"Kenapa tidak memfotoku saja?!" gumam Adnessa, ketika melangkah melewati Axelio yang masih saja menatapnya dengan tatapan aneh. Ia mempercepat langkahnya, sedikit kesal dengan perhatian Axelio yang menurutnya berlebihan. Ia merasa seperti sedang diawasi oleh pengawal, bukan oleh seorang kakak tiri.
Axelio menghela napas. Ia tahu Adnessa tidak suka dengan kehadirannya, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan tanggung jawab yang diberikan Jhonatan dan Margaretha. Kota ini memang bukan tempat yang ramah bagi anak-anak, apalagi bagi seseorang yang baru pertama kali datang. Ia ingat betul pesan Margaretha, "Axelio, tolong jaga Adnessa baik-baik. Dia masih beradaptasi dengan kota ini."
"Adnessa, tunggu sebentar," kata Axelio, berusaha menyamai langkah gadis itu. Ia tidak ingin terlihat terlalu mengejar, tetapi juga tidak ingin kehilangan jejaknya di tengah keramaian.
Adnessa tidak mengindahkan panggilan Axelio. Ia terus berjalan, bahkan hampir menabrak seorang ibu yang sedang mendorong kereta bayi. Axelio dengan sigap menarik lengan Adnessa, mencegahnya menabrak kereta tersebut.
"Hati-hati!" seru Axelio, sedikit khawatir.
Adnessa menepis tangan Axelio dengan kasar. "Aku bisa menjaga diriku sendiri," ujarnya ketus, lalu melanjutkan langkahnya. Namun, ia sedikit melirik ke arah Axelio, dan sekilas terlihat raut khawatir di wajahnya.
Axelio terdiam sejenak, memperhatikan Adnessa yang berjalan menjauh. Ia mengerti, Adnessa mungkin masih marah atau kesal dengan situasi ini. Tapi, ia juga melihat sekilas ekspresi khawatir di wajah gadis itu, dan itu memberinya sedikit harapan. Mungkin, di balik sikap kerasnya, Adnessa sebenarnya juga merasa sedikit takut dan membutuhkan perlindungan.
Axelio menghela napas lagi, lalu berjalan mengikuti Adnessa dari belakang, kali ini dengan jarak yang sedikit lebih jauh. Ia memutuskan untuk memberinya ruang, tetapi tetap mengawasinya dari kejauhan. Ia bertekad untuk menjalankan tanggung jawabnya, meskipun Adnessa terus menunjukkan penolakan
Sebenarnya, sejak kedatangan Adnessa, Axelio sedikit tertarik dengan gadis itu. Tubuhnya yang kecil dan tidak terlalu tinggi, serta gaya berpenampilan gadis itu berhasil membuat Axelio penasaran.
Apa lagi ini? Di jaman sekarang, ternyata masih ada gadis kuno yang memakai baju dengan style seperti itu. Bahkan, kebanyakan gadis seusianya lebih senang memakai baju yang sedikit terbuka, tapi lain halnya dengan gadis ini, justru memilih baju longgar yang bahkan tidakk menampilkan sedikit pun lekuk tubuhnya, yang pastinya sangat tidak cocok dengan gadis itu, menurut Axelio.
"Dasar, botol yakult." gumam Axelio. Tanpa sadar, ia tersenyum kecil melihat cara berjalan Adnessa yang benar-benar lucu jika di lihat dari belakang.
Malam itu, Axelio benar-benar mengantar Adnessa pulang. Walaupun di sepanjang perjalanan, gadis itu tidak henti-hentinya menggerutu dan mengajaknya berdebat hingga membuatnya sedikit tersinggung.
"Awww, apa kamu tidak bisa berkendara?" tentu saja Adnessa terkejut, ketika Axelio tiba-tiba menambah kecepatan mobilnya.
Axelio tidak menjawab, pria itu justru menampilkan ekspresi congkaknya ke arah Adnessa dan semakin menambah kecepatan mobil itu. Dengan lihai, Axel membantig stir mobilnya ke sana kemari ketika mendahului mobil di depannya, membuat Adnessa semakin cemas, bahkan tangannya semakin erat berpegangan pada hand grip di mobil itu.
