Mata Adnessa dan Axcel saling beradu untuk beberapa saat, menciptakan keheningan yang canggung di antara mereka. Akhirnya, Adnessa menghela napas dan memutuskan untuk pulang bersama Axcel. Ia merasa tidak ingin memperpanjang masalah di tempat umum, apalagi dengan tatapan penasaran orang-orang yang berlalu lalang."Baiklah, tunggu aku di tempat parkir!" ucap Adnessa dengan nada datar, berusaha menyembunyikan kekesalannya. Ia melirik sekilas ke sekeliling, menyadari hampir semua mata yang berlalu lalang menatap ke arah mereka berdua. Ia merasa risih menjadi pusat perhatian.Axcel mengerutkan keningnya, masih menggenggam erat pergelangan tangan Adnessa. Ia seolah bertanya mengapa Adnessa tidak pergi bersamanya sekarang. Ia ingin segera pergi dari tempat itu dan berbicara dengan Adnessa secara pribadi."Aku ingin berpamitan kepada Laluna dan Fransisca, tidak enak jika langsung pergi," ucap Adnessa dengan nada sedikit kesal, menarik perlahan tangannya dari genggaman Axcel. Ia merasa Axcel
*Flashback on.*Adnessa, yang baru saja selesai menemui Laluna dan Fransisca, berjalan sendirian menuju basement gedung bertingkat itu. Ia berencana bertemu Axcel yang sudah menunggunya di sana. Langkahnya mantap, namun ada sedikit perasaan aneh yang mengganjal. "Kenapa sepi sekali?" gumam Adnessa pelan, suaranya hampir hilang ditelan keheningan basement. Suasana basement yang remang-remang, hanya diterangi lampu-lampu redup yang berjarak cukup jauh, dan sunyi senyap membuatnya merinding. Bayangan-bayangan yang dipantulkan pilar-pilar beton terlihat seperti sosok-sosok misterius dalam kegelapan. Ia mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman itu dan mempercepat langkahnya, berharap segera bertemu Axcel dan keluar dari tempat ini.Namun, sialnya, baru beberapa langkah ia menginjakkan kaki lebih dalam ke area basement, sebuah tangan kekar tiba-tiba membekap mulutnya dari belakang. Adnessa terkejut dan refleks mencoba berteriak, tetapi suaranya tertahan oleh tangan yang membekapnya erat. I
"Apa semuanya sudah beres?" tanya Axcel, dengan tatapan mata yang masih terfokus tajam pada jalanan di depannya. Kedua tangannya mencengkeram erat setir mobil, buku-buku jarinya memutih. Ia mengemudi dengan kecepatan tinggi, menyusuri jalanan kota yang mulai ramai."Sudah, Pak," jawab Galih dengan nada tegas dan profesional dari seberang telepon. "Dari informasi yang saya selidiki, sepertinya ini semua adalah ulah mantan kekasih nona Adnessa," lanjutnya. Suara Galih terdengar tenang, namun Axcel bisa merasakan ketegasan dan keseriusan dalam setiap kata yang diucapkannya. Dalam waktu beberapa menit setelah Axcel memberi perintah tadi, anak buah yang ia kerahkan dengan sigap berhasil melumpuhkan orang-orang suruhan Giovan, dalang di balik semua kejadian ini.Axcel semakin mencengkeram kuat setir mobilnya. Mendengar informasi yang disampaikan Galih, amarahnya semakin memuncak. Ia membayangkan Giovan menyentuh Adnessa, menyakitinya, dan bayangan itu membuatnya mendidih. Dengan geraman ter
