BYURRRRR ...
Pada akhirnya, Adnessa dan Axelio sama-sama terjatuh kedalam kolam. Axelio yang saat itu tengah memeluk Adnessa, tanpa sengaja melihat tubuh adik tirinya yang terlihat menggoda dengan keadaan yang basah kuyup, tanpa terkecuali, hingga menampakan lekuk tubuhnya yang indah, bahkan dadanya pun terlihat jelas menonjol.
'Sebenarnya, ini sebuah musibah atau berkah?!' batin Axelio seraya mengusap kasar wajahnya. Entah kenapa, Axelio menjadi sedikit gusar hingga kesulitan untuk menelan salifanya.
'Apa-apaan ini? Kenapa dia menatap ku seperti itu?' Spontan, Adnessa menyilangkan kedua tangannya di depan dada, dan segera mendorong Axelio untuk menjauh.
'Shittt,' hal itu membuat Axelio seketika sadar dengan apa yang baru saja dia pikirkan. Lagi pula, pria dewasa mana yang tidak berfikiran buruk ketika di suguhkan dengan pemandangan seperti itu?
Setelah pelukan itu terlepas, tanpa sepatah kata, Adnessa berbalik badan dan berjalan menepi, meninggalkan Axelio yang masih terdiam menatapnya.
DEGGG.
Saat Adnessa sudah berada di tepi kolam, dan berniat untuk naik ke atas, tiba-tiba saja gadis itu di kejutkan dengan sebuah tangan yang melingkar di perutnya dari arah belakang.
Axelio memutar tubuh Adnessa perlahan, agar menatap kearahnya, "Sa, bisa tidak, kalau kamu menganggap aku bukan sebagai kakak kamu?!"
Hah? permintaan macam apa itu? Entah kenapa jantung Adnessa berdetak semakin kencang, ketika Axelio perlahan menekan tubuhnya hingga tersudut di tepi kolam. Bahkan, hingga tidak ada jarak sama sekali di antara mereka.
'Tenanglah, Nessa. Pasti dia hanya menggodamu saja,' Tapi sungguh, itu tidak lucu. Adnessa berusaha untuk menormalkan kembali detak jantungnya yang seperti ingin melompat keluar. Namun, kenapa semakin lama wajah Axelio terlihat semakin mendekat ke arahnya?
"Apa yang kamu lakukan? Minggir?!" ucap Adnessa, ketika tinggal beberapa inchi lagi bibir mereka bertemu. Untung saja Adnessa masih sadar dan segera mendorong tubuh Axelio agar menjauh darinya.
Sekilas, Adnessa sempat menatap wajah tampan Axel, 'Dia memang tampan, dia memang menggoda. tapi, kita saudara!'
Tanpa berlama-lama, Adnessa segera berbalik badan dan memungut handuk kimono miliknya yang tergeletak di atas lantai, sebelum meninggalkan tempat itu.
Sedangkan Axelio, pria itu hanya terdiam, menatap punggung Adnessa yang semakin menjauh dan menghilang di balik pintu ruangan itu. Mengingat respon Adnessa, sepertinya gadis itu tidak menyukainya, membuat Axelio kesal sendiri hingga memukul-mukul permukaan air untuk menyalurkan kekesalannya.
"Sedang apa, ya, dia?" gumam Axelio yang tengah melamun di balkon kamarnya, seraya menatap ke arah kamar Adnessa yang kebetulan bersebelahan dengan kamarnya.
Axelio menyandarkan tubuhnya, seraya menyesap sebatang rokok yang terselip di jemarinya. di tengah lamunanya, tanpa terasa ponsel di sakunya berbunyi membuyarkan lamunannya tentang Adnessa.
"Ada apa, Van?" tanya Axelio.
"Pffftttttt, tumben suara lo kusut gitu, kenapa?" tanya Revan yang justru meledek Axelio.
Axelio menghela nafas, rasanya sangat malas untuk meladeni Revan yang memang anaknya rame dan iseng, "Kalau nggak ada yang penting, gue matiin teleponnya!"
Mendengar respon Axelio yang tidak seperti biasanya, hal itu membuat Revan sedikit penasaran. karena jika seperti ini, sahabatnya itu pasti sedang ada masalah.
"Lah, tumben. Lagi banyak masalah, lo? Cerita, bro, sama gue! Gue ada di tempat biasa, kalau nggak sibuk, main lah kemari!"
"Balap?"
