"Apa semuanya sudah beres?" tanya Axcel, dengan tatapan mata yang masih terfokus tajam pada jalanan di depannya. Kedua tangannya mencengkeram erat setir mobil, buku-buku jarinya memutih. Ia mengemudi dengan kecepatan tinggi, menyusuri jalanan kota yang mulai ramai."Sudah, Pak," jawab Galih dengan nada tegas dan profesional dari seberang telepon. "Dari informasi yang saya selidiki, sepertinya ini semua adalah ulah mantan kekasih nona Adnessa," lanjutnya. Suara Galih terdengar tenang, namun Axcel bisa merasakan ketegasan dan keseriusan dalam setiap kata yang diucapkannya. Dalam waktu beberapa menit setelah Axcel memberi perintah tadi, anak buah yang ia kerahkan dengan sigap berhasil melumpuhkan orang-orang suruhan Giovan, dalang di balik semua kejadian ini.Axcel semakin mencengkeram kuat setir mobilnya. Mendengar informasi yang disampaikan Galih, amarahnya semakin memuncak. Ia membayangkan Giovan menyentuh Adnessa, menyakitinya, dan bayangan itu membuatnya mendidih. Dengan geraman ter
"Bawa dia ke markas!" perintah Axcel dengan suara dingin dan datar, membelakangi Giovan yang tergeletak babak belur di lantai, tak berdaya setelah dihajar habis-habisan oleh Axcel. Nadanya tidak menunjukkan sedikit pun emosi, namun justru itulah yang membuatnya terdengar semakin mengerikan. Setiap kata yang diucapkannya terdengar seperti vonis hukuman mati."Baik, Pak," sahut Galih dengan cepat dan sigap. Ia mengangguk kepada beberapa pengawal yang berdiri di dekatnya, memberi isyarat untuk segera bertindak. Tanpa ragu, para pengawal itu segera menghampiri Giovan yang masih mengerang kesakitan di lantai dan menyeretnya keluar dari ruangan dengan kasar. Giovan berusaha memberontak, namun tenaganya sudah habis dan ia tidak berdaya melawan cengkeraman kuat para pengawal.Axcel tidak lagi menanggapi kalimat Galih atau memperhatikan Giovan yang diseret keluar. Pikirannya hanya tertuju pada Adnessa. Dengan langkah pasti dan tenang, Axcel membersihkan darah yang menempel di tangannya menggun
Setelah keadaan Adnessa benar-benar mereda dan ia tampak lebih stabil, Axcel memutuskan untuk membawanya ke ruang ganti. Ia khawatir gadis kesayangannya itu akan sakit karena terlalu lama terkena air dingin. Dengan sangat hati-hati dan perlahan, Axcel menurunkan tubuh Adnessa di ruang ganti yang lebih hangat dan kering. "Ehemmm," Axcel berdeham kecil, merasa sedikit canggung dengan situasi ini. "Kamu ganti baju dulu, saya akan menunggu mu di luar!" ucapnya dengan nada lembut namun sedikit formal. Ia berusaha menjaga jarak dan memberikan privasi kepada Adnessa.Adnessa mengangguk pelan, matanya mengikuti punggung Axcel yang akhirnya berbalik badan dan melangkah keluar dari ruangan. Setelah memastikan Axcel benar-benar telah pergi dan punggungnya telah menghilang di balik pintu, barulah Adnessa memutar tubuhnya dan mulai mencari pakaian kering untuk dikenakan. Sebuah senyum kecil tanpa sadar terukir di bibirnya. Perlakuan Axcel yang begitu perhatian, lembut, dan penuh hormat membuatnya
