"Kenapa tidak memfotoku saja?!" gumam Adnessa, ketika melangkah melewati Axelio yang masih saja menatapnya dengan tatapan aneh. Ia mempercepat langkahnya, sedikit kesal dengan perhatian Axelio yang menurutnya berlebihan. Ia merasa seperti sedang diawasi oleh pengawal, bukan oleh seorang kakak tiri.
Axelio menghela napas. Ia tahu Adnessa tidak suka dengan kehadirannya, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan tanggung jawab yang diberikan Jhonatan dan Margaretha. Kota ini memang bukan tempat yang ramah bagi anak-anak, apalagi bagi seseorang yang baru pertama kali datang. Ia ingat betul pesan Margaretha, "Axelio, tolong jaga Adnessa baik-baik. Dia masih beradaptasi dengan kota ini."
"Adnessa, tunggu sebentar," kata Axelio, berusaha menyamai langkah gadis itu. Ia tidak ingin terlihat terlalu mengejar, tetapi juga tidak ingin kehilangan jejaknya di tengah keramaian.
Adnessa tidak mengindahkan panggilan Axelio. Ia terus berjalan, bahkan hampir menabrak seorang ibu yang sedang mendorong kereta bayi. Axelio dengan sigap menarik lengan Adnessa, mencegahnya menabrak kereta tersebut.
"Hati-hati!" seru Axelio, sedikit khawatir.
Adnessa menepis tangan Axelio dengan kasar. "Aku bisa menjaga diriku sendiri," ujarnya ketus, lalu melanjutkan langkahnya. Namun, ia sedikit melirik ke arah Axelio, dan sekilas terlihat raut khawatir di wajahnya.
Axelio terdiam sejenak, memperhatikan Adnessa yang berjalan menjauh. Ia mengerti, Adnessa mungkin masih marah atau kesal dengan situasi ini. Tapi, ia juga melihat sekilas ekspresi khawatir di wajah gadis itu, dan itu memberinya sedikit harapan. Mungkin, di balik sikap kerasnya, Adnessa sebenarnya juga merasa sedikit takut dan membutuhkan perlindungan.
Axelio menghela napas lagi, lalu berjalan mengikuti Adnessa dari belakang, kali ini dengan jarak yang sedikit lebih jauh. Ia memutuskan untuk memberinya ruang, tetapi tetap mengawasinya dari kejauhan. Ia bertekad untuk menjalankan tanggung jawabnya, meskipun Adnessa terus menunjukkan penolakan
Sebenarnya, sejak kedatangan Adnessa, Axelio sedikit tertarik dengan gadis itu. Tubuhnya yang kecil dan tidak terlalu tinggi, serta gaya berpenampilan gadis itu berhasil membuat Axelio penasaran.
Apa lagi ini? Di jaman sekarang, ternyata masih ada gadis kuno yang memakai baju dengan style seperti itu. Bahkan, kebanyakan gadis seusianya lebih senang memakai baju yang sedikit terbuka, tapi lain halnya dengan gadis ini, justru memilih baju longgar yang bahkan tidakk menampilkan sedikit pun lekuk tubuhnya, yang pastinya sangat tidak cocok dengan gadis itu, menurut Axelio.
"Dasar, botol yakult." gumam Axelio. Tanpa sadar, ia tersenyum kecil melihat cara berjalan Adnessa yang benar-benar lucu jika di lihat dari belakang.
Malam itu, Axelio benar-benar mengantar Adnessa pulang. Walaupun di sepanjang perjalanan, gadis itu tidak henti-hentinya menggerutu dan mengajaknya berdebat hingga membuatnya sedikit tersinggung.
"Awww, apa kamu tidak bisa berkendara?" tentu saja Adnessa terkejut, ketika Axelio tiba-tiba menambah kecepatan mobilnya.
Axelio tidak menjawab, pria itu justru menampilkan ekspresi congkaknya ke arah Adnessa dan semakin menambah kecepatan mobil itu. Dengan lihai, Axel membantig stir mobilnya ke sana kemari ketika mendahului mobil di depannya, membuat Adnessa semakin cemas, bahkan tangannya semakin erat berpegangan pada hand grip di mobil itu.
