Adnessa, yang sebelumnya selalu mempertimbangkan apa yang akan ia lakukan, kali ini tampaknya telah menyadari sesuatu yang penting. 'Untuk apa aku menyembunyikan hubungan ini dari Erika, bukannya dia juga sudah mengetahuinya?!' batin Adnessa, sebuah kesadaran yang membuatnya merasa bodoh karena telah bersikap ragu selama ini.Adnessa tersenyum tipis, menertawakan kekonyolannya selama ini. Ia merasa lega telah mengambil keputusan. Ia mundur selangkah, mensejajarkan dirinya dengan Axcel, dan dengan sengaja, perlahan namun pasti, Adnessa menggenggam tangan Axcel. Tatapan mereka bertemu, saling beradu, memancarkan aura kasih sayang dan keyakinan di antara mereka. Genggaman tangan itu adalah deklarasi tanpa kata, sebuah pernyataan yang jelas bagi Erika."Apa maksud kalian, seperti itu?!" tanya Erika dengan tatapan penuh kebingungan dan sedikit marah, menatap Adnessa dan Axcel bergantian. Ia tidak menyangka akan melihat pemandangan seperti ini, melihat gadis yang berstatus adik tiri Axcel i
"Selamat pagi, Pak Revan!" sapa Laluna dengan semangat dan senyum yang mengembang sempurna ketika berpapasan dengan Revan di koridor kampus. Ia berharap sapaannya akan disambut seperti biasa, dengan senyum tipis atau setidaknya anggukan kepala dari dosen tampan yang menjadi idola di kampus itu.Alih-alih mendapat balasan yang ramah, Laluna justru menerima tatapan dingin dan acuh dari Revan. Tatapan itu sekilas, namun cukup untuk membuatnya terkejut dan bingung. Revan bahkan tidak memperlambat langkahnya, ia terus berjalan seolah Laluna tidak ada di sana. Hal ini tentu saja berbeda dengan sikap Revan biasanya, yang meskipun terkesan dingin, tetap sopan dan menghargai sapaan mahasiswa.Laluna mengerutkan keningnya, menatap punggung Revan yang semakin menjauh. Ia menoleh ke Fransisca yang berdiri di sampingnya, dengan ekspresi bingung dan sedikit kecewa. "Ehhh, ada apa dengan Pak Revan?!" tanyanya dengan nada heran.Fransisca mengedikkan bahunya, ia juga merasa bingung dengan sikap Revan
Adnessa memasuki ruangan Revan dengan langkah ragu, telapak tangannya sedikit berkeringat. Udara di dalam ruangan terasa lebih dingin dan formal, sangat kontras dengan kehangatan dan canda tawa yang baru beberapa jam lalu ia rasakan di kediaman Hansel. Aroma maskulin bercampur aroma kertas dan tinta khas ruangan dosen menyambutnya. Revan duduk di kursi kerjanya, membelakanginya sejenak, menatap keluar jendela besar yang menampilkan pemandangan kampus yang mulai sepi.Punggung Revan terlihat tegang. Kini, saat pria itu berbalik, Adnessa melihat raut wajahnya yang lebih diam, garis-garis halus di sekitar matanya tampak lebih dalam, dan mata yang biasanya teduh kini terlihat menyimpan sesuatu yang sulit dibaca, seperti mendung yang menggantung sebelum hujan. Apa aku melihat orang yang salah? batin Adnessa, merasakan perbedaan sikap Revan yang begitu kentara. Perasaan tidak enak mulai menyelimutinya, perutnya terasa sedikit mulas."Kemari," ucap Revan datar, tanpa senyum sedikit pun, menu
Revan mengalihkan pandangannya, menangkap ketidaknyamanan yang terpancar dari wajah Adnessa. Ia menyadari gadis di depannya ini benar-benar tidak memahami gejolak yang tengah ia rasakan. Sebuah desahan lolos dari bibirnya. "Sudahlah," ucap Revan dengan nada pasrah, mengakhiri percakapan yang terasa hambar.Adnessa, yang tadinya menanti dengan penasaran apa gerangan hal penting yang ingin disampaikan dosen yang terkenal killer di kampus ini, merasa sedikit kecewa sekaligus bingung. Kira-kira siapa, ya, yang membuat Pak Revan seperti ini? batin Adnessa, menerka-nerka tanpa bisa menemukan jawaban yang pasti.Mata Revan kembali tertuju pada formulir magang di atas meja, mencoba menyembunyikan kekecewaan dan rasa yang mengganjal di hatinya. Sejujurnya, tujuan ia memanggil Adnessa ke ruangannya bukan semata-mata untuk membahas formulir itu. Ia ingin mencari kejelasan tentang hubungannya dengan Axcel. Namun, setelah mempertimbangkan kembali, ia merasa terlalu gegabah jika langsung bertanya.