Adnessa yang sempat menunduk setelah mengakui perasaannya kepada Axcel, perlahan mengangkat kembali wajahnya. Ia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian yang tersisa. "Aku menyukaimu!" ulang Adnessa dengan suara yang lebih mantap, kali ini menatap langsung ke mata Axcel yang sedari tadi menatapnya dengan intens. Matanya memancarkan kejujuran dan ketulusan, meskipun ada sedikit gugup yang masih tersisa. Detik berikutnya, tanpa ragu, ia mengecup sekilas pipi Axcel. Sentuhan lembut itu begitu singkat, namun meninggalkan jejak yang membakar di pipi Axcel dan membuat jantung Adnessa berdebar semakin kencang. Mungkin, ini sudah waktunya Adnessa mengakui perasaannya sebelum nanti menyesali segalanya. Ia telah memendam perasaan ini terlalu lama, dan ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mengungkapkan isi hatinya. Meskipun jantungnya berdebar tidak beraturan, menunggu reaksi Axcel, ia merasa lega telah mengatakannya. 'Rasanya mau pingsan,' batinnya, merasakan darahnya berdesi
Erika duduk dengan anggun di sofa beludru merahnya, kakinya menyilang dengan elegan. Ekspresinya tenang, nyaris tanpa ekspresi, saat mendengarkan laporan dari tangan kanannya tentang kegagalan rencana menyingkirkan Adnessa dari sisi Axcel. Cahaya lampu kristal di atasnya memantul di rambut hitam legamnya yang tergerai, memberikan kesan dingin dan misterius. Setiap detail di ruangan itu, dari lukisan-lukisan mahal hingga karpet Persia di bawah kakinya, memancarkan kekayaan dan kekuasaan.Namun, ketenangan itu hanya topeng. Di balik mata hitamnya yang tajam, amarah mendidih. Ketika tangan kanannya menyelesaikan laporan dengan kalimat "...dan Nona Adnessa berhasil lolos tanpa cedera," Erika tidak bisa lagi menahan gejolak emosinya.PRANGGGG.Gelas kristal berisi wine merah yang sedari tadi dipegangnya hancur berkeping-keping di lantai marmer. Pecahan kaca dan cairan merah membasahi karpet, kontras dengan kesunyian ruangan sebelumnya. Suara pecahan kaca itu begitu keras hingga memecah keh
Suasana di ruang makan pagi itu benar-benar hening, sebuah keheningan yang tegang dan menusuk. Adnessa merasa sangat canggung berada di antara dua pria yang sedari tadi saling melempar tatapan, sesekali melirik ke arahnya. Tentu saja, siapa lagi kalau bukan Axcel dan Revan. Biasanya, Adnessa akan bersikap acuh tak acuh, bahkan kepada kedua pria ini. Namun, entah mengapa kali ini ia merasakan sesuatu yang berbeda. Ada semacam medan magnet tak terlihat yang menarik dan mendorong kedua pria itu, dan ia merasa terjebak di tengahnya."Ka-kalian tidak makan?" tanya Adnessa dengan suara lirih, mencoba memecah keheningan yang mencekam. Ia menatap Axcel dan Revan bergantian, matanya memohon agar salah satu dari mereka bersikap normal."Kamu mau makan apa? Biar saya ambilkan!" tanya Revan dengan senyum yang dipaksakan. Ia berusaha menampilkan keramahan, namun matanya tetap waspada, sesekali melirik Axcel. Ada nada persaingan yang kentara dalam suaranya.Axcel, yang melihat kekasihnya diperhatik
"Berarti... Lo, dong setannya?!" sahut Axcel berusaha menahan diri. Nada suaranya sedikit meninggi, menunjukkan bahwa ia tidak senang dengan ide Revan. Sebenarnya ia sangat keberatan jika sahabatnya itu benar-benar menginap di sini, karena pastinya ruang geraknya dengan Adnessa akan sangat terbatas. Ia tidak bisa lagi bebas berinteraksi dengan Adnessa seperti biasanya. Tapi mau bagaimana lagi, jika ia menolaknya mentah-mentah, bukannya malah akan menimbulkan kecurigaan yang lebih besar? Ia harus mencari cara lain untuk mengatasi situasi ini.Revan mengedikkan bahunya dengan santai, seolah tidak peduli dengan keberatan Axcel. "Tidak masalah, gue tipe setan yang beda dari setan-setan lainnya," Revan tersenyum lebar, mencoba mencairkan suasana dengan sedikit bercanda. "Khusus menuntun ke arah kebaikan!" timpalnya dengan nada jenaka, namun matanya tetap menatap Axcel dengan intens, seolah ingin melihat reaksinya."Mana ada..." gumam Axcel pelan, memutar bola matanya. Ia merasa jengkel den