"STOP, AXEL! apa kamu sudah gila? Ini jalanan umum, bukan jalan dari nenek moyang kamu!" panik Adnessa dengan suara tercekat, ketika melihat Axelio baru saja mendahului dua buah mobil sekaligus, di lintasan yang tidak seharusnya di gunakan untuk berkendara seperti sekarang ini.
"Kenapa? Ini resiko kamu!" siapa suruh bersedia untuk pulang bersama, tanggung sendiri akibatnya! Axelio tersenyum miring, melihat Ekspresi Adnessa saat ini.
Beberapa jam kemudian, mobil yang di kendarai oleh Axelio berhenti di pelataran rumah yang terlihat cukup luas dan megah. Bahkan, baru beberapa saat mobil itu berhenti, sudah ada beberapa orang yang berjaga di sana dan membukakan pintu mobil untuk Axelio dan Adnessa.
"Selamat datang, tuan muda dan nona muda!" sapa mereka bersamaan.
"Itu sangat berlebihan," gumam Adnessa yang sama sekali tidak tergoda dengan kemegahan itu. Namun, Adnessa terlihat tengah terburu-buru keluar dari mobil itu seraya memegang perutnya.
Axelio yang melihat Adneessa terburu-buru meninggalkannya merasa sedikit aneh dan penasaran. Akhirnya, Axelio memutuskan untuk mengikuti Adnessa.
"Hay, botol yakult! tidak perlu terburu-buru seperti itu," panggil Axelio.
Apa dia bilang? Botol yakult? Adnessa sempat menghentikan langkahnya, ketika mendengar Axelio memanggilnya dengan sebutan botol yakult. Namun, gadis itu memilih untuk kembali melangkahkan kakinya, melihat Axelio yang berjalan ke arahnya dengan wajahnya yang congkak.
"Botol yakult?! Aku tau kamu senang, tapi tidak perlu seburu-buru itu untuk-"
"Huekkkkk," tiba-tiba saja Adnessa memuntahkan isi perutnya yang sedari tadi terus bergejolak tepat mengenai dada Axelio. Karena kebetulan saat itu Axelio menarik tangan Adnessa, membuat gadis itu berada dekat dengan dirinya.
"Ohh, shit?!" ucap Axelio dengan ekspresi terkejutnya, melihat kemeja yang ia kenakan berantakkan akibat ulah Adnessa. Apa lagi, saat ini dirinya juga terburu-buru.
Puas? Adnessa sangat puas melihat bagaimana ekspresi Axelio saat ini, 'Salah siapa berkendara seperi itu? Dan lagi, siapa suruh terus mengangguku?!'
Axelio terlihat menghela nafasnya seraya mengusap kasar wajahnya yang mulai terlihat memerah, itu, "Sekarang, kamu harus tanggung jawab!"
"Tanggung jawab, apa? Ini salah kamu sendiri, lepasin tangan aku!"
Tanpa banyak berbicara, Axelio menarik tangan Adnessa masuk kedalam rumah mewah itu. Entah, apa yang akan Axelio lakukan kepada adik tirinya?!
***
Beberapa hari berlalu. Setelah kejadian malam itu, Adnessa tidak lagi melihat Axelio, mungkin karena dirinya yang jarang memiliki waktu di rumah dan sibuk dengan urusan kampus. Sedangkan Axelio ... Pria itu juga tampaknya tengah sibuk dengan urusannya di kantor.
Setelah mengantar keberangkatan mama dan papanya yang akan melakukan perjalanan dinas di luar kota selama beberapa hari. Adnessa memutuskan untuk kembali masuk kedalam rumah, dan langsung berjalan menuju kolam renang.
"Ini lumayan!" gumam Adnessa yang tengah menikmati waktu santainya berjemur di tepian kolam. Kebetulan, kuliah Adnessa hari ini tengah libur dan dirinya juga tidak memiliki kegiatan apa pun hari ini, jadi, Adnessa memutuskan untuk bermalas-malasan di rumah.
