Mikhail meraih tangan Astoria yang masih menyentuh bibirnya, jemarinya menggenggam lembut. Sentuhannya begitu hangat, hingga Astoria tak bisa menahan perasaan aneh yang muncul di hatinya.
"Aku hanya memejamkan mata," ujar Mikhail dengan suara rendah, sudut bibirnya naik tipis, seolah menyembunyikan senyum yang ingin lebih lebar. Astoria mengerjapkan matanya, gugup tak karuan. Wajahnya terasa panas, dan dengan cepat ia berbalik memunggungi Mikhail sambil berpura-pura menguap. "Aku sangat mengantuk sekarang," ujarnya, mencoba menutupi rasa malunya. Mikhail, yang mengerti apa yang dirasakan Astoria, hanya tersenyum lebih lebar melihat tingkahnya. Dalam diam, ia mendekatkan tubuhnya ke punggung Astoria, menyusupkan lengannya ke sekeliling tubuhnya yang mungil. Astoria dapat merasakan napas hangat Mikhail di tengkuknya, membuat jantungnya berdetak semakin cepat. "Lebih baik cepat tidur, jangan sampai membuatku begadang," bisik Mikhail menSetelah sarapan, mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke rumah Paman Smith. Mikhail, seperti biasa, mengantarkan Astoria ke kamar mandi terlebih dahulu dan memastikan lantainya tidak licin. Dia selalu memastikan segala sesuatunya aman bagi Astoria yang kakinya masih terluka.Ketika selesai bersiap, mereka berjalan keluar, dan Mikhail memandang kendaraan motor trail yang terparkir di halaman.Khawatir, Mikhail menatap Astoria dengan ragu. Motor trail memang tidak dirancang untuk berboncengan, apalagi dengan seseorang yang sedang cedera seperti Astoria. "Aku tidak yakin ini ide yang bagus. Kalau tidak jadi pergi bagaimana?."Astoria yang sudah bersemangat keluar dari villa, mendengus pelan sambil memalingkan wajahnya sedikit cemberut. "Aku sudah bosan di sini, Mikhail. Aku tidak bisa diam saja seperti ini terus."Melihat ekspresi cemberut Astoria yang memancarkan tekadnya, Mikhail tak bisa menolak lebih lama. Meskipun ia tetap khawatir, ada bagian
David melangkah mendekat dengan tatapan penuh penyesalan. "Tuan, aku datang untuk meminta maaf ..., meskipun aku tahu kau tak akan memaafkanku," suaranya terdengar bergetar, tapi ia tetap tegar di hadapan Mikhail, berharap bisa menyampaikan penyesalannya, meski tahu itu takkan pernah cukup.Mikhail berdiri kaku, rahangnya menegang. Tatapannya tajam menusuk, menembus David seperti sebuah pisau dingin yang penuh dengan amarah yang tertahan.Ia merasa percuma mendengarkan permintaan maaf yang tak ada artinya. Seseorang yang begitu dipercayanya, seseorang yang selalu berada di sisinya, ternyata sanggup melukainya sedalam ini.“Serahkan dirimu ke polisi jika kau tahu diri!” bentak Mikhail dengan suara yang dingin dan penuh amarah, sebelum berbalik tanpa memberi kesempatan David untuk membalas.Ia melangkah cepat menuju pintu villa, tak ingin melihat wajah David lagi. Setiap detik di dekat pria itu hanya membuat lukanya semakin terasa perih, seakan pisa
Suara sirene polisi memecah keheningan di sekitar villa. Udara yang tadinya sunyi kini penuh dengan ketegangan. Lampu merah dan biru berputar-putar, menciptakan bayangan yang tak nyaman di dinding villa. David berdiri tegak, namun wajahnya menunjukkan kepasrahan. Ia tahu, waktunya sudah tiba.Jhein berdiri di sampingnya, air matanya tak henti-hentinya mengalir. “David…,” bisiknya, suaranya bergetar penuh kesedihan.David menoleh sebentar, menatapnya dengan mata sayu. "Sudah cukup, Jhein. Ini semua salahku. Kau tak perlu menangis untukku." Ia mengusap lembut pipi Jhein yang basah oleh air mata, tapi tatapannya penuh kepedihan.Sementara itu, Mikhail berdiri beberapa langkah di depan pintu villa, diam tanpa ekspresi, menonton segala yang terjadi dengan dingin. Tak ada emosi di wajahnya.Tidak marah, tidak sedih. Hanya hampa, seperti batu yang tak tergoyahkan oleh angin atau hujan.David menarik napas panjang, lalu menghadap ke arah Mikhail.