"STOP, AXEL! apa kamu sudah gila? Ini jalanan umum, bukan jalan dari nenek moyang kamu!" panik Adnessa dengan suara tercekat, ketika melihat Axelio baru saja mendahului dua buah mobil sekaligus, di lintasan yang tidak seharusnya di gunakan untuk berkendara seperti sekarang ini.
"Kenapa? Ini resiko kamu!" siapa suruh bersedia untuk pulang bersama, tanggung sendiri akibatnya! Axelio tersenyum miring, melihat Ekspresi Adnessa saat ini.
Beberapa jam kemudian, mobil yang di kendarai oleh Axelio berhenti di pelataran rumah yang terlihat cukup luas dan megah. Bahkan, baru beberapa saat mobil itu berhenti, sudah ada beberapa orang yang berjaga di sana dan membukakan pintu mobil untuk Axelio dan Adnessa.
"Selamat datang, tuan muda dan nona muda!" sapa mereka bersamaan.
"Itu sangat berlebihan," gumam Adnessa yang sama sekali tidak tergoda dengan kemegahan itu. Namun, Adnessa terlihat tengah terburu-buru keluar dari mobil itu seraya memegang perutnya.
Axelio yang melihat Adneessa terburu-buru meninggalkannya merasa sedikit aneh dan penasaran. Akhirnya, Axelio memutuskan untuk mengikuti Adnessa.
"Hay, botol yakult! tidak perlu terburu-buru seperti itu," panggil Axelio.
Apa dia bilang? Botol yakult? Adnessa sempat menghentikan langkahnya, ketika mendengar Axelio memanggilnya dengan sebutan botol yakult. Namun, gadis itu memilih untuk kembali melangkahkan kakinya, melihat Axelio yang berjalan ke arahnya dengan wajahnya yang congkak.
"Botol yakult?! Aku tau kamu senang, tapi tidak perlu seburu-buru itu untuk-"
"Huekkkkk," tiba-tiba saja Adnessa memuntahkan isi perutnya yang sedari tadi terus bergejolak tepat mengenai dada Axelio. Karena kebetulan saat itu Axelio menarik tangan Adnessa, membuat gadis itu berada dekat dengan dirinya.
"Ohh, shit?!" ucap Axelio dengan ekspresi terkejutnya, melihat kemeja yang ia kenakan berantakkan akibat ulah Adnessa. Apa lagi, saat ini dirinya juga terburu-buru.
Puas? Adnessa sangat puas melihat bagaimana ekspresi Axelio saat ini, 'Salah siapa berkendara seperi itu? Dan lagi, siapa suruh terus mengangguku?!'
Axelio terlihat menghela nafasnya seraya mengusap kasar wajahnya yang mulai terlihat memerah, itu, "Sekarang, kamu harus tanggung jawab!"
"Tanggung jawab, apa? Ini salah kamu sendiri, lepasin tangan aku!"
Tanpa banyak berbicara, Axelio menarik tangan Adnessa masuk kedalam rumah mewah itu. Entah, apa yang akan Axelio lakukan kepada adik tirinya?!
***
Beberapa hari berlalu. Setelah kejadian malam itu, Adnessa tidak lagi melihat Axelio, mungkin karena dirinya yang jarang memiliki waktu di rumah dan sibuk dengan urusan kampus. Sedangkan Axelio ... Pria itu juga tampaknya tengah sibuk dengan urusannya di kantor.
Setelah mengantar keberangkatan mama dan papanya yang akan melakukan perjalanan dinas di luar kota selama beberapa hari. Adnessa memutuskan untuk kembali masuk kedalam rumah, dan langsung berjalan menuju kolam renang.
"Ini lumayan!" gumam Adnessa yang tengah menikmati waktu santainya berjemur di tepian kolam. Kebetulan, kuliah Adnessa hari ini tengah libur dan dirinya juga tidak memiliki kegiatan apa pun hari ini, jadi, Adnessa memutuskan untuk bermalas-malasan di rumah.