"Iya, lah, bro. Kemana lagi? Nanti juga ada pesta disana, seorang Axelio Hansel masa tidak datang?!" sahut Revan, karena biasanya 'tidak ada pesta tanpa Axelio.'
"Sorry, gue sibuk!" sahut Axelio yang langsung mematikan ponselnya, memutus percakapan itu.
Axelio kembali menatap ke arah balkon kamar Adnessa, bertanya-tanya, kenapa akhir-akhir ini dirinya merasa ada sesuatu yang aneh ketika melihat adik tirinya tu. Bahkan, sekarang dirinya merasa kalut, setelah kejadian tadi dan Adnessa sama sekali tidak terlihat keluar dari kamarnya.
Akhirnya, Axelio memutuskan untuk melihat keadaan Adnessa melalui pintu balkon kamar gadis itu. Namun, baru saja dirinya akan melompati pagar pembatas, netranya tidak sengaja melihat Adnessa yang keluar dari kamar dan berdiri di balkon dengan ponsel yang berada di telinganya. Gadis itu terlihat sibuk berbicara dengan seseorang, membuatnya tidak menyadari keberadaan Axelio di sana.
'Apa yang dia bicarakan, serius sekali?!' batin Axelio penasaran.
"Kamu mau kesini, menemuiku? Serius?!" ucap Adnessa.
Entah siapa yang saat ini berbicara dengan Adnessa hingga membuat gadis itu bisa sebahagia itu. Tentu saja, hal itu semakin membuat Axelio semakin penasaran. Bahkan, Axelio sampai mendekat ke arah Adnessa dan berdiri tepat di belakang gadis itu hanya untuk mendengarkan percakapan Adnessa dengan seseorang dari ponsel itu.
"Baiklah, kalau begitu, aku .... AAAAAAAA," Adnessa terkejut, setelah berbalik badan dan mendapati Axel yang berdiri tepat di belakangnya.
"Sa, kamu kenapa?" ucap seseorang dari ponsel Adnessa, yang terdengar samar, namun Axelio bisa memastikan jika pemilik suara itu seorang pria.
"Tidak ada apa-apa, nanti kita bicara lagi, ya!" ucap Adnessa dengan jantung yang masih berdebar, seraya mengakhiri panggilan telepon itu.
"Kenapa kamu ada di sini?" tanya Adnessa dengan wajah kesal seraya memegangi dadanya.
Sedangkan Axelio, pria itu hanya berdiri mematung menatap ke arah Adnessa. Setelah beberapa menit, tiba-tiba saja Axelio berbalik badan dan melangkah pergi, tanpa sepatah kata atau sekedar menjawab pertanyaan Adnessa. Membuat Adnessa menatap aneh ke arah Axelio, namun Adnessa tidak ingin terlalu memikirkannya dan lebih memilih untuk masuk kedalam, bersiap untuk menemui kekasihnya yang akan datang menemuinya di kota ini.
***
Sore itu, Adnessa benar-benar menemui kekasihnya, Giovan. Bahkan, kali ini Adnessa terlihat sangat cantik dan sedikit anggun dari biasanya.
Ditengah perjalanan, tiba-tiba saja Adnessa teringat dengan suatu hal ketika melewati kompleks pusat perbelanjaan. Tanpa berpikir panjang, gadis itu segera memarkirkan mobil yang di kendarainya dan segera turun setelah mobil itu berhenti.
"Masih satu jam lagi!" gumam Adnessa, setelah melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
Adnessa melangkahkan kakinya menyusuri pusat perbelanjaan itu, mencari kado yang akan dia berikan kepada kekasihnya sebagai kejutan. Setelah 30 menit berkeliling, akhirnya Adnessa menemukan sebuah jam tangan yang menurutnya sangat cocok jika dikenakan oleh Geovan. Akhirnya, tidak ingin berlama-lama Adnessa memutuskan untuk membeli jam itu. Dengan senyum sumringah, Adnessa kembali melangkahkan kakinya keluar dari pusat perbelanjaan itu, dengan sebelah tangan yang menenteng mini bag berwarna hitam.
DRTTTT ... DRTTTT ... DRTTTT.
Adnessa tersenyum, melihat siapa yang menelponnya, "Iya, hallo?!"
"Sayang, maaf, sepertinya hari ini aku tidak jadi datang menemuimu," ucap Geovan.
Mendengar kalimat itu, dahi Adnessa terlihat sedikit berkerut. Pasalnya siang tadi, Geovan sudah bilang jika dirinya sudah dalam perjalanan. Tapi, kenapa tiba-tiba membatalkan pertemuan ini? Aneh sekali.
