Axelio terus melangkah, mengikis jarak diantara dirinya dan Adnessa. Lagi-lagi, hal itu membuat Adnessa tersudut.
Glekkk. Di saat seperti ini, mata elang dengan alis tebal yang semakin memperkuat karakter tegas Axelio itu, justru membuat Adnessa kesulitan untuk mengontrol dirinya, bahkan matanya pun tidak beralih sedikit pun dari Axelio. 'Jika boleh mengatakannya dengan jujur, sepertinya aku mulai terpikat dengan pria bajingan ini,' batin Adnessa tanpa sadar. Namun, beberapa saat kemudian Adnessa segera menunduk, untungnya ia segera menyadari ada yang salah dengan otaknya.'Aishhhh, bodoh, apa yang kamu pikirkan barusan?' batin Adnessa merutuki dirinya.
DEG. Jantung Adnessa kembali berdesir hebat ketika Axelio tiba-tiba mengangkat dagunya, membawa wajahnya untuk menatap kearah lelaki itu yang kini berdiri tepat di depannya. Bahkan, wajah Axelio kini berada tepat di depan wajah Adnessa dengan jarak yang hanya beberapa inchi. Dengan lembut, Axelio merapikan anak rambut Adnessa yang berantakkan dan menutupi sebagian keningnya, sebelum mengecup bibir ranum gadis itu. Namun, Axelio merasa ada yang berbeda dengan hal ini, jantungnya pun terasa berdebar tidak beraturan, 'Ini bukan yang pertama untuk ku. Tapi, kenapa seperti ini?' DRTTT ... DRTTTT ... DRTTTTT. Getaran ponsel Adnessa menyadarkan mereka berdua. Spontan Axelio sedikit menjauh dari Adnessa, begitupun dengan Adnessa yang menjadi salah tingkah, membuat suasana menjadi sedikit canggung. 'Giovan?' Terlihat beberapa guratan di kening Adnessa, setelah gadis itu melihat nama siapa yang muncul di layar ponselnya. Ingin sekali Adnessa mengabaikan panggilan itu, namun, sepertinyaa dia di kalahkan dengan rasa penasarannya.'Giovan? Siapa dia?' Axelio yang penasaran setelah melihat raut wajah Adnessa akhirnya memutuskan untuk melihat sekilas ke arah ponsel gadis itu. Namun, hal itu justru membuatnya bertanya-tanya dan semakin penasaran.
"WHAT THE FUCEK, apa-apaan ini?" teriak Adnessa emosi, setelah mengangkat panggilan yang sepertinya sangat di sengaja itu."Ada apa?" tanya Axelio yang terkejut mendengar teriakan Adnessa.
Di dalam panggilan Video itu, terlihat sekali adegan panas antara sahabat dan kekasihnya, membuat Adnessa muak. Tanpa berfikir panjang, Adnessa menarik tangan Axelio dan menciumnya. Secepat kilat, Adnessa melupakan batasan dan fakta, jika pria yang di ciumnya adalah kakak tirinya.
DEG.Tentu saja Axelio terkejut dan binggung. Namun, setelah melihat ke arah layar ponsel Adnessa, Axelio akhirnya memahami semuanya.
"Kamu yang memulainya, jadi, jangan sampai kamu menyesalinya nanti!" bisik Axelio dengan suaranya yang tertahan. CUP. Adnessa tidak menjawab kalimat itu. Namun, gadis itu justru mengecup bibir Axelio dan dengan sengaja mengarahkan ponsel miliknya kearah mereka agar Giovan, mantan kekasihnya itu melihatnya. Merasa seperti ada kupu-kupu di perut, selulas senyuman tersungging di bibir Axelio. Walaupun sedikit saja, Axelio tidak ingin melewatkan hal ini."Sebentar," ucap Adnessa seraya mendorong pelan dada Axelio.
Axelio mengangkat sebelah alisnya, menatap ke arah Adnessa dengan sorot mata penuh tanda tanya.
"Sepertinya, ada yang memanggil mu?!" entah itu hanya halusinasinya atau memang tempatnya yang cukup berisik, tapi Adnessa yakin jika dirinya tadi mendengar seseorang memanggil nama Axelio melalui speaker.
