Axcel terdiam sesaat, mencerna kata-kata Adnessa. Rasa sakit dan kecewa bercampur aduk di dadanya. Ia menatap Adnessa sekali lagi, mencoba mencari setitik harapan di matanya, tetapi yang ia lihat hanyalah kebingungan dan kesedihan. Ia mengangguk pelan, sebuah anggukan yang lebih merupakan pengakuan atas kekalahannya daripada persetujuan."Baiklah kalau begitu," lirih Axcel dengan suara yang nyaris tak terdengar. Ia memalingkan wajahnya dan berbalik, melangkah pergi meninggalkan Adnessa. Setiap langkahnya terasa berat, membawa serta patah hatinya yang baru saja retak. Ia berjalan gontai, tidak tahu ke mana harus pergi. Yang ia tahu, ia harus menjauh dari Adnessa, setidaknya untuk saat ini.Adnessa sendiri merasakan sakit yang sama, bahkan mungkin lebih. Ia tahu kata-katanya telah menyakiti Axcel, tetapi ia merasa tidak punya pilihan lain. Ia merasa terperangkap dalam situasi yang rumit ini, terjebak di antara perasaannya dan kenyataan yang ada di depan mata. Tatapan Axcel yang selalu m
Beberapa hari terakhir, Laluna dan Fransisca merasa ada yang aneh dengan Adnessa. Mereka saling bertukar pandang penuh kekhawatiran, memperhatikan Adnessa yang terlihat begitu berbeda. Gadis itu tampak linglung, sering melamun, dan yang paling parah, ia sama sekali tidak fokus pada kuliah. Bahkan, Adnessa sampai mendapat teguran dari dosen pengajar karena ketidakperhatiannya di kelas. Ada apa dengan gadis ini?Di sebuah kafe dekat kampus, setelah jam kuliah usai, Laluna dan Fransisca duduk berhadapan dengan Adnessa. Mereka berdua terus menatap Adnessa dengan tatapan intens, membuat gadis itu merasa risih. Adnessa yang tengah membaca novel pun terganggu, dan mengalihkan pandangan ke arah dua sahabatnya. Ia menatap kedua sahabatnya dengan tatapan bertanya-tanya. "Kalian kenapa?" tanyanya, sedikit bingung dengan tatapan aneh yang ditujukan padanya.Fransisca menoleh, menatap Adnessa dengan serius, begitu pun dengan Laluna. Tatapan mereka berdua semakin membuat Adnessa merasa tidak nyaman
Jam telah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam, lampu-lampu di dalam kafe mulai meredup, menciptakan suasana yang lebih hangat. Aroma kopi dan makanan bercampur dengan alunan musik jazz yang mengalun lembut, menciptakan atmosfer yang nyaman dan santai. Adnessa dan dua sahabatnya, Laluna dan Fransisca, masih asyik nongkrong di salah satu sudut kafe setelah lelah berbelanja seharian. Mereka tertawa dan bercerita tentang berbagai hal, menikmati waktu bersama.Tiba-tiba, Laluna menghentikan tawanya dan menunjuk ke arah tertentu dengan dagunya. "Ness, itu kakak tiri lo, apa bukan sih?" tanyanya dengan nada berbisik, matanya tidak sengaja melihat seorang pria yang duduk beberapa meja dari tempat mereka, dan sekilas terlihat sangat mirip dengan Axcel. Laluna masih ingat betul wajah Axcel ketika pria itu mengantarkan Adnessa ke kampus beberapa waktu lalu.Adnessa dan Fransisca serentak menoleh ke arah yang dimaksud oleh Laluna. Mereka berdua mengikuti arah pandang Laluna dan melihat seorang