"Bawa dia ke markas!" perintah Axcel dengan suara dingin dan datar, membelakangi Giovan yang tergeletak babak belur di lantai, tak berdaya setelah dihajar habis-habisan oleh Axcel. Nadanya tidak menunjukkan sedikit pun emosi, namun justru itulah yang membuatnya terdengar semakin mengerikan. Setiap kata yang diucapkannya terdengar seperti vonis hukuman mati."Baik, Pak," sahut Galih dengan cepat dan sigap. Ia mengangguk kepada beberapa pengawal yang berdiri di dekatnya, memberi isyarat untuk segera bertindak. Tanpa ragu, para pengawal itu segera menghampiri Giovan yang masih mengerang kesakitan di lantai dan menyeretnya keluar dari ruangan dengan kasar. Giovan berusaha memberontak, namun tenaganya sudah habis dan ia tidak berdaya melawan cengkeraman kuat para pengawal.Axcel tidak lagi menanggapi kalimat Galih atau memperhatikan Giovan yang diseret keluar. Pikirannya hanya tertuju pada Adnessa. Dengan langkah pasti dan tenang, Axcel membersihkan darah yang menempel di tangannya menggun
Setelah keadaan Adnessa benar-benar mereda dan ia tampak lebih stabil, Axcel memutuskan untuk membawanya ke ruang ganti. Ia khawatir gadis kesayangannya itu akan sakit karena terlalu lama terkena air dingin. Dengan sangat hati-hati dan perlahan, Axcel menurunkan tubuh Adnessa di ruang ganti yang lebih hangat dan kering. "Ehemmm," Axcel berdeham kecil, merasa sedikit canggung dengan situasi ini. "Kamu ganti baju dulu, saya akan menunggu mu di luar!" ucapnya dengan nada lembut namun sedikit formal. Ia berusaha menjaga jarak dan memberikan privasi kepada Adnessa.Adnessa mengangguk pelan, matanya mengikuti punggung Axcel yang akhirnya berbalik badan dan melangkah keluar dari ruangan. Setelah memastikan Axcel benar-benar telah pergi dan punggungnya telah menghilang di balik pintu, barulah Adnessa memutar tubuhnya dan mulai mencari pakaian kering untuk dikenakan. Sebuah senyum kecil tanpa sadar terukir di bibirnya. Perlakuan Axcel yang begitu perhatian, lembut, dan penuh hormat membuatnya
Adnessa yang sempat menunduk setelah mengakui perasaannya kepada Axcel, perlahan mengangkat kembali wajahnya. Ia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian yang tersisa. "Aku menyukaimu!" ulang Adnessa dengan suara yang lebih mantap, kali ini menatap langsung ke mata Axcel yang sedari tadi menatapnya dengan intens. Matanya memancarkan kejujuran dan ketulusan, meskipun ada sedikit gugup yang masih tersisa. Detik berikutnya, tanpa ragu, ia mengecup sekilas pipi Axcel. Sentuhan lembut itu begitu singkat, namun meninggalkan jejak yang membakar di pipi Axcel dan membuat jantung Adnessa berdebar semakin kencang. Mungkin, ini sudah waktunya Adnessa mengakui perasaannya sebelum nanti menyesali segalanya. Ia telah memendam perasaan ini terlalu lama, dan ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mengungkapkan isi hatinya. Meskipun jantungnya berdebar tidak beraturan, menunggu reaksi Axcel, ia merasa lega telah mengatakannya. 'Rasanya mau pingsan,' batinnya, merasakan darahnya berdesi
Erika duduk dengan anggun di sofa beludru merahnya, kakinya menyilang dengan elegan. Ekspresinya tenang, nyaris tanpa ekspresi, saat mendengarkan laporan dari tangan kanannya tentang kegagalan rencana menyingkirkan Adnessa dari sisi Axcel. Cahaya lampu kristal di atasnya memantul di rambut hitam legamnya yang tergerai, memberikan kesan dingin dan misterius. Setiap detail di ruangan itu, dari lukisan-lukisan mahal hingga karpet Persia di bawah kakinya, memancarkan kekayaan dan kekuasaan.Namun, ketenangan itu hanya topeng. Di balik mata hitamnya yang tajam, amarah mendidih. Ketika tangan kanannya menyelesaikan laporan dengan kalimat "...dan Nona Adnessa berhasil lolos tanpa cedera," Erika tidak bisa lagi menahan gejolak emosinya.PRANGGGG.Gelas kristal berisi wine merah yang sedari tadi dipegangnya hancur berkeping-keping di lantai marmer. Pecahan kaca dan cairan merah membasahi karpet, kontras dengan kesunyian ruangan sebelumnya. Suara pecahan kaca itu begitu keras hingga memecah keh