Merasa jika tempat ini aman, Adnessa mulai membuka handuk kimono yang membalut tubuhnya, dan menyisakan pakaian dalamnya saja. Tentu saja, Adnessa melakukan itu setelah memastikan hanya ada dirinya di rumah itu. Bahkan, para pekerja di rumah itu sudah Adnessa larang untuk mendekat ke area kolam renang.
"Kemana perginya anak itu, ya?" gumam Adnessa dengan mata terpejam. Entah kenapa, tiba-tiba dirinya teringat dan penasaran dengan keberadaan Axelio.
"Mencariku?" sahut Axelio yang entah sejak kapan berdiri di sana.
Mendengar suara seorang pria, Adnessa segera bangkit dan meraih handuk kimononya. Namun, dirinya kalah cepat dengan Axelio, pria licik itu sudah lebih dulu mengambil handuknya.
'Shitt, kenapa dia ada di sini?' Adnessa sedikit panik melihat keberadaan Axelio. Namun, gadis itu tetap berusaha untuk terlihat tenang dan mencoba mengambil handuk kimononya kembali.
Axelio tersenyum semrik, melihat Adnessa melangkah ke arahnya dengan wajah yang tampak marah, "Kamu mau menggoda ku?!"
"Cowok gila," singkat Adnessa yang masih gigih untuk merebut handuknya kembali. Namun, lagi-lagi Axelio mempersulit Adnessa dengan mengangkat handuk itu ke atas.
Adnessa menatap ke atas, kearah handuknya dengan bibir cemberut dan wajah yang sudah memerah. Membuat Axelio gemas melihatnya.
'Astaga ... Apa dia akan marah jika aku mengiggit bibir dan pipi bakpaunya itu?' Entah bagaimana, Axelio bisa berfikir seperti itu.
"Makannya, tinggi itu ke atas! Jangan ke samping!" di situasi seperti ini, sempat-sempatnya Axelio mengejek Adnessa.
Kesal? Tentu saja Adnessa sangat kesal dengan ulah Axelio. bahkan, di dalam hati, gadis itu telah menyumpah serapahi Axelio yang menurutnya sangat keterlaluan.
"Kembalikan handuk kimonoku!" ucap Adnessa dengan mata melotot ke arah Axelio.
Bukannya memberikan handuk itu, Axelio justru menertawakan Adnessa. Membuat gadis itu sangat kesal dan memilih untuk segera meninggalkan tempat itu. Namun, baru beberapa langkah, tiba-tiba Adnessa di kejutkan dengan tubuhnya yang tiba-tiba saja melayang.
"ASTAGA, Apa yang kamu lakukan, Xel?" pekik Adnessa, melihat Axel yang mengangkat tubuhnya dengan satu tangan, sedangkan tangan satunya masih memegang handuk miliknya.
"Yang pertama ... Aku adalah kakak kamu, jadi, jangan panggil aku dengan sebutan nama lagi. Yang ke dua, Jangan memakai pakaian seperti ini lagi, cukup aku yang melihat lekuk tubuh mu jangan sampai ada orang lain yang melihatnya. Yang ke tiga, Aku menginginkan mu!" ucap Axel dengan posisi yang masih mengangkat tubuh Adnessa menggunakan sebelah tangannya.
"Orang gila, turunkan aku!"
"Kalau aku tidak mau?!" sahut Axel menggoda Adnessa.
Mendengar itu, Adnessa yang sudah kesal dengan ulah Axel pun meronta. Berfikir jika kakak tirinya yang gila ini akan menurunkannya. Namun, hal lain yang terjadi.
BYURRRRR.