Merasa jika tempat ini aman, Adnessa mulai membuka handuk kimono yang membalut tubuhnya, dan menyisakan pakaian dalamnya saja. Tentu saja, Adnessa melakukan itu setelah memastikan hanya ada dirinya di rumah itu. Bahkan, para pekerja di rumah itu sudah Adnessa larang untuk mendekat ke area kolam renang.
"Kemana perginya anak itu, ya?" gumam Adnessa dengan mata terpejam. Entah kenapa, tiba-tiba dirinya teringat dan penasaran dengan keberadaan Axelio.
"Mencariku?" sahut Axelio yang entah sejak kapan berdiri di sana.
Mendengar suara seorang pria, Adnessa segera bangkit dan meraih handuk kimononya. Namun, dirinya kalah cepat dengan Axelio, pria licik itu sudah lebih dulu mengambil handuknya.
'Shitt, kenapa dia ada di sini?' Adnessa sedikit panik melihat keberadaan Axelio. Namun, gadis itu tetap berusaha untuk terlihat tenang dan mencoba mengambil handuk kimononya kembali.
Axelio tersenyum semrik, melihat Adnessa melangkah ke arahnya dengan wajah yang tampak marah, "Kamu mau menggoda ku?!"
"Cowok gila," singkat Adnessa yang masih gigih untuk merebut handuknya kembali. Namun, lagi-lagi Axelio mempersulit Adnessa dengan mengangkat handuk itu ke atas.
Adnessa menatap ke atas, kearah handuknya dengan bibir cemberut dan wajah yang sudah memerah. Membuat Axelio gemas melihatnya.
'Astaga ... Apa dia akan marah jika aku mengiggit bibir dan pipi bakpaunya itu?' Entah bagaimana, Axelio bisa berfikir seperti itu.
"Makannya, tinggi itu ke atas! Jangan ke samping!" di situasi seperti ini, sempat-sempatnya Axelio mengejek Adnessa.
Kesal? Tentu saja Adnessa sangat kesal dengan ulah Axelio. bahkan, di dalam hati, gadis itu telah menyumpah serapahi Axelio yang menurutnya sangat keterlaluan.
"Kembalikan handuk kimonoku!" ucap Adnessa dengan mata melotot ke arah Axelio.
Bukannya memberikan handuk itu, Axelio justru menertawakan Adnessa. Membuat gadis itu sangat kesal dan memilih untuk segera meninggalkan tempat itu. Namun, baru beberapa langkah, tiba-tiba Adnessa di kejutkan dengan tubuhnya yang tiba-tiba saja melayang.
"ASTAGA, Apa yang kamu lakukan, Xel?" pekik Adnessa, melihat Axel yang mengangkat tubuhnya dengan satu tangan, sedangkan tangan satunya masih memegang handuk miliknya.
"Yang pertama ... Aku adalah kakak kamu, jadi, jangan panggil aku dengan sebutan nama lagi. Yang ke dua, Jangan memakai pakaian seperti ini lagi, cukup aku yang melihat lekuk tubuh mu jangan sampai ada orang lain yang melihatnya. Yang ke tiga, Aku menginginkan mu!" ucap Axel dengan posisi yang masih mengangkat tubuh Adnessa menggunakan sebelah tangannya.
"Orang gila, turunkan aku!"
"Kalau aku tidak mau?!" sahut Axel menggoda Adnessa.
Mendengar itu, Adnessa yang sudah kesal dengan ulah Axel pun meronta. Berfikir jika kakak tirinya yang gila ini akan menurunkannya. Namun, hal lain yang terjadi.
BYURRRRR.