"Bukannya kamu-"
"Sayang, maaf hari ini aku sangat sibuk. Nanti, ya, kita bicara lagi!" potong Geovan yang langsung mengakhiri panggilan itu.
"Ishhhh, aneh sekali!" gumam Adnessa sedikit kesal.
Adnessa memutuskan untuk beristirahat sejenak di dalam mobi, gadis itu mnatap sekilas ke arah mini bag berwarna hitam yang berada di kursi samping. Melihat semua yang dia usahakan hari ini, dan sia-sia, membuat Adnessa sedikit bad mood.
"Sudah sampai di sini, kalau begitu sekalian saja pergi ke ..." Adnessa tidak melanjutkan kalimatnya, gadis itu tersenyum melihat sebuah tempat dari layar ponselnya. Tanpa menunggu lama, Adnessa melajukan mobilnya menuju lokasi sesuai arahan dari aplikasi petunjuk jalan ponselnya.
Sore menjelang malam, itu. Akhirnya Adnessa memutuskan untuk pergi ke salah satu club yang menyediakan arena balap. Baru saja keluar dari mobil, Adnessa sudah di suguhkan dengan beberapa orang yang tengah berpesta, sebelum acara balapnya di mulai.
BRUGGG.
Tubuh Adnessa limbung hingga terduduk di tanah, setelah dirinya yang memang ceroboh tidak sengaja bertabrakan dengan seorang pria.
"Ishhhh," Desis Adnessa seraya membersihkan kedua telapak tangannya sebelum berdiri.
"Sorry, sorry!" ucap seorang pria seraya mengulurkan tangannya ke arah Adnessa.
Adnessa mengangkat wajahnya, menatap pria yang tengah mengulurkan tangan kerahanya dan tersenyum kaku, "It's okay."
"Astaga. Apa tangan kamu baik-baik saja?" Tanya pria itu yang spontan meraih tangan Adnessa, setelah melihat telapak tangan Adnessa yang kotor.
"Oh, tidak apa-apa. Saya baik-baik saja!" sahut Adnessa yang langsung menarik tangannya.
"Oh, maaf. Saya hanya ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja!" sahut pria itu, merasa kejadian ini juga karena salahnya.
Adnessa tersenyum, "Terimakasih! Kalau begitu, saya permisi!"
"Tunggu!"
Mendengar itu, Adnessa yang telah melangkah seketika menghentikan langkahnya, dan menoleh ke arah pria yang tadi bertabrakan dengannya, "Ada , apa?"
"Ah, tidak. Apa kamu juga mau datang ke pesta?"
Adnessa merapatkan bibirnya dengan sudut bibir yang terlihat sedikit terangkat, sebelum mengangguk mendengar pertanyaan pria muda di depannya, "Iya!"
"Sendiri?" tanya pria itu, setelah menelisik ke arah sekeliling Adnessa.
"Yeahh," sahut singkat Adnessa dengan anggukan kecil.
"Mau pergi bersama?"
Adnessa terdiam sesaat, mempertimbangkan tawaran itu, 'Lagi pula, aku tidak mengenal siapa pun disini. Tapi ... '
Seolah bisa membaca fikiran Adnessa, pria itu kembali mengulurkan tangannya untuk yang kedua kalinya, "Saya Revan Evander, panggil saja Evan!"
"Ahhh, iya. Adnessa!" ucap Adnessa seraya menerima uluran tangan itu.
Setelah perkenalan itu, mereka bersepakat untuk segera masuk kedalam menyambut bagaimana kemeriahan pesta malam ini. Revan mempersilahkan Adnessa untuk melangkah terlebih dahulu, membuat gadis itu tersenyum dengan canggung.
Revan dan Adnessa terlihat berjalan beriringan, dengan setia pria itu menunjukkan dan menjelaskan apa saja yang ada di dalam acara itu.
"Berarti, ini, kali pertama kamu datang kemari?" tanya Revan.
"Emm. Tapi, dulu sering mendengar tentang club ini!"
"Woahh, seterkenal itu, ya! Tapi perlu kamu tau, jangan pernah kamu mendekati sekempulan pria yang berada disana!" ucap Revan, seraya menunjuk ke salah satu tempat dimana ada banyak sekali pria bertato di sana.
"Memangnya, kenapa?" tanya Adnessa, menatap sekilas kearah yang di maksud oleh Revan.