***
BYURRRRR ...Pada akhirnya, Adnessa dan Axelio sama-sama terjatuh kedalam kolam. Axelio yang saat itu tengah memeluk Adnessa, tanpa sengaja melihat tubuh adik tirinya yang terlihat menggoda dengan keadaan yang basah kuyup, tanpa terkecuali, hingga menampakan lekuk tubuhnya yang indah, bahkan dadanya pun terlihat jelas menonjol.'Sebenarnya, ini sebuah musibah atau berkah?!' batin Axelio seraya mengusap kasar wajahnya. Entah kenapa, Axelio menjadi sedikit gusar hingga kesulitan untuk menelan salifanya.'Apa-apaan ini? Kenapa dia menatap ku seperti itu?' Spontan, Adnessa menyilangkan kedua tangannya di depan dada, dan segera mendorong Axelio untuk menjauh.'Shittt,' hal itu membuat Axelio seketika sadar dengan apa yang baru saja dia pikirkan. Lagi pula, pria dewasa mana yang tidak berfikiran buruk ketika di suguhkan dengan pemandangan seperti itu?Setelah pelukan itu terlepas, tanpa sepatah kata, Adnessa berbalik badan dan berjalan menepi, meninggalkan Axelio yang masih terdiam menatapn
Karena suara Revan yang cukup keras, membuat semua orang yang berada di sekitar menatap kearah mereka berdua.Dengan raut wajah yang terlihat tidak nyaman, akhirnya Adnessa menjelaskan bagaimana dirinya bisa menjadi putri di keluarga Hansel, "Ckkk, ibu ku menikah dengan om Jhonatan. Jadi, mau tidak mau, saya menjadi adik tiri Axel!" Revan mengangguk paham, "Ohhh, seperti itu. Sepertinya, nanti kita akan sering bertemu!"Adnessa hanya mengedikkan bahunya, dan terus melangkahkan kaki mengelilingi tempat itu. Semakin lama, Adnessa merasa tempat ini lumayan nyaman dan matanya terpana ketika melihat sebuah area kolam dari kejauhan."Van!" Revan yang tengah bersemangat menemani Adnessa berkeliling harus menghentikan langkahnya, setelah mendengar suara seseorang memanggilnya."Woy, bro! Siapa ini?" tanya seorang pria yang sepertinya kenal dekat dengan Revan.Seperti pria lain pada umunya ketika melihat gadis cantik yang belum pernah dijumpai. Pria itu menatap kearah Adnessa dengan pandanga
"Turunkan aku! Aku tidak sudi di sentuh oleh tangan mu yang kotor itu!" gumam Adnessa dengan suara yang terdengar tidak begitu jelas.Walaupun dalam keadaan setengah sadar, Adnessa masih bisa mengenali siapa lelaki yang memaksa dirinya untuk meninggalkan tempat ini. Seketika, membuatnya merasa jiji saat teringat apa yang di lihatnya di kolam tadi.Sepertinya, usaha Adnessa sia-sia. Walaupun gadis itu telah meronta bahkan mengumpati Axelio dengan kalimat pedasnya agar kakak tirinya itu mau menurunkannya, namun, kenyatannya Axelio tidak goyah sedikit pun dan tetap membawa Adnessa pergi dari tempat itu."Aku benci kamu, aku benci semua orang!" ucap Adnessa seraya memukul pundak Axelio.Tepat di sebelah mobil miliknya, akhirnya Axelio menghentikan langkahnya dan menurunkan Adnessa. Dengan tangan terkepal dan wajah memerah menahan kesal, Axelio menyudutkan tubuh Adnessa di kap mobilnya. Dua pasang mata itu saling beradu tatap dengan pandangan masing-masing. Axelio dengan tatapan kesalnya d
