ikut dengannya. Ia merasa kehadiran mereka hanya
"Ngapain lo di situ, Van?" Axcel yang baru saja selesai mandi dan bersiap turun ke lantai bawah untuk makan malam, terkejut setelah membuka pintu kamarnya dan melihat Revan berdiri tepat di depan pintu kamar Adnessa dengan wajah yang terlihat cemas. Ia mengerutkan kening, bingung dengan kehadiran sahabatnya di sana.Sebenarnya, bukan cemas yang sepenuhnya tepat untuk menggambarkan ekspresi Revan. Lebih tepatnya, ia gelisah. Revan sedari tadi menunggu Adnessa di depan pintu kamarnya, berharap gadis itu segera keluar. Namun, karena Adnessa tak kunjung keluar, Revan menjadi tidak sabar dan khawatir. Ia sangat ingin membuka pintu itu dan memastikan keadaan Adnessa baik-baik saja, tetapi ia ragu, takut dianggap terlalu lancang dan melanggar privasi gadis itu. "Kenapa sedari tadi Adnessa tidak kunjung keluar, Xel?" tanya Revan dengan nada khawatir yang bercampur dengan rasa penasaran.Axcel menjadi sedikit cemas mendengar kalimat Revan. Ia pun ikut merasa khawatir dengan Adnessa. Tanpa berp
"Jangan bercanda, Dy," sahut Revan mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Aldy. Ia tertawa kaku, tawanya terdengar dipaksakan, dan tatapannya seolah memberi peringatan halus kepada sahabatnya itu untuk tidak meneruskan leluconnya. Ada nada tidak suka yang tersirat dalam tawanya."Tidak lucu jika kita semua menyukai gadis yang sama," timpal Axcel dengan nada lebih serius, menatap Aldy dengan tatapan antara menyelidik dan tidak percaya. Ia mencoba membaca ekspresi Aldy, mencari tahu apakah sahabatnya itu benar-benar serius dengan ucapannya."Pffftttttt, bagaimana jika gue jatuh cinta sejak pandangan pertama?" tanya Aldy dengan senyuman yang mengembang di wajahnya. Senyumnya terlihat tulus, namun ada sedikit misteri di matanya yang membuat Axcel dan Revan sedikit bingung. Dari cara berbicara Aldy saat ini, mereka berdua tidak bisa memastikan apakah ini hanya sebuah lelucon atau sahabatnya itu benar-benar menyukai Adnessa.Revan tertawa lagi, kali ini tawanya terdengar lebih lepas, me
Revan dan Axcel terlihat antusias, meskipun dengan cara yang berbeda, menunggu jawaban Adnessa setelah Revan melempar pertanyaan yang membingungkan dan sekaligus mengejutkan tersebut. Revan menatap Adnessa dengan tatapan penuh harap, sementara Axcel menatapnya dengan campuran cemas dan pasrah.Bagaimana ini? Adnessa terlihat sangat bimbang, pikirannya berkecamuk. Ia takut jika keputusannya akan menyakiti salah satu di antara mereka. Mengingat persahabatan yang terjalin erat di antara Revan dan Axcel, ia juga tidak ingin membuat keputusan yang pada akhirnya menciptakan selisih paham dan menghancurkan tali persahabatan yang begitu berharga bagi keduanya. Ia merasa terjebak di antara dua pilihan yang sulit.Angin yang berhembus di halaman kediaman Hansel sore itu, membawa serta aroma dedaunan dan tanah basah, seolah ikut merasakan situasi dramatis yang tengah terjadi. Rambut Adnessa yang tergerai indah, kini terlihat sedikit berantakan tersapu angin, menambah kesan rapuh pada dirinya. Ad
Revan tidak menunjukkan ekspresi yang berarti setelah mendengar kalimat Erika. Ia hanya menoleh perlahan, mengalihkan pandangannya dari Erika ke Axcel, lalu ke Adnessa, dan kembali lagi ke Axcel. Matanya mengamati mereka berdua dengan seksama, mencoba membaca raut wajah dan bahasa tubuh mereka. Ternyata, dugaanku selama ini benar, batin Revan, sebuah kekecewaan yang dalam menyentuh hatinya, meskipun ia berusaha keras untuk tidak menunjukkannya. Ia sudah lama mencurigai ada sesuatu yang lebih dari sekadar persaudaraan di antara Axcel dan Adnessa, dan kini Erika telah mengkonfirmasi dugaannya tersebut."Gue bisa jelasin ini semua, Van!" ucap Axcel memecah keheningan yang mulai terasa menyesakkan. Ia merasa tatapan Revan padanya begitu intens dan sulit diartikan, membuatnya merasa bersalah dan ingin segera menjelaskan duduk perkaranya.Revan menaikkan sebelah alisnya, sebuah gerakan yang familiar dan sering ia lakukan saat ia merasa tidak percaya atau meremehkan sesuatu. Pria berparas ta