Erika duduk dengan anggun di sofa beludru merahnya, kakinya menyilang dengan elegan. Ekspresinya tenang, nyaris tanpa ekspresi, saat mendengarkan laporan dari tangan kanannya tentang kegagalan rencana menyingkirkan Adnessa dari sisi Axcel. Cahaya lampu kristal di atasnya memantul di rambut hitam legamnya yang tergerai, memberikan kesan dingin dan misterius. Setiap detail di ruangan itu, dari lukisan-lukisan mahal hingga karpet Persia di bawah kakinya, memancarkan kekayaan dan kekuasaan.Namun, ketenangan itu hanya topeng. Di balik mata hitamnya yang tajam, amarah mendidih. Ketika tangan kanannya menyelesaikan laporan dengan kalimat "...dan Nona Adnessa berhasil lolos tanpa cedera," Erika tidak bisa lagi menahan gejolak emosinya.PRANGGGG.Gelas kristal berisi wine merah yang sedari tadi dipegangnya hancur berkeping-keping di lantai marmer. Pecahan kaca dan cairan merah membasahi karpet, kontras dengan kesunyian ruangan sebelumnya. Suara pecahan kaca itu begitu keras hingga memecah keh
Suasana di ruang makan pagi itu benar-benar hening, sebuah keheningan yang tegang dan menusuk. Adnessa merasa sangat canggung berada di antara dua pria yang sedari tadi saling melempar tatapan, sesekali melirik ke arahnya. Tentu saja, siapa lagi kalau bukan Axcel dan Revan. Biasanya, Adnessa akan bersikap acuh tak acuh, bahkan kepada kedua pria ini. Namun, entah mengapa kali ini ia merasakan sesuatu yang berbeda. Ada semacam medan magnet tak terlihat yang menarik dan mendorong kedua pria itu, dan ia merasa terjebak di tengahnya."Ka-kalian tidak makan?" tanya Adnessa dengan suara lirih, mencoba memecah keheningan yang mencekam. Ia menatap Axcel dan Revan bergantian, matanya memohon agar salah satu dari mereka bersikap normal."Kamu mau makan apa? Biar saya ambilkan!" tanya Revan dengan senyum yang dipaksakan. Ia berusaha menampilkan keramahan, namun matanya tetap waspada, sesekali melirik Axcel. Ada nada persaingan yang kentara dalam suaranya.Axcel, yang melihat kekasihnya diperhatik
"Berarti... Lo, dong setannya?!" sahut Axcel berusaha menahan diri. Nada suaranya sedikit meninggi, menunjukkan bahwa ia tidak senang dengan ide Revan. Sebenarnya ia sangat keberatan jika sahabatnya itu benar-benar menginap di sini, karena pastinya ruang geraknya dengan Adnessa akan sangat terbatas. Ia tidak bisa lagi bebas berinteraksi dengan Adnessa seperti biasanya. Tapi mau bagaimana lagi, jika ia menolaknya mentah-mentah, bukannya malah akan menimbulkan kecurigaan yang lebih besar? Ia harus mencari cara lain untuk mengatasi situasi ini.Revan mengedikkan bahunya dengan santai, seolah tidak peduli dengan keberatan Axcel. "Tidak masalah, gue tipe setan yang beda dari setan-setan lainnya," Revan tersenyum lebar, mencoba mencairkan suasana dengan sedikit bercanda. "Khusus menuntun ke arah kebaikan!" timpalnya dengan nada jenaka, namun matanya tetap menatap Axcel dengan intens, seolah ingin melihat reaksinya."Mana ada..." gumam Axcel pelan, memutar bola matanya. Ia merasa jengkel den
