Lamunan Astoria terhenti ketika terdengar ketukan di pintu, diikuti suara yang sudah tak asing lagi. "Astoria, kau sudah bangun?"
tanya Mikhail sambil mendorong pintu dengan lembut. Di tangannya, ia membawa semangkuk cream soup yang masih mengepul hangat."Ya, aku baru saja bangun," jawab Astoria, nadanya sedikit gugup, tak bisa menghindari rasa malu dari peristiwa tadi malam.Mikhail menghampirinya dan meletakkan mangkuk di meja samping ranjang. "Makanlah ini, lalu minum obat antibiotik serta obat tahan sakitnya," ujar Mikhail dengan nada yang tenang, namun penuh perhatian. Ia menyerahkan nampan berisi sup kepada Astoria.Astoria menerimanya, kemudian mulai meniup sendok sup yang panas sebelum menyesap perlahan. "Terima kasih, Mikhail," ucapnya dengan suara lirih. "Kau sendiri sudah makan?" Mikhail mengangguk singkat. "Sudah, bersama David. Hari ini, jika kau butuh apa-apa, katakan saja pada David. Aku akan pergi ke rumah Paman Smith seBeberapa saat setelah Mikhail pergi, terdengar ketukan pintu utama Villa begitu tegas. David menghampiri pintu utama villa dengan langkah ragu, wajahnya tegang. Ia tahu siapa yang berdiri di balik pintu, dan ia sadar tak ada jalan kembali. Semua ini demi Jhein, demi kekasih yang ia cintai, meski hatinya penuh rasa bersalah. Ketika pintu terbuka, sosok pria paruh baya dengan sayatan panjang di pipinya berdiri di sana. Senyum menyeringai menghiasi wajahnya, menambah kesan mengerikan pada penampilannya. Pria itu menatap David sejenak sebelum melangkah masuk dengan penuh percaya diri, seolah-olah villa ini miliknya. David hanya bisa menelan ludah, berusaha menjaga ketenangannya. Namun, jauh di lubuk hatinya, ada ketakutan yang mengintai. Ia tahu pria ini bukan orang yang main-main, dan kesalahan kecil bisa berakibat fatal. Sementara itu, di dalam kamar, Astoria mendengar suara dari luar. Alisnya m
Saat Mikhail terpuruk di lantai kamar, liontin Astoria masih tergenggam erat di tangannya. Amarah dan rasa putus asa bertarung dalam benaknya.Pikirannya melayang kepada David, asistennya yang selama ini selalu bisa ia andalkan. "David, kenapa kau tiba-tiba melakukan ini?" Gumaman itu keluar seperti bisikan angin, penuh kepedihan dan ketidakpercayaan.Dia berusaha mengingat semua interaksi terakhirnya dengan David, ketika mereka sampai villa, sikap David memang agak aneh.Pikiran itu seperti duri yang menusuk dalam. "David yang setia ... Mengapa?"Mikhail menggertakkan giginya. Langkahnya berat dan penuh kemarahan saat dia bergerak menuju kamar David.Setiap langkah terasa seperti memikul beban dunia di pundaknya, namun tekad untuk mengerti apa yang sebenarnya terjadi membuatnya terus berjalan.Pintu kamar David terbuka tanpa terkunci. Mikhail melangkah masuk dengan penuh kehati-hatian. Kamar itu terlihat normal pada pandangan pe
Suasana pagi itu terasa mencekam, langit tertutup awan hitam pekat, menambah aura suram di sekitar bangunan terbengkalai yang hampir tak terlihat.Hanya suara gemuruh angin dan rintik hujan yang menemani keheningan, seperti tanda dari alam bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi.Di dalam salah satu ruangan usang, Astoria duduk terikat di sudut, tubuhnya menggigil di tengah dinginnya udara yang merasuk ke tulang. Isaknya teredam oleh perekat yang melilit mulutnya, membuat suara tangisannya hanya berupa bisikan lemah.Matanya membengkak, mengalirkan air mata yang bercampur dengan rasa takut dan sakit yang tak tertahankan. Luka di kakinya, yang masih basah oleh darah, berdenyut-denyut nyeri, seperti pisau tajam yang terus menusuk tanpa henti.Di depannya, pria paruh baya dengan luka sayatan di pipinya menyeringai keji, menikmati penderitaannya. Tatapan matanya dingin, tanpa belas kasihan, seolah-olah Astoria hanyalah barang dagangan yang s
