Pintu ballroom terbuka lagi, dan keramaian yang semula penuh canda tawa perlahan mereda. Semua mata beralih ke arah pintu masuk, di mana seorang pria berpostur tegap melangkah masuk dengan penuh wibawa.
Setelan jas hitam yang ia kenakan tampak sempurna, seakan dijahit khusus untuk membalut tubuh atletisnya. Wajahnya yang tegas terpahat, dengan mata tajam yang memancarkan aura kedalaman dan ketegasan. Rambutnya tersisir rapi, menambah kesan dingin namun memikat. Langkahnya mantap, tanpa ragu, seolah ia telah terbiasa menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada. Dan benar saja, semua mata tak henti-hentinya mengikuti pergerakannya, berdecak kagum pada kehadirannya yang begitu menguasai ruangan. Bisikan-bisikan penuh kekaguman mulai terdengar dari sudut-sudut ballroom, membicarakan sosok tampan dan karismatik yang baru saja tiba. Pak Chriss, tuan rumah acara malam itu, segera melangkah maju dengan senyum lebar di wajahnya. "Duke Mikhail, kehormatan besar bagi kami, anda bisa hadir malam ini," ucapnya dengan suara penuh respect. Ia mengulurkan tangan, dan Mikhail menerimanya dengan anggukan ringan, ekspresinya tetap tak berubah. Meski sambutan itu penuh kehangatan, Mikhail tetap mempertahankan sikapnya yang dingin dan berjarak, membuat semua orang di sekitar merasakan kekuatannya yang tak terlihat namun sangat nyata terasa. "Maaf, Ayah dan ibuku tak turut datang," ujar Mikhail. "Oh, tak apa. Sudah ada anda yang mewakili pun suatu kehormatan besar," jawab Chriss tersenyum lebih lebar. Kehadirannya benar-benar mengubah suasana, membuat ruangan yang semula riuh menjadi lebih tenang “Duke Mikhail,” ujar Chriss dengan nada akrab namun penuh kehormatan, “Izinkan saya memperkenalkan anda dengan cucu saya.” Mikhail, yang telah terbiasa dengan pendekatan seperti ini, menatap Pak Chriss sejenak sebelum tersenyum tipis. “Saya menghargai niat baik Anda, Tuan Chriss, namun mungkin lain kali,” balasnya dengan suara yang lembut namun tetap terdengar dingin, menolak halus tawaran tersebut. Ia tahu betul apa yang sebenarnya dimaksud oleh Pak Chriss, dan ini bukan pertama kalinya ia dihadapkan pada situasi serupa, di mana para kolega atau kenalannya mencoba menjodohkannya dengan anggota keluarga mereka. Pak Chriss, yang sudah paham dengan sikap Mikhail, mengangguk perlahan, menyadari bahwa tidak ada gunanya memaksa. “Saya hanya ingin memperkenalkan saja, tidak ada maksud lain. Dia akan meneruskan bisnis saya suatu hari nanti,” jelasnya dengan senyum yang sedikit memudar, namun tetap berusaha menjaga percakapan tetap hangat. Bagi Pak Chriss, tak masalah bila Mikhail tak tertarik dengan cucunya, asalkan ia masih bisa menjaga hubungan bisnis yang baik dengan Mikhail. Meskipun penolakan Mikhail halus dan sopan, atmosfir di sekitar mereka mulai terasa sedikit canggung. Namun, itu tak menghentikan bisikan di antara para tamu yang berada di dekat mereka. Mereka yang telah lama ingin menyapa Mikhail, bahkan mungkin mencari kesempatan untuk menjalin hubungan lebih dekat, kini semakin bersemangat. Mikhail telah lama menjadi sosok yang dihormati dan dikagumi, dan bagi banyak orang, kesempatan untuk berbicara dengannya adalah sesuatu yang berharga. Di tengah suasana itu, Rose akhirnya muncul, menyeberangi ruangan dengan anggun. Gaunnya yang elegan berkibar ringan saat ia melangkah, wajahnya yang ceria berubah sedikit serius ketika ia mendekati kakeknya dan Mikhail. Aura kepemimpinan yang ia bawa tampak jelas, menandakan bahwa ia adalah wanita muda yang memiliki kedudukan penting dalam keluarga. Pak Chriss, melihat kedatangan cucunya, memberi isyarat halus. “Rose, ini adalah Duke Mikhail, CEO dari M.J. Hotel Group, beliau akan membuka hotel baru di sekitar stasiun yang akan kakek bangun,” katanya sambil menoleh ke Mikhail dengan senyum bangga. Rose melirik kakeknya, lalu mengalihkan pandangannya ke Mikhail. Matanya yang cerdas menatap pria di depannya tak lebih dari sekedar rekan bisnis kakeknya. Ia membungkuk sopan untuk menyapa Mikhail. "Senang bertemu anda Duke Mikhail, semoga hubungan bisnis kita lancar." Rose memberi senyuman sekedarnya sebagai formalitas, ia tak pernah tertarik berada di situasi ini. Mikhail, meski tetap dengan ekspresi datar, menyambut Rose dengan anggukan ringan. “Senang bertemu dengan Anda, Nona Rose,” ucapnya, suaranya tetap datar namun sopan. "Kalau begitu saya pamit, karena teman-teman saya telah menunggu," ujar Rose sopan. Namun mata Pak Chriss tampak membulat lebih besar menatap cucunya itu, merasa cucunya tak sopan meninggalkan tamu sepenting Mikhail. "Apa yang kau lakukan? temani dulu Tuan Mikhail berbincang," bisik Chriss pada Rose. "Kakek saja, aku tak paham obrolan bisnis!" jawab Rose cepat. Chriss tersenyum pada Mikhail dengan sungkan saat sekali lagi Rose membungkuk sopan dan mundur perlahan dari hadapan Mikhail dan Chriss. "Maafkan aku, dia masih muda