Mata Adnessa dan Axcel saling beradu untuk beberapa saat, menciptakan keheningan yang canggung di antara mereka. Akhirnya, Adnessa menghela napas dan memutuskan untuk pulang bersama Axcel. Ia merasa tidak ingin memperpanjang masalah di tempat umum, apalagi dengan tatapan penasaran orang-orang yang berlalu lalang."Baiklah, tunggu aku di tempat parkir!" ucap Adnessa dengan nada datar, berusaha menyembunyikan kekesalannya. Ia melirik sekilas ke sekeliling, menyadari hampir semua mata yang berlalu lalang menatap ke arah mereka berdua. Ia merasa risih menjadi pusat perhatian.Axcel mengerutkan keningnya, masih menggenggam erat pergelangan tangan Adnessa. Ia seolah bertanya mengapa Adnessa tidak pergi bersamanya sekarang. Ia ingin segera pergi dari tempat itu dan berbicara dengan Adnessa secara pribadi."Aku ingin berpamitan kepada Laluna dan Fransisca, tidak enak jika langsung pergi," ucap Adnessa dengan nada sedikit kesal, menarik perlahan tangannya dari genggaman Axcel. Ia merasa Axcel
*Flashback on.*Adnessa, yang baru saja selesai menemui Laluna dan Fransisca, berjalan sendirian menuju basement gedung bertingkat itu. Ia berencana bertemu Axcel yang sudah menunggunya di sana. Langkahnya mantap, namun ada sedikit perasaan aneh yang mengganjal. "Kenapa sepi sekali?" gumam Adnessa pelan, suaranya hampir hilang ditelan keheningan basement. Suasana basement yang remang-remang, hanya diterangi lampu-lampu redup yang berjarak cukup jauh, dan sunyi senyap membuatnya merinding. Bayangan-bayangan yang dipantulkan pilar-pilar beton terlihat seperti sosok-sosok misterius dalam kegelapan. Ia mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman itu dan mempercepat langkahnya, berharap segera bertemu Axcel dan keluar dari tempat ini.Namun, sialnya, baru beberapa langkah ia menginjakkan kaki lebih dalam ke area basement, sebuah tangan kekar tiba-tiba membekap mulutnya dari belakang. Adnessa terkejut dan refleks mencoba berteriak, tetapi suaranya tertahan oleh tangan yang membekapnya erat. I
"Apa semuanya sudah beres?" tanya Axcel, dengan tatapan mata yang masih terfokus tajam pada jalanan di depannya. Kedua tangannya mencengkeram erat setir mobil, buku-buku jarinya memutih. Ia mengemudi dengan kecepatan tinggi, menyusuri jalanan kota yang mulai ramai."Sudah, Pak," jawab Galih dengan nada tegas dan profesional dari seberang telepon. "Dari informasi yang saya selidiki, sepertinya ini semua adalah ulah mantan kekasih nona Adnessa," lanjutnya. Suara Galih terdengar tenang, namun Axcel bisa merasakan ketegasan dan keseriusan dalam setiap kata yang diucapkannya. Dalam waktu beberapa menit setelah Axcel memberi perintah tadi, anak buah yang ia kerahkan dengan sigap berhasil melumpuhkan orang-orang suruhan Giovan, dalang di balik semua kejadian ini.Axcel semakin mencengkeram kuat setir mobilnya. Mendengar informasi yang disampaikan Galih, amarahnya semakin memuncak. Ia membayangkan Giovan menyentuh Adnessa, menyakitinya, dan bayangan itu membuatnya mendidih. Dengan geraman ter
"Bawa dia ke markas!" perintah Axcel dengan suara dingin dan datar, membelakangi Giovan yang tergeletak babak belur di lantai, tak berdaya setelah dihajar habis-habisan oleh Axcel. Nadanya tidak menunjukkan sedikit pun emosi, namun justru itulah yang membuatnya terdengar semakin mengerikan. Setiap kata yang diucapkannya terdengar seperti vonis hukuman mati."Baik, Pak," sahut Galih dengan cepat dan sigap. Ia mengangguk kepada beberapa pengawal yang berdiri di dekatnya, memberi isyarat untuk segera bertindak. Tanpa ragu, para pengawal itu segera menghampiri Giovan yang masih mengerang kesakitan di lantai dan menyeretnya keluar dari ruangan dengan kasar. Giovan berusaha memberontak, namun tenaganya sudah habis dan ia tidak berdaya melawan cengkeraman kuat para pengawal.Axcel tidak lagi menanggapi kalimat Galih atau memperhatikan Giovan yang diseret keluar. Pikirannya hanya tertuju pada Adnessa. Dengan langkah pasti dan tenang, Axcel membersihkan darah yang menempel di tangannya menggun