Axelio yang telah terbawa suasana hanya mengedikkan bahunya. Sebenarnya, apa yang di dengar oleh Adnessa memang benar. Saat ini memang sudah waktunya untuk bertanding di lintasan, namun dengan gilanya Axelio tidak ingin melewatkan kesempatan bersama Adnessa.
"Masuklah!" ucap Adnessa seraya menahan dada Axelio yang ingin menciumnya kembali. Lagi pula, sepertinya video tadi sudah cukup untuk membalas Giovan.
Apa dia menolakku? Axelio tersenyum miring, secepat kilat ia mengangkat tubuh kecil Adnessa dan mencium bibir gadis itu tanpa permisi, "Tidak perlu!"
Apakah ini hal pertamanya? kaku sekali. Walaupun begitu, ciuman itu terlihat begitu intens. Sesekali, Axelio membuka matanya untuk melihat bagaimana raut wajah Adnessa yang tengah terbawa suasana, membuat senyum Axelio tersungging dan semakin memperdalam ciuman itu.
Adnessa memukul pundak Axelio, "Emmhhh, sudah cukup!"
"Belum, rasanya aku belum cukup puas," sahut Axelio dengan suara seraknya, dan kembali mencium Adnessa.
"Apa maksudnya?" apa ini yang di namakan senjata makan tuan? Awalnya, tadi Adnessa hanya ingin memanfaatkan Axelio saja. Tidak pernah terbayang jika dirinya akan berakhir seperti ini.
"Woy, bro?!" Suara samar itu, membuat Axelio segera menghentikan ciumannya. Begitupun dengan Adnessa yang seketika itu tersadar dari belenggu pesona Axelio. "Siapa?" "Revan dan Aldy," sahut Axelio, melihat siluwet sahabatnya dari kejauhan. Revan? Aldy? Bukannya ... Dia pria yang aku temui tadi? Tamatlah, apa mereka sempat melihat semuanya? Adnessa terlihat gusar, mengingat dua pria itu mengenalnya sebagai adik Axelio, dan kejadian ini ... Apa yang akan dia katakan nanti. "Kenapa?" tanya Axelio seraya menurunkan Adnessa. Adnessa menoleh ke belekang, melihat apakah pria yang di sebut kakak tirinya adalah pria sama yang di temuinya tadi. "Matilah aku?!" gumam Adnessa dengan gusar. "Ada apa?" tanya Axelio melihat tingkah aneh Adnessa. "Aku tadi bertemu dengan mereka, dan mengatakan aku adalah adik kamu," sahut Adnessa panik. Dengan cepat, Axelio melepas jaket yang ia kenakan untuk Adnessa. Merapikan jaket itu agar Adnessa tidak di kenali oleh dua sahabatnya dan menyuruh gadis itu untuk segera masuk kedalam mobil. Bukannya dirinya malu, tapi ia hanya menjaga perasaan Adnessa saja. "Wahhhh, baru saja kita datang, bahkan belum sempat berkenalan, buru-buru sekali lo umpetin. Btw siapa gadis itu tadi?" ledek Revan yang baru saja sampai disana. "Iya, siapa? Gadis itu tidak mungkin Erika, kan. Karena kami tadi bertemu Erika dan Devita di dalam. Tidak mungkin secepat kilat bisa berada di sini," ucap Aldy menyelidik, sedikit penasaran dengan gadis yang bersama Axelio tadi. Karena, entah hanya perasaannya saja atau bagaimana, ia merasa tidak asing dengan siluet gadis itu. "Ehemmm, kalian tidak perlu tau. Dan ada apa? Kenapa kalian cari gue?" sahut Axelio mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan. "Ckkk, gue cuma tanya aja, Bro. Takut banget kalau gue tau tentang cewek tadi. Btw, lo nggak denger dari tadi sudah di panggil-panggil?" sahut Revan sedikit bercanda. Sejak kedatangannya tadi, tatapan mata Aldy terus tertuju ke arah kaca jendela mobil di sampingnya. Tidak bisa di pungkiri kalau dirinya memang penasaran, namun, sayang sekali pandangannya tidak bisa menembus kaca film di mobil itu. "Cel, tadi bukan adek tiri lo, kan?" tanya Aldy. Apa Aldy melihatnya tadi? Melihat tebakan Aldy yang tepat sasaran, membuat Axelio kesulitan untuk mengelak. Tapi, tidak