Di sepanjang perjalanan, bukan sekali dua kali Axcel menggoda Adnessa. Godaan-godaan kecilnya, yang biasanya disambut dengan tawa atau senyum malu oleh Adnessa, kini justru membuatnya kesal. Kadang, Adnessa hanya tersipu, namun kali ini, kesabarannya tampaknya sudah habis."Pffftttttt, sayang!" panggil Axcel dengan suara lembut, mencoba mencairkan suasana dan melihat Adnessa yang sedari tadi enggan menatap ke arahnya. Ia berusaha meraih tangan Adnessa, bermaksud menggenggamnya seperti biasa.Namun, Adnessa dengan cepat dan tegas menghindari tangan Axcel yang hendak menyentuhnya. "Jangan menyentuhku," ucapnya dengan nada dingin dan tanpa menatap ke arah Axcel. Matanya tetap fokus ke jalan di depan. Sikap dingin dan penolakan Adnessa ini membuat Axcel perlahan merasa ketar-ketir, takut jika Adnessa benar-benar marah kepadanya. Ia mulai merasa bersalah."Sayang, apa kamu marah?" tanya Axcel dengan suara yang lebih pelan dan hati-hati, mencoba meredakan situasi. Ia menatap Adnessa dengan
Adnessa, yang sebelumnya selalu mempertimbangkan apa yang akan ia lakukan, kali ini tampaknya telah menyadari sesuatu yang penting. 'Untuk apa aku menyembunyikan hubungan ini dari Erika, bukannya dia juga sudah mengetahuinya?!' batin Adnessa, sebuah kesadaran yang membuatnya merasa bodoh karena telah bersikap ragu selama ini.Adnessa tersenyum tipis, menertawakan kekonyolannya selama ini. Ia merasa lega telah mengambil keputusan. Ia mundur selangkah, mensejajarkan dirinya dengan Axcel, dan dengan sengaja, perlahan namun pasti, Adnessa menggenggam tangan Axcel. Tatapan mereka bertemu, saling beradu, memancarkan aura kasih sayang dan keyakinan di antara mereka. Genggaman tangan itu adalah deklarasi tanpa kata, sebuah pernyataan yang jelas bagi Erika."Apa maksud kalian, seperti itu?!" tanya Erika dengan tatapan penuh kebingungan dan sedikit marah, menatap Adnessa dan Axcel bergantian. Ia tidak menyangka akan melihat pemandangan seperti ini, melihat gadis yang berstatus adik tiri Axcel i
"Selamat pagi, Pak Revan!" sapa Laluna dengan semangat dan senyum yang mengembang sempurna ketika berpapasan dengan Revan di koridor kampus. Ia berharap sapaannya akan disambut seperti biasa, dengan senyum tipis atau setidaknya anggukan kepala dari dosen tampan yang menjadi idola di kampus itu.Alih-alih mendapat balasan yang ramah, Laluna justru menerima tatapan dingin dan acuh dari Revan. Tatapan itu sekilas, namun cukup untuk membuatnya terkejut dan bingung. Revan bahkan tidak memperlambat langkahnya, ia terus berjalan seolah Laluna tidak ada di sana. Hal ini tentu saja berbeda dengan sikap Revan biasanya, yang meskipun terkesan dingin, tetap sopan dan menghargai sapaan mahasiswa.Laluna mengerutkan keningnya, menatap punggung Revan yang semakin menjauh. Ia menoleh ke Fransisca yang berdiri di sampingnya, dengan ekspresi bingung dan sedikit kecewa. "Ehhh, ada apa dengan Pak Revan?!" tanyanya dengan nada heran.Fransisca mengedikkan bahunya, ia juga merasa bingung dengan sikap Revan
Adnessa memasuki ruangan Revan dengan langkah ragu, telapak tangannya sedikit berkeringat. Udara di dalam ruangan terasa lebih dingin dan formal, sangat kontras dengan kehangatan dan canda tawa yang baru beberapa jam lalu ia rasakan di kediaman Hansel. Aroma maskulin bercampur aroma kertas dan tinta khas ruangan dosen menyambutnya. Revan duduk di kursi kerjanya, membelakanginya sejenak, menatap keluar jendela besar yang menampilkan pemandangan kampus yang mulai sepi.Punggung Revan terlihat tegang. Kini, saat pria itu berbalik, Adnessa melihat raut wajahnya yang lebih diam, garis-garis halus di sekitar matanya tampak lebih dalam, dan mata yang biasanya teduh kini terlihat menyimpan sesuatu yang sulit dibaca, seperti mendung yang menggantung sebelum hujan. Apa aku melihat orang yang salah? batin Adnessa, merasakan perbedaan sikap Revan yang begitu kentara. Perasaan tidak enak mulai menyelimutinya, perutnya terasa sedikit mulas."Kemari," ucap Revan datar, tanpa senyum sedikit pun, menu