Setelah keadaan Adnessa benar-benar mereda dan ia tampak lebih stabil, Axcel memutuskan untuk membawanya ke ruang ganti. Ia khawatir gadis kesayangannya itu akan sakit karena terlalu lama terkena air dingin. Dengan sangat hati-hati dan perlahan, Axcel menurunkan tubuh Adnessa di ruang ganti yang lebih hangat dan kering. "Ehemmm," Axcel berdeham kecil, merasa sedikit canggung dengan situasi ini. "Kamu ganti baju dulu, saya akan menunggu mu di luar!" ucapnya dengan nada lembut namun sedikit formal. Ia berusaha menjaga jarak dan memberikan privasi kepada Adnessa.Adnessa mengangguk pelan, matanya mengikuti punggung Axcel yang akhirnya berbalik badan dan melangkah keluar dari ruangan. Setelah memastikan Axcel benar-benar telah pergi dan punggungnya telah menghilang di balik pintu, barulah Adnessa memutar tubuhnya dan mulai mencari pakaian kering untuk dikenakan. Sebuah senyum kecil tanpa sadar terukir di bibirnya. Perlakuan Axcel yang begitu perhatian, lembut, dan penuh hormat membuatnya
Sore itu, Adnessa berdiri di teras kediaman Hansel, menatap mobil Revan yang kian menjauh, menelan kesepian yang tiba-tiba menyeruak setelah kepergian pria itu."Anak ini milik saya!"Adnessa terperagah, jantungnya mencelos mendengar suara berat yang tiba-tiba membisikkan kalimat itu tepat di belakangnya. Sebuah tangan kekar melingkari pinggangnya, menariknya mendekat hingga punggungnya membentur dada bidang seorang pria."Axcel?!" lirih Adnessa, terkejut bukan kepalang. Spontan ia meronta, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman itu. Namun, tangan Axcel justru mengerat, memeluknya seolah tak ingin melepaskan.Axcel menghela napas panjang, aroma maskulinnya menusuk indra penciuman Adnessa. "Apa saya seperti hantu? Kenapa kamu begitu ketakutan melihatku?" tanyanya datar, perlahan membalikkan tubuh Adnessa hingga tatapan mereka bertemu. "Jangan lagi menghindariku, jangan lagi mencari alasan untuk menjauh. Aku sudah mengetahui semuanya, Ness. Jika... ini adalah darah dagingku!" lanjutny
Adnessa menghela napas, bayangan dirinya di cermin pagi itu tak ubahnya hantu pucat. Mata sayunya, lingkar hitam di bawahnya, saksi bisu malam tanpa lelap. Kata-kata Axcel semalam berputar-putar di kepalanya, racun yang menggerogoti ketenangannya."Dari mana dia tahu?" bisiknya, dahinya berkerut dalam.Gemericik air dari wastafel kamar mandi menjadi latar sunyi lamunannya. Namun, ketenangan itu pecah saat sepasang tangan kekar melingkar posesif di perutnya, membuatnya tersentak keras."Axcel!" serunya, mendorong tubuh itu menjauh. Matanya menyala marah, suaranya bergetar. "Apa yang kau lakukan di sini?!"Perlahan, Axcel mengulurkan tangannya, meraih jemari Adnessa dengan cengkeraman penuh keyakinan. "Menikahlah denganku, Ness," ucapnya, suaranya serak namun tegas. Mata elangnya, yang biasa memancarkan dominasi, kini redup, penuh permohonan."Kau gila!" Adnessa mendesis, menarik tangannya dengan kasar. "Di saat tunanganmu mengandung anakmu, kau malah mengajakku menikah? Lucu sekali!""