mungkin juga dirinya mengakui bahwa yang bersamanya tadi adalah Adnessa. Karena gadis itu pastinya akan malu. "Bukan!" Aldy memincingkan matanya, tidak percaya dengan jawaban singkat Axelio, "Tidak berbohong?" "Aishhhh, sudah-sudah. Dari pada penasaran, lebih baik kita lihat saja siapa gadis itu!" sahut Revan, yang sudah menyentuh handle pintu mobil itu dan bersiap untuk membukanya. ***"AXELL!"Disaat semuanya sudah hampir terlambat. Terlihat, seorang gadis berparas cantik meneriakkan nama Axelio, membuat tiga pria yang tengah berdebat itu menoleh. Tentu saja hal itu membuat Axelio sedikit bernafas lega, karena akhirnya ada yang mengalihkan perhatian dua sahabatnya ini.'Erika?' Axel mengernyit, melihat siluet yang sangat di kenalnya berjalan mendekat.Dengan senyum lebar, tanpa permisi Erika bergelayut manja di lengan Axelio. Namun, sepertinya Axelio tidak menyambut baik sikap Erika itu, bahkan Axcel segera melepaskan pelukan gadis itu darinya.Mendapat penolakan dari Axelio, tentu saja Erika merasa ada yang berbeda, "Ada apa, xel?""Pffftttttt. Pakek nanya, tentulah Axel risih sama lo!" sahut Aldy.Risih? tidak mungkin. Tadi saja ketika berada di kolam renang dirinya sudah hampir berhasil, mana mungkin Axcel risih dengannya, "Bilang saja kalau lo iri dengan Axcel, heh.""Iri? Gue tarik semua ucapan gue dulu yang sempat mengagumi cewek kayak lo," sahut Aldy. Memang
'Akhh, sialan?!' dengan mata terpejam, Adnessa memukul pelan kepalanya, ketika bayangan kejadian semalam melintas di otaknya. Apa lagi, bayangan wajah Axelio yang sangat menggoda saat itu terus menghantuinya, membuat Adnessa benar-benar tidak nyaman tinggal di kediaman Hansel."Setan bukan, tapi gak ada capeknya, apa? gentayangin gue mulu," keluh Adnessa. Ternyata, sejak kejadian semalam, Adnessa tidak bisa beristirahat dengan tenang. Bahkan, hampir semalaman gadis itu tidak tidur. Untuk mengusir bayangan yang menganggu itu, Adnessa memutuskan untuk berolahraga, ya, walaupun jam menunjukkan masih sangat pagi, bahkan semburat cahaya matahari pun belum muncul."Mau kemana kamu?" "Astaga?!" baru saja Adnessa keluar dari pintu kamarnya, sudah di kejutkan dengan suara berat Axcel.Dengan tatapan kesal dan bibir cemberut, Adnessa menatap ke arah Axcel yang tengah bersandar di dinding, tepat di sebelah pintu kamarnya. Apa dia baru saja pulang? Melihat Axcel masih mengenakan baju yang sama
Di tengah kesibukannya. Pagi ini, Axcel memang sengaja meluangkan waktunya untuk mengantar Adnessa."Ngapain masih disana?" tanya Adnessa melihat mobil Axcel yang tidak segera pergi."Suka-suka saya, dong! saya bangun rumah di sini pun tidak akan ada yang berani melarang," sahut Axcel dengan wajah congkaknya."Sombong sekali," gerutu Adnessa yang memilih meninggalkan tempat itu, dan enggan meladeni ucapan Axcel yang pasti nantinya hanya akan membuatnya kesal."Sa?!" panggil Axcel."Jangan nengok, jangan berhenti!!" gumam Adnessa memperingatkan dirinya sendiri dan semakin mempercepat langkahnya."Adnessa sayang. Jangan telat makan dan jaga diri baik-baik, ya. Kalau ada yang gangguin nanti, bilang saja sudah punya saya!" teriak Axcell, membuat Adnessa yang mendengarnya merasa malu."Dasar gila, apa dia tidak malu mengatakan hal seperti itu?" entah itu hanya sebuah candaan atau bagaimana. Namun, menurut Adnessa, kalimat seperti tadi tidak seharusnya di ucapkan sembarangan seperti ini. Kar
