Esoknya di senja hari yang tenang di Villa, akhirnya demam Astoria pun turun. Di setiap detik yang berlalu, Mikhail tak pernah meninggalkannya, selalu berada di sampingnya saat ia tertidur, mengawasi setiap gerak napasnya dengan cemas.
Saat ini, sinar lembut matahari senja menyusup masuk melalui celah jendela, menerangi ruangan dengan kehangatan yang tenang.Mikhail duduk di tepi ranjang, jemarinya secara lembut membelai kepala Astoria, merasa sedikit lega setelah melihat kondisinya perlahan membaik.Tanpa disadari, kelopak mata Astoria mulai terbuka perlahan. Detik itu, Mikhail tersentak, tangannya berhenti membelai, dan ia merasakan kegugupan yang tak biasa. Napasnya tertahan sejenak, jantungnya berdegup kencang, tak tahu harus berkata apa."Ekhem ... kau sudah bangun?" ujarnya dengan nada canggung, seolah mencoba menyembunyikan perasaannya.Astoria menatapnya dengan mata yang masih setengah tertutup, senyum lemah mengembang di bibirnyaDi tempat lain, di kamar M.J Hotel Oakridge yang diterangi cahaya lampu lembut, Jerry terduduk gelisah di belakang meja kerjanya. Jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja kayu dengan ritme yang tidak teratur, tanda kekhawatiran yang berusaha ia sembunyikan di balik wajah datarnya. Matanya tajam menatap ponselnya, kabar tentang penculikan Astoria yang baru ia terima membuat hatinya terusik. Astoria diculik. "Mengapa bisa sampai terjadi?," gumamnya pelan, sembari berdiri dan berjalan ke arah jendela besar yang memperlihatkan pemandangan Desa Oakridge di bawahnya. Namun, ia tahu, jika ia mencoba menemui Astoria sekarang, Mikhail akan berada di sana, dan hal itu hanya akan membuat situasi semakin rumit. Mikhail pasti tidak akan memperbolehkannya mendekati Astoria, apalagi setelah semua intrik yang pernah terjadi di antara mereka. Jerry menarik napas panjang, pikirannya berputar. Ia harus memutuskan sesuatu, tapi di tengah acara
Mikhail merasakan sentuhan lembut bibir Astoria di ujung jarinya. Pipinya yang halus dan hangat membuat sesuatu dalam dirinya semakin sulit dikendalikan.Detak jantungnya berdetak lebih cepat, dan tanpa bisa menahannya, dorongan untuk semakin mendekat pada wanita itu menjadi semakin kuat.Perlahan, tanpa suara, Mikhail mulai mendekatkan wajahnya. Sedikit demi sedikit, setiap inci jarak di antara mereka semakin menghilang.Tatapan Astoria yang dalam membingkai ketegangan yang tak terucap, tapi tak ada yang bisa ia lakukan selain tetap berada di sana, di tengah kehangatan yang kini menggantung di udara.Mikhail tahu bahwa ia tak bisa lagi menghentikan dirinya. Dorongan itu lebih besar dari yang bisa ia kendalikan.Dan pada akhirnya, tanpa ada jarak lagi di antara mereka, bibir Mikhail akhirnya mendarat dengan pasti di bibir Astoria.Astoria terhenyak, tubuhnya seakan membeku dalam momen itu. Rasa hangat menyusup dari bibir Mikhail
Astoria menunduk, wajahnya memerah karena malu. “Tak apa-apa … maafkan aku juga,” ucapnya lirih, suaranya hampir tak terdengar. Ia berusaha menyembunyikan kegugupannya, meski jantungnya masih berdetak kencang dari perasaan yang barusan meledak di antara mereka.Mikhail, yang juga merasakan kegelisahan yang sama, segera meraih mangkuk dan sendok yang tadi terjatuh.Gerakannya kikuk, seolah tak tahu harus berbuat apa untuk mengisi kekosongan yang canggung itu. “Kau … kau istirahatlah,” ujarnya, tanpa menatap Astoria langsung. “Lalu minum obat.”Suasana kamar terasa sunyi, seakan detik-detik waktu berjalan lambat, penuh dengan perasaan yang menggantung di udara. Astoria hanya bisa menatap punggung Mikhail yang bergerak cepat keluar dari kamar, membiarkannya sendirian dengan perasaan tak menentu.Mikhail, di sisi lain, melangkah tergesa-gesa menuju dapur, seakan mencari pelarian dari ketegangan yang baru saja terjadi.Di dapur, Mikh
Mikhail mengepalkan gagang telepon lebih kuat, jemarinya hampir memutih. Kata-kata David terdengar berat, seperti beban yang semakin menghimpit amarah Mikhail."Tuan, seperti yang aku katakan di suratku, aku akan datang lagi menghadap secara satria," suara David terdengar putus asa, namun ada tekad di baliknya. Mikhail diam sejenak, dadanya naik-turun, mencoba mengendalikan perasaannya.Mata gelapnya menatap kosong ke arah jendela, di mana hujan terus turun tanpa henti, seolah mencerminkan kekacauan di dalam hatinya. Kata 'satria' yang dilontarkan David terasa seperti ejekan.Bagaimana mungkin orang yang telah mengkhianatinya dan membahayakan Astoria bisa berbicara tentang kehormatan?"Kau bicara tentang 'satria' setelah semua ini?" suara Mikhail bergetar dengan kemarahan yang ditahan, dingin seperti baja. "Setelah kau membiarkan Astoria dicelakai? Kau pikir kehormatanmu bisa memperbaiki semua ini?"Di seberang sana, David terdiam. Tidak