Revan mengalihkan pandangannya, menangkap ketidaknyamanan yang terpancar dari wajah Adnessa. Ia menyadari gadis di depannya ini benar-benar tidak memahami gejolak yang tengah ia rasakan. Sebuah desahan lolos dari bibirnya. "Sudahlah," ucap Revan dengan nada pasrah, mengakhiri percakapan yang terasa hambar.Adnessa, yang tadinya menanti dengan penasaran apa gerangan hal penting yang ingin disampaikan dosen yang terkenal killer di kampus ini, merasa sedikit kecewa sekaligus bingung. Kira-kira siapa, ya, yang membuat Pak Revan seperti ini? batin Adnessa, menerka-nerka tanpa bisa menemukan jawaban yang pasti.Mata Revan kembali tertuju pada formulir magang di atas meja, mencoba menyembunyikan kekecewaan dan rasa yang mengganjal di hatinya. Sejujurnya, tujuan ia memanggil Adnessa ke ruangannya bukan semata-mata untuk membahas formulir itu. Ia ingin mencari kejelasan tentang hubungannya dengan Axcel. Namun, setelah mempertimbangkan kembali, ia merasa terlalu gegabah jika langsung bertanya.
Baru saja Adnessa memasuki rumah, ia sudah di suguhi dengan suasaa hening dan mencekam. Terlihat, ayah, ibu, Axcel, dan Erika duduk di sofa yang berada di ruangan itu dengan wajah serius, entah hal serius apa yang mereka bicarakan? Namun, sedikit pun ia tidak tertarik untuk mengetahuinya."Sore, Ma, Pa!" sapanya ketika melewati mereka. Dengan tatapan setengah kosong, mungkin saja kalut dengan masalahnya. Adnessa melangkahkan kakinya menaiki anak tangga."Ada apa dengannya, Pa?!" tanya Margaretha, cemas dengan sikap Adnessa yang tidak seperti biasanya. Terlihat sekali jika gadis itu memiliki banyak masalah.Jhonatan menggeleng pelan. Sama seperti istrinya, ia juga penasaran kenapa putrinya bersikap aneh. "Nessa?!" panggil Jhonatan.Adnessa yang telah berada di pertengahan anak tangga menghentikan langkahnya, mendengar suara Jhonatan memanggilnya. "Iya. Ada apa, Pa?!""Kemari, ada yang perlu Papa bicarakan denganmu!" ucap Jhonatan.'Apa yang ingin Papa katakan?!' batinnya bertanya-tanya
Menurutnya, ini adalah hari terburuk untuknya. Konsekuensi ini, sebenarnya ia tidak akan pernah mempermasalahkan, karena biar bagaimanapun anak ini hadir atas perbuatannya yang dengan sadar menjalin hubungan terlarang dengan Axcel, kakak tirinya. Namun, kenapa ini harus terjadi sekarang? Disaat semua sudah berakhir. Disaat semua telah memilih jalannya masing-masing.'Apa yang akan aku katakan kepada Pak Revan nanti?!' batinnya gelisah. Sedikit pun, ia tidak memiliki nyali untuk menghadapi Revan. Apalagi melihat sikap pria itu yang saat ini berubah menjadi murung setelah mengetahui kehamilannya. Bagaimana tidak, pria mana yang tidak akan terkejut melihat kekasihnya hamil? Apalagi, Revan tidak pernah sedikit pun menyentuh Adnessa."Emmm, P-Pak? Anda duluan saja! Biar nanti saya pulang naik taksi saja," ucap Adnessa, ketika mereka telah berada di depan gedung rumah sakit.Walaupun setelah mengetahui kebenarannya tadi Revan tidak mengatakan hal apa pun, tapi ia sudah bisa menebak isi hati