"Mahasiswi baru? Silahkan perkenalkan dirimu!" Sebenarnya, tidak bertanya pun Revan sudah tahu jika Adnessa adalah mahasiswi baru disini. Dan hal ini hanyalah alasan untuknya agar memiliki kesempatan untuk mendekati Adnessa."Baik, pak!" seketika, Adnessa dapat bernafas dengan lega."Pak Revan, saya tidak sekalian bapak suruh untuk maju ke depan?" tanya Laluna.Revan menaikkan sebelah alisnya, ia sudah hafal sekali dengan sifat mahasiswinya itu yang sering menggodanya, "Kamu mau gantikan saya mengajar disini? Kalau memang begitu, saya persilahkan!""Boro-boro, kalau beneran gue yang ngajar, mungkin generasi gen z akan semakin berantakkan," gumam Laluna seraya menelan salivanya dengan kasar. "Pfffttttttt. Katanya dengan senang hati, pak!" sahut Fransisca dengan lantang, seraya menertawai sahabatnya."ya ampun, Sis. Apa-apaan sih, Lo?" keluh Laluna yag membuatnya mendapat sorakan dari teman yang lain.Sebenarnya, hal seperti ini sudah hal yang biasa untuk Revan. Karena di kampus ini,
Adnessa yang baru saja membuka pintu kamarnya, heran melihat keberadaan Axcel dan Revan berdiri di depan kamarnya, "Kalian, ngapain di sini?"Revan dan Axcel memang bersahabat, tidak heran jika melihat dosen muda itu berada di kediaman Hansel. Tapi, melihat dua pria ini berdiri di depan pintu kamarnya dengan nafas yang naik turun, membuat Adnessa bertanya-tanya."Saya? Saya mengkhawatirkan kamu," sahut Revan to the poin.Adnessa semakin binggung, "Hah? Apa anda salah bicara, Pak?"Maksudnya, dirinya tidak sepenting itu kenapa seorang dosen seperti Revan bisa mengkhawatirkannya?! Apa aku membuat masalah? Adnessa mencoba untuk mengingat apa yang ia lakukan, yang mungkin membuat masalah tanpa ia sadari.Melihat pakaian yang di kenakan Adnessa sedikit terbuka, Axcel segera melepaskan jas yang ia kenakan untuk Adnessa.'Astaga. Malu sekali,' batin Adnessa yang baru saja menyadari pakaiannya."Maksud saya, tadi Axcel datang ke kampus untuk menjemput kamu, dan saya teringat jika kamu sudah pu
Deg. Adnessa terdiam, mengira jika kalimat waktu itu hanyalah sebuah lelucon dan Axcel telah melupakannya. Kenyataannya, pria itu Justru menanyakan jawaban tentang pengakuannya pagi tadi."Saya menyukai kamu!" jelas Axcel.Dalam konteks apa? Adnessa tidak ingin terlalu percaya diri, karena tidak semua kata menyukai itu bisa di artikan dalam bentuk pasangan, bisa saja itu hanya sekedar suka layaknya seorang kakak kepada adiknya. Lagi pula, selamanya mereka akan menjadi saudara. Andai kata, suatu saat nanti Axel benar-benar memiliki perasaan kepadanya, Adnessa berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak menyukai pria di depannya ini."Aku juga menyukai mu, karena kita adalah saudara!" Adnessa tersenyum, menatap sekilas wajah Axcel. Saudara? Kebahagiaan di wajah Axcel perlahan meredup, "Apa hanya sebatas itu?""Maksudnya?""Saya menyukai kamu lebih dari perasaan seorang kakak kepada saudari perempuanya. Bagaimana dengan kamu? Apakah perasaan kamu hanya sebatas itu?" tanya Axcel penuh
"Ness, sedang apa kamu?" tanya Margaretha melihat wajah gugup putrinya. Margaretha yang penasaran, akhirnya menghampiri Adnessa yang terdiam di depan pintu kamar mandi. "Ahh, tidak, Ma. Mama kapan pulang?" tanya Adnessa yang sengaja mengalihkan pembicaraan."Mama, baru saja pulang. Beneran kamu tidak kenapa-kenapa?" tanya Margaretha curiga. Walaupu mereka jarang memiliki waktu bersama, tapi, yang namanya ibu pasti sangat mengenali anaknya.Adnessa tersenyum, sebenarnya sangat tidak nyaman berada di posisi sekarang. Tapi, tidak mungkin juga ia mengatakan yang sejujurnya, 'Yang ada di coret dari kartu keluarga.'"Mama memang terlalu sibuk dan jarang ada waktu untuk kamu. Tapi, kalau kamu sedang ada masalah, cerita sama mama!" Adnessa tersenyum, "Adnessa tidak ada masalah, kok, ma!"Margaretha mengangguk, firasat seorang ibu tidak akan pernah salah. Tapi, biar bagaimana pun ia tidak bisa memaksa Adnessa, dan memilih untuk menunggu kapan gadis itu siap untuk bercerita, "Ya sudah, kalau