***
BYURRRRR ...Pada akhirnya, Adnessa dan Axelio sama-sama terjatuh kedalam kolam. Axelio yang saat itu tengah memeluk Adnessa, tanpa sengaja melihat tubuh adik tirinya yang terlihat menggoda dengan keadaan yang basah kuyup, tanpa terkecuali, hingga menampakan lekuk tubuhnya yang indah, bahkan dadanya pun terlihat jelas menonjol.'Sebenarnya, ini sebuah musibah atau berkah?!' batin Axelio seraya mengusap kasar wajahnya. Entah kenapa, Axelio menjadi sedikit gusar hingga kesulitan untuk menelan salifanya.'Apa-apaan ini? Kenapa dia menatap ku seperti itu?' Spontan, Adnessa menyilangkan kedua tangannya di depan dada, dan segera mendorong Axelio untuk menjauh.'Shittt,' hal itu membuat Axelio seketika sadar dengan apa yang baru saja dia pikirkan. Lagi pula, pria dewasa mana yang tidak berfikiran buruk ketika di suguhkan dengan pemandangan seperti itu?Setelah pelukan itu terlepas, tanpa sepatah kata, Adnessa berbalik badan dan berjalan menepi, meninggalkan Axelio yang masih terdiam menatapn
Karena suara Revan yang cukup keras, membuat semua orang yang berada di sekitar menatap kearah mereka berdua.Dengan raut wajah yang terlihat tidak nyaman, akhirnya Adnessa menjelaskan bagaimana dirinya bisa menjadi putri di keluarga Hansel, "Ckkk, ibu ku menikah dengan om Jhonatan. Jadi, mau tidak mau, saya menjadi adik tiri Axel!" Revan mengangguk paham, "Ohhh, seperti itu. Sepertinya, nanti kita akan sering bertemu!"Adnessa hanya mengedikkan bahunya, dan terus melangkahkan kaki mengelilingi tempat itu. Semakin lama, Adnessa merasa tempat ini lumayan nyaman dan matanya terpana ketika melihat sebuah area kolam dari kejauhan."Van!" Revan yang tengah bersemangat menemani Adnessa berkeliling harus menghentikan langkahnya, setelah mendengar suara seseorang memanggilnya."Woy, bro! Siapa ini?" tanya seorang pria yang sepertinya kenal dekat dengan Revan.Seperti pria lain pada umunya ketika melihat gadis cantik yang belum pernah dijumpai. Pria itu menatap kearah Adnessa dengan pandanga
"Turunkan aku! Aku tidak sudi di sentuh oleh tangan mu yang kotor itu!" gumam Adnessa dengan suara yang terdengar tidak begitu jelas.Walaupun dalam keadaan setengah sadar, Adnessa masih bisa mengenali siapa lelaki yang memaksa dirinya untuk meninggalkan tempat ini. Seketika, membuatnya merasa jiji saat teringat apa yang di lihatnya di kolam tadi.Sepertinya, usaha Adnessa sia-sia. Walaupun gadis itu telah meronta bahkan mengumpati Axelio dengan kalimat pedasnya agar kakak tirinya itu mau menurunkannya, namun, kenyatannya Axelio tidak goyah sedikit pun dan tetap membawa Adnessa pergi dari tempat itu."Aku benci kamu, aku benci semua orang!" ucap Adnessa seraya memukul pundak Axelio.Tepat di sebelah mobil miliknya, akhirnya Axelio menghentikan langkahnya dan menurunkan Adnessa. Dengan tangan terkepal dan wajah memerah menahan kesal, Axelio menyudutkan tubuh Adnessa di kap mobilnya. Dua pasang mata itu saling beradu tatap dengan pandangan masing-masing. Axelio dengan tatapan kesalnya d
