Mikhail menarik napas dalam-dalam, seolah menahan gelombang amarah yang masih tersisa di dadanya.Dia mendekat lagi, jarak di antara mereka semakin tipis. Tangannya perlahan mengangkat, jemarinya dengan lembut menyentuh wajah Astoria.Kulitnya terasa dingin di bawah sentuhan Mikhail, namun ada kehangatan aneh yang mengalir dari ujung jemarinya. Astoria terdiam, terperangkap dalam tatapan pria itu, marah, namun tak mampu benar-benar melukai.“Kau tahu, Astoria ...” Suaranya rendah, hampir berbisik, tetapi setiap kata yang keluar terasa berat, seolah penuh dengan emosi yang ia sembunyikan. “Aku masih belum bisa sepenuhnya memaafkan apa yang terjadi. Tapi itu tak berarti aku tak ingin melindungimu.”Tangannya bergerak turun, menelusuri rahang Astoria dengan pelan, nyaris ragu, sebelum berhenti di lehernya, jemarinya mengelus perlahan.“Terkadang, aku ingin marah. Tapi, pada saat yang sama, aku ingin memastikan kau baik-baik saja ... dengan c
Astoria memandang layar ponselnya, jantungnya berdebar kencang saat melihat foto Mikhail yang tampak rentan.Namun, seolah tak memberi waktu untuk meresapi perasaannya, pesan baru muncul di layar. Ia menatap nama pengirim dengan curiga.Ternyata itu Rose.[Astoria, suamimu mabuk parah, dia di antar pulang oleh supirku.]Mendengar kabar itu, rasa tenang seolah merayap kembali ke dalam diri Astoria. Ia menghela napas lega, Kecurigaan yang sempat terbesit di benaknya sirna seketika. Ternyata Mikhail masih tak seperti yang Jerry tuduhkan, dan yang paling penting, dia baik-baik saja.“Terima kasih, Rose,” balasnya cepat, seolah untuk menegaskan rasa syukurnya. Namun Rose tampaknya memiliki pesan lain yang ingin disampaikan.[Sama-sama, Astoria. Oh iya, ayah kita bilang dia ingin bertemu denganmu, kapan kau siap?]Astoria terhenti sejenak, merasakan aliran dingin di tulang belakangnya. Meski hatinya bergetar mendengar nama itu
Minggu pagi yang cerah. Astoria duduk di sebuah kafe yang tenang. Tangannya gemetar sedikit ketika menggenggam secangkir teh hangat di depannya. Ia menunggu dengan cemas, mengatur napas agar tetap tenang. Tak lama kemudian, sebuah suara berat yang sudah lama tak ia dengar memecah keheningan. "Astoria?" Astoria mendongak, dan di sana berdiri seorang pria dengan rambut yang mulai memutih. Wajah Brandon tampak lebih tua dari terakhir kali ia melihatnya, namun di balik wajah itu, ada gurat penyesalan yang tak bisa disembunyikan. "Ayah..." Astoria tak mampu menyembunyikan rasa canggungnya. Perasaan bercampur aduk antara rindu, marah, dan harapan membuatnya bingung. Ia ingin memeluk ayahnya, namun luka masa lalu masih begitu segar di hatinya. Brandon menarik kursi dan duduk di depannya. "Aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi, Astoria, aku ingin minta maaf," katanya lirih, suaranya bergetar. Astoria hanya diam, menunggu penjelas
Malam itu, Astoria merasa lelah setelah seharian bekerja di kantor. Semua kesibukan yang menumpuk di hadapannya mulai mempengaruhi pikirannya. Mikhail masih terjebak dalam dunia kerjanya, dan meskipun Astoria mencoba untuk memahami, ada bagian dari hatinya yang merindukan kehadiran suaminya di sampingnya. Malam ini ia ada janji bertemu dengan Jerry untuk mengakhiri segalanya, dan semoga Mikhail tak salah paham. Astoria berharap semoga pertemuan ini bisa meredakan semua ketegangan yang mengganggu pikirannya. Dengan yakin ia melangkah, Astoria masuk ke sebuah kafe kecil yang terletak tidak jauh dari kantor. Suasana di dalam kafe itu hangat dan nyaman, dengan lampu-lampu redup yang memberi nuansa tenang. Aroma kopi yang segar menyambutnya, dan saat ia melangkah lebih dalam, pandangannya langsung tertuju pada sosok yang dikenalnya dengan baik, Jerry, yang sudah menunggu di sudut kafe dengan ekspresi yang sulit dibaca.