Siang itu, matahari menyelinap melalui jendela kamar, memancarkan sinar hangat yang kontras dengan ketegangan pagi yang baru saja berlalu. Awan yang sebelumnya gelap kini mulai berarak, seolah memberi tanda bahwa badai ketakutan dan kengerian telah mereda.Astoria terbaring lemah di atas ranjang, napasnya tersengal-sengal akibat demam yang mulai menyerang tubuhnya yang lelah.Di sampingnya, Mikhail duduk dengan wajah penuh penyesalan, memegang erat tangannya. Paman Smith dan Dokter desa sedang membalut luka-luka di kaki dan lengannya, berusaha memperbaiki keadaan fisiknya yang compang-camping setelah kejadian yang mencekam itu."Atas nama Desa ini, aku minta maaf. Seharusnya ini tak terjadi." Paman Smith mengerutkan dahinya sambil membantu Dokter membalut luka Astoria."Jangan begitu, Paman. Ini di luar kendali," tutur Mikhail, namun justru ialah yang merasa bersalah pada istrinya itu.Wajah Astoria tampak pucat, matanya sedikit mengerjap
Esoknya di senja hari yang tenang di Villa, akhirnya demam Astoria pun turun. Di setiap detik yang berlalu, Mikhail tak pernah meninggalkannya, selalu berada di sampingnya saat ia tertidur, mengawasi setiap gerak napasnya dengan cemas.Saat ini, sinar lembut matahari senja menyusup masuk melalui celah jendela, menerangi ruangan dengan kehangatan yang tenang.Mikhail duduk di tepi ranjang, jemarinya secara lembut membelai kepala Astoria, merasa sedikit lega setelah melihat kondisinya perlahan membaik.Tanpa disadari, kelopak mata Astoria mulai terbuka perlahan. Detik itu, Mikhail tersentak, tangannya berhenti membelai, dan ia merasakan kegugupan yang tak biasa. Napasnya tertahan sejenak, jantungnya berdegup kencang, tak tahu harus berkata apa."Ekhem ... kau sudah bangun?" ujarnya dengan nada canggung, seolah mencoba menyembunyikan perasaannya.Astoria menatapnya dengan mata yang masih setengah tertutup, senyum lemah mengembang di bibirnya
Di tempat lain, di kamar M.J Hotel Oakridge yang diterangi cahaya lampu lembut, Jerry terduduk gelisah di belakang meja kerjanya. Jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja kayu dengan ritme yang tidak teratur, tanda kekhawatiran yang berusaha ia sembunyikan di balik wajah datarnya. Matanya tajam menatap ponselnya, kabar tentang penculikan Astoria yang baru ia terima membuat hatinya terusik. Astoria diculik. "Mengapa bisa sampai terjadi?," gumamnya pelan, sembari berdiri dan berjalan ke arah jendela besar yang memperlihatkan pemandangan Desa Oakridge di bawahnya. Namun, ia tahu, jika ia mencoba menemui Astoria sekarang, Mikhail akan berada di sana, dan hal itu hanya akan membuat situasi semakin rumit. Mikhail pasti tidak akan memperbolehkannya mendekati Astoria, apalagi setelah semua intrik yang pernah terjadi di antara mereka. Jerry menarik napas panjang, pikirannya berputar. Ia harus memutuskan sesuatu, tapi di tengah acara
Mikhail merasakan sentuhan lembut bibir Astoria di ujung jarinya. Pipinya yang halus dan hangat membuat sesuatu dalam dirinya semakin sulit dikendalikan.Detak jantungnya berdetak lebih cepat, dan tanpa bisa menahannya, dorongan untuk semakin mendekat pada wanita itu menjadi semakin kuat.Perlahan, tanpa suara, Mikhail mulai mendekatkan wajahnya. Sedikit demi sedikit, setiap inci jarak di antara mereka semakin menghilang.Tatapan Astoria yang dalam membingkai ketegangan yang tak terucap, tapi tak ada yang bisa ia lakukan selain tetap berada di sana, di tengah kehangatan yang kini menggantung di udara.Mikhail tahu bahwa ia tak bisa lagi menghentikan dirinya. Dorongan itu lebih besar dari yang bisa ia kendalikan.Dan pada akhirnya, tanpa ada jarak lagi di antara mereka, bibir Mikhail akhirnya mendarat dengan pasti di bibir Astoria.Astoria terhenyak, tubuhnya seakan membeku dalam momen itu. Rasa hangat menyusup dari bibir Mikhail