"Yah, kurasa saja kamu kurang cocok untuk berada di sana!" sahut Revan, melihat Adnessa yang sepertinya gadis polos, sangat berbahaya jika sampai masuk kedalam kelompok Brian.
"Oh, begitu. Baiklah," sahut Adnessa, tidak ingin memperpanjang tentang hal itu.
"BTW, kamu tinggal dimana?"
"Di daerah perumahan XXX," sahut Adnessa, tanpa menghentikan langkahnya.
"Woah, benarkah? kebetulan saya ada teman di daerah itu!"
"Benarkah?"
"Yups, kalau boleh tau alamat rumah kamu? Siapa tau nanti saat saya datang kedaerah itu bisa mampir!"
"Ehm, kamu tau kediaman Hansel?"
"Hansel? kamu tinggal di dekat kediaman keluarga hansel?"
Adnessa menggeleng, "Saya tinggal di sana!"
Revan mengerutkan keningnya mendengar jawaban Adnessa, sedikit tidak percaya. Untuk apa gadis ini tinggal disana?
Adnessa menoleh, menatap sekilas ke arah Revan dan tidak sengaja melihat ekspresi aneh pria itu, "Saya adik Axelio Hansel!"
"APA?!" lebih terkejut lagi mendengar pengakuan gadis di sampingnya ini. Pasalnya, selama ini Revan hanya tau jika Axelio adalah putra tunggal di keluarganya. Bagaimana bisa, tiba-tiba memilik seorang adik yang sangat cantik seperti ini?
***
Karena suara Revan yang cukup keras, membuat semua orang yang berada di sekitar menatap kearah mereka berdua.Dengan raut wajah yang terlihat tidak nyaman, akhirnya Adnessa menjelaskan bagaimana dirinya bisa menjadi putri di keluarga Hansel, "Ckkk, ibu ku menikah dengan om Jhonatan. Jadi, mau tidak mau, saya menjadi adik tiri Axel!" Revan mengangguk paham, "Ohhh, seperti itu. Sepertinya, nanti kita akan sering bertemu!"Adnessa hanya mengedikkan bahunya, dan terus melangkahkan kaki mengelilingi tempat itu. Semakin lama, Adnessa merasa tempat ini lumayan nyaman dan matanya terpana ketika melihat sebuah area kolam dari kejauhan."Van!" Revan yang tengah bersemangat menemani Adnessa berkeliling harus menghentikan langkahnya, setelah mendengar suara seseorang memanggilnya."Woy, bro! Siapa ini?" tanya seorang pria yang sepertinya kenal dekat dengan Revan.Seperti pria lain pada umunya ketika melihat gadis cantik yang belum pernah dijumpai. Pria itu menatap kearah Adnessa dengan pandanga
"Turunkan aku! Aku tidak sudi di sentuh oleh tangan mu yang kotor itu!" gumam Adnessa dengan suara yang terdengar tidak begitu jelas.Walaupun dalam keadaan setengah sadar, Adnessa masih bisa mengenali siapa lelaki yang memaksa dirinya untuk meninggalkan tempat ini. Seketika, membuatnya merasa jiji saat teringat apa yang di lihatnya di kolam tadi.Sepertinya, usaha Adnessa sia-sia. Walaupun gadis itu telah meronta bahkan mengumpati Axelio dengan kalimat pedasnya agar kakak tirinya itu mau menurunkannya, namun, kenyatannya Axelio tidak goyah sedikit pun dan tetap membawa Adnessa pergi dari tempat itu."Aku benci kamu, aku benci semua orang!" ucap Adnessa seraya memukul pundak Axelio.Tepat di sebelah mobil miliknya, akhirnya Axelio menghentikan langkahnya dan menurunkan Adnessa. Dengan tangan terkepal dan wajah memerah menahan kesal, Axelio menyudutkan tubuh Adnessa di kap mobilnya. Dua pasang mata itu saling beradu tatap dengan pandangan masing-masing. Axelio dengan tatapan kesalnya d