Malam itu, di sebuah sudut yang gelap dan tersembunyi, Jhein berdiri sambil memperhatikan Astoria dan Jerry di kafe dari kejauhan. Matanya tajam mengawasi setiap gerakan mereka, sementara jari-jarinya dengan cepat menggesek layar ponselnya, memotret momen yang dianggapnya penting. Dia menyaksikan percakapan penuh ketegangan itu, tak luput dari satu detik pun."Maafkan aku Astoria, ini bagian dari tugasku pada Mikhail," gumam Jhein dengan suara pelan sambil mengirimkan serangkaian foto itu ke nomor Mikhail. Sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya, menunjukkan bahwa pesan telah berhasil terkirim.Di dalam kafe, Astoria sedang mencoba meyakinkan Jerry untuk merelakannya, sementara di tempat lain, Mikhail yang menerima pesan dari Jhein tidak tahu apa yang sedang terjadi.Ia membuka pesan tersebut saat tengah sibuk di kantornya, foto-foto Astoria dan Jerry dalam satu frame membuat darahnya mendidih seketika. Meski belum tahu konteksnya, perasaan m
Enam bulan setelah Jerry ditangkap dan dipenjara, kantor M.J Hotel Group mulai kembali ke rutinitas yang lebih normal. David, setelah dibebaskan dari segala tuduhan, kembali ke perusahaan dan menggantikan posisi Jerry yang kosong. Kehadirannya disambut hangat oleh para eksekutif dan staf yang telah lama menunggu stabilitas kembali dalam perusahaan. Hari itu suasana kantor terasa lebih meriah dari biasanya. Para karyawan berkumpul di ruang rapat, tetapi bukan untuk diskusi bisnis. David berdiri di tengah ruangan dengan senyum penuh kebahagiaan, memegang tangan Jhein yang tampak terkejut tapi juga sangat bahagia. "Jhein, selama ini kau selalu di sisiku, mendukungku, bahkan saat aku terpuruk. Sekarang, aku ingin kau selalu berada di sisiku, bukan hanya sebagai rekan kerja, tapi sebagai pendamping hidupku," ucap David dengan nada mantap, tapi lembut sambil berlutut memberikan cincin untuk Jhein. Ruangan seketika
"Astoria, ada tumpahan minuman di kamar 1501. Kamu harus segera membersihkannya!" ujar Jhein dengan nada mendesak. Astoria menghela napas panjang saat ia sedang berada di counter resepsionis seorang rekan kerjanya tiba-tiba saja memerintahkannya untuk membersihkan kamar. Hari ini, ia mendapatkan tugas yang agak berbeda dari biasanya, seorang resepsionis yang membersihkan kamar seorang CEO. Astoria bergerak cepat, merasakan sedikit kegugupan mengingat kamar 1501 adalah salah satu kamar eksekutif di M.J Hotel, tempatnya bekerja selama dua tahun terakhir. Setibanya di lantai 15, Astoria bisa merasakan kemewahan yang menyelimuti koridor. Ia berhenti sejenak di depan pintu kamar 1501, menarik napas dalam-dalam sebelum membunyikan bel yang berada di depan pintu. Setelah menunggu beberapa detik tanpa ada jawaban, ia memutuskan untuk membuka pintu dengan master key yang dimilikinya. Saat masuk, matanya langsung tertuju pada tumpahan minuman di dekat meja kecil di sudut ruangan. Dengan
"Jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi," suara Alexander terdengar tegas, tidak memberi ruang untuk kebohongan. Alexander, seorang pria dengan rambut beruban yang tetap memancarkan wibawa, duduk di belakang meja, menatap tajam ke arah putranya, Mikhail, dan Astoria yang berdiri di hadapannya. Astoria merasa kakinya gemetar, matanya terfokus pada lantai, dan tangannya menggenggam ujung bajunya dengan erat. Detak jantungnya berdegup kencang, seolah-olah bisa terdengar di seluruh ruangan. Mikhail menarik napas dalam-dalam, pandangannya sesaat beralih pada Astoria yang menundukkan kepala. "Kami akan segera menikah, Ayah," katanya dengan tegas. Astoria mengangkat kepalanya sedikit, matanya berkaca-kaca. Ia merasa seakan terjebak dalam mimpi buruk yang tak berujung. Setiap kata yang keluar dari mulut Mikhail hanya membuatnya semakin terpuruk. Pernikahan ini bukan sesuatu yang ia inginkan, apalagi dengan cara seperti ini. Alexander mengangguk pelan, mengingat betapa ia sendi
Enam bulan setelah Jerry ditangkap dan dipenjara, kantor M.J Hotel Group mulai kembali ke rutinitas yang lebih normal. David, setelah dibebaskan dari segala tuduhan, kembali ke perusahaan dan menggantikan posisi Jerry yang kosong. Kehadirannya disambut hangat oleh para eksekutif dan staf yang telah lama menunggu stabilitas kembali dalam perusahaan. Hari itu suasana kantor terasa lebih meriah dari biasanya. Para karyawan berkumpul di ruang rapat, tetapi bukan untuk diskusi bisnis. David berdiri di tengah ruangan dengan senyum penuh kebahagiaan, memegang tangan Jhein yang tampak terkejut tapi juga sangat bahagia. "Jhein, selama ini kau selalu di sisiku, mendukungku, bahkan saat aku terpuruk. Sekarang, aku ingin kau selalu berada di sisiku, bukan hanya sebagai rekan kerja, tapi sebagai pendamping hidupku," ucap David dengan nada mantap, tapi lembut sambil berlutut memberikan cincin untuk Jhein. Ruangan seketika
Malam itu, di sebuah sudut yang gelap dan tersembunyi, Jhein berdiri sambil memperhatikan Astoria dan Jerry di kafe dari kejauhan. Matanya tajam mengawasi setiap gerakan mereka, sementara jari-jarinya dengan cepat menggesek layar ponselnya, memotret momen yang dianggapnya penting. Dia menyaksikan percakapan penuh ketegangan itu, tak luput dari satu detik pun."Maafkan aku Astoria, ini bagian dari tugasku pada Mikhail," gumam Jhein dengan suara pelan sambil mengirimkan serangkaian foto itu ke nomor Mikhail. Sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya, menunjukkan bahwa pesan telah berhasil terkirim.Di dalam kafe, Astoria sedang mencoba meyakinkan Jerry untuk merelakannya, sementara di tempat lain, Mikhail yang menerima pesan dari Jhein tidak tahu apa yang sedang terjadi.Ia membuka pesan tersebut saat tengah sibuk di kantornya, foto-foto Astoria dan Jerry dalam satu frame membuat darahnya mendidih seketika. Meski belum tahu konteksnya, perasaan m
Malam itu, Astoria merasa lelah setelah seharian bekerja di kantor. Semua kesibukan yang menumpuk di hadapannya mulai mempengaruhi pikirannya. Mikhail masih terjebak dalam dunia kerjanya, dan meskipun Astoria mencoba untuk memahami, ada bagian dari hatinya yang merindukan kehadiran suaminya di sampingnya. Malam ini ia ada janji bertemu dengan Jerry untuk mengakhiri segalanya, dan semoga Mikhail tak salah paham. Astoria berharap semoga pertemuan ini bisa meredakan semua ketegangan yang mengganggu pikirannya. Dengan yakin ia melangkah, Astoria masuk ke sebuah kafe kecil yang terletak tidak jauh dari kantor. Suasana di dalam kafe itu hangat dan nyaman, dengan lampu-lampu redup yang memberi nuansa tenang. Aroma kopi yang segar menyambutnya, dan saat ia melangkah lebih dalam, pandangannya langsung tertuju pada sosok yang dikenalnya dengan baik, Jerry, yang sudah menunggu di sudut kafe dengan ekspresi yang sulit dibaca.