Di sepanjang perjalanan, bukan sekali dua kali Axcel menggoda Adnessa. Godaan-godaan kecilnya, yang biasanya disambut dengan tawa atau senyum malu oleh Adnessa, kini justru membuatnya kesal. Kadang, Adnessa hanya tersipu, namun kali ini, kesabarannya tampaknya sudah habis."Pffftttttt, sayang!" panggil Axcel dengan suara lembut, mencoba mencairkan suasana dan melihat Adnessa yang sedari tadi enggan menatap ke arahnya. Ia berusaha meraih tangan Adnessa, bermaksud menggenggamnya seperti biasa.Namun, Adnessa dengan cepat dan tegas menghindari tangan Axcel yang hendak menyentuhnya. "Jangan menyentuhku," ucapnya dengan nada dingin dan tanpa menatap ke arah Axcel. Matanya tetap fokus ke jalan di depan. Sikap dingin dan penolakan Adnessa ini membuat Axcel perlahan merasa ketar-ketir, takut jika Adnessa benar-benar marah kepadanya. Ia mulai merasa bersalah."Sayang, apa kamu marah?" tanya Axcel dengan suara yang lebih pelan dan hati-hati, mencoba meredakan situasi. Ia menatap Adnessa dengan
Axcel mengangkat tangannya, menghentikan Adnessa yang hendak bicara. Hembusan nafasnya berat, beban masalah hari ini terlalu menyesakkan. Ia tak sanggup lagi mendengar penjelasan Adnessa, yang mungkin hanya akan menambah luka di hatinya. Ia memilih pergi, mencari ketenangan sejenak."Apa aku keterlaluan?!" batin Adnessa panik, menatap punggung Axcel yang menjauh. Ia belum sempat menjelaskan apapun, dan kini Axcel pasti salah paham padanya. Niat mengejar Axcel urung. "Mungkin dia butuh waktu sendiri," gumamnya."Kalau begitu...kalian cepat resmikan hubungan kalian!" suara Jhonatan bagai petir di siang bolong, mengejutkan Adnessa."Apa?!" Adnessa terkejut bukan main. Perkataan Jhonatan jauh dari harapannya. "Pa...ini tidak seperti itu, Papa salah paham tentang kami!" ucap Adnessa gugup.Revan, yang sedari tadi memperhatikan Adnessa, tersenyum tipis. "Iya, Om. Kami juga tidak terburu-buru," timpalnya, berusaha membantu Adnessa. Revan tahu, hatinya belum berlabuh di hati gadis di sampingn
Axel memegang pipinya yang terasa sedikit kebas setelah mendapat tamparan dari sang ayah, Jhonatan. "Papa senang, akhirnya kamu memiliki seorang kekasih," ucap Jhonatan dengan suara yang terdengar seperti menahan kekesalan, ia menatap putranya itu dengan tatapan penuh kilat amarah. "Tapi tidak dengan adik kamu seperti ini?" lanjutnya dengan suara yang semakin rendah, entah bagaimana kekecewaannya mengetahui kebenaran hubungan antara putranya dengan Adnessa, yang berstatus sebagai saudara tirinya."Axel tahu ini salah, Pa," aku Axel dengan nada rendah, mengakui perbuatannya. "Tapi apa yang salah dengan hubungan kita? Kita saling mencintai, Pa. Tidak ada yang menginginkan hubungan seperti ini, tapi apa daya kami?!" lanjutnya, ia masih saja kekeh dengan hubungannya itu.PLAKKK.Lagi-lagi, wajah tampan Axel harus menerima tamparan dari ayahnya. Bahkan pipi kirinya terlihat sedikit lebam dan memar di sudut bibirnya. Axel menerima semua itu, mengerti kekesalan ayahnya tanpa ingin melawan se