Axelio terus melangkah, mengikis jarak diantara dirinya dan Adnessa. Lagi-lagi, hal itu membuat Adnessa tersudut. Glekkk. Di saat seperti ini, mata elang dengan alis tebal yang semakin memperkuat karakter tegas Axelio itu, justru membuat Adnessa kesulitan untuk mengontrol dirinya, bahkan matanya pun tidak beralih sedikit pun dari Axelio. 'Jika boleh mengatakannya dengan jujur, sepertinya aku mulai terpikat dengan pria bajingan ini,' batin Adnessa tanpa sadar. Namun, beberapa saat kemudian Adnessa segera menunduk, untungnya ia segera menyadari ada yang salah dengan otaknya.'Aishhhh, bodoh, apa yang kamu pikirkan barusan?' batin Adnessa merutuki dirinya. DEG. Jantung Adnessa kembali berdesir hebat ketika Axelio tiba-tiba mengangkat dagunya, membawa wajahnya untuk menatap kearah lelaki itu yang kini berdiri tepat di depannya. Bahkan, wajah Axelio kini berada tepat di depan wajah Adnessa dengan jarak yang hanya beberapa inchi. Dengan lembut, Axelio merapikan anak rambut Adnessa yang
"AXELL!"Disaat semuanya sudah hampir terlambat. Terlihat, seorang gadis berparas cantik meneriakkan nama Axelio, membuat tiga pria yang tengah berdebat itu menoleh. Tentu saja hal itu membuat Axelio sedikit bernafas lega, karena akhirnya ada yang mengalihkan perhatian dua sahabatnya ini.'Erika?' Axel mengernyit, melihat siluet yang sangat di kenalnya berjalan mendekat.Dengan senyum lebar, tanpa permisi Erika bergelayut manja di lengan Axelio. Namun, sepertinya Axelio tidak menyambut baik sikap Erika itu, bahkan Axcel segera melepaskan pelukan gadis itu darinya.Mendapat penolakan dari Axelio, tentu saja Erika merasa ada yang berbeda, "Ada apa, xel?""Pffftttttt. Pakek nanya, tentulah Axel risih sama lo!" sahut Aldy.Risih? tidak mungkin. Tadi saja ketika berada di kolam renang dirinya sudah hampir berhasil, mana mungkin Axcel risih dengannya, "Bilang saja kalau lo iri dengan Axcel, heh.""Iri? Gue tarik semua ucapan gue dulu yang sempat mengagumi cewek kayak lo," sahut Aldy. Memang
'Akhh, sialan?!' dengan mata terpejam, Adnessa memukul pelan kepalanya, ketika bayangan kejadian semalam melintas di otaknya. Apa lagi, bayangan wajah Axelio yang sangat menggoda saat itu terus menghantuinya, membuat Adnessa benar-benar tidak nyaman tinggal di kediaman Hansel."Setan bukan, tapi gak ada capeknya, apa? gentayangin gue mulu," keluh Adnessa. Ternyata, sejak kejadian semalam, Adnessa tidak bisa beristirahat dengan tenang. Bahkan, hampir semalaman gadis itu tidak tidur. Untuk mengusir bayangan yang menganggu itu, Adnessa memutuskan untuk berolahraga, ya, walaupun jam menunjukkan masih sangat pagi, bahkan semburat cahaya matahari pun belum muncul."Mau kemana kamu?" "Astaga?!" baru saja Adnessa keluar dari pintu kamarnya, sudah di kejutkan dengan suara berat Axcel.Dengan tatapan kesal dan bibir cemberut, Adnessa menatap ke arah Axcel yang tengah bersandar di dinding, tepat di sebelah pintu kamarnya. Apa dia baru saja pulang? Melihat Axcel masih mengenakan baju yang sama
Di tengah kesibukannya. Pagi ini, Axcel memang sengaja meluangkan waktunya untuk mengantar Adnessa."Ngapain masih disana?" tanya Adnessa melihat mobil Axcel yang tidak segera pergi."Suka-suka saya, dong! saya bangun rumah di sini pun tidak akan ada yang berani melarang," sahut Axcel dengan wajah congkaknya."Sombong sekali," gerutu Adnessa yang memilih meninggalkan tempat itu, dan enggan meladeni ucapan Axcel yang pasti nantinya hanya akan membuatnya kesal."Sa?!" panggil Axcel."Jangan nengok, jangan berhenti!!" gumam Adnessa memperingatkan dirinya sendiri dan semakin mempercepat langkahnya."Adnessa sayang. Jangan telat makan dan jaga diri baik-baik, ya. Kalau ada yang gangguin nanti, bilang saja sudah punya saya!" teriak Axcell, membuat Adnessa yang mendengarnya merasa malu."Dasar gila, apa dia tidak malu mengatakan hal seperti itu?" entah itu hanya sebuah candaan atau bagaimana. Namun, menurut Adnessa, kalimat seperti tadi tidak seharusnya di ucapkan sembarangan seperti ini. Kar