"Maaf, tuan, menganggu waktunya. Ini ada den Revan datang katanya ada perlu dengan tuan muda!" Ketika suasana sedikit menegang, tiba-tiba seorang pelayan di kediaman itu datang, memberi tahu kedatangan Revan.Jhonatan mengangguk, mempersilahkan sahabat putranya itu untuk bergabung, sarapan bersama."Baik, tuan.""Selamat pagi om, tante!" sapa Revan yang baru saja datang."Pagiii. Silahkan duduk, Van. mari kita sarapan bersama!" sahut Jhonatan menyambut kedatangan Revan."Iya, nak Revan. Jangan sungkan-sungkan!" timpal Margaretha."Ahhh, jadi merepotkan Om dan tante," sahut Revan terkekeh, dengan senang hati bergabung di meja makan."Bagaimana kabar Ayah kamu, sehat?" tanya Jhonatan. Tidak hanya Axcel yang bersahabat dengan Revan, ternyata Jhonatan dan Ruan, ayah kandung Revan merupakan kawan lama. Tidak heran jika mereka terlihat seperti saudara."Alhamdhulillah sehat, om. Kalau om? Emmm, sepertinya saya tidak perlu bertanya, sejak kedatangan tante Margaretha seharusnya Om Jhonatan se
"Hoammm," Adnessa meregangkan otot-otot tubuhnya setelah beberapa jam beristirahat dengan nyenyak. Mengingat hari ini adalah weekend, waktu yang tepat untuknya bersantai dan memanjakan diri setelah beberapa hari menghabiskan sebagian besar waktunya untuk kuliah dan juga memikirkan tentang Revan dan Axcel. Ia merasa perlu melepaskan penat dan mengisi kembali energinya.Perlahan, Adnessa menurunkan kakinya dari ranjang yang empuk sembari menjedai simpel rambut panjangnya yang tergerai sedikit berantakan. Ia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya, membersihkan wajahnya dengan air segar serta menggosok gigi sebelum akhirnya keluar dari kamar dan memulai aktivitas paginya."Bau apa ini?!" Adnessa yang baru saja keluar dari kamar, sedikit penasaran dengan aroma sedap yang menyeruak hingga ke lantai dua rumahnya. Aroma itu sangat menggugah selera dan berhasil membuat cacing-cacing di perutnya meronta-ronta minta diisi. Ia merasa perutnya tiba-tiba lapar.Adness
Setelah semua acara yang seharusnya ia gunakan untuk bersenang-senang dengan dua sahabatnya, kini berantakan akibat ulah Axcel dan Revan, ditambah lagi Laluna dan Fransisca yang kini mencurigai hubungan di antara dirinya dan Axcel, kakak tirinya. Adnessa merasa semakin tertekan dan bingung."Jangan-jangan…" ucap Fransisca, menggantung kalimatnya, menciptakan suasana yang semakin menegangkan. Ia menatap ke arah Adnessa dengan segudang teka-teki dari sorot matanya. Entah apa yang dipikirkannya, Adnessa bisa merasakan bahwa Fransisca sedang mencoba menyusun kepingan-kepingan informasi yang ia dapatkan untuk menarik sebuah kesimpulan.Tiba-tiba, suara deru napas terdengar dari belakang Adnessa. "Ness, kenapa kamu meninggalkan saya?" tanya Revan dengan napas tersenggal-senggal, menandakan ia baru saja berlari. Diikuti oleh Axcel yang berjalan di belakangnya dengan langkah pasti dan penuh wibawa, kontras dengan Revan yang terlihat panik.Revan sangat panik setelah memenangkan taruhan biliar