Astoria menunduk, wajahnya memerah karena malu. “Tak apa-apa … maafkan aku juga,” ucapnya lirih, suaranya hampir tak terdengar. Ia berusaha menyembunyikan kegugupannya, meski jantungnya masih berdetak kencang dari perasaan yang barusan meledak di antara mereka.Mikhail, yang juga merasakan kegelisahan yang sama, segera meraih mangkuk dan sendok yang tadi terjatuh.Gerakannya kikuk, seolah tak tahu harus berbuat apa untuk mengisi kekosongan yang canggung itu. “Kau … kau istirahatlah,” ujarnya, tanpa menatap Astoria langsung. “Lalu minum obat.”Suasana kamar terasa sunyi, seakan detik-detik waktu berjalan lambat, penuh dengan perasaan yang menggantung di udara. Astoria hanya bisa menatap punggung Mikhail yang bergerak cepat keluar dari kamar, membiarkannya sendirian dengan perasaan tak menentu.Mikhail, di sisi lain, melangkah tergesa-gesa menuju dapur, seakan mencari pelarian dari ketegangan yang baru saja terjadi.Di dapur, Mikh
Enam bulan setelah Jerry ditangkap dan dipenjara, kantor M.J Hotel Group mulai kembali ke rutinitas yang lebih normal. David, setelah dibebaskan dari segala tuduhan, kembali ke perusahaan dan menggantikan posisi Jerry yang kosong. Kehadirannya disambut hangat oleh para eksekutif dan staf yang telah lama menunggu stabilitas kembali dalam perusahaan. Hari itu suasana kantor terasa lebih meriah dari biasanya. Para karyawan berkumpul di ruang rapat, tetapi bukan untuk diskusi bisnis. David berdiri di tengah ruangan dengan senyum penuh kebahagiaan, memegang tangan Jhein yang tampak terkejut tapi juga sangat bahagia. "Jhein, selama ini kau selalu di sisiku, mendukungku, bahkan saat aku terpuruk. Sekarang, aku ingin kau selalu berada di sisiku, bukan hanya sebagai rekan kerja, tapi sebagai pendamping hidupku," ucap David dengan nada mantap, tapi lembut sambil berlutut memberikan cincin untuk Jhein. Ruangan seketika
Malam itu, di sebuah sudut yang gelap dan tersembunyi, Jhein berdiri sambil memperhatikan Astoria dan Jerry di kafe dari kejauhan. Matanya tajam mengawasi setiap gerakan mereka, sementara jari-jarinya dengan cepat menggesek layar ponselnya, memotret momen yang dianggapnya penting. Dia menyaksikan percakapan penuh ketegangan itu, tak luput dari satu detik pun."Maafkan aku Astoria, ini bagian dari tugasku pada Mikhail," gumam Jhein dengan suara pelan sambil mengirimkan serangkaian foto itu ke nomor Mikhail. Sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya, menunjukkan bahwa pesan telah berhasil terkirim.Di dalam kafe, Astoria sedang mencoba meyakinkan Jerry untuk merelakannya, sementara di tempat lain, Mikhail yang menerima pesan dari Jhein tidak tahu apa yang sedang terjadi.Ia membuka pesan tersebut saat tengah sibuk di kantornya, foto-foto Astoria dan Jerry dalam satu frame membuat darahnya mendidih seketika. Meski belum tahu konteksnya, perasaan m
Malam itu, Astoria merasa lelah setelah seharian bekerja di kantor. Semua kesibukan yang menumpuk di hadapannya mulai mempengaruhi pikirannya. Mikhail masih terjebak dalam dunia kerjanya, dan meskipun Astoria mencoba untuk memahami, ada bagian dari hatinya yang merindukan kehadiran suaminya di sampingnya. Malam ini ia ada janji bertemu dengan Jerry untuk mengakhiri segalanya, dan semoga Mikhail tak salah paham. Astoria berharap semoga pertemuan ini bisa meredakan semua ketegangan yang mengganggu pikirannya. Dengan yakin ia melangkah, Astoria masuk ke sebuah kafe kecil yang terletak tidak jauh dari kantor. Suasana di dalam kafe itu hangat dan nyaman, dengan lampu-lampu redup yang memberi nuansa tenang. Aroma kopi yang segar menyambutnya, dan saat ia melangkah lebih dalam, pandangannya langsung tertuju pada sosok yang dikenalnya dengan baik, Jerry, yang sudah menunggu di sudut kafe dengan ekspresi yang sulit dibaca.