Setelah memberikan pelajaran yang cukup membuat Devita dan kawan-kawannya bungkam dan ketakutan karena mencoba mencelakai Adnessa, Revan memutuskan untuk mengantar gadis itu pulang dengan mobil sedan hitamnya yang bersih dan rapi. Interior mobilnya beraroma maskulin bercampur aroma kopi yang samar."Apa… tidak sebaiknya kita pergi ke rumah sakit?" tanya Revan dengan nada cemas yang kentara, begitu mereka duduk di dalam mobil. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Adnessa, mengamati beberapa goresan merah dan memar kecil yang mulai membiru di pergelangan tangan dan punggung tangan Adnessa, bekas cengkeraman kuku Devita. Melihat luka-luka itu, Revan merasakan nyeri di dadanya, seolah ia sendiri yang terluka. Ia tidak terima melihat gadis yang diam-diam ia sukai terluka seperti ini. Rasa bersalah dan khawatir bercampur aduk di benaknya.Adnessa tersenyum kikuk, matanya melirik sekilas ke arah luka di tangannya sebelum kembali menatap Revan. Ia menyadari kekhawatiran yang terpancar da
"Sebenarnya aku juga tidak ingin mengganggu kamu, Axcel," ucap Erika dengan nada yang tak kalah emosi, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya namun ia berusaha menahannya. Ia merasa harga dirinya terluka diperlakukan kasar oleh Axcel di depan rumah Hansel. "Tapi kamu sendiri yang memaksa aku untuk nekat melakukan ini semua!" Ia berusaha sekuat tenaga melepaskan cengkraman tangan Axcel yang membawanya paksa keluar dari kediaman Hansel, namun cengkraman itu terlalu kuat.Axcel akhirnya melepaskan genggamannya, dengan sorot mata yang penuh amarah dan kekecewaan menatap Erika. Ia menghela napas panjang, mencoba meredam emosinya. Untung saja hari ini ia berinisiatif untuk pulang lebih awal, berniat memberikan kejutan kepada Adnessa. Namun, sesampainya di rumah, ia justru disambut oleh pemandangan Erika yang sedang menunggu di depan rumah. Walaupun wanita di depannya ini sangat merepotkan dan sering membuatnya frustrasi, Axcel merasa lega karena ia lebih dulu yang bertemu dengan Erika
Revan tidak menunjukkan ekspresi yang berarti setelah mendengar kalimat Erika. Ia hanya menoleh perlahan, mengalihkan pandangannya dari Erika ke Axcel, lalu ke Adnessa, dan kembali lagi ke Axcel. Matanya mengamati mereka berdua dengan seksama, mencoba membaca raut wajah dan bahasa tubuh mereka. Ternyata, dugaanku selama ini benar, batin Revan, sebuah kekecewaan yang dalam menyentuh hatinya, meskipun ia berusaha keras untuk tidak menunjukkannya. Ia sudah lama mencurigai ada sesuatu yang lebih dari sekadar persaudaraan di antara Axcel dan Adnessa, dan kini Erika telah mengkonfirmasi dugaannya tersebut."Gue bisa jelasin ini semua, Van!" ucap Axcel memecah keheningan yang mulai terasa menyesakkan. Ia merasa tatapan Revan padanya begitu intens dan sulit diartikan, membuatnya merasa bersalah dan ingin segera menjelaskan duduk perkaranya.Revan menaikkan sebelah alisnya, sebuah gerakan yang familiar dan sering ia lakukan saat ia merasa tidak percaya atau meremehkan sesuatu. Pria berparas ta