Minggu pagi yang cerah. Astoria duduk di sebuah kafe yang tenang. Tangannya gemetar sedikit ketika menggenggam secangkir teh hangat di depannya. Ia menunggu dengan cemas, mengatur napas agar tetap tenang. Tak lama kemudian, sebuah suara berat yang sudah lama tak ia dengar memecah keheningan. "Astoria?" Astoria mendongak, dan di sana berdiri seorang pria dengan rambut yang mulai memutih. Wajah Brandon tampak lebih tua dari terakhir kali ia melihatnya, namun di balik wajah itu, ada gurat penyesalan yang tak bisa disembunyikan. "Ayah..." Astoria tak mampu menyembunyikan rasa canggungnya. Perasaan bercampur aduk antara rindu, marah, dan harapan membuatnya bingung. Ia ingin memeluk ayahnya, namun luka masa lalu masih begitu segar di hatinya. Brandon menarik kursi dan duduk di depannya. "Aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi, Astoria, aku ingin minta maaf," katanya lirih, suaranya bergetar. Astoria hanya diam, menunggu penjelas
Astoria memandang layar ponselnya, jantungnya berdebar kencang saat melihat foto Mikhail yang tampak rentan.Namun, seolah tak memberi waktu untuk meresapi perasaannya, pesan baru muncul di layar. Ia menatap nama pengirim dengan curiga.Ternyata itu Rose.[Astoria, suamimu mabuk parah, dia di antar pulang oleh supirku.]Mendengar kabar itu, rasa tenang seolah merayap kembali ke dalam diri Astoria. Ia menghela napas lega, Kecurigaan yang sempat terbesit di benaknya sirna seketika. Ternyata Mikhail masih tak seperti yang Jerry tuduhkan, dan yang paling penting, dia baik-baik saja.“Terima kasih, Rose,” balasnya cepat, seolah untuk menegaskan rasa syukurnya. Namun Rose tampaknya memiliki pesan lain yang ingin disampaikan.[Sama-sama, Astoria. Oh iya, ayah kita bilang dia ingin bertemu denganmu, kapan kau siap?]Astoria terhenti sejenak, merasakan aliran dingin di tulang belakangnya. Meski hatinya bergetar mendengar nama itu
Mikhail menarik napas dalam-dalam, seolah menahan gelombang amarah yang masih tersisa di dadanya.Dia mendekat lagi, jarak di antara mereka semakin tipis. Tangannya perlahan mengangkat, jemarinya dengan lembut menyentuh wajah Astoria.Kulitnya terasa dingin di bawah sentuhan Mikhail, namun ada kehangatan aneh yang mengalir dari ujung jemarinya. Astoria terdiam, terperangkap dalam tatapan pria itu, marah, namun tak mampu benar-benar melukai.“Kau tahu, Astoria ...” Suaranya rendah, hampir berbisik, tetapi setiap kata yang keluar terasa berat, seolah penuh dengan emosi yang ia sembunyikan. “Aku masih belum bisa sepenuhnya memaafkan apa yang terjadi. Tapi itu tak berarti aku tak ingin melindungimu.”Tangannya bergerak turun, menelusuri rahang Astoria dengan pelan, nyaris ragu, sebelum berhenti di lehernya, jemarinya mengelus perlahan.“Terkadang, aku ingin marah. Tapi, pada saat yang sama, aku ingin memastikan kau baik-baik saja ... dengan c
