Mikhail memasuki kamar membawa secangkir teh hangat dan berjalan mendekati Astoria, yang masih bersandar di headboard tempat tidur.
Setelah menaruh cangkir di meja samping, Mikhail duduk di sudut ruangan dengan sebuah buku di tangannya, tapi perhatiannya tak sepenuhnya pada halaman-halaman itu."Astoria, besok aku akan mengunjungi kerabat di sekitar sini untuk meminjam beberapa baju untukmu," katanya, suaranya lebih dalam dari biasanya. "Jangan terus pakai kemeja itu."Matanya sekilas melirik ke arah Astoria, yang sekarang mengenakan kemejanya. Pemandangan itu untuk kedua kalinya terasa sensual.Astoria terlihat begitu lembut dalam pakaian longgar miliknya, menyentuh gejolak yang berusaha ia sembunyikan di balik wajah dinginnya.Namun, Mikhail segera kembali memfokuskan diri pada buku di tangannya, seolah mencari pelarian dari perasaan yang tak ingin ia akui."Iya, tak apa, ada David di sini," ujar Astoria sambil menghabiskan tLamunan Astoria terhenti ketika terdengar ketukan di pintu, diikuti suara yang sudah tak asing lagi. "Astoria, kau sudah bangun?"tanya Mikhail sambil mendorong pintu dengan lembut. Di tangannya, ia membawa semangkuk cream soup yang masih mengepul hangat."Ya, aku baru saja bangun," jawab Astoria, nadanya sedikit gugup, tak bisa menghindari rasa malu dari peristiwa tadi malam.Mikhail menghampirinya dan meletakkan mangkuk di meja samping ranjang. "Makanlah ini, lalu minum obat antibiotik serta obat tahan sakitnya," ujar Mikhail dengan nada yang tenang, namun penuh perhatian. Ia menyerahkan nampan berisi sup kepada Astoria.Astoria menerimanya, kemudian mulai meniup sendok sup yang panas sebelum menyesap perlahan. "Terima kasih, Mikhail," ucapnya dengan suara lirih. "Kau sendiri sudah makan?" Mikhail mengangguk singkat. "Sudah, bersama David. Hari ini, jika kau butuh apa-apa, katakan saja pada David. Aku akan pergi ke rumah Paman Smith se
Beberapa saat setelah Mikhail pergi, terdengar ketukan pintu utama Villa begitu tegas. David menghampiri pintu utama villa dengan langkah ragu, wajahnya tegang. Ia tahu siapa yang berdiri di balik pintu, dan ia sadar tak ada jalan kembali. Semua ini demi Jhein, demi kekasih yang ia cintai, meski hatinya penuh rasa bersalah. Ketika pintu terbuka, sosok pria paruh baya dengan sayatan panjang di pipinya berdiri di sana. Senyum menyeringai menghiasi wajahnya, menambah kesan mengerikan pada penampilannya. Pria itu menatap David sejenak sebelum melangkah masuk dengan penuh percaya diri, seolah-olah villa ini miliknya. David hanya bisa menelan ludah, berusaha menjaga ketenangannya. Namun, jauh di lubuk hatinya, ada ketakutan yang mengintai. Ia tahu pria ini bukan orang yang main-main, dan kesalahan kecil bisa berakibat fatal. Sementara itu, di dalam kamar, Astoria mendengar suara dari luar. Alisnya m
Saat Mikhail terpuruk di lantai kamar, liontin Astoria masih tergenggam erat di tangannya. Amarah dan rasa putus asa bertarung dalam benaknya.Pikirannya melayang kepada David, asistennya yang selama ini selalu bisa ia andalkan. "David, kenapa kau tiba-tiba melakukan ini?" Gumaman itu keluar seperti bisikan angin, penuh kepedihan dan ketidakpercayaan.Dia berusaha mengingat semua interaksi terakhirnya dengan David, ketika mereka sampai villa, sikap David memang agak aneh.Pikiran itu seperti duri yang menusuk dalam. "David yang setia ... Mengapa?"Mikhail menggertakkan giginya. Langkahnya berat dan penuh kemarahan saat dia bergerak menuju kamar David.Setiap langkah terasa seperti memikul beban dunia di pundaknya, namun tekad untuk mengerti apa yang sebenarnya terjadi membuatnya terus berjalan.Pintu kamar David terbuka tanpa terkunci. Mikhail melangkah masuk dengan penuh kehati-hatian. Kamar itu terlihat normal pada pandangan pe
Suasana pagi itu terasa mencekam, langit tertutup awan hitam pekat, menambah aura suram di sekitar bangunan terbengkalai yang hampir tak terlihat.Hanya suara gemuruh angin dan rintik hujan yang menemani keheningan, seperti tanda dari alam bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi.Di dalam salah satu ruangan usang, Astoria duduk terikat di sudut, tubuhnya menggigil di tengah dinginnya udara yang merasuk ke tulang. Isaknya teredam oleh perekat yang melilit mulutnya, membuat suara tangisannya hanya berupa bisikan lemah.Matanya membengkak, mengalirkan air mata yang bercampur dengan rasa takut dan sakit yang tak tertahankan. Luka di kakinya, yang masih basah oleh darah, berdenyut-denyut nyeri, seperti pisau tajam yang terus menusuk tanpa henti.Di depannya, pria paruh baya dengan luka sayatan di pipinya menyeringai keji, menikmati penderitaannya. Tatapan matanya dingin, tanpa belas kasihan, seolah-olah Astoria hanyalah barang dagangan yang s