Axelio terus melangkah, mengikis jarak diantara dirinya dan Adnessa. Lagi-lagi, hal itu membuat Adnessa tersudut. Glekkk. Di saat seperti ini, mata elang dengan alis tebal yang semakin memperkuat karakter tegas Axelio itu, justru membuat Adnessa kesulitan untuk mengontrol dirinya, bahkan matanya pun tidak beralih sedikit pun dari Axelio. 'Jika boleh mengatakannya dengan jujur, sepertinya aku mulai terpikat dengan pria bajingan ini,' batin Adnessa tanpa sadar. Namun, beberapa saat kemudian Adnessa segera menunduk, untungnya ia segera menyadari ada yang salah dengan otaknya.'Aishhhh, bodoh, apa yang kamu pikirkan barusan?' batin Adnessa merutuki dirinya. DEG. Jantung Adnessa kembali berdesir hebat ketika Axelio tiba-tiba mengangkat dagunya, membawa wajahnya untuk menatap kearah lelaki itu yang kini berdiri tepat di depannya. Bahkan, wajah Axelio kini berada tepat di depan wajah Adnessa dengan jarak yang hanya beberapa inchi. Dengan lembut, Axelio merapikan anak rambut Adnessa yang
"AXELL!"Disaat semuanya sudah hampir terlambat. Terlihat, seorang gadis berparas cantik meneriakkan nama Axelio, membuat tiga pria yang tengah berdebat itu menoleh. Tentu saja hal itu membuat Axelio sedikit bernafas lega, karena akhirnya ada yang mengalihkan perhatian dua sahabatnya ini.'Erika?' Axel mengernyit, melihat siluet yang sangat di kenalnya berjalan mendekat.Dengan senyum lebar, tanpa permisi Erika bergelayut manja di lengan Axelio. Namun, sepertinya Axelio tidak menyambut baik sikap Erika itu, bahkan Axcel segera melepaskan pelukan gadis itu darinya.Mendapat penolakan dari Axelio, tentu saja Erika merasa ada yang berbeda, "Ada apa, xel?""Pffftttttt. Pakek nanya, tentulah Axel risih sama lo!" sahut Aldy.Risih? tidak mungkin. Tadi saja ketika berada di kolam renang dirinya sudah hampir berhasil, mana mungkin Axcel risih dengannya, "Bilang saja kalau lo iri dengan Axcel, heh.""Iri? Gue tarik semua ucapan gue dulu yang sempat mengagumi cewek kayak lo," sahut Aldy. Memang
'Akhh, sialan?!' dengan mata terpejam, Adnessa memukul pelan kepalanya, ketika bayangan kejadian semalam melintas di otaknya. Apa lagi, bayangan wajah Axelio yang sangat menggoda saat itu terus menghantuinya, membuat Adnessa benar-benar tidak nyaman tinggal di kediaman Hansel."Setan bukan, tapi gak ada capeknya, apa? gentayangin gue mulu," keluh Adnessa. Ternyata, sejak kejadian semalam, Adnessa tidak bisa beristirahat dengan tenang. Bahkan, hampir semalaman gadis itu tidak tidur. Untuk mengusir bayangan yang menganggu itu, Adnessa memutuskan untuk berolahraga, ya, walaupun jam menunjukkan masih sangat pagi, bahkan semburat cahaya matahari pun belum muncul."Mau kemana kamu?" "Astaga?!" baru saja Adnessa keluar dari pintu kamarnya, sudah di kejutkan dengan suara berat Axcel.Dengan tatapan kesal dan bibir cemberut, Adnessa menatap ke arah Axcel yang tengah bersandar di dinding, tepat di sebelah pintu kamarnya. Apa dia baru saja pulang? Melihat Axcel masih mengenakan baju yang sama
Di tengah kesibukannya. Pagi ini, Axcel memang sengaja meluangkan waktunya untuk mengantar Adnessa."Ngapain masih disana?" tanya Adnessa melihat mobil Axcel yang tidak segera pergi."Suka-suka saya, dong! saya bangun rumah di sini pun tidak akan ada yang berani melarang," sahut Axcel dengan wajah congkaknya."Sombong sekali," gerutu Adnessa yang memilih meninggalkan tempat itu, dan enggan meladeni ucapan Axcel yang pasti nantinya hanya akan membuatnya kesal."Sa?!" panggil Axcel."Jangan nengok, jangan berhenti!!" gumam Adnessa memperingatkan dirinya sendiri dan semakin mempercepat langkahnya."Adnessa sayang. Jangan telat makan dan jaga diri baik-baik, ya. Kalau ada yang gangguin nanti, bilang saja sudah punya saya!" teriak Axcell, membuat Adnessa yang mendengarnya merasa malu."Dasar gila, apa dia tidak malu mengatakan hal seperti itu?" entah itu hanya sebuah candaan atau bagaimana. Namun, menurut Adnessa, kalimat seperti tadi tidak seharusnya di ucapkan sembarangan seperti ini. Kar