Suasana di ruang makan pagi itu benar-benar hening, sebuah keheningan yang tegang dan menusuk. Adnessa merasa sangat canggung berada di antara dua pria yang sedari tadi saling melempar tatapan, sesekali melirik ke arahnya. Tentu saja, siapa lagi kalau bukan Axcel dan Revan. Biasanya, Adnessa akan bersikap acuh tak acuh, bahkan kepada kedua pria ini. Namun, entah mengapa kali ini ia merasakan sesuatu yang berbeda. Ada semacam medan magnet tak terlihat yang menarik dan mendorong kedua pria itu, dan ia merasa terjebak di tengahnya."Ka-kalian tidak makan?" tanya Adnessa dengan suara lirih, mencoba memecah keheningan yang mencekam. Ia menatap Axcel dan Revan bergantian, matanya memohon agar salah satu dari mereka bersikap normal."Kamu mau makan apa? Biar saya ambilkan!" tanya Revan dengan senyum yang dipaksakan. Ia berusaha menampilkan keramahan, namun matanya tetap waspada, sesekali melirik Axcel. Ada nada persaingan yang kentara dalam suaranya.Axcel, yang melihat kekasihnya diperhatik
Baru saja Adnessa memasuki rumah, ia sudah di suguhi dengan suasaa hening dan mencekam. Terlihat, ayah, ibu, Axcel, dan Erika duduk di sofa yang berada di ruangan itu dengan wajah serius, entah hal serius apa yang mereka bicarakan? Namun, sedikit pun ia tidak tertarik untuk mengetahuinya."Sore, Ma, Pa!" sapanya ketika melewati mereka. Dengan tatapan setengah kosong, mungkin saja kalut dengan masalahnya. Adnessa melangkahkan kakinya menaiki anak tangga."Ada apa dengannya, Pa?!" tanya Margaretha, cemas dengan sikap Adnessa yang tidak seperti biasanya. Terlihat sekali jika gadis itu memiliki banyak masalah.Jhonatan menggeleng pelan. Sama seperti istrinya, ia juga penasaran kenapa putrinya bersikap aneh. "Nessa?!" panggil Jhonatan.Adnessa yang telah berada di pertengahan anak tangga menghentikan langkahnya, mendengar suara Jhonatan memanggilnya. "Iya. Ada apa, Pa?!""Kemari, ada yang perlu Papa bicarakan denganmu!" ucap Jhonatan.'Apa yang ingin Papa katakan?!' batinnya bertanya-tanya
Menurutnya, ini adalah hari terburuk untuknya. Konsekuensi ini, sebenarnya ia tidak akan pernah mempermasalahkan, karena biar bagaimanapun anak ini hadir atas perbuatannya yang dengan sadar menjalin hubungan terlarang dengan Axcel, kakak tirinya. Namun, kenapa ini harus terjadi sekarang? Disaat semua sudah berakhir. Disaat semua telah memilih jalannya masing-masing.'Apa yang akan aku katakan kepada Pak Revan nanti?!' batinnya gelisah. Sedikit pun, ia tidak memiliki nyali untuk menghadapi Revan. Apalagi melihat sikap pria itu yang saat ini berubah menjadi murung setelah mengetahui kehamilannya. Bagaimana tidak, pria mana yang tidak akan terkejut melihat kekasihnya hamil? Apalagi, Revan tidak pernah sedikit pun menyentuh Adnessa."Emmm, P-Pak? Anda duluan saja! Biar nanti saya pulang naik taksi saja," ucap Adnessa, ketika mereka telah berada di depan gedung rumah sakit.Walaupun setelah mengetahui kebenarannya tadi Revan tidak mengatakan hal apa pun, tapi ia sudah bisa menebak isi hati