Astoria duduk dengan santai di atas tikar yang digelar di halaman rumah Paman Smith, kakinya diluruskan dengan nyaman. Di tangannya, ia dengan telaten memotong sayuran yang akan dimasak untuk makan siang. Di sebelahnya, Bibi Smith sibuk dengan bahan pelengkap lain, sambil sesekali melemparkan cerita ringan tentang masa kecil Mikhail."Begitulah Mikhail," ujar Bibi Smith sambil tersenyum tipis, “dari dulu dia jarang tersenyum. Malah cenderung menyendiri, lebih suka diam di pojok atau menyibukkan diri dengan buku-bukunya. Tapi kalau di sini, setidaknya dia bisa terhibur. Dia bermain layang-layang di lapangan belakang, Paman Smith yang mengajarkannya naik sepeda."Paman Smith yang sedang membersihkan sayuran juga ikut menyahut. "Ya, benar. Ketika Mikhail mulai remaja, aku ajarkan dia naik motor trail itu. Dia belajar cepat sekali. Tapi, hanya di sini kami benar-benar melihatnya tumbuh seperti anak-anak lainnya, bebas dan tanpa tekanan. Di rumahnya, dia selalu dipaksa
Di tepi kolam, suara gemericik air yang tenang mengiringi langkah-langkah mereka. Ikan-ikan kecil berkerumun di permukaan air, berenang dengan riang di antara teratai yang terapung. Mikhail membantu Astoria duduk di bangku kayu tua di samping kolam. Sesaat ia berdiri memandangi kolam, punggungnya menghadap Astoria, tangannya diselipkan ke dalam saku mantel.Meski tak berkata-kata, kehadirannya begitu terasa. Astoria merasakan kenyamanan dari keheningan itu, seolah ada percakapan yang tak perlu diucapkan.Astoria memandangi punggung Mikhail, yang tampak kokoh namun juga menyimpan banyak beban. "Mikhail ..." panggilnya pelan.Mikhail berbalik perlahan, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Dalam sinar matahari yang hangat, wajahnya terlihat begitu tenang, meski sorot matanya tetap dingin. Namun, ada kehangatan di balik dinginnya tatapan itu, sesuatu yang hanya bisa Astoria rasakan."Baru kali ini aku melihatmu tersenyum lebar." uca
Jerry tersenyum tipis, sebuah senyuman yang lebih mirip smirk, penuh dengan kesan licik dan tanpa ketulusan. "Hi Mikhail, Astoria. Aku datang membawa barang kalian yang tertinggal di hotel," katanya dengan nada santai, seolah tidak ada ketegangan yang memenuhi udara di sekeliling mereka.Mikhail dan Astoria saling menatap, di wajah Astoria terpancar kebingungan dan sedikit menegang karena terakhir kali Mikhail dan Jerry tampak tidak baik-baik saja, sementara Mikhail tetap memasang wajah dinginnya. Tidak ada yang bicara. Mikhail tahu bahwa Jerry jarang melakukan sesuatu tanpa maksud tersembunyi.Astoria dengan tongkatnya, sedikit limbung, segera dirangkul oleh Mikhail yang tidak melepaskan pandangannya dari Jerry, seolah waspada terhadap setiap gerakannya."Astoria? Kau baik-baik saja?" tanya Jerry, hanya peduli pada Astoria, dan mulai melangkah maju, hendak membantu.Namun, Mikhail dengan cepat menghadang, matanya berkilat tajam. "Biar aku yang me
Mikhail mendekat, suaranya dalam dan penuh intimidasi. "Aku masih berbaik hati tidak menjebloskanmu ke penjara dengan semua bukti yang kupunya," ujarnya, menatap Jerry dengan tajam. Ada kilatan dingin di matanya, seakan hanya satu langkah lagi sebelum ia benar-benar menghancurkan sahabat lamanya itu.Namun, Jerry tak bergeming. Ia mendongak, menatap balik Mikhail tanpa gentar, seolah ancaman itu tak berarti apa-apa baginya. "Penjara?" Jerry tertawa pelan, tawa yang penuh kepahitan dan kekecewaan. "Kau pikir aku takut masuk penjara, Mikhail? Kau salah besar."Jerry melangkah maju, memaksa tatapannya bertemu langsung dengan Mikhail. "Jika aku harus masuk penjara, itu takkan mengubah apapun. Aku sudah siap menghadapi apapun, termasuk kehilangan segalanya. Tapi kau?" Jerry mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, suaranya merendah namun penuh tantangan. "Kau akan tetap terjebak di dunia yang kau benci. Kau mungkin bisa menjebloskanku ke penjara, tapi itu tida
Setelah Jerry pergi dari villa, Mikhail menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan pikirannya sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke kamar Astoria.Hujan di luar masih terus turun, menambah suasana sunyi dan dingin yang menyelimuti villa itu."Astoria?" panggil Mikhail dengan lembut saat melihat istrinya itu duduk di tepi ranjang, sambil melamun.Astoria menoleh perlahan, seolah tersentak keluar dari pikirannya. Tatapannya penuh keraguan dan kebingungan, mungkin masih memikirkan kedatangan Jerry yang tak terduga tadi.Mikhail duduk di sampingnya, diam sesaat sebelum akhirnya berkata, "Istirahatlah, Astoria. Lebih baik lusa kita pulang. Ini sudah bukan liburan lagi." Suara Mikhail terdengar lesu, seolah semua energinya terkuras oleh kejadian yang baru saja terjadi.Astoria memandanginya. Ada garis lelah yang terlihat jelas di wajah Mikhail, sesuatu yang jarang ia lihat. Mikhail yang biasanya kuat dan tegar, kini terlihat berbeda, seolah b