Revan dan Axcel terlihat antusias, meskipun dengan cara yang berbeda, menunggu jawaban Adnessa setelah Revan melempar pertanyaan yang membingungkan dan sekaligus mengejutkan tersebut. Revan menatap Adnessa dengan tatapan penuh harap, sementara Axcel menatapnya dengan campuran cemas dan pasrah.Bagaimana ini? Adnessa terlihat sangat bimbang, pikirannya berkecamuk. Ia takut jika keputusannya akan menyakiti salah satu di antara mereka. Mengingat persahabatan yang terjalin erat di antara Revan dan Axcel, ia juga tidak ingin membuat keputusan yang pada akhirnya menciptakan selisih paham dan menghancurkan tali persahabatan yang begitu berharga bagi keduanya. Ia merasa terjebak di antara dua pilihan yang sulit.Angin yang berhembus di halaman kediaman Hansel sore itu, membawa serta aroma dedaunan dan tanah basah, seolah ikut merasakan situasi dramatis yang tengah terjadi. Rambut Adnessa yang tergerai indah, kini terlihat sedikit berantakan tersapu angin, menambah kesan rapuh pada dirinya. Ad
"Hoammm," Adnessa meregangkan otot-otot tubuhnya setelah beberapa jam beristirahat dengan nyenyak. Mengingat hari ini adalah weekend, waktu yang tepat untuknya bersantai dan memanjakan diri setelah beberapa hari menghabiskan sebagian besar waktunya untuk kuliah dan juga memikirkan tentang Revan dan Axcel. Ia merasa perlu melepaskan penat dan mengisi kembali energinya.Perlahan, Adnessa menurunkan kakinya dari ranjang yang empuk sembari menjedai simpel rambut panjangnya yang tergerai sedikit berantakan. Ia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya, membersihkan wajahnya dengan air segar serta menggosok gigi sebelum akhirnya keluar dari kamar dan memulai aktivitas paginya."Bau apa ini?!" Adnessa yang baru saja keluar dari kamar, sedikit penasaran dengan aroma sedap yang menyeruak hingga ke lantai dua rumahnya. Aroma itu sangat menggugah selera dan berhasil membuat cacing-cacing di perutnya meronta-ronta minta diisi. Ia merasa perutnya tiba-tiba lapar.Adness
Setelah semua acara yang seharusnya ia gunakan untuk bersenang-senang dengan dua sahabatnya, kini berantakan akibat ulah Axcel dan Revan, ditambah lagi Laluna dan Fransisca yang kini mencurigai hubungan di antara dirinya dan Axcel, kakak tirinya. Adnessa merasa semakin tertekan dan bingung."Jangan-jangan…" ucap Fransisca, menggantung kalimatnya, menciptakan suasana yang semakin menegangkan. Ia menatap ke arah Adnessa dengan segudang teka-teki dari sorot matanya. Entah apa yang dipikirkannya, Adnessa bisa merasakan bahwa Fransisca sedang mencoba menyusun kepingan-kepingan informasi yang ia dapatkan untuk menarik sebuah kesimpulan.Tiba-tiba, suara deru napas terdengar dari belakang Adnessa. "Ness, kenapa kamu meninggalkan saya?" tanya Revan dengan napas tersenggal-senggal, menandakan ia baru saja berlari. Diikuti oleh Axcel yang berjalan di belakangnya dengan langkah pasti dan penuh wibawa, kontras dengan Revan yang terlihat panik.Revan sangat panik setelah memenangkan taruhan biliar
"Ngaco," sangkal Adnessa. Sebenarnya ia sudah tahu bagaimana perasaan Revan kepadanya. Beberapa hari lalu, pria itu juga sudah mengakui perasaannya dengan terang terangan, bukan hanya di depannya, Revan juga mengakui perasaannya di depan Axcel. Hanya saja, ia belum berani untuk bercerita kepada dua sahabatnya ini. Mengingat, Laluna yang begitu tergila-gila dengan Revan, meskipun tidak sampai segila Devita yang sampai menyerang orang lain, Adnessa tetap merasa khawatir reaksinya akan berlebihan dan