"Ngaco," sangkal Adnessa. Sebenarnya ia sudah tahu bagaimana perasaan Revan kepadanya. Beberapa hari lalu, pria itu juga sudah mengakui perasaannya dengan terang terangan, bukan hanya di depannya, Revan juga mengakui perasaannya di depan Axcel. Hanya saja, ia belum berani untuk bercerita kepada dua sahabatnya ini. Mengingat, Laluna yang begitu tergila-gila dengan Revan, meskipun tidak sampai segila Devita yang sampai menyerang orang lain, Adnessa tetap merasa khawatir reaksinya akan berlebihan dan mungkin menyakitkan.Suasana di pollroom seketika berubah menjadi tegang, setelah pertandingan antara Revan dan Samudra dimulai. Sorak sorai kecil dari beberapa penonton yang tertarik dengan taruhan tersebut menambah intensitas pertandingan. Belum sampai 10 menit permainan itu dimulai, Adnessa sudah merasa tidak enak untuk menyaksikannya. Ia melihat bagaimana Revan dan Samudra saling beradu strategi dan kekuatan dengan tatapan yang serius dan fokus. Ia tidak suka melihat mereka berdua bersai
"Lo siapa?" tanya pria itu dengan nada tidak senang, tidak terima melihat Axcel menghalangi niatnya untuk mendekati Adnessa. Ia menatap Axcel dengan tatapan menantang, merasa harga dirinya diinjak."Saya?" tanya Axcel dengan senyum miring yang memperlihatkan sedikit ejekan, seraya menunjuk ke arah dirinya sendiri dengan ekspresi seolah menahan tawa. Ia merasa geli dengan keberanian pria itu yang mencoba mendekati Adnessa di depannya.'Aduh,' Adnessa mulai berkeringat dingin, jantungnya berdebar tidak karuan. Ia merasa sangat khawatir jika Axcel lepas kendali dan mengatakan hubungan mereka yang sesungguhnya di depan umum. Ia melirik Laluna dan Fransisca sekilas, melihat ekspresi bingung mereka. 'Apa yang akan mereka pikirkan nanti?' batinya cemas, membayangkan reaksi kedua sahabatnya jika mengetahui hubungannya dengan Axcel."Stop, minggir!" ucap Revan dengan nada tenang namun tegas. Ia dengan santainya berjalan di antara Axcel dan pria itu, seolah memberikan jarak agar mereka semakin b
"Kalian serius mau ikut?" tanya Adnessa kepada Axcel dan Revan, dengan nada yang masih tidak percaya bahwa dua orang itu benar-benar mengikutinya sampai ke tempat ini. Ia menatap mereka berdua dengan tatapan menyelidik, mencoba memastikan bahwa mereka tidak sedang bercanda.Axcel dan Revan mengangguk bersamaan, dengan wajah yang terlihat sedikit kelelahan karena berlari kecil mengikuti langkah Adnessa yang cukup cepat. Mereka berdua memasang senyum meyakinkan, menunjukkan bahwa mereka serius dengan keinginan mereka untuk ikut.Adnessa menghela napas panjang, merasa sedikit pasrah dengan situasi ini. 'Kira-kira, kekacauan apa lagi yang akan mereka buat nanti?' batinnya, dengan sedikit rasa khawatir membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi dengan kehadiran dua pria ini di poolroom. Ia mengalihkan pandangannya dari Axcel dan Revan dan menatap ke arah gedung di depannya.Ingin rasanya Adnessa menolak kedua pria ini agar tidak ikut dengannya. Ia merasa kehadiran mereka hanya
"Ngapain lo di situ, Van?" Axcel yang baru saja selesai mandi dan bersiap turun ke lantai bawah untuk makan malam, terkejut setelah membuka pintu kamarnya dan melihat Revan berdiri tepat di depan pintu kamar Adnessa dengan wajah yang terlihat cemas. Ia mengerutkan kening, bingung dengan kehadiran sahabatnya di sana.Sebenarnya, bukan cemas yang sepenuhnya tepat untuk menggambarkan ekspresi Revan. Lebih tepatnya, ia gelisah. Revan sedari tadi menunggu Adnessa di depan pintu kamarnya, berharap gadis itu segera keluar. Namun, karena Adnessa tak kunjung keluar, Revan menjadi tidak sabar dan khawatir. Ia sangat ingin membuka pintu itu dan memastikan keadaan Adnessa baik-baik saja, tetapi ia ragu, takut dianggap terlalu lancang dan melanggar privasi gadis itu. "Kenapa sedari tadi Adnessa tidak kunjung keluar, Xel?" tanya Revan dengan nada khawatir yang bercampur dengan rasa penasaran.Axcel menjadi sedikit cemas mendengar kalimat Revan. Ia pun ikut merasa khawatir dengan Adnessa. Tanpa berp