Minggu pagi yang cerah. Astoria duduk di sebuah kafe yang tenang. Tangannya gemetar sedikit ketika menggenggam secangkir teh hangat di depannya. Ia menunggu dengan cemas, mengatur napas agar tetap tenang. Tak lama kemudian, sebuah suara berat yang sudah lama tak ia dengar memecah keheningan. "Astoria?" Astoria mendongak, dan di sana berdiri seorang pria dengan rambut yang mulai memutih. Wajah Brandon tampak lebih tua dari terakhir kali ia melihatnya, namun di balik wajah itu, ada gurat penyesalan yang tak bisa disembunyikan. "Ayah..." Astoria tak mampu menyembunyikan rasa canggungnya. Perasaan bercampur aduk antara rindu, marah, dan harapan membuatnya bingung. Ia ingin memeluk ayahnya, namun luka masa lalu masih begitu segar di hatinya. Brandon menarik kursi dan duduk di depannya. "Aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi, Astoria, aku ingin minta maaf," katanya lirih, suaranya bergetar. Astoria hanya diam, menunggu penjelas
Astoria memandang layar ponselnya, jantungnya berdebar kencang saat melihat foto Mikhail yang tampak rentan.Namun, seolah tak memberi waktu untuk meresapi perasaannya, pesan baru muncul di layar. Ia menatap nama pengirim dengan curiga.Ternyata itu Rose.[Astoria, suamimu mabuk parah, dia di antar pulang oleh supirku.]Mendengar kabar itu, rasa tenang seolah merayap kembali ke dalam diri Astoria. Ia menghela napas lega, Kecurigaan yang sempat terbesit di benaknya sirna seketika. Ternyata Mikhail masih tak seperti yang Jerry tuduhkan, dan yang paling penting, dia baik-baik saja.“Terima kasih, Rose,” balasnya cepat, seolah untuk menegaskan rasa syukurnya. Namun Rose tampaknya memiliki pesan lain yang ingin disampaikan.[Sama-sama, Astoria. Oh iya, ayah kita bilang dia ingin bertemu denganmu, kapan kau siap?]Astoria terhenti sejenak, merasakan aliran dingin di tulang belakangnya. Meski hatinya bergetar mendengar nama itu
Mikhail menarik napas dalam-dalam, seolah menahan gelombang amarah yang masih tersisa di dadanya.Dia mendekat lagi, jarak di antara mereka semakin tipis. Tangannya perlahan mengangkat, jemarinya dengan lembut menyentuh wajah Astoria.Kulitnya terasa dingin di bawah sentuhan Mikhail, namun ada kehangatan aneh yang mengalir dari ujung jemarinya. Astoria terdiam, terperangkap dalam tatapan pria itu, marah, namun tak mampu benar-benar melukai.“Kau tahu, Astoria ...” Suaranya rendah, hampir berbisik, tetapi setiap kata yang keluar terasa berat, seolah penuh dengan emosi yang ia sembunyikan. “Aku masih belum bisa sepenuhnya memaafkan apa yang terjadi. Tapi itu tak berarti aku tak ingin melindungimu.”Tangannya bergerak turun, menelusuri rahang Astoria dengan pelan, nyaris ragu, sebelum berhenti di lehernya, jemarinya mengelus perlahan.“Terkadang, aku ingin marah. Tapi, pada saat yang sama, aku ingin memastikan kau baik-baik saja ... dengan c