Axelio terus melangkah, mengikis jarak diantara dirinya dan Adnessa. Lagi-lagi, hal itu membuat Adnessa tersudut. Glekkk. Di saat seperti ini, mata elang dengan alis tebal yang semakin memperkuat karakter tegas Axelio itu, justru membuat Adnessa kesulitan untuk mengontrol dirinya, bahkan matanya pun tidak beralih sedikit pun dari Axelio. 'Jika boleh mengatakannya dengan jujur, sepertinya aku mulai terpikat dengan pria bajingan ini,' batin Adnessa tanpa sadar. Namun, beberapa saat kemudian Adnessa segera menunduk, untungnya ia segera menyadari ada yang salah dengan otaknya.'Aishhhh, bodoh, apa yang kamu pikirkan barusan?' batin Adnessa merutuki dirinya. DEG. Jantung Adnessa kembali berdesir hebat ketika Axelio tiba-tiba mengangkat dagunya, membawa wajahnya untuk menatap kearah lelaki itu yang kini berdiri tepat di depannya. Bahkan, wajah Axelio kini berada tepat di depan wajah Adnessa dengan jarak yang hanya beberapa inchi. Dengan lembut, Axelio merapikan anak rambut Adnessa yang
"AXELL!"Disaat semuanya sudah hampir terlambat. Terlihat, seorang gadis berparas cantik meneriakkan nama Axelio, membuat tiga pria yang tengah berdebat itu menoleh. Tentu saja hal itu membuat Axelio sedikit bernafas lega, karena akhirnya ada yang mengalihkan perhatian dua sahabatnya ini.'Erika?' Axel mengernyit, melihat siluet yang sangat di kenalnya berjalan mendekat.Dengan senyum lebar, tanpa permisi Erika bergelayut manja di lengan Axelio. Namun, sepertinya Axelio tidak menyambut baik sikap Erika itu, bahkan Axcel segera melepaskan pelukan gadis itu darinya.Mendapat penolakan dari Axelio, tentu saja Erika merasa ada yang berbeda, "Ada apa, xel?""Pffftttttt. Pakek nanya, tentulah Axel risih sama lo!" sahut Aldy.Risih? tidak mungkin. Tadi saja ketika berada di kolam renang dirinya sudah hampir berhasil, mana mungkin Axcel risih dengannya, "Bilang saja kalau lo iri dengan Axcel, heh.""Iri? Gue tarik semua ucapan gue dulu yang sempat mengagumi cewek kayak lo," sahut Aldy. Memang
'Akhh, sialan?!' dengan mata terpejam, Adnessa memukul pelan kepalanya, ketika bayangan kejadian semalam melintas di otaknya. Apa lagi, bayangan wajah Axelio yang sangat menggoda saat itu terus menghantuinya, membuat Adnessa benar-benar tidak nyaman tinggal di kediaman Hansel."Setan bukan, tapi gak ada capeknya, apa? gentayangin gue mulu," keluh Adnessa. Ternyata, sejak kejadian semalam, Adnessa tidak bisa beristirahat dengan tenang. Bahkan, hampir semalaman gadis itu tidak tidur. Untuk mengusir bayangan yang menganggu itu, Adnessa memutuskan untuk berolahraga, ya, walaupun jam menunjukkan masih sangat pagi, bahkan semburat cahaya matahari pun belum muncul."Mau kemana kamu?" "Astaga?!" baru saja Adnessa keluar dari pintu kamarnya, sudah di kejutkan dengan suara berat Axcel.Dengan tatapan kesal dan bibir cemberut, Adnessa menatap ke arah Axcel yang tengah bersandar di dinding, tepat di sebelah pintu kamarnya. Apa dia baru saja pulang? Melihat Axcel masih mengenakan baju yang sama
Di tengah kesibukannya. Pagi ini, Axcel memang sengaja meluangkan waktunya untuk mengantar Adnessa."Ngapain masih disana?" tanya Adnessa melihat mobil Axcel yang tidak segera pergi."Suka-suka saya, dong! saya bangun rumah di sini pun tidak akan ada yang berani melarang," sahut Axcel dengan wajah congkaknya."Sombong sekali," gerutu Adnessa yang memilih meninggalkan tempat itu, dan enggan meladeni ucapan Axcel yang pasti nantinya hanya akan membuatnya kesal."Sa?!" panggil Axcel."Jangan nengok, jangan berhenti!!" gumam Adnessa memperingatkan dirinya sendiri dan semakin mempercepat langkahnya."Adnessa sayang. Jangan telat makan dan jaga diri baik-baik, ya. Kalau ada yang gangguin nanti, bilang saja sudah punya saya!" teriak Axcell, membuat Adnessa yang mendengarnya merasa malu."Dasar gila, apa dia tidak malu mengatakan hal seperti itu?" entah itu hanya sebuah candaan atau bagaimana. Namun, menurut Adnessa, kalimat seperti tadi tidak seharusnya di ucapkan sembarangan seperti ini. Kar