"Mahasiswi baru? Silahkan perkenalkan dirimu!" Sebenarnya, tidak bertanya pun Revan sudah tahu jika Adnessa adalah mahasiswi baru disini. Dan hal ini hanyalah alasan untuknya agar memiliki kesempatan untuk mendekati Adnessa."Baik, pak!" seketika, Adnessa dapat bernafas dengan lega."Pak Revan, saya tidak sekalian bapak suruh untuk maju ke depan?" tanya Laluna.Revan menaikkan sebelah alisnya, ia sudah hafal sekali dengan sifat mahasiswinya itu yang sering menggodanya, "Kamu mau gantikan saya mengajar disini? Kalau memang begitu, saya persilahkan!""Boro-boro, kalau beneran gue yang ngajar, mungkin generasi gen z akan semakin berantakkan," gumam Laluna seraya menelan salivanya dengan kasar. "Pfffttttttt. Katanya dengan senang hati, pak!" sahut Fransisca dengan lantang, seraya menertawai sahabatnya."ya ampun, Sis. Apa-apaan sih, Lo?" keluh Laluna yag membuatnya mendapat sorakan dari teman yang lain.Sebenarnya, hal seperti ini sudah hal yang biasa untuk Revan. Karena di kampus ini,
Adnessa menghela napas, bayangan dirinya di cermin pagi itu tak ubahnya hantu pucat. Mata sayunya, lingkar hitam di bawahnya, saksi bisu malam tanpa lelap. Kata-kata Axcel semalam berputar-putar di kepalanya, racun yang menggerogoti ketenangannya."Dari mana dia tahu?" bisiknya, dahinya berkerut dalam.Gemericik air dari wastafel kamar mandi menjadi latar sunyi lamunannya. Namun, ketenangan itu pecah saat sepasang tangan kekar melingkar posesif di perutnya, membuatnya tersentak keras."Axcel!" serunya, mendorong tubuh itu menjauh. Matanya menyala marah, suaranya bergetar. "Apa yang kau lakukan di sini?!"Perlahan, Axcel mengulurkan tangannya, meraih jemari Adnessa dengan cengkeraman penuh keyakinan. "Menikahlah denganku, Ness," ucapnya, suaranya serak namun tegas. Mata elangnya, yang biasa memancarkan dominasi, kini redup, penuh permohonan."Kau gila!" Adnessa mendesis, menarik tangannya dengan kasar. "Di saat tunanganmu mengandung anakmu, kau malah mengajakku menikah? Lucu sekali!""
Mata Axcel terbelalak setelah membaca laporan yang baru saja diberikan oleh kaki tangannya beberapa saat lalu. Tangannya bergetar, mata dan wajahnya memerah seperti menahan sebuah rasa yang tiba-tiba saja menggebu. "Adnessa hamil?!" lirihnya.Axcel terdiam, menatap beberapa lembar kertas di tangannya. Baru kali ini ia tahu alasan kenapa Adnessa beberapa saat lalu tiba-tiba ingin bersekolah di luar negeri dan sekarang justru ingin menikah, ternyata gadis itu tengah mengandung. Mengetahui fakta ini, masih ada sedikit pertanyaan yang mengganjal di hatinya. Siapa ayah anak ini?!"Jangan-jangan ayah anak ini..." Axcel segera melangkahkan kakinya terburu-buru menuju kamar Adnessa, memastikan siapa sebenarnya ayah dari anak yang dikandungnya. Jika di lihat dari laporan ini, mungkin saja anak itu miliknya.Pria tampan bermata biru dengan postur tubuh atletis itu melangkahkan kakinya lebar, seluruh tubuhnya berdesir merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan, membayangkan kenyataan ini. Ia memoho