Astoria melangkah perlahan, mengantarkan Jhein ke kamar yang pernah menjadi miliknya. Setiap langkah terasa berat, seiring dengan pertanyaan yang terus bergulir di benaknya. Jhein berjalan di sampingnya, tanpa banyak bicara, tampak malu dan gugup setelah menandatangani kontrak dengan Mikhail. Astoria dan Jhein akhirnya sampai di kamar yang dulunya milik Astoria. "Ini... kamarmu untuk sementara waktu," ujar Astoria dengan suara lemah, mencoba tetap tenang meski hatinya bergejolak. Jhein menatap sekeliling kamar itu dengan rasa canggung. Meski kamar tersebut sederhana di Penthouse, tapi bagi Jhein itu sudah lebih dari cukup, hingga ia merasa semakin segan. Astoria meletakkan tangannya di gagang pintu, hendak berbalik meninggalkan Jhein sendirian. Namun, sebelum ia melangkah keluar, Jhein memanggilnya. "Astoria … terima kasih," kata Jhein pelan, suaranya dipenuhi dengan rasa bersalah yang dalam. Astoria hanya mengangguk kecil. "Istirahatlah. Kita bisa bicarakan ini nanti," j
Pada akhirnya, Mikhail memutuskan untuk tidak mengantar Jhein pulang ke rumahnya. 'Dia tidak bisa kembali ke tempat seperti itu dengan kondisi seperti ini,' pikirnya. Namun, keputusannya bukan hanya soal belas kasihan. Dalam benaknya, Mikhail sudah merencanakan sesuatu. Mobil berhenti di depan penthouse, dan mereka bertiga turun. Mikhail berjalan lebih dulu, langkahnya mantap memimpin di depan Astoria dan Jhein menuju unit Penthousenya. 'Aku tak sebaik itu, tak akan memberinya secara cuma-cuma,' batinnya semakin tegas. Saat mereka tiba di penthouse, suasana terasa sunyi. Mikhail langsung menuju ruang kerjanya tanpa banyak bicara. Sebelum menghilang di balik pintu, ia berbalik dan berkata dengan nada tegas, "Ajak Jhein ke ruang kerjaku," ujarnya pada Astoria. Astoria, meskipun merasa sedikit tak nyaman dengan sikap Mikhail yang dingin, tetap mengikuti instruksi suaminya. Ia meraih tangan Jhein yang terlihat gelisah, menggenggamnya erat sambil berkata lembut, "Ayo, mari ki
Astoria melangkah pelan di trotoar, menikmati hembusan angin sore yang membawa sedikit kedamaian setelah pertemuan yang emosional dengan Rose.Pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan barusan, tentang ayahnya dan hubungan yang selama ini tersembunyi. Langkahnya lambat, dan ia berusaha menenangkan hatinya yang masih bergolak.Tiba-tiba, terdengar suara klakson dari arah samping. Astoria terhenti, menoleh dengan cepat ke sumber suara. Sebuah mobil hitam berhenti di dekatnya. Jendela mobil itu turun perlahan, memperlihatkan wajah Mikhail di balik kemudi, tatapannya serius namun terkesan tenang."Masuklah!" ajaknya dengan nada yang tenang namun tegas.Astoria membelalakkan mata. "Mi-Mikhail?" suaranya mengandung keheranan, tak menyangka Mikhail mengikutinya hingga ke sini. Meski terkejut, ia tahu benar bahwa Mikhail bukan orang yang suka diabaikan, terutama ketika ia memerintahkan sesuatu. Tanpa banyak berpikir lagi, Astoria membuka pintu dan segera