Siang itu, matahari menyelinap melalui jendela kamar, memancarkan sinar hangat yang kontras dengan ketegangan pagi yang baru saja berlalu. Awan yang sebelumnya gelap kini mulai berarak, seolah memberi tanda bahwa badai ketakutan dan kengerian telah mereda.Astoria terbaring lemah di atas ranjang, napasnya tersengal-sengal akibat demam yang mulai menyerang tubuhnya yang lelah.Di sampingnya, Mikhail duduk dengan wajah penuh penyesalan, memegang erat tangannya. Paman Smith dan Dokter desa sedang membalut luka-luka di kaki dan lengannya, berusaha memperbaiki keadaan fisiknya yang compang-camping setelah kejadian yang mencekam itu."Atas nama Desa ini, aku minta maaf. Seharusnya ini tak terjadi." Paman Smith mengerutkan dahinya sambil membantu Dokter membalut luka Astoria."Jangan begitu, Paman. Ini di luar kendali," tutur Mikhail, namun justru ialah yang merasa bersalah pada istrinya itu.Wajah Astoria tampak pucat, matanya sedikit mengerjap
Esoknya di senja hari yang tenang di Villa, akhirnya demam Astoria pun turun. Di setiap detik yang berlalu, Mikhail tak pernah meninggalkannya, selalu berada di sampingnya saat ia tertidur, mengawasi setiap gerak napasnya dengan cemas.Saat ini, sinar lembut matahari senja menyusup masuk melalui celah jendela, menerangi ruangan dengan kehangatan yang tenang.Mikhail duduk di tepi ranjang, jemarinya secara lembut membelai kepala Astoria, merasa sedikit lega setelah melihat kondisinya perlahan membaik.Tanpa disadari, kelopak mata Astoria mulai terbuka perlahan. Detik itu, Mikhail tersentak, tangannya berhenti membelai, dan ia merasakan kegugupan yang tak biasa. Napasnya tertahan sejenak, jantungnya berdegup kencang, tak tahu harus berkata apa."Ekhem ... kau sudah bangun?" ujarnya dengan nada canggung, seolah mencoba menyembunyikan perasaannya.Astoria menatapnya dengan mata yang masih setengah tertutup, senyum lemah mengembang di bibirnya
Di tempat lain, di kamar M.J Hotel Oakridge yang diterangi cahaya lampu lembut, Jerry terduduk gelisah di belakang meja kerjanya. Jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja kayu dengan ritme yang tidak teratur, tanda kekhawatiran yang berusaha ia sembunyikan di balik wajah datarnya. Matanya tajam menatap ponselnya, kabar tentang penculikan Astoria yang baru ia terima membuat hatinya terusik. Astoria diculik. "Mengapa bisa sampai terjadi?," gumamnya pelan, sembari berdiri dan berjalan ke arah jendela besar yang memperlihatkan pemandangan Desa Oakridge di bawahnya. Namun, ia tahu, jika ia mencoba menemui Astoria sekarang, Mikhail akan berada di sana, dan hal itu hanya akan membuat situasi semakin rumit. Mikhail pasti tidak akan memperbolehkannya mendekati Astoria, apalagi setelah semua intrik yang pernah terjadi di antara mereka. Jerry menarik napas panjang, pikirannya berputar. Ia harus memutuskan sesuatu, tapi di tengah acara
Mikhail merasakan sentuhan lembut bibir Astoria di ujung jarinya. Pipinya yang halus dan hangat membuat sesuatu dalam dirinya semakin sulit dikendalikan.Detak jantungnya berdetak lebih cepat, dan tanpa bisa menahannya, dorongan untuk semakin mendekat pada wanita itu menjadi semakin kuat.Perlahan, tanpa suara, Mikhail mulai mendekatkan wajahnya. Sedikit demi sedikit, setiap inci jarak di antara mereka semakin menghilang.Tatapan Astoria yang dalam membingkai ketegangan yang tak terucap, tapi tak ada yang bisa ia lakukan selain tetap berada di sana, di tengah kehangatan yang kini menggantung di udara.Mikhail tahu bahwa ia tak bisa lagi menghentikan dirinya. Dorongan itu lebih besar dari yang bisa ia kendalikan.Dan pada akhirnya, tanpa ada jarak lagi di antara mereka, bibir Mikhail akhirnya mendarat dengan pasti di bibir Astoria.Astoria terhenyak, tubuhnya seakan membeku dalam momen itu. Rasa hangat menyusup dari bibir Mikhail