"Aku memilih..." Adnessa menatap ke arah Revan dengan perasaan ragu. "Aku lebih memilih Pak Revan," ucapnya mantap. Dari semua pilihan yang ada di dalam otaknya, sepertinya ini adalah pilihan yang terbaik. Mengingat Axcel yang telah bertunangan dan bahkan segera memiliki keturunan dari Erika. Untuk apa lagi dirinya bimbang? Sudah jelas, jika bersama Revan jauh lebih baik.Revan tersenyum. Kebahagiaan di wajahnya, tidak bisa lagi disembunyikan. "Terima kasih karena sudah percaya dengan saya, sayang!" sahutnya seraya menggenggam tangan Adnessa erat."Tidak mungkin," lirih Axcel, tidak percaya. Perlahan ia melepaskan genggaman tangannya di tangan Adnessa. Menatap kearah Adnessa dan Revan dengan tatapan sulit di jelaskan."Gue harap, ini yang terakhir kalinya lo ganggu Adnessa seperti ini, Xel!" ucap Revan datar, suaranya terdengar tegas memperingatkan Axcel. Pelukannya juga terlihat posesif kepada Adnessa, seolah memberitahu jika Adnessa telah menjadi miliknya. "Sebentar lagi, kami juga
Mobil yang dikendarai oleh Revan telah berhenti di pelataran kediaman Hansel. Seulas senyuman tersungging menghiasi wajah tampannya melihat Adnessa yang masih tertidur pulas, bersandar di bahunya.Revan yang tadinya ingin membangunkan Adnessa, mengurungkan niatnya. Ia memutuskan untuk menunggu sampai gadis itu terbangun sendiri. "Apakah hari ini begitu melelahkan, sayang?" lirih Revan, merapikan anak rambut Adnessa yang sedikit berantakan dengan lembut. Dengan hati-hati, Revan membenarkan jas miliknya yang ia gunakan untuk menyelimuti Adnessa, tidak ingin mengganggu tidur gadis itu."Sudah bangun, sayang?" tanya Revan, ketika melihat Adnessa mengerjap.Dengan mata memerah khas bangun tidur, Adnessa terlihat bingung. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke arah sekitar."Sudah sampai dari tadi?""Hmmm," sahut Revan dengan lembut.Adnessa menegakkan tubuhnya, "Kenapa tidak membangunkan ku?!""Kamu terlihat begitu lelah, sayang. Saya tidak tega untuk membangunkanmu!" sahut Revan.Adnessa m
'Adnessa?' batin Axcel bimbang, melihat siluet yang sangat mirip dengan Adnessa. Apakah yang ia lihat tadi benar-benar Adnessa atau hanya orang yang mirip saja dengan gadis itu?Tanpa sadar Axcel melangkah, mengikuti gadis yang terlihat mirip dengan Adnessa, membuat Erika yang tengah bersamanya menatap bingung ke arah Axcel yang tiba-tiba pergi."Axcel? Ada apa denganmu?" Erika, yang merasa diabaikan, menatap Axcel dengan kesal. Sedari tadi ia berbicara, namun Axcel hanya diam, dan sekarang justru meninggalkannya.Axcel tersadar, ia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Erika yang tergopoh-gopoh mengikuti langkahnya. "Tidak ada. Saya hanya ingin mencari ruang untuk merokok!" sahutnya beralasan.Erika menatapnya curiga, tapi kemudian mengangguk. "Ya sudah, tapi cepat kembali! Sebentar lagi giliranku dan kamu harus menemaniku, Axcel!"Axcel mengangguk, ia segera melangkahkan kakinya keluar, mencari jejak gadis yang sangat mirip dengan Adnessa tadi.Sesampainya di depan rumah sakit
Adnessa menumpahkan segalanya kepada Laluna dan Fransisca. Ia menceritakan kehamilannya, sosok Axcel yang penuh misteri, dan keputusan Revan yang tiba-tiba untuk menikahinya. Air mata mengalir di pipinya, membasahi kisah yang selama ini ia simpan rapat-rapat.Laluna dan Fransisca mendengarkan dengan seksama, mata mereka membulat karena terkejut, air mata menetes karena simpati. Mereka merasa kasihan pada Adnessa, tetapi juga kagum dengan kekuatan dan ketegarannya."Gue nggak nyangka lo ngalamin semua ini, Ness," ucap Laluna, suaranya bergetar, memeluk Adnessa erat. "Kenapa lo nggak cerita sama kita, sih?""Iya, Ness," timpal Fransisca, mengangguk setuju. "Kuat banget lo nyimpan masalah serumit ini sendirian," lanjutnya, memeluk Adnessa erat, menyalurkan kekuatan kepada sahabatnya."Mau bagaimana lagi?" sahut Adnessa sendu, mengusap perutnya yang masih rata. "Sebenarnya gue juga nggak ingin berada di situasi seperti ini. Tapi... gue takut kalian akan marah dan menjauh setelah tahu masa