Mikhail meraih tangan Astoria yang masih menyentuh bibirnya, jemarinya menggenggam lembut. Sentuhannya begitu hangat, hingga Astoria tak bisa menahan perasaan aneh yang muncul di hatinya. "Aku hanya memejamkan mata," ujar Mikhail dengan suara rendah, sudut bibirnya naik tipis, seolah menyembunyikan senyum yang ingin lebih lebar. Astoria mengerjapkan matanya, gugup tak karuan. Wajahnya terasa panas, dan dengan cepat ia berbalik memunggungi Mikhail sambil berpura-pura menguap. "Aku sangat mengantuk sekarang," ujarnya, mencoba menutupi rasa malunya. Mikhail, yang mengerti apa yang dirasakan Astoria, hanya tersenyum lebih lebar melihat tingkahnya. Dalam diam, ia mendekatkan tubuhnya ke punggung Astoria, menyusupkan lengannya ke sekeliling tubuhnya yang mungil. Astoria dapat merasakan napas hangat Mikhail di tengkuknya, membuat jantungnya berdetak semakin cepat. "Lebih baik cepat tidur, jangan sampai membuatku begadang," bisik Mikhail men
Setelah sarapan, mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke rumah Paman Smith. Mikhail, seperti biasa, mengantarkan Astoria ke kamar mandi terlebih dahulu dan memastikan lantainya tidak licin. Dia selalu memastikan segala sesuatunya aman bagi Astoria yang kakinya masih terluka.Ketika selesai bersiap, mereka berjalan keluar, dan Mikhail memandang kendaraan motor trail yang terparkir di halaman.Khawatir, Mikhail menatap Astoria dengan ragu. Motor trail memang tidak dirancang untuk berboncengan, apalagi dengan seseorang yang sedang cedera seperti Astoria. "Aku tidak yakin ini ide yang bagus. Kalau tidak jadi pergi bagaimana?."Astoria yang sudah bersemangat keluar dari villa, mendengus pelan sambil memalingkan wajahnya sedikit cemberut. "Aku sudah bosan di sini, Mikhail. Aku tidak bisa diam saja seperti ini terus."Melihat ekspresi cemberut Astoria yang memancarkan tekadnya, Mikhail tak bisa menolak lebih lama. Meskipun ia tetap khawatir, ada bagian
David melangkah mendekat dengan tatapan penuh penyesalan. "Tuan, aku datang untuk meminta maaf ..., meskipun aku tahu kau tak akan memaafkanku," suaranya terdengar bergetar, tapi ia tetap tegar di hadapan Mikhail, berharap bisa menyampaikan penyesalannya, meski tahu itu takkan pernah cukup.Mikhail berdiri kaku, rahangnya menegang. Tatapannya tajam menusuk, menembus David seperti sebuah pisau dingin yang penuh dengan amarah yang tertahan.Ia merasa percuma mendengarkan permintaan maaf yang tak ada artinya. Seseorang yang begitu dipercayanya, seseorang yang selalu berada di sisinya, ternyata sanggup melukainya sedalam ini.“Serahkan dirimu ke polisi jika kau tahu diri!” bentak Mikhail dengan suara yang dingin dan penuh amarah, sebelum berbalik tanpa memberi kesempatan David untuk membalas.Ia melangkah cepat menuju pintu villa, tak ingin melihat wajah David lagi. Setiap detik di dekat pria itu hanya membuat lukanya semakin terasa perih, seakan pisa
Suara sirene polisi memecah keheningan di sekitar villa. Udara yang tadinya sunyi kini penuh dengan ketegangan. Lampu merah dan biru berputar-putar, menciptakan bayangan yang tak nyaman di dinding villa. David berdiri tegak, namun wajahnya menunjukkan kepasrahan. Ia tahu, waktunya sudah tiba.Jhein berdiri di sampingnya, air matanya tak henti-hentinya mengalir. “David…,” bisiknya, suaranya bergetar penuh kesedihan.David menoleh sebentar, menatapnya dengan mata sayu. "Sudah cukup, Jhein. Ini semua salahku. Kau tak perlu menangis untukku." Ia mengusap lembut pipi Jhein yang basah oleh air mata, tapi tatapannya penuh kepedihan.Sementara itu, Mikhail berdiri beberapa langkah di depan pintu villa, diam tanpa ekspresi, menonton segala yang terjadi dengan dingin. Tak ada emosi di wajahnya.Tidak marah, tidak sedih. Hanya hampa, seperti batu yang tak tergoyahkan oleh angin atau hujan.David menarik napas panjang, lalu menghadap ke arah Mikhail.