"Jangan bercanda, Dy," sahut Revan mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Aldy. Ia tertawa kaku, tawanya terdengar dipaksakan, dan tatapannya seolah memberi peringatan halus kepada sahabatnya itu untuk tidak meneruskan leluconnya. Ada nada tidak suka yang tersirat dalam tawanya."Tidak lucu jika kita semua menyukai gadis yang sama," timpal Axcel dengan nada lebih serius, menatap Aldy dengan tatapan antara menyelidik dan tidak percaya. Ia mencoba membaca ekspresi Aldy, mencari tahu apakah sahabatnya itu benar-benar serius dengan ucapannya."Pffftttttt, bagaimana jika gue jatuh cinta sejak pandangan pertama?" tanya Aldy dengan senyuman yang mengembang di wajahnya. Senyumnya terlihat tulus, namun ada sedikit misteri di matanya yang membuat Axcel dan Revan sedikit bingung. Dari cara berbicara Aldy saat ini, mereka berdua tidak bisa memastikan apakah ini hanya sebuah lelucon atau sahabatnya itu benar-benar menyukai Adnessa.Revan tertawa lagi, kali ini tawanya terdengar lebih lepas, me
Revan dan Axcel terlihat antusias, meskipun dengan cara yang berbeda, menunggu jawaban Adnessa setelah Revan melempar pertanyaan yang membingungkan dan sekaligus mengejutkan tersebut. Revan menatap Adnessa dengan tatapan penuh harap, sementara Axcel menatapnya dengan campuran cemas dan pasrah.Bagaimana ini? Adnessa terlihat sangat bimbang, pikirannya berkecamuk. Ia takut jika keputusannya akan menyakiti salah satu di antara mereka. Mengingat persahabatan yang terjalin erat di antara Revan dan Axcel, ia juga tidak ingin membuat keputusan yang pada akhirnya menciptakan selisih paham dan menghancurkan tali persahabatan yang begitu berharga bagi keduanya. Ia merasa terjebak di antara dua pilihan yang sulit.Angin yang berhembus di halaman kediaman Hansel sore itu, membawa serta aroma dedaunan dan tanah basah, seolah ikut merasakan situasi dramatis yang tengah terjadi. Rambut Adnessa yang tergerai indah, kini terlihat sedikit berantakan tersapu angin, menambah kesan rapuh pada dirinya. Ad
Revan tidak menunjukkan ekspresi yang berarti setelah mendengar kalimat Erika. Ia hanya menoleh perlahan, mengalihkan pandangannya dari Erika ke Axcel, lalu ke Adnessa, dan kembali lagi ke Axcel. Matanya mengamati mereka berdua dengan seksama, mencoba membaca raut wajah dan bahasa tubuh mereka. Ternyata, dugaanku selama ini benar, batin Revan, sebuah kekecewaan yang dalam menyentuh hatinya, meskipun ia berusaha keras untuk tidak menunjukkannya. Ia sudah lama mencurigai ada sesuatu yang lebih dari sekadar persaudaraan di antara Axcel dan Adnessa, dan kini Erika telah mengkonfirmasi dugaannya tersebut."Gue bisa jelasin ini semua, Van!" ucap Axcel memecah keheningan yang mulai terasa menyesakkan. Ia merasa tatapan Revan padanya begitu intens dan sulit diartikan, membuatnya merasa bersalah dan ingin segera menjelaskan duduk perkaranya.Revan menaikkan sebelah alisnya, sebuah gerakan yang familiar dan sering ia lakukan saat ia merasa tidak percaya atau meremehkan sesuatu. Pria berparas ta