Revan yang melihat perubahan dari Adnessa membuatnya khawatir. Ia mengikuti Adnessa yang berjalan tergesa-gesa menuju toilet dengan sebelah tangan membekap mulutnya, seolah menahan gejolak dari dalam perutnya.Ada apa dengannya? Segudang asumsi mengenai Adnessa,tiba-tiba muncul dikepalanya. 'Apa mungkin dia...' batinnya menggantung. Revan menggelengkan kepalanya, berusaha menolak kenyataan terburuk yang muncul di pikirannya. Tapi gejala yang muncul tiba-tiba ini ... Mungkinkah Adnessa tengah hamil? Revan berdiri di samping pintu toilet, menyandarkan tubuhnya di dinding yang berada tepat di samping pintu, menunggu Adnessa dengan setia. Kehadirannya di sana, menyita perhatian semua orang yang berlalu-lalang menuju toilet dengan ekspresi yang berbeda-beda. Namun, Revan tak menghiraukannya, di dalam otaknya hanya dipenuhi dengan Adnessa. Membuatnya bersikap acuh dengan kondisi di sekitar."Astaga. Pak Revan kenapa berdiri di sini?!" Adnessa yang baru saja keluar dari dalam toilet terkeju
Pada akhirnya, hari itu Adnessa, Revan, dan Aldynata memutuskan untuk makan sore, pengganti makan siang yang telah terlewatkan. Dua pria dengan status tidak biasa itu terlihat dengan santai mengikuti kemauan Adnessa.Perjalanan menuju restoran sushi seperti yang diminta oleh Adnessa hanya memerlukan waktu beberapa menit dari rumah sakit di mana Adnessa diperiksa tadi. Mobil yang mereka tumpangi akhirnya berhenti. Lagi-lagi Revan dan Aldynata berlomba-lomba untuk membukakan pintu untuk Adnessa."Dy, sebaiknya lo tidak perlu repot-repot! Adnessa itu cewek gue, gue yang lebih berhak untuk memperhatikannya!" ucap Revan to the point, malas untuk berdebat dengan sahabatnya itu dan membuat Adnessa kembali tidak nyaman.Aldynata yang tadinya sudah mengulurkan tangan bermaksud untuk membukakan pintu untuk Adnessa akhirnya mengurungkan niatnya, 'Iya juga, tapi... Kenapa gue jadi sepeduli ini dengan Adnessa?!' batinnya yang baru saja menyadari hal aneh dalam dirinya.Kali ini, tidak ada perdebat
Sore itu, Axcel dan Erika yang sudah berencana fitting gaun pernikahan, akhirnya membatalkan janji itu setelah sebuah kejadian di mana Erika tiba-tiba pingsan. Walaupun Axcel tidak menyukai Erika, namun ia sedikit merasa cemas dan khawatir. Akhirnya tanpa berfikir panjang, Axcel segera membawa Erika ke rumah sakit.Axcel menunggu dokter dengan cemas, ia duduk seorang diri di sebuah kursi panjang yang berada di sebrang pintu UGD. Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya dokter keluar dari ruang perawatan. Axcel segera menghampiri dokter, "Bagaimana keadaan Erika, Dok?" tanyanya cemas, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam.Dokter tersenyum tipis, "Nyonya baik-baik saja. Ia hanya mengalami kelelahan dan tekanan darahnya sedikit rendah. Ia perlu istirahat yang cukup."Axcel menghela napas lega, "Syukurlah. Terima kasih, Dok.""Sama-sama," jawab dokter. "Namun, ada beberapa hal yang harus Anda perhatikan. Sebagai calon ayah, seharusnya anda harus—""Sebentar, Dok," ucap Ax
"Adnessa?!" Revan sangat terkejut. Suaranya terdengar cukup keras melihat Adnessa yang terjatuh setelah bertabrakan dengan seseorang. Ia merasakan jantungnya berdebar kencang, khawatir dengan keadaan Adnessa.Begitu pun dengan Aldynata. Walaupun tidak seheboh Revan, ia juga khawatir dengan keadaan Adnessa. Matanya menatap Adnessa dengan tatapan cemas, dan ia tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak segera berlari ke arah Adnessa. Memastikan jika gadis itu baik-baik saja.Melihat kejadian itu, Aldynata dan Revan segera berlari menghampiri Adnessa. Ingin memastikan keadaan Adnessa. Mereka berdua sama-sama khawatir dan ingin melindungi Adnessa.Sedangkan Adnessa, gadis itu masih terdiam melihat kehadiran Erika di sana. Ternyata, gadis yang bertabrakan dengannya tadi adalah Erika. Adnessa merasa terkejut dan tidak nyaman dengan kehadiran Erika.Namun, semua rasa ketidanyamananya teraihkan setelah melihat Axcel juga berada disana. Entah dari mana, pria itu berasal yang pasti, Axcel melang