Revan yang melihat perubahan dari Adnessa membuatnya khawatir. Ia mengikuti Adnessa yang berjalan tergesa-gesa menuju toilet dengan sebelah tangan membekap mulutnya, seolah menahan gejolak dari dalam perutnya.Ada apa dengannya? Segudang asumsi mengenai Adnessa,tiba-tiba muncul dikepalanya. 'Apa mungkin dia...' batinnya menggantung. Revan menggelengkan kepalanya, berusaha menolak kenyataan terburuk yang muncul di pikirannya. Tapi gejala yang muncul tiba-tiba ini ... Mungkinkah Adnessa tengah hamil? Revan berdiri di samping pintu toilet, menyandarkan tubuhnya di dinding yang berada tepat di samping pintu, menunggu Adnessa dengan setia. Kehadirannya di sana, menyita perhatian semua orang yang berlalu-lalang menuju toilet dengan ekspresi yang berbeda-beda. Namun, Revan tak menghiraukannya, di dalam otaknya hanya dipenuhi dengan Adnessa. Membuatnya bersikap acuh dengan kondisi di sekitar."Astaga. Pak Revan kenapa berdiri di sini?!" Adnessa yang baru saja keluar dari dalam toilet terkeju
Pada akhirnya, hari itu Adnessa, Revan, dan Aldynata memutuskan untuk makan sore, pengganti makan siang yang telah terlewatkan. Dua pria dengan status tidak biasa itu terlihat dengan santai mengikuti kemauan Adnessa.Perjalanan menuju restoran sushi seperti yang diminta oleh Adnessa hanya memerlukan waktu beberapa menit dari rumah sakit di mana Adnessa diperiksa tadi. Mobil yang mereka tumpangi akhirnya berhenti. Lagi-lagi Revan dan Aldynata berlomba-lomba untuk membukakan pintu untuk Adnessa."Dy, sebaiknya lo tidak perlu repot-repot! Adnessa itu cewek gue, gue yang lebih berhak untuk memperhatikannya!" ucap Revan to the point, malas untuk berdebat dengan sahabatnya itu dan membuat Adnessa kembali tidak nyaman.Aldynata yang tadinya sudah mengulurkan tangan bermaksud untuk membukakan pintu untuk Adnessa akhirnya mengurungkan niatnya, 'Iya juga, tapi... Kenapa gue jadi sepeduli ini dengan Adnessa?!' batinnya yang baru saja menyadari hal aneh dalam dirinya.Kali ini, tidak ada perdebat
Sore itu, Axcel dan Erika yang sudah berencana fitting gaun pernikahan, akhirnya membatalkan janji itu setelah sebuah kejadian di mana Erika tiba-tiba pingsan. Walaupun Axcel tidak menyukai Erika, namun ia sedikit merasa cemas dan khawatir. Akhirnya tanpa berfikir panjang, Axcel segera membawa Erika ke rumah sakit.Axcel menunggu dokter dengan cemas, ia duduk seorang diri di sebuah kursi panjang yang berada di sebrang pintu UGD. Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya dokter keluar dari ruang perawatan. Axcel segera menghampiri dokter, "Bagaimana keadaan Erika, Dok?" tanyanya cemas, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam.Dokter tersenyum tipis, "Nyonya baik-baik saja. Ia hanya mengalami kelelahan dan tekanan darahnya sedikit rendah. Ia perlu istirahat yang cukup."Axcel menghela napas lega, "Syukurlah. Terima kasih, Dok.""Sama-sama," jawab dokter. "Namun, ada beberapa hal yang harus Anda perhatikan. Sebagai calon ayah, seharusnya anda harus—""Sebentar, Dok," ucap Ax
"Adnessa?!" Revan sangat terkejut. Suaranya terdengar cukup keras melihat Adnessa yang terjatuh setelah bertabrakan dengan seseorang. Ia merasakan jantungnya berdebar kencang, khawatir dengan keadaan Adnessa.Begitu pun dengan Aldynata. Walaupun tidak seheboh Revan, ia juga khawatir dengan keadaan Adnessa. Matanya menatap Adnessa dengan tatapan cemas, dan ia tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak segera berlari ke arah Adnessa. Memastikan jika gadis itu baik-baik saja.Melihat kejadian itu, Aldynata dan Revan segera berlari menghampiri Adnessa. Ingin memastikan keadaan Adnessa. Mereka berdua sama-sama khawatir dan ingin melindungi Adnessa.Sedangkan Adnessa, gadis itu masih terdiam melihat kehadiran Erika di sana. Ternyata, gadis yang bertabrakan dengannya tadi adalah Erika. Adnessa merasa terkejut dan tidak nyaman dengan kehadiran Erika.Namun, semua rasa ketidanyamananya teraihkan setelah melihat Axcel juga berada disana. Entah dari mana, pria itu berasal yang pasti, Axcel melang