Mata Axcel terbelalak setelah membaca laporan yang baru saja diberikan oleh kaki tangannya beberapa saat lalu. Tangannya bergetar, mata dan wajahnya memerah seperti menahan sebuah rasa yang tiba-tiba saja menggebu. "Adnessa hamil?!" lirihnya.Axcel terdiam, menatap beberapa lembar kertas di tangannya. Baru kali ini ia tahu alasan kenapa Adnessa beberapa saat lalu tiba-tiba ingin bersekolah di luar negeri dan sekarang justru ingin menikah, ternyata gadis itu tengah mengandung. Mengetahui fakta ini, masih ada sedikit pertanyaan yang mengganjal di hatinya. Siapa ayah anak ini?!"Jangan-jangan ayah anak ini..." Axcel segera melangkahkan kakinya terburu-buru menuju kamar Adnessa, memastikan siapa sebenarnya ayah dari anak yang dikandungnya. Jika di lihat dari laporan ini, mungkin saja anak itu miliknya.Pria tampan bermata biru dengan postur tubuh atletis itu melangkahkan kakinya lebar, seluruh tubuhnya berdesir merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan, membayangkan kenyataan ini. Ia memoho
"Aku memilih..." Adnessa menatap ke arah Revan dengan perasaan ragu. "Aku lebih memilih Pak Revan," ucapnya mantap. Dari semua pilihan yang ada di dalam otaknya, sepertinya ini adalah pilihan yang terbaik. Mengingat Axcel yang telah bertunangan dan bahkan segera memiliki keturunan dari Erika. Untuk apa lagi dirinya bimbang? Sudah jelas, jika bersama Revan jauh lebih baik.Revan tersenyum. Kebahagiaan di wajahnya, tidak bisa lagi disembunyikan. "Terima kasih karena sudah percaya dengan saya, sayang!" sahutnya seraya menggenggam tangan Adnessa erat."Tidak mungkin," lirih Axcel, tidak percaya. Perlahan ia melepaskan genggaman tangannya di tangan Adnessa. Menatap kearah Adnessa dan Revan dengan tatapan sulit di jelaskan."Gue harap, ini yang terakhir kalinya lo ganggu Adnessa seperti ini, Xel!" ucap Revan datar, suaranya terdengar tegas memperingatkan Axcel. Pelukannya juga terlihat posesif kepada Adnessa, seolah memberitahu jika Adnessa telah menjadi miliknya. "Sebentar lagi, kami juga
Mobil yang dikendarai oleh Revan telah berhenti di pelataran kediaman Hansel. Seulas senyuman tersungging menghiasi wajah tampannya melihat Adnessa yang masih tertidur pulas, bersandar di bahunya.Revan yang tadinya ingin membangunkan Adnessa, mengurungkan niatnya. Ia memutuskan untuk menunggu sampai gadis itu terbangun sendiri. "Apakah hari ini begitu melelahkan, sayang?" lirih Revan, merapikan anak rambut Adnessa yang sedikit berantakan dengan lembut. Dengan hati-hati, Revan membenarkan jas miliknya yang ia gunakan untuk menyelimuti Adnessa, tidak ingin mengganggu tidur gadis itu."Sudah bangun, sayang?" tanya Revan, ketika melihat Adnessa mengerjap.Dengan mata memerah khas bangun tidur, Adnessa terlihat bingung. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke arah sekitar."Sudah sampai dari tadi?""Hmmm," sahut Revan dengan lembut.Adnessa menegakkan tubuhnya, "Kenapa tidak membangunkan ku?!""Kamu terlihat begitu lelah, sayang. Saya tidak tega untuk membangunkanmu!" sahut Revan.Adnessa m