"Mahasiswi baru? Silahkan perkenalkan dirimu!" Sebenarnya, tidak bertanya pun Revan sudah tahu jika Adnessa adalah mahasiswi baru disini. Dan hal ini hanyalah alasan untuknya agar memiliki kesempatan untuk mendekati Adnessa."Baik, pak!" seketika, Adnessa dapat bernafas dengan lega."Pak Revan, saya tidak sekalian bapak suruh untuk maju ke depan?" tanya Laluna.Revan menaikkan sebelah alisnya, ia sudah hafal sekali dengan sifat mahasiswinya itu yang sering menggodanya, "Kamu mau gantikan saya mengajar disini? Kalau memang begitu, saya persilahkan!""Boro-boro, kalau beneran gue yang ngajar, mungkin generasi gen z akan semakin berantakkan," gumam Laluna seraya menelan salivanya dengan kasar. "Pfffttttttt. Katanya dengan senang hati, pak!" sahut Fransisca dengan lantang, seraya menertawai sahabatnya."ya ampun, Sis. Apa-apaan sih, Lo?" keluh Laluna yag membuatnya mendapat sorakan dari teman yang lain.Sebenarnya, hal seperti ini sudah hal yang biasa untuk Revan. Karena di kampus ini,
Adnessa yang baru saja membuka pintu kamarnya, heran melihat keberadaan Axcel dan Revan berdiri di depan kamarnya, "Kalian, ngapain di sini?"Revan dan Axcel memang bersahabat, tidak heran jika melihat dosen muda itu berada di kediaman Hansel. Tapi, melihat dua pria ini berdiri di depan pintu kamarnya dengan nafas yang naik turun, membuat Adnessa bertanya-tanya."Saya? Saya mengkhawatirkan kamu," sahut Revan to the poin.Adnessa semakin binggung, "Hah? Apa anda salah bicara, Pak?"Maksudnya, dirinya tidak sepenting itu kenapa seorang dosen seperti Revan bisa mengkhawatirkannya?! Apa aku membuat masalah? Adnessa mencoba untuk mengingat apa yang ia lakukan, yang mungkin membuat masalah tanpa ia sadari.Melihat pakaian yang di kenakan Adnessa sedikit terbuka, Axcel segera melepaskan jas yang ia kenakan untuk Adnessa.'Astaga. Malu sekali,' batin Adnessa yang baru saja menyadari pakaiannya."Maksud saya, tadi Axcel datang ke kampus untuk menjemput kamu, dan saya teringat jika kamu sudah pu
"Hoammm," Adnessa meregangkan otot-otot tubuhnya setelah beberapa jam beristirahat dengan nyenyak. Mengingat hari ini adalah weekend, waktu yang tepat untuknya bersantai dan memanjakan diri setelah beberapa hari menghabiskan sebagian besar waktunya untuk kuliah dan juga memikirkan tentang Revan dan Axcel. Ia merasa perlu melepaskan penat dan mengisi kembali energinya.Perlahan, Adnessa menurunkan kakinya dari ranjang yang empuk sembari menjedai simpel rambut panjangnya yang tergerai sedikit berantakan. Ia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya, membersihkan wajahnya dengan air segar serta menggosok gigi sebelum akhirnya keluar dari kamar dan memulai aktivitas paginya."Bau apa ini?!" Adnessa yang baru saja keluar dari kamar, sedikit penasaran dengan aroma sedap yang menyeruak hingga ke lantai dua rumahnya. Aroma itu sangat menggugah selera dan berhasil membuat cacing-cacing di perutnya meronta-ronta minta diisi. Ia merasa perutnya tiba-tiba lapar.Adness
Setelah semua acara yang seharusnya ia gunakan untuk bersenang-senang dengan dua sahabatnya, kini berantakan akibat ulah Axcel dan Revan, ditambah lagi Laluna dan Fransisca yang kini mencurigai hubungan di antara dirinya dan Axcel, kakak tirinya. Adnessa merasa semakin tertekan dan bingung."Jangan-jangan…" ucap Fransisca, menggantung kalimatnya, menciptakan suasana yang semakin menegangkan. Ia menatap ke arah Adnessa dengan segudang teka-teki dari sorot matanya. Entah apa yang dipikirkannya, Adnessa bisa merasakan bahwa Fransisca sedang mencoba menyusun kepingan-kepingan informasi yang ia dapatkan untuk menarik sebuah kesimpulan.Tiba-tiba, suara deru napas terdengar dari belakang Adnessa. "Ness, kenapa kamu meninggalkan saya?" tanya Revan dengan napas tersenggal-senggal, menandakan ia baru saja berlari. Diikuti oleh Axcel yang berjalan di belakangnya dengan langkah pasti dan penuh wibawa, kontras dengan Revan yang terlihat panik.Revan sangat panik setelah memenangkan taruhan biliar