mungkin menyakitkan.Suasana di pollroom seketika berubah menjadi tegang, setelah pertandingan antara Revan dan Samudra dimulai. Sorak sorai kecil dari beberapa penonton yang tertarik dengan taruhan tersebut menambah intensitas pertandingan. Belum sampai 10 menit permainan itu dimulai, Adnessa sudah merasa tidak enak untuk menyaksikannya. Ia melihat bagaimana Revan dan Samudra saling beradu strategi dan kekuatan dengan tatapan yang serius dan fokus. Ia tidak suka melihat mereka berdua bersai
"Lo siapa?" tanya pria itu dengan nada tidak senang, tidak terima melihat Axcel menghalangi niatnya untuk mendekati Adnessa. Ia menatap Axcel dengan tatapan menantang, merasa harga dirinya diinjak."Saya?" tanya Axcel dengan senyum miring yang memperlihatkan sedikit ejekan, seraya menunjuk ke arah dirinya sendiri dengan ekspresi seolah menahan tawa. Ia merasa geli dengan keberanian pria itu yang mencoba mendekati Adnessa di depannya.'Aduh,' Adnessa mulai berkeringat dingin, jantungnya berdebar tidak karuan. Ia merasa sangat khawatir jika Axcel lepas kendali dan mengatakan hubungan mereka yang sesungguhnya di depan umum. Ia melirik Laluna dan Fransisca sekilas, melihat ekspresi bingung mereka. 'Apa yang akan mereka pikirkan nanti?' batinya cemas, membayangkan reaksi kedua sahabatnya jika mengetahui hubungannya dengan Axcel."Stop, minggir!" ucap Revan dengan nada tenang namun tegas. Ia dengan santainya berjalan di antara Axcel dan pria itu, seolah memberikan jarak agar mereka semakin b
"Kalian serius mau ikut?" tanya Adnessa kepada Axcel dan Revan, dengan nada yang masih tidak percaya bahwa dua orang itu benar-benar mengikutinya sampai ke tempat ini. Ia menatap mereka berdua dengan tatapan menyelidik, mencoba memastikan bahwa mereka tidak sedang bercanda.Axcel dan Revan mengangguk bersamaan, dengan wajah yang terlihat sedikit kelelahan karena berlari kecil mengikuti langkah Adnessa yang cukup cepat. Mereka berdua memasang senyum meyakinkan, menunjukkan bahwa mereka serius dengan keinginan mereka untuk ikut.Adnessa menghela napas panjang, merasa sedikit pasrah dengan situasi ini. 'Kira-kira, kekacauan apa lagi yang akan mereka buat nanti?' batinnya, dengan sedikit rasa khawatir membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi dengan kehadiran dua pria ini di poolroom. Ia mengalihkan pandangannya dari Axcel dan Revan dan menatap ke arah gedung di depannya.Ingin rasanya Adnessa menolak kedua pria ini agar tidak ikut dengannya. Ia merasa kehadiran mereka hanya
"Ngapain lo di situ, Van?" Axcel yang baru saja selesai mandi dan bersiap turun ke lantai bawah untuk makan malam, terkejut setelah membuka pintu kamarnya dan melihat Revan berdiri tepat di depan pintu kamar Adnessa dengan wajah yang terlihat cemas. Ia mengerutkan kening, bingung dengan kehadiran sahabatnya di sana.Sebenarnya, bukan cemas yang sepenuhnya tepat untuk menggambarkan ekspresi Revan. Lebih tepatnya, ia gelisah. Revan sedari tadi menunggu Adnessa di depan pintu kamarnya, berharap gadis itu segera keluar. Namun, karena Adnessa tak kunjung keluar, Revan menjadi tidak sabar dan khawatir. Ia sangat ingin membuka pintu itu dan memastikan keadaan Adnessa baik-baik saja, tetapi ia ragu, takut dianggap terlalu lancang dan melanggar privasi gadis itu. "Kenapa sedari tadi Adnessa tidak kunjung keluar, Xel?" tanya Revan dengan nada khawatir yang bercampur dengan rasa penasaran.Axcel menjadi sedikit cemas mendengar kalimat Revan. Ia pun ikut merasa khawatir dengan Adnessa. Tanpa berp