Setelah perdebatan panjang antara Revan dan Aldynata yang berebut untuk mengajak Adnessa makan siang. Adnessa yang tidak sanggup melihat betapa hebohnya dua pria dewasa di depannya ini, akhirnya memutuskan untuk menerima ajakan mereka berdua. Ia merasa pusing dengan perdebatan mereka, dan ia ingin segera makan.Kehebohan Revan dan juga Aldynata ternyata tidak hanya sampai di situ. Ketika mobil yang mereka tumpangi berhenti di basement salah satu pusat perbelanjaan dan pertokoan elit di kota itu. CEO dan dosen tampan itu kembali berebut untuk membukakan pintu untuk Adnessa."Biar saya saja, Dy," ucap Revan, suaranya terdengar tegas. Ia merasa sebagai orang yang lebih dekat dengan Adnessa, lebih tepatnya sebagai kekasih gadis itu, ia merasa lebih pantas membukakan pintu untuk Adnessa."Tidak, saya yang akan membukakan pintu untuknya," balas Aldynata, suaranya terdengar dingin. Ia merasa sebagai CEO perusahaan tempat Adnessa magang, ia berhak memperlakukannya dengan baik."Ckkkk." Adness
Debaran yang tadinya sudah mulai normal, kembali tidak beraturan setelah mendengar suara Aldynata yang menghentikannya. Apa aku membuat kesalahan? Batin Adnessa bimbang."Makan dengan saya," ucap Aldynata seolah tidak menerima penolakan, suaranya terdengar datar namun tegas, "setelah itu, kamu baru boleh pergi!"Adnessa terdiam, menatap Aldynata dengan tatapan bingung. Ia merasa aneh dengan permintaan Aldynata. Mengapa CEO perusahaan sebesar Wijaya Group mengajaknya makan siang?"Tapi, Pak..." Adnessa mencoba menolak dengan halus, suaranya terdengar ragu. Ia merasa tidak nyaman dengan ajakan Aldynata."Tidak ada tapi-tapian," potong Aldynata, suaranya terdengar dingin. "Saya sudah memutuskan, kamu akan makan siang dengan saya."Adnessa menelan ludah, merasa terintimidasi dengan sikap Aldynata. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia merasa terjebak dalam situasi yang tidak nyaman."Kalau kamu bersedia, maka saya akan memberi satu nilai plus. Bukannya itu sangat baik? Cukup membantu penila
"Denger-denger, hari ini penguji yang datang adalah CEO Wijaya Group sendiri!" ucap Laluna, matanya membulat penuh antusias, seolah sedang membicarakan bintang film terkenal."Yang benar?" tanya Fransisca tidak percaya, alisnya terangkat, menandakan keraguan yang besar."Beneran, anak-anak yang mendaftar di perusahaan itu banyak yang cabut. Katanya CEO itu terkenal galak!" Laluna mengangguk-angguk, memperkuat ucapannya dengan nada meyakinkan."Tapi katanya CEO-nya muda, ya?" tanya Fransisca lagi, penasaran, membayangkan sosok CEO muda yang karismatik.Laluna mengangguk, "Hmmm.""Yang penting ganteng, gak, sih?!" sahut Fransisca yang justru menjawab dengan sebuah candaan, tawanya terdengar renyah, mencairkan suasana tegang."Biar pun ganteng, tapi... Mau dibawa ke mana-mana tetep gantengan Pak Revan!" sahut Laluna, matanya berbinar-binar, membayangkan ketampanan dosen favorit mereka."Kalian sedang ngomongin apa?!" tanya Adnessa yang baru saja menyusul langkah sahabatnya, akibat Revan