'Adnessa?' batin Axcel bimbang, melihat siluet yang sangat mirip dengan Adnessa. Apakah yang ia lihat tadi benar-benar Adnessa atau hanya orang yang mirip saja dengan gadis itu?Tanpa sadar Axcel melangkah, mengikuti gadis yang terlihat mirip dengan Adnessa, membuat Erika yang tengah bersamanya menatap bingung ke arah Axcel yang tiba-tiba pergi."Axcel? Ada apa denganmu?" Erika, yang merasa diabaikan, menatap Axcel dengan kesal. Sedari tadi ia berbicara, namun Axcel hanya diam, dan sekarang justru meninggalkannya.Axcel tersadar, ia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Erika yang tergopoh-gopoh mengikuti langkahnya. "Tidak ada. Saya hanya ingin mencari ruang untuk merokok!" sahutnya beralasan.Erika menatapnya curiga, tapi kemudian mengangguk. "Ya sudah, tapi cepat kembali! Sebentar lagi giliranku dan kamu harus menemaniku, Axcel!"Axcel mengangguk, ia segera melangkahkan kakinya keluar, mencari jejak gadis yang sangat mirip dengan Adnessa tadi.Sesampainya di depan rumah sakit
Adnessa menumpahkan segalanya kepada Laluna dan Fransisca. Ia menceritakan kehamilannya, sosok Axcel yang penuh misteri, dan keputusan Revan yang tiba-tiba untuk menikahinya. Air mata mengalir di pipinya, membasahi kisah yang selama ini ia simpan rapat-rapat.Laluna dan Fransisca mendengarkan dengan seksama, mata mereka membulat karena terkejut, air mata menetes karena simpati. Mereka merasa kasihan pada Adnessa, tetapi juga kagum dengan kekuatan dan ketegarannya."Gue nggak nyangka lo ngalamin semua ini, Ness," ucap Laluna, suaranya bergetar, memeluk Adnessa erat. "Kenapa lo nggak cerita sama kita, sih?""Iya, Ness," timpal Fransisca, mengangguk setuju. "Kuat banget lo nyimpan masalah serumit ini sendirian," lanjutnya, memeluk Adnessa erat, menyalurkan kekuatan kepada sahabatnya."Mau bagaimana lagi?" sahut Adnessa sendu, mengusap perutnya yang masih rata. "Sebenarnya gue juga nggak ingin berada di situasi seperti ini. Tapi... gue takut kalian akan marah dan menjauh setelah tahu masa
Fransisca dan Laluna yang penasaran degan hubungan mereka, akhirnya "Ness, tunggu!" teriak Laluna, mencoba menghentikan langkah Adnessa."Kalian kenapa?" tanya Adnessa. Menatap bingung ke arah dua sahabatnya bergantian, melihat dua sahabatnya berdiri di belakangnya dengan napas terengah-engah.Dengan napas tersenggal-senggal karena habis berlari mengejar langkah Adnessa, Laluna dan Fransisca saling menatap. Mereka sedikit ragu ingin bertanya tentang hubungan sahabatnya ini dengan dosen mereka, melihat Revan yang masih berada di sana.Laluna menyenggol bahu Fransisca, meminta agar gadis itu yang menanyakannya."Apaan sih, lo?" gumam Fransisca, "Lo takut?""Bukannya gue takut, hanya saja gue tidak memiliki banyak energi untuk mendengar kebenarannya nanti!" sahut Laluna beralasan."Ckkk," decak Fransisca kesal dengan sikap Laluna.Adnessa mengerutkan kening, melihat gelagat aneh dua sahabatnya ini. "Apa yang tengah kalian diskusikan?"Fransisca dan Laluna terkesiap mendengar pertanyaan
"Saya... saya akan pergi, Pak," ucap Adnessa, suaranya bergetar. "Saya akan pindah sekolah ke luar negeri.""Pindah sekolah?" ulang Revan, alisnya terangkat. "Kenapa tiba-tiba?""Saya... saya ingin mencari pengalaman baru, Pak," jawab Adnessa, berbohong. Ia tidak ingin Revan tahu tentang kehamilannya."Pengalaman baru?" gumam Revan, menatap Adnessa dengan tatapan curiga. "Atau kamu ingin menghindar dari saya?"Adnessa terdiam, ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia merasa takut jika Revan akan marah atau kecewa."Saya... saya tidak menghindar dari Anda, Pak," jawab Adnessa akhirnya, berbohong lagi. "Saya hanya ingin mencari pengalaman baru."Revan menghela napas panjang, "Lalu, apa Axcel mengetahui hal ini?!" Tanyanya dengan kening berkerut, berfikir jika Adnessa telah memberitahukan kehamilannya kepada Axcel."Tahu," singkat Adnessa. Memang Axcel mengetahui niatnya yang ingin berseklah di luar negeri.Revan mengangguk, ia mengerti kenapa Adnessa tiba-tiba ingin pindah ke luar negeri. P