"Jangan bercanda, Dy," sahut Revan mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Aldy. Ia tertawa kaku, tawanya terdengar dipaksakan, dan tatapannya seolah memberi peringatan halus kepada sahabatnya itu untuk tidak meneruskan leluconnya. Ada nada tidak suka yang tersirat dalam tawanya."Tidak lucu jika kita semua menyukai gadis yang sama," timpal Axcel dengan nada lebih serius, menatap Aldy dengan tatapan antara menyelidik dan tidak percaya. Ia mencoba membaca ekspresi Aldy, mencari tahu apakah sahabatnya itu benar-benar serius dengan ucapannya."Pffftttttt, bagaimana jika gue jatuh cinta sejak pandangan pertama?" tanya Aldy dengan senyuman yang mengembang di wajahnya. Senyumnya terlihat tulus, namun ada sedikit misteri di matanya yang membuat Axcel dan Revan sedikit bingung. Dari cara berbicara Aldy saat ini, mereka berdua tidak bisa memastikan apakah ini hanya sebuah lelucon atau sahabatnya itu benar-benar menyukai Adnessa.Revan tertawa lagi, kali ini tawanya terdengar lebih lepas, me
Revan dan Axcel terlihat antusias, meskipun dengan cara yang berbeda, menunggu jawaban Adnessa setelah Revan melempar pertanyaan yang membingungkan dan sekaligus mengejutkan tersebut. Revan menatap Adnessa dengan tatapan penuh harap, sementara Axcel menatapnya dengan campuran cemas dan pasrah.Bagaimana ini? Adnessa terlihat sangat bimbang, pikirannya berkecamuk. Ia takut jika keputusannya akan menyakiti salah satu di antara mereka. Mengingat persahabatan yang terjalin erat di antara Revan dan Axcel, ia juga tidak ingin membuat keputusan yang pada akhirnya menciptakan selisih paham dan menghancurkan tali persahabatan yang begitu berharga bagi keduanya. Ia merasa terjebak di antara dua pilihan yang sulit.Angin yang berhembus di halaman kediaman Hansel sore itu, membawa serta aroma dedaunan dan tanah basah, seolah ikut merasakan situasi dramatis yang tengah terjadi. Rambut Adnessa yang tergerai indah, kini terlihat sedikit berantakan tersapu angin, menambah kesan rapuh pada dirinya. Ad
Revan tidak menunjukkan ekspresi yang berarti setelah mendengar kalimat Erika. Ia hanya menoleh perlahan, mengalihkan pandangannya dari Erika ke Axcel, lalu ke Adnessa, dan kembali lagi ke Axcel. Matanya mengamati mereka berdua dengan seksama, mencoba membaca raut wajah dan bahasa tubuh mereka. Ternyata, dugaanku selama ini benar, batin Revan, sebuah kekecewaan yang dalam menyentuh hatinya, meskipun ia berusaha keras untuk tidak menunjukkannya. Ia sudah lama mencurigai ada sesuatu yang lebih dari sekadar persaudaraan di antara Axcel dan Adnessa, dan kini Erika telah mengkonfirmasi dugaannya tersebut."Gue bisa jelasin ini semua, Van!" ucap Axcel memecah keheningan yang mulai terasa menyesakkan. Ia merasa tatapan Revan padanya begitu intens dan sulit diartikan, membuatnya merasa bersalah dan ingin segera menjelaskan duduk perkaranya.Revan menaikkan sebelah alisnya, sebuah gerakan yang familiar dan sering ia lakukan saat ia merasa tidak percaya atau meremehkan sesuatu. Pria berparas ta