"Ngaco," sangkal Adnessa. Sebenarnya ia sudah tahu bagaimana perasaan Revan kepadanya. Beberapa hari lalu, pria itu juga sudah mengakui perasaannya dengan terang terangan, bukan hanya di depannya, Revan juga mengakui perasaannya di depan Axcel. Hanya saja, ia belum berani untuk bercerita kepada dua sahabatnya ini. Mengingat, Laluna yang begitu tergila-gila dengan Revan, meskipun tidak sampai segila Devita yang sampai menyerang orang lain, Adnessa tetap merasa khawatir reaksinya akan berlebihan dan mungkin menyakitkan.Suasana di pollroom seketika berubah menjadi tegang, setelah pertandingan antara Revan dan Samudra dimulai. Sorak sorai kecil dari beberapa penonton yang tertarik dengan taruhan tersebut menambah intensitas pertandingan. Belum sampai 10 menit permainan itu dimulai, Adnessa sudah merasa tidak enak untuk menyaksikannya. Ia melihat bagaimana Revan dan Samudra saling beradu strategi dan kekuatan dengan tatapan yang serius dan fokus. Ia tidak suka melihat mereka berdua bersai
"Lo siapa?" tanya pria itu dengan nada tidak senang, tidak terima melihat Axcel menghalangi niatnya untuk mendekati Adnessa. Ia menatap Axcel dengan tatapan menantang, merasa harga dirinya diinjak."Saya?" tanya Axcel dengan senyum miring yang memperlihatkan sedikit ejekan, seraya menunjuk ke arah dirinya sendiri dengan ekspresi seolah menahan tawa. Ia merasa geli dengan keberanian pria itu yang mencoba mendekati Adnessa di depannya.'Aduh,' Adnessa mulai berkeringat dingin, jantungnya berdebar tidak karuan. Ia merasa sangat khawatir jika Axcel lepas kendali dan mengatakan hubungan mereka yang sesungguhnya di depan umum. Ia melirik Laluna dan Fransisca sekilas, melihat ekspresi bingung mereka. 'Apa yang akan mereka pikirkan nanti?' batinya cemas, membayangkan reaksi kedua sahabatnya jika mengetahui hubungannya dengan Axcel."Stop, minggir!" ucap Revan dengan nada tenang namun tegas. Ia dengan santainya berjalan di antara Axcel dan pria itu, seolah memberikan jarak agar mereka semakin b
"Kalian serius mau ikut?" tanya Adnessa kepada Axcel dan Revan, dengan nada yang masih tidak percaya bahwa dua orang itu benar-benar mengikutinya sampai ke tempat ini. Ia menatap mereka berdua dengan tatapan menyelidik, mencoba memastikan bahwa mereka tidak sedang bercanda.Axcel dan Revan mengangguk bersamaan, dengan wajah yang terlihat sedikit kelelahan karena berlari kecil mengikuti langkah Adnessa yang cukup cepat. Mereka berdua memasang senyum meyakinkan, menunjukkan bahwa mereka serius dengan keinginan mereka untuk ikut.Adnessa menghela napas panjang, merasa sedikit pasrah dengan situasi ini. 'Kira-kira, kekacauan apa lagi yang akan mereka buat nanti?' batinnya, dengan sedikit rasa khawatir membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi dengan kehadiran dua pria ini di poolroom. Ia mengalihkan pandangannya dari Axcel dan Revan dan menatap ke arah gedung di depannya.Ingin rasanya Adnessa menolak kedua pria ini agar tidak ikut dengannya. Ia merasa kehadiran mereka hanya