"Ehemm," suara berat Axcel menyadarkan Adnessa yang hampir terlena oleh pesona Revan. Gadis itu berdiri tersudut di meja dapur itu karena ulah Revan yang tiba-tiba mencondongkan tubuh ke arahnya dengan niat meletakkan beberapa buah jeruk di atas meja yang di belakangi olehnya. Entah kenapa, jantung Adnessa jadi berdebar-debar tidak beraturan, ia memegang dadanya tanpa sadar dengan tatapan mata yang masih terfokus pada Revan. Adnessa mengedipkan matanya beberapa kali, segera ia bergeser untuk memberi jarak antara dirinya dan Revan yang terlalu dekat. "P-pak Revan tunggu saja di meja makan!" sahutnya sedikit gugup. Suaranya terdengar gemetar, dan pipinya memerah. Revan mengangguk, ia tersenyum sekilas ke arah Adnessa sebelum meninggalkan ruangan. Menyisakan aroma maskulinnya yang semakin menguar setelah berkeringat. "Kamu menyukainya, Ness?!" tanya Axel tiba-tiba, yang berdiri di samping Adnessa. Menatap gadis kesayangannya itu dengan perasaan campur aduk. "Hah?" binggung Adnessa yan
"Hoammm," Adnessa meregangkan otot-otot tubuhnya setelah beberapa jam beristirahat dengan nyenyak. Mengingat hari ini adalah weekend, waktu yang tepat untuknya bersantai dan memanjakan diri setelah beberapa hari menghabiskan sebagian besar waktunya untuk kuliah dan juga memikirkan tentang Revan dan Axcel. Ia merasa perlu melepaskan penat dan mengisi kembali energinya.Perlahan, Adnessa menurunkan kakinya dari ranjang yang empuk sembari menjedai simpel rambut panjangnya yang tergerai sedikit berantakan. Ia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya, membersihkan wajahnya dengan air segar serta menggosok gigi sebelum akhirnya keluar dari kamar dan memulai aktivitas paginya."Bau apa ini?!" Adnessa yang baru saja keluar dari kamar, sedikit penasaran dengan aroma sedap yang menyeruak hingga ke lantai dua rumahnya. Aroma itu sangat menggugah selera dan berhasil membuat cacing-cacing di perutnya meronta-ronta minta diisi. Ia merasa perutnya tiba-tiba lapar.Adness
Setelah semua acara yang seharusnya ia gunakan untuk bersenang-senang dengan dua sahabatnya, kini berantakan akibat ulah Axcel dan Revan, ditambah lagi Laluna dan Fransisca yang kini mencurigai hubungan di antara dirinya dan Axcel, kakak tirinya. Adnessa merasa semakin tertekan dan bingung."Jangan-jangan…" ucap Fransisca, menggantung kalimatnya, menciptakan suasana yang semakin menegangkan. Ia menatap ke arah Adnessa dengan segudang teka-teki dari sorot matanya. Entah apa yang dipikirkannya, Adnessa bisa merasakan bahwa Fransisca sedang mencoba menyusun kepingan-kepingan informasi yang ia dapatkan untuk menarik sebuah kesimpulan.Tiba-tiba, suara deru napas terdengar dari belakang Adnessa. "Ness, kenapa kamu meninggalkan saya?" tanya Revan dengan napas tersenggal-senggal, menandakan ia baru saja berlari. Diikuti oleh Axcel yang berjalan di belakangnya dengan langkah pasti dan penuh wibawa, kontras dengan Revan yang terlihat panik.Revan sangat panik setelah memenangkan taruhan biliar
"Ngaco," sangkal Adnessa. Sebenarnya ia sudah tahu bagaimana perasaan Revan kepadanya. Beberapa hari lalu, pria itu juga sudah mengakui perasaannya dengan terang terangan, bukan hanya di depannya, Revan juga mengakui perasaannya di depan Axcel. Hanya saja, ia belum berani untuk bercerita kepada dua sahabatnya ini. Mengingat, Laluna yang begitu tergila-gila dengan Revan, meskipun tidak sampai segila Devita yang sampai menyerang orang lain, Adnessa tetap merasa khawatir reaksinya akan berlebihan dan mungkin menyakitkan.Suasana di pollroom seketika berubah menjadi tegang, setelah pertandingan antara Revan dan Samudra dimulai. Sorak sorai kecil dari beberapa penonton yang tertarik dengan taruhan tersebut menambah intensitas pertandingan. Belum sampai 10 menit permainan itu dimulai, Adnessa sudah merasa tidak enak untuk menyaksikannya. Ia melihat bagaimana Revan dan Samudra saling beradu strategi dan kekuatan dengan tatapan yang serius dan fokus. Ia tidak suka melihat mereka berdua bersai