Astoria melangkah perlahan, mengantarkan Jhein ke kamar yang pernah menjadi miliknya. Setiap langkah terasa berat, seiring dengan pertanyaan yang terus bergulir di benaknya. Jhein berjalan di sampingnya, tanpa banyak bicara, tampak malu dan gugup setelah menandatangani kontrak dengan Mikhail. Astoria dan Jhein akhirnya sampai di kamar yang dulunya milik Astoria. "Ini... kamarmu untuk sementara waktu," ujar Astoria dengan suara lemah, mencoba tetap tenang meski hatinya bergejolak. Jhein menatap sekeliling kamar itu dengan rasa canggung. Meski kamar tersebut sederhana di Penthouse, tapi bagi Jhein itu sudah lebih dari cukup, hingga ia merasa semakin segan. Astoria meletakkan tangannya di gagang pintu, hendak berbalik meninggalkan Jhein sendirian. Namun, sebelum ia melangkah keluar, Jhein memanggilnya. "Astoria … terima kasih," kata Jhein pelan, suaranya dipenuhi dengan rasa bersalah yang dalam. Astoria hanya mengangguk kecil. "Istirahatlah. Kita bisa bicarakan ini nanti," j
Pada akhirnya, Mikhail memutuskan untuk tidak mengantar Jhein pulang ke rumahnya. 'Dia tidak bisa kembali ke tempat seperti itu dengan kondisi seperti ini,' pikirnya. Namun, keputusannya bukan hanya soal belas kasihan. Dalam benaknya, Mikhail sudah merencanakan sesuatu. Mobil berhenti di depan penthouse, dan mereka bertiga turun. Mikhail berjalan lebih dulu, langkahnya mantap memimpin di depan Astoria dan Jhein menuju unit Penthousenya. 'Aku tak sebaik itu, tak akan memberinya secara cuma-cuma,' batinnya semakin tegas. Saat mereka tiba di penthouse, suasana terasa sunyi. Mikhail langsung menuju ruang kerjanya tanpa banyak bicara. Sebelum menghilang di balik pintu, ia berbalik dan berkata dengan nada tegas, "Ajak Jhein ke ruang kerjaku," ujarnya pada Astoria. Astoria, meskipun merasa sedikit tak nyaman dengan sikap Mikhail yang dingin, tetap mengikuti instruksi suaminya. Ia meraih tangan Jhein yang terlihat gelisah, menggenggamnya erat sambil berkata lembut, "Ayo, mari ki
Astoria melangkah pelan di trotoar, menikmati hembusan angin sore yang membawa sedikit kedamaian setelah pertemuan yang emosional dengan Rose.Pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan barusan, tentang ayahnya dan hubungan yang selama ini tersembunyi. Langkahnya lambat, dan ia berusaha menenangkan hatinya yang masih bergolak.Tiba-tiba, terdengar suara klakson dari arah samping. Astoria terhenti, menoleh dengan cepat ke sumber suara. Sebuah mobil hitam berhenti di dekatnya. Jendela mobil itu turun perlahan, memperlihatkan wajah Mikhail di balik kemudi, tatapannya serius namun terkesan tenang."Masuklah!" ajaknya dengan nada yang tenang namun tegas.Astoria membelalakkan mata. "Mi-Mikhail?" suaranya mengandung keheranan, tak menyangka Mikhail mengikutinya hingga ke sini. Meski terkejut, ia tahu benar bahwa Mikhail bukan orang yang suka diabaikan, terutama ketika ia memerintahkan sesuatu. Tanpa banyak berpikir lagi, Astoria membuka pintu dan segera