"Mahasiswi baru? Silahkan perkenalkan dirimu!" Sebenarnya, tidak bertanya pun Revan sudah tahu jika Adnessa adalah mahasiswi baru disini. Dan hal ini hanyalah alasan untuknya agar memiliki kesempatan untuk mendekati Adnessa."Baik, pak!" seketika, Adnessa dapat bernafas dengan lega."Pak Revan, saya tidak sekalian bapak suruh untuk maju ke depan?" tanya Laluna.Revan menaikkan sebelah alisnya, ia sudah hafal sekali dengan sifat mahasiswinya itu yang sering menggodanya, "Kamu mau gantikan saya mengajar disini? Kalau memang begitu, saya persilahkan!""Boro-boro, kalau beneran gue yang ngajar, mungkin generasi gen z akan semakin berantakkan," gumam Laluna seraya menelan salivanya dengan kasar. "Pfffttttttt. Katanya dengan senang hati, pak!" sahut Fransisca dengan lantang, seraya menertawai sahabatnya."ya ampun, Sis. Apa-apaan sih, Lo?" keluh Laluna yag membuatnya mendapat sorakan dari teman yang lain.Sebenarnya, hal seperti ini sudah hal yang biasa untuk Revan. Karena di kampus ini,
Baru saja Adnessa memasuki rumah, ia sudah di suguhi dengan suasaa hening dan mencekam. Terlihat, ayah, ibu, Axcel, dan Erika duduk di sofa yang berada di ruangan itu dengan wajah serius, entah hal serius apa yang mereka bicarakan? Namun, sedikit pun ia tidak tertarik untuk mengetahuinya."Sore, Ma, Pa!" sapanya ketika melewati mereka. Dengan tatapan setengah kosong, mungkin saja kalut dengan masalahnya. Adnessa melangkahkan kakinya menaiki anak tangga."Ada apa dengannya, Pa?!" tanya Margaretha, cemas dengan sikap Adnessa yang tidak seperti biasanya. Terlihat sekali jika gadis itu memiliki banyak masalah.Jhonatan menggeleng pelan. Sama seperti istrinya, ia juga penasaran kenapa putrinya bersikap aneh. "Nessa?!" panggil Jhonatan.Adnessa yang telah berada di pertengahan anak tangga menghentikan langkahnya, mendengar suara Jhonatan memanggilnya. "Iya. Ada apa, Pa?!""Kemari, ada yang perlu Papa bicarakan denganmu!" ucap Jhonatan.'Apa yang ingin Papa katakan?!' batinnya bertanya-tanya
Menurutnya, ini adalah hari terburuk untuknya. Konsekuensi ini, sebenarnya ia tidak akan pernah mempermasalahkan, karena biar bagaimanapun anak ini hadir atas perbuatannya yang dengan sadar menjalin hubungan terlarang dengan Axcel, kakak tirinya. Namun, kenapa ini harus terjadi sekarang? Disaat semua sudah berakhir. Disaat semua telah memilih jalannya masing-masing.'Apa yang akan aku katakan kepada Pak Revan nanti?!' batinnya gelisah. Sedikit pun, ia tidak memiliki nyali untuk menghadapi Revan. Apalagi melihat sikap pria itu yang saat ini berubah menjadi murung setelah mengetahui kehamilannya. Bagaimana tidak, pria mana yang tidak akan terkejut melihat kekasihnya hamil? Apalagi, Revan tidak pernah sedikit pun menyentuh Adnessa."Emmm, P-Pak? Anda duluan saja! Biar nanti saya pulang naik taksi saja," ucap Adnessa, ketika mereka telah berada di depan gedung rumah sakit.Walaupun setelah mengetahui kebenarannya tadi Revan tidak mengatakan hal apa pun, tapi ia sudah bisa menebak isi hati