"Lo siapa?" tanya pria itu dengan nada tidak senang, tidak terima melihat Axcel menghalangi niatnya untuk mendekati Adnessa. Ia menatap Axcel dengan tatapan menantang, merasa harga dirinya diinjak."Saya?" tanya Axcel dengan senyum miring yang memperlihatkan sedikit ejekan, seraya menunjuk ke arah dirinya sendiri dengan ekspresi seolah menahan tawa. Ia merasa geli dengan keberanian pria itu yang mencoba mendekati Adnessa di depannya.'Aduh,' Adnessa mulai berkeringat dingin, jantungnya berdebar tidak karuan. Ia merasa sangat khawatir jika Axcel lepas kendali dan mengatakan hubungan mereka yang sesungguhnya di depan umum. Ia melirik Laluna dan Fransisca sekilas, melihat ekspresi bingung mereka. 'Apa yang akan mereka pikirkan nanti?' batinya cemas, membayangkan reaksi kedua sahabatnya jika mengetahui hubungannya dengan Axcel."Stop, minggir!" ucap Revan dengan nada tenang namun tegas. Ia dengan santainya berjalan di antara Axcel dan pria itu, seolah memberikan jarak agar mereka semakin b
"Kalian serius mau ikut?" tanya Adnessa kepada Axcel dan Revan, dengan nada yang masih tidak percaya bahwa dua orang itu benar-benar mengikutinya sampai ke tempat ini. Ia menatap mereka berdua dengan tatapan menyelidik, mencoba memastikan bahwa mereka tidak sedang bercanda.Axcel dan Revan mengangguk bersamaan, dengan wajah yang terlihat sedikit kelelahan karena berlari kecil mengikuti langkah Adnessa yang cukup cepat. Mereka berdua memasang senyum meyakinkan, menunjukkan bahwa mereka serius dengan keinginan mereka untuk ikut.Adnessa menghela napas panjang, merasa sedikit pasrah dengan situasi ini. 'Kira-kira, kekacauan apa lagi yang akan mereka buat nanti?' batinnya, dengan sedikit rasa khawatir membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi dengan kehadiran dua pria ini di poolroom. Ia mengalihkan pandangannya dari Axcel dan Revan dan menatap ke arah gedung di depannya.Ingin rasanya Adnessa menolak kedua pria ini agar tidak ikut dengannya. Ia merasa kehadiran mereka hanya
"Ngapain lo di situ, Van?" Axcel yang baru saja selesai mandi dan bersiap turun ke lantai bawah untuk makan malam, terkejut setelah membuka pintu kamarnya dan melihat Revan berdiri tepat di depan pintu kamar Adnessa dengan wajah yang terlihat cemas. Ia mengerutkan kening, bingung dengan kehadiran sahabatnya di sana.Sebenarnya, bukan cemas yang sepenuhnya tepat untuk menggambarkan ekspresi Revan. Lebih tepatnya, ia gelisah. Revan sedari tadi menunggu Adnessa di depan pintu kamarnya, berharap gadis itu segera keluar. Namun, karena Adnessa tak kunjung keluar, Revan menjadi tidak sabar dan khawatir. Ia sangat ingin membuka pintu itu dan memastikan keadaan Adnessa baik-baik saja, tetapi ia ragu, takut dianggap terlalu lancang dan melanggar privasi gadis itu. "Kenapa sedari tadi Adnessa tidak kunjung keluar, Xel?" tanya Revan dengan nada khawatir yang bercampur dengan rasa penasaran.Axcel menjadi sedikit cemas mendengar kalimat Revan. Ia pun ikut merasa khawatir dengan Adnessa. Tanpa berp