"Astoria, ada tumpahan minuman di kamar 1501. Kamu harus segera membersihkannya!" ujar Jhein dengan nada mendesak.
Astoria menghela napas panjang saat ia sedang berada di counter resepsionis seorang rekan kerjanya tiba-tiba saja memerintahkannya untuk membersihkan kamar. Hari ini, ia mendapatkan tugas yang agak berbeda dari biasanya, seorang resepsionis yang membersihkan kamar seorang CEO. Astoria bergerak cepat, merasakan sedikit kegugupan mengingat kamar 1501 adalah salah satu kamar eksekutif di M.J Hotel, tempatnya bekerja selama dua tahun terakhir. Setibanya di lantai 15, Astoria bisa merasakan kemewahan yang menyelimuti koridor. Ia berhenti sejenak di depan pintu kamar 1501, menarik napas dalam-dalam sebelum membunyikan bel yang berada di depan pintu. Setelah menunggu beberapa detik tanpa ada jawaban, ia memutuskan untuk membuka pintu dengan master key yang dimilikinya. Saat masuk, matanya langsung tertuju pada tumpahan minuman di dekat meja kecil di sudut ruangan. Dengan cekatan, Astoria mulai membersihkan tumpahan tersebut, mencoba menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin. Namun, konsentrasinya terpecah saat ia mendengar suara air mengalir dari kamar mandi. Ia menoleh ke arah suara itu tepat saat pintu kamar mandi terbuka dan seorang pria tinggi dengan tubuh atletis, hanya mengenakan handuk yang melilit pinggangnya, keluar. Astoria terperanjat, matanya terbuka lebar melihat pria yang ternyata adalah Mikhail, CEO M.J Hotel. Wajahnya yang tampan dan tatapan matanya yang tajam membuat jantung Astoria berdegup kencang. “Apa yang kau lakukan di sini?” suara Mikhail terdengar dalam dan tegas. Astoria terlalu kaget untuk menjawab dan tanpa sengaja ia terpeleset pada tumpahan minuman yang belum sepenuhnya dibersihkan. Tubuhnya jatuh ke lantai dengan bunyi keras, diikuti Mikhail yang kehilangan keseimbangan dan terjatuh di atasnya. "Kau baik-baik saja?" tanya Mikhail panik, mencoba bangkit sambil tetap menjaga handuknya agar tidak terlepas. Astoria merasakan pipinya memanas, malu dan bingung dengan situasi yang terjadi. Namun, sebelum ia sempat menjawab, pintu kamar tiba-tiba terbuka lebar dan cahaya lampu kamera menyilaukan pandangannya. “Wartawan?” bisik Astoria pelan, matanya terbelalak melihat sekumpulan wartawan yang tiba-tiba saja ada di depan kamar Mikhail, dan mereka langsung memotret kejadian tersebut. Lampu kamera berkedip-kedip, dan suara pertanyaan yang datang dari segala arah membuat suasana semakin kacau. Mikhail sama terkejutnya dengan Astoria, ia segera bangkit dan membantu Astoria berdiri sambil menjaga ketenangannya. Dengan sigap, ia melangkah ke arah para wartawan dan mengangkat tangannya, meminta mereka untuk tenang. “Ini tidak seperti yang kalian pikirkan,” kata Mikhail dengan suara tegas namun tenang. “Astoria dan aku sebenarnya menjalin hubungan serius, dan kami berencana untuk menikah.” Astoria terkejut mendengar pernyataan Mikhail. Ia menoleh ke arah Mikhail dengan mata terbuka lebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan pria tersebut. Para wartawan segera menulis dan memotret lebih banyak lagi, mencatat setiap kata yang diucapkan Mikhail. “Kami meminta privasi kami dihormati,” lanjut Mikhail sambil merangkul bahu Astoria, mencoba menenangkan situasi yang sudah terlanjur panas. Astoria tidak tahu harus berbuat apa selain membiarkan dirinya dibawa oleh arus kejadian yang tidak terduga ini. Ia hanya bisa berharap bahwa apa yang dikatakan Mikhail bukan hanya sekadar upaya untuk mengendalikan situasi, tapi juga mengandung sedikit kebenaran yang bisa ia pegang. Setelah beberapa saat, para wartawan akhirnya mundur perlahan, masih terus mengambil gambar sampai pintu kamar ditutup oleh Mikhail. Ketika hanya tinggal mereka berdua, Astoria menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan pikirannya yang kacau. Astoria melihat Mikhail yang mencari ponselnya dan berusaha menghubungi seseorang. “Segera cari tahu mengapa banyak wartawan datang ke kamarku, sekarang!” Mikhail menghubungi asistennya. Sebelumnya Mikhail memang ada pertemuan dengan wartawan, karena mengenalkan kamar terbaru yang dimiliki oleh hotel miliknya. Setelahnya, Mikhail berpikir bahwa wartawan yang tiba-tiba ada di depan kamarnya adalah perintah dari seseorang. Astoria mulai membuka mulutnya setelah melihat Mikhail yang menutup sambungan teleponnya. "A-apa maksud Tuan dengan mengatakan bahwa kita berencana menikah?" tanya Astoria pelan, suaranya gemetar. Mikhail menatapnya dengan tatapan serius. “Itu satu-satunya cara untuk menghindari skandal besar yang bisa merusak reputasi hotel dan kita harus berpura-pura sampai situasi ini mereda.” Astoria merasakan air mata mulai menggenang di sudut matanya, tetapi ia menahannya. Ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Mikhail, meskipun hatinya hancur dan pikirannya penuh dengan kecemasan. Bagaimana mungkin hidupnya bisa berubah begitu drastis hanya dalam hitungan menit?"Jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi," suara Alexander terdengar tegas, tidak memberi ruang untuk kebohongan. Alexander, seorang pria dengan rambut beruban yang tetap memancarkan wibawa, duduk di belakang meja, menatap tajam ke arah putranya, Mikhail, dan Astoria yang berdiri di hadapannya. Astoria merasa kakinya gemetar, matanya terfokus pada lantai, dan tangannya menggenggam ujung bajunya dengan erat. Detak jantungnya berdegup kencang, seolah-olah bisa terdengar di seluruh ruangan. Mikhail menarik napas dalam-dalam, pandangannya sesaat beralih pada Astoria yang menundukkan kepala. "Kami akan segera menikah, Ayah," katanya dengan tegas. Astoria mengangkat kepalanya sedikit, matanya berkaca-kaca. Ia merasa seakan terjebak dalam mimpi buruk yang tak berujung. Setiap kata yang keluar dari mulut Mikhail hanya membuatnya semakin terpuruk. Pernikahan ini bukan sesuatu yang ia inginkan, apalagi dengan cara seperti ini. Alexander mengangguk pelan, mengingat betapa ia sendi
Mikhail Jamison Bloom berdiri tegak di altar dengan setelan jas hitam khusus yang mencerminkan statusnya sebagai CEO muda dari jaringan hotel terkenal milik keluarganya. Mikhail tampak sempurna dengan wajah tampan dan karisma yang memukau. Di sampingnya, Astoria berdiri dengan anggun dalam balutan gaun pengantin yang indah. Wajahnya yang cantik terlihat cemas saat bisikan-bisikan tamu yang meremehkan asal-usulnya dan keluarganya terdengar jelas di telinganya. Meskipun ia berusaha untuk tetap tenang, kata-kata kasar itu mengiris hatinya seperti pisau. “Tampan sekali Tuan Mikhail.” “CEO kita tampan, tapi sayangnya kenapa menikahi wanita yang tak jelas asal-usulnya itu? Ibunya datang tanpa ayahnya?” “Ku dengar ayahnya pergi karena ibunya selingkuh.” Bisik-bisik sebagian tamu undangan terdengar ketika Astoria berdiri di altar, mengenakan gaun pengantin yang indah namun terasa berat. Di sampingnya Mikhail berdiri dengan gagah namun tanpa ekspresi. “Ya ampun, pasti wanita itu sa
Setelah perbincangan itu, Astoria berbaring sendirian di ranjang, terpisah dengan Mikhail yang beristirahat di kamar lain. Malam serasa panjang untuk melepas beban, tentu saja, ini pernikahannya yang dilaksanakan secara mendadak, ditambah sebuah surat perjanjian pernikahan kontrak yang sudah ia tanda tangani sehari sebelum pernikahan kemarin membuatnya tak bisa tidur. Astoria terus mengingat perjanjian berat bersama Mikhail, saat itu suasana di ruang kerja Mikhail terasa dingin dan penuh ketegangan. Astoria duduk di hadapan Mikhail, mencoba memahami maksud dari dokumen yang baru saja diberikan kepadanya. Mikhail menatap Astoria tanpa ekspresi, Namun mata gelapnya memancarkan intimidasi, “Lima tahun adalah waktu yang cukup untuk menenangkan segala rumor yang ada. Setelah itu, kita akan bercerai secara baik-baik.” Ia berhenti sejenak, menatap Astoria bagai melihat kucing jalanan, dan menambahkan, “Ada satu hal yang harus kau ingat, kau tidak boleh menceritakan perjanjian ini kepada
Merasa lelah, Astoria berbaring di ranjangnya. Ya, ini di kamarnya sendiri, terpisah dengan kamar Mikhail. Ia menatap langit-langit, merenungi percakapan dengan ibunya. Tak lama kemudian, ponselnya berdering lagi, memecah keheningan.Pesan dari Rose, temannya:[Hei, kau tidak lupa 'kan acara ulang tahunku? Pakai baju formal ya, karena kakekku mengundang rekan bisnisnya juga.] Rose menambahkan emotikon menangis sebab ia menginginkan pesta untuk kaum muda, tapi kakeknya malah mengundang para rekan bisnisnya yang pasti sudah berumur.Astoria menjawab: [Oke, aku akan bersiap-siap.]Astoria duduk di depan cermin, mempersiapkan diri. Dengan hati-hati, ia berdandan cantik, memilih gaun yang elegan dan riasan yang menonjolkan kecantikannya. Ia menyisir rambutnya, lalu menguncirnya dengan gaya yang anggun.Petang itu, Astoria bergegas ke sebuah gedung acara yang megah, tempat yang memang diperuntukkan untuk acara besar. Hatinya berdebar-debar saat melangkah masuk. Sampai di depan pintu ballro