Revan yang melihat perubahan dari Adnessa membuatnya khawatir. Ia mengikuti Adnessa yang berjalan tergesa-gesa menuju toilet dengan sebelah tangan membekap mulutnya, seolah menahan gejolak dari dalam perutnya.Ada apa dengannya? Segudang asumsi mengenai Adnessa,tiba-tiba muncul dikepalanya. 'Apa mungkin dia...' batinnya menggantung. Revan menggelengkan kepalanya, berusaha menolak kenyataan terburuk yang muncul di pikirannya. Tapi gejala yang muncul tiba-tiba ini ... Mungkinkah Adnessa tengah hamil? Revan berdiri di samping pintu toilet, menyandarkan tubuhnya di dinding yang berada tepat di samping pintu, menunggu Adnessa dengan setia. Kehadirannya di sana, menyita perhatian semua orang yang berlalu-lalang menuju toilet dengan ekspresi yang berbeda-beda. Namun, Revan tak menghiraukannya, di dalam otaknya hanya dipenuhi dengan Adnessa. Membuatnya bersikap acuh dengan kondisi di sekitar."Astaga. Pak Revan kenapa berdiri di sini?!" Adnessa yang baru saja keluar dari dalam toilet terkeju
Pada akhirnya, hari itu Adnessa, Revan, dan Aldynata memutuskan untuk makan sore, pengganti makan siang yang telah terlewatkan. Dua pria dengan status tidak biasa itu terlihat dengan santai mengikuti kemauan Adnessa.Perjalanan menuju restoran sushi seperti yang diminta oleh Adnessa hanya memerlukan waktu beberapa menit dari rumah sakit di mana Adnessa diperiksa tadi. Mobil yang mereka tumpangi akhirnya berhenti. Lagi-lagi Revan dan Aldynata berlomba-lomba untuk membukakan pintu untuk Adnessa."Dy, sebaiknya lo tidak perlu repot-repot! Adnessa itu cewek gue, gue yang lebih berhak untuk memperhatikannya!" ucap Revan to the point, malas untuk berdebat dengan sahabatnya itu dan membuat Adnessa kembali tidak nyaman.Aldynata yang tadinya sudah mengulurkan tangan bermaksud untuk membukakan pintu untuk Adnessa akhirnya mengurungkan niatnya, 'Iya juga, tapi... Kenapa gue jadi sepeduli ini dengan Adnessa?!' batinnya yang baru saja menyadari hal aneh dalam dirinya.Kali ini, tidak ada perdebat
Sore itu, Axcel dan Erika yang sudah berencana fitting gaun pernikahan, akhirnya membatalkan janji itu setelah sebuah kejadian di mana Erika tiba-tiba pingsan. Walaupun Axcel tidak menyukai Erika, namun ia sedikit merasa cemas dan khawatir. Akhirnya tanpa berfikir panjang, Axcel segera membawa Erika ke rumah sakit.Axcel menunggu dokter dengan cemas, ia duduk seorang diri di sebuah kursi panjang yang berada di sebrang pintu UGD. Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya dokter keluar dari ruang perawatan. Axcel segera menghampiri dokter, "Bagaimana keadaan Erika, Dok?" tanyanya cemas, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam.Dokter tersenyum tipis, "Nyonya baik-baik saja. Ia hanya mengalami kelelahan dan tekanan darahnya sedikit rendah. Ia perlu istirahat yang cukup."Axcel menghela napas lega, "Syukurlah. Terima kasih, Dok.""Sama-sama," jawab dokter. "Namun, ada beberapa hal yang harus Anda perhatikan. Sebagai calon ayah, seharusnya anda harus—""Sebentar, Dok," ucap Ax
"Adnessa?!" Revan sangat terkejut. Suaranya terdengar cukup keras melihat Adnessa yang terjatuh setelah bertabrakan dengan seseorang. Ia merasakan jantungnya berdebar kencang, khawatir dengan keadaan Adnessa.Begitu pun dengan Aldynata. Walaupun tidak seheboh Revan, ia juga khawatir dengan keadaan Adnessa. Matanya menatap Adnessa dengan tatapan cemas, dan ia tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak segera berlari ke arah Adnessa. Memastikan jika gadis itu baik-baik saja.Melihat kejadian itu, Aldynata dan Revan segera berlari menghampiri Adnessa. Ingin memastikan keadaan Adnessa. Mereka berdua sama-sama khawatir dan ingin melindungi Adnessa.Sedangkan Adnessa, gadis itu masih terdiam melihat kehadiran Erika di sana. Ternyata, gadis yang bertabrakan dengannya tadi adalah Erika. Adnessa merasa terkejut dan tidak nyaman dengan kehadiran Erika.Namun, semua rasa ketidanyamananya teraihkan setelah melihat Axcel juga berada disana. Entah dari mana, pria itu berasal yang pasti, Axcel melang