"Ngapain lo di situ, Van?" Axcel yang baru saja selesai mandi dan bersiap turun ke lantai bawah untuk makan malam, terkejut setelah membuka pintu kamarnya dan melihat Revan berdiri tepat di depan pintu kamar Adnessa dengan wajah yang terlihat cemas. Ia mengerutkan kening, bingung dengan kehadiran sahabatnya di sana.Sebenarnya, bukan cemas yang sepenuhnya tepat untuk menggambarkan ekspresi Revan. Lebih tepatnya, ia gelisah. Revan sedari tadi menunggu Adnessa di depan pintu kamarnya, berharap gadis itu segera keluar. Namun, karena Adnessa tak kunjung keluar, Revan menjadi tidak sabar dan khawatir. Ia sangat ingin membuka pintu itu dan memastikan keadaan Adnessa baik-baik saja, tetapi ia ragu, takut dianggap terlalu lancang dan melanggar privasi gadis itu. "Kenapa sedari tadi Adnessa tidak kunjung keluar, Xel?" tanya Revan dengan nada khawatir yang bercampur dengan rasa penasaran.Axcel menjadi sedikit cemas mendengar kalimat Revan. Ia pun ikut merasa khawatir dengan Adnessa. Tanpa berp
"Jangan bercanda, Dy," sahut Revan mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Aldy. Ia tertawa kaku, tawanya terdengar dipaksakan, dan tatapannya seolah memberi peringatan halus kepada sahabatnya itu untuk tidak meneruskan leluconnya. Ada nada tidak suka yang tersirat dalam tawanya."Tidak lucu jika kita semua menyukai gadis yang sama," timpal Axcel dengan nada lebih serius, menatap Aldy dengan tatapan antara menyelidik dan tidak percaya. Ia mencoba membaca ekspresi Aldy, mencari tahu apakah sahabatnya itu benar-benar serius dengan ucapannya."Pffftttttt, bagaimana jika gue jatuh cinta sejak pandangan pertama?" tanya Aldy dengan senyuman yang mengembang di wajahnya. Senyumnya terlihat tulus, namun ada sedikit misteri di matanya yang membuat Axcel dan Revan sedikit bingung. Dari cara berbicara Aldy saat ini, mereka berdua tidak bisa memastikan apakah ini hanya sebuah lelucon atau sahabatnya itu benar-benar menyukai Adnessa.Revan tertawa lagi, kali ini tawanya terdengar lebih lepas, me
Revan dan Axcel terlihat antusias, meskipun dengan cara yang berbeda, menunggu jawaban Adnessa setelah Revan melempar pertanyaan yang membingungkan dan sekaligus mengejutkan tersebut. Revan menatap Adnessa dengan tatapan penuh harap, sementara Axcel menatapnya dengan campuran cemas dan pasrah.Bagaimana ini? Adnessa terlihat sangat bimbang, pikirannya berkecamuk. Ia takut jika keputusannya akan menyakiti salah satu di antara mereka. Mengingat persahabatan yang terjalin erat di antara Revan dan Axcel, ia juga tidak ingin membuat keputusan yang pada akhirnya menciptakan selisih paham dan menghancurkan tali persahabatan yang begitu berharga bagi keduanya. Ia merasa terjebak di antara dua pilihan yang sulit.Angin yang berhembus di halaman kediaman Hansel sore itu, membawa serta aroma dedaunan dan tanah basah, seolah ikut merasakan situasi dramatis yang tengah terjadi. Rambut Adnessa yang tergerai indah, kini terlihat sedikit berantakan tersapu angin, menambah kesan rapuh pada dirinya. Ad
Revan tidak menunjukkan ekspresi yang berarti setelah mendengar kalimat Erika. Ia hanya menoleh perlahan, mengalihkan pandangannya dari Erika ke Axcel, lalu ke Adnessa, dan kembali lagi ke Axcel. Matanya mengamati mereka berdua dengan seksama, mencoba membaca raut wajah dan bahasa tubuh mereka. Ternyata, dugaanku selama ini benar, batin Revan, sebuah kekecewaan yang dalam menyentuh hatinya, meskipun ia berusaha keras untuk tidak menunjukkannya. Ia sudah lama mencurigai ada sesuatu yang lebih dari sekadar persaudaraan di antara Axcel dan Adnessa, dan kini Erika telah mengkonfirmasi dugaannya tersebut."Gue bisa jelasin ini semua, Van!" ucap Axcel memecah keheningan yang mulai terasa menyesakkan. Ia merasa tatapan Revan padanya begitu intens dan sulit diartikan, membuatnya merasa bersalah dan ingin segera menjelaskan duduk perkaranya.Revan menaikkan sebelah alisnya, sebuah gerakan yang familiar dan sering ia lakukan saat ia merasa tidak percaya atau meremehkan sesuatu. Pria berparas ta