Fransisca dan Laluna yang penasaran degan hubungan mereka, akhirnya "Ness, tunggu!" teriak Laluna, mencoba menghentikan langkah Adnessa."Kalian kenapa?" tanya Adnessa. Menatap bingung ke arah dua sahabatnya bergantian, melihat dua sahabatnya berdiri di belakangnya dengan napas terengah-engah.Dengan napas tersenggal-senggal karena habis berlari mengejar langkah Adnessa, Laluna dan Fransisca saling menatap. Mereka sedikit ragu ingin bertanya tentang hubungan sahabatnya ini dengan dosen mereka, melihat Revan yang masih berada di sana.Laluna menyenggol bahu Fransisca, meminta agar gadis itu yang menanyakannya."Apaan sih, lo?" gumam Fransisca, "Lo takut?""Bukannya gue takut, hanya saja gue tidak memiliki banyak energi untuk mendengar kebenarannya nanti!" sahut Laluna beralasan."Ckkk," decak Fransisca kesal dengan sikap Laluna.Adnessa mengerutkan kening, melihat gelagat aneh dua sahabatnya ini. "Apa yang tengah kalian diskusikan?"Fransisca dan Laluna terkesiap mendengar pertanyaan
"Saya... saya akan pergi, Pak," ucap Adnessa, suaranya bergetar. "Saya akan pindah sekolah ke luar negeri.""Pindah sekolah?" ulang Revan, alisnya terangkat. "Kenapa tiba-tiba?""Saya... saya ingin mencari pengalaman baru, Pak," jawab Adnessa, berbohong. Ia tidak ingin Revan tahu tentang kehamilannya."Pengalaman baru?" gumam Revan, menatap Adnessa dengan tatapan curiga. "Atau kamu ingin menghindar dari saya?"Adnessa terdiam, ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia merasa takut jika Revan akan marah atau kecewa."Saya... saya tidak menghindar dari Anda, Pak," jawab Adnessa akhirnya, berbohong lagi. "Saya hanya ingin mencari pengalaman baru."Revan menghela napas panjang, "Lalu, apa Axcel mengetahui hal ini?!" Tanyanya dengan kening berkerut, berfikir jika Adnessa telah memberitahukan kehamilannya kepada Axcel."Tahu," singkat Adnessa. Memang Axcel mengetahui niatnya yang ingin berseklah di luar negeri.Revan mengangguk, ia mengerti kenapa Adnessa tiba-tiba ingin pindah ke luar negeri. P
Semalaman Adnessa benar-benar tidak bisa beristirahat dengan tenang, ia terus memikirkan langkah apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Membesarkan anak seorang diri... Itu bukanlah hal yang mudah, apalagi di usianya yang masih belia."Kamu sakit, Ness?!" tanya Margaretha, melihat wajah Adnessa yang tampak pucat.Adnessa menggeleng, "Adnessa baik-baik saja, Ma. Hanya perut Adnessa teasa sedikit sakit!" sahutnya yang memang merasa mual, melihat beberapa makanan yang tersaji di atas meja."Apa perlu kita periksakan ke rumah sakit?" tanya Jhonatan cemas, takut jika ada kondisi serius yang tidak segera mereka ketahui tentang kesehatan Adnessa.Ke rumah sakit? Yang ada akan menambah masalah untuknya. Untuk saat ini, ia belum memiliki keberanian untuk mengatakan kondisinya yang sebenarnya. "Tidak perlu, Pa. Ini hanya sakit biasa, Nessa juga sudah minum obat tadi. Nanti juga mereda sendiri sakitnya," sahutnya berbohong."Benarkah?" tanya Jhonatan sedikit ragu.Margaretha menepuk pelan pundak