Pintu ballroom terbuka lagi, dan keramaian yang semula penuh canda tawa perlahan mereda. Semua mata beralih ke arah pintu masuk, di mana seorang pria berpostur tegap melangkah masuk dengan penuh wibawa.Setelan jas hitam yang ia kenakan tampak sempurna, seakan dijahit khusus untuk membalut tubuh atletisnya. Wajahnya yang tegas terpahat, dengan mata tajam yang memancarkan aura kedalaman dan ketegasan. Rambutnya tersisir rapi, menambah kesan dingin namun memikat.Langkahnya mantap, tanpa ragu, seolah ia telah terbiasa menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada. Dan benar saja, semua mata tak henti-hentinya mengikuti pergerakannya, berdecak kagum pada kehadirannya yang begitu menguasai ruangan.Bisikan-bisikan penuh kekaguman mulai terdengar dari sudut-sudut ballroom, membicarakan sosok tampan dan karismatik yang baru saja tiba.Pak Chriss, tuan rumah acara malam itu, segera melangkah maju dengan senyum lebar di wajahnya. "Duke Mikhail, kehormatan besar bagi kami, anda bisa hadir mala
Mikhail berdiri tegak di tengah keramaian, dikelilingi oleh kolega dan kenalannya, namun tiba-tiba pandangannya terpaku pada sosok yang familiar di kejauhan. Astoria. Dia ada di sini, di tengah kerumunan yang gemerlap dan riuh.Hatinya bertanya-tanya sejenak, 'Astoria mengenal Rose?' Pikiran itu berputar di kepalanya, namun dia dengan cepat mengalihkan fokusnya kembali ke percakapan dengan Pak Chriss, berusaha tetap tenang meski rasa penasaran menggigit pikirannya.Mikhail tetap mendengarkan Pak Chriss berbicara tentang rencana pembangunan hotel di dekat stasiun yang akan segera dimulai. Hotel yang akan menjadi jantung ekonomi baru di kawasan itu, menguntungkan semua pihak yang terlibat. Mikhail mengangguk, menunjukkan ketertarikannya meskipun pikirannya masih setengah di tempat lain. Sesekali, matanya melirik ke arah Astoria, berusaha memantau situasinya tanpa menimbulkan kecurigaan.Pak Chriss, yang tak menyadari distraksi kecil Mikhail, mengaj
Astoria terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat saat ia mencoba membuka mata. Cahaya putih yang terang menyambutnya, membuatnya harus menyipitkan mata sejenak untuk beradaptasi.Dia merasakan dinginnya seprai di bawah kulitnya dan bau khas antiseptik yang memenuhi udara, memberi tahu bahwa dia berada di tempat yang asing, bukan di rumah atau pesta yang barusan diingatnya, melainkan di kamar rumah sakit.Langit-langit putih bersih di atasnya, suara tetesan air infusan terdengar jelas dalam keheningan, dan rasa nyeri samar di telapak tangannya menjadi tanda bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Dia merasa tubuhnya lemas, seperti baru saja melewati sesuatu yang sangat melelahkan. Tiba-tiba, sebuah suara lembut dan penuh kekhawatiran menyapanya. "Kau sudah sadar?"Astoria menoleh perlahan, mendapati Rose duduk di samping tempat tidurnya, wajahnya dipenuhi kecemasan. Mata Rose tampak merah, seolah telah menahan air mata yang hampir tumpah.
Dalam perjalanan kembali ke hotel, Mikhail membiarkan pikirannya terhanyut dalam lamunan yang tak terelakkan. Wajah Astoria yang pucat, terbaring di ranjang rumah sakit, membuatnya bertanya-tanya. Ingatan itu membawanya kembali ke momen ketika dokter menemui dirinya setelah Astoria pingsan di pesta malam ini.Saat itu di rumah sakit, Mikhail berdiri di samping ranjang Astoria, melihat dokter memeriksa Astoria yang masih tidak sadarkan diri. Ketika dokter selesai, ia mendekati Mikhail, ekspresi serius terukir di wajahnya."Apa yang terjadi, Dok?" tanya Mikhail serius meski wajahnya nyaris tanpa ekspresi. Dokter menghela napas sebelum menjawab, "Secara fisik, Nona Astoria mengalami luka ringan di tangan akibat pecahan kaca. Namun, kondisi psikologisnya yang perlu lebih diperhatikan."Mikhail mengerutkan kening. "Apa maksud Anda?""Sepertinya Nona Astoria mengalami trauma psikis yang cukup dalam terkait darah," jelas dokter sambil menaikkan