Setelah perdebatan panjang antara Revan dan Aldynata yang berebut untuk mengajak Adnessa makan siang. Adnessa yang tidak sanggup melihat betapa hebohnya dua pria dewasa di depannya ini, akhirnya memutuskan untuk menerima ajakan mereka berdua. Ia merasa pusing dengan perdebatan mereka, dan ia ingin segera makan.Kehebohan Revan dan juga Aldynata ternyata tidak hanya sampai di situ. Ketika mobil yang mereka tumpangi berhenti di basement salah satu pusat perbelanjaan dan pertokoan elit di kota itu. CEO dan dosen tampan itu kembali berebut untuk membukakan pintu untuk Adnessa."Biar saya saja, Dy," ucap Revan, suaranya terdengar tegas. Ia merasa sebagai orang yang lebih dekat dengan Adnessa, lebih tepatnya sebagai kekasih gadis itu, ia merasa lebih pantas membukakan pintu untuk Adnessa."Tidak, saya yang akan membukakan pintu untuknya," balas Aldynata, suaranya terdengar dingin. Ia merasa sebagai CEO perusahaan tempat Adnessa magang, ia berhak memperlakukannya dengan baik."Ckkkk." Adness
Debaran yang tadinya sudah mulai normal, kembali tidak beraturan setelah mendengar suara Aldynata yang menghentikannya. Apa aku membuat kesalahan? Batin Adnessa bimbang."Makan dengan saya," ucap Aldynata seolah tidak menerima penolakan, suaranya terdengar datar namun tegas, "setelah itu, kamu baru boleh pergi!"Adnessa terdiam, menatap Aldynata dengan tatapan bingung. Ia merasa aneh dengan permintaan Aldynata. Mengapa CEO perusahaan sebesar Wijaya Group mengajaknya makan siang?"Tapi, Pak..." Adnessa mencoba menolak dengan halus, suaranya terdengar ragu. Ia merasa tidak nyaman dengan ajakan Aldynata."Tidak ada tapi-tapian," potong Aldynata, suaranya terdengar dingin. "Saya sudah memutuskan, kamu akan makan siang dengan saya."Adnessa menelan ludah, merasa terintimidasi dengan sikap Aldynata. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia merasa terjebak dalam situasi yang tidak nyaman."Kalau kamu bersedia, maka saya akan memberi satu nilai plus. Bukannya itu sangat baik? Cukup membantu penila
"Denger-denger, hari ini penguji yang datang adalah CEO Wijaya Group sendiri!" ucap Laluna, matanya membulat penuh antusias, seolah sedang membicarakan bintang film terkenal."Yang benar?" tanya Fransisca tidak percaya, alisnya terangkat, menandakan keraguan yang besar."Beneran, anak-anak yang mendaftar di perusahaan itu banyak yang cabut. Katanya CEO itu terkenal galak!" Laluna mengangguk-angguk, memperkuat ucapannya dengan nada meyakinkan."Tapi katanya CEO-nya muda, ya?" tanya Fransisca lagi, penasaran, membayangkan sosok CEO muda yang karismatik.Laluna mengangguk, "Hmmm.""Yang penting ganteng, gak, sih?!" sahut Fransisca yang justru menjawab dengan sebuah candaan, tawanya terdengar renyah, mencairkan suasana tegang."Biar pun ganteng, tapi... Mau dibawa ke mana-mana tetep gantengan Pak Revan!" sahut Laluna, matanya berbinar-binar, membayangkan ketampanan dosen favorit mereka."Kalian sedang ngomongin apa?!" tanya Adnessa yang baru saja menyusul langkah sahabatnya, akibat Revan