Setelah perdebatan panjang antara Revan dan Aldynata yang berebut untuk mengajak Adnessa makan siang. Adnessa yang tidak sanggup melihat betapa hebohnya dua pria dewasa di depannya ini, akhirnya memutuskan untuk menerima ajakan mereka berdua. Ia merasa pusing dengan perdebatan mereka, dan ia ingin segera makan.Kehebohan Revan dan juga Aldynata ternyata tidak hanya sampai di situ. Ketika mobil yang mereka tumpangi berhenti di basement salah satu pusat perbelanjaan dan pertokoan elit di kota itu. CEO dan dosen tampan itu kembali berebut untuk membukakan pintu untuk Adnessa."Biar saya saja, Dy," ucap Revan, suaranya terdengar tegas. Ia merasa sebagai orang yang lebih dekat dengan Adnessa, lebih tepatnya sebagai kekasih gadis itu, ia merasa lebih pantas membukakan pintu untuk Adnessa."Tidak, saya yang akan membukakan pintu untuknya," balas Aldynata, suaranya terdengar dingin. Ia merasa sebagai CEO perusahaan tempat Adnessa magang, ia berhak memperlakukannya dengan baik."Ckkkk." Adness
Debaran yang tadinya sudah mulai normal, kembali tidak beraturan setelah mendengar suara Aldynata yang menghentikannya. Apa aku membuat kesalahan? Batin Adnessa bimbang."Makan dengan saya," ucap Aldynata seolah tidak menerima penolakan, suaranya terdengar datar namun tegas, "setelah itu, kamu baru boleh pergi!"Adnessa terdiam, menatap Aldynata dengan tatapan bingung. Ia merasa aneh dengan permintaan Aldynata. Mengapa CEO perusahaan sebesar Wijaya Group mengajaknya makan siang?"Tapi, Pak..." Adnessa mencoba menolak dengan halus, suaranya terdengar ragu. Ia merasa tidak nyaman dengan ajakan Aldynata."Tidak ada tapi-tapian," potong Aldynata, suaranya terdengar dingin. "Saya sudah memutuskan, kamu akan makan siang dengan saya."Adnessa menelan ludah, merasa terintimidasi dengan sikap Aldynata. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia merasa terjebak dalam situasi yang tidak nyaman."Kalau kamu bersedia, maka saya akan memberi satu nilai plus. Bukannya itu sangat baik? Cukup membantu penila
"Denger-denger, hari ini penguji yang datang adalah CEO Wijaya Group sendiri!" ucap Laluna, matanya membulat penuh antusias, seolah sedang membicarakan bintang film terkenal."Yang benar?" tanya Fransisca tidak percaya, alisnya terangkat, menandakan keraguan yang besar."Beneran, anak-anak yang mendaftar di perusahaan itu banyak yang cabut. Katanya CEO itu terkenal galak!" Laluna mengangguk-angguk, memperkuat ucapannya dengan nada meyakinkan."Tapi katanya CEO-nya muda, ya?" tanya Fransisca lagi, penasaran, membayangkan sosok CEO muda yang karismatik.Laluna mengangguk, "Hmmm.""Yang penting ganteng, gak, sih?!" sahut Fransisca yang justru menjawab dengan sebuah candaan, tawanya terdengar renyah, mencairkan suasana tegang."Biar pun ganteng, tapi... Mau dibawa ke mana-mana tetep gantengan Pak Revan!" sahut Laluna, matanya berbinar-binar, membayangkan ketampanan dosen favorit mereka."Kalian sedang ngomongin apa?!" tanya Adnessa yang baru saja menyusul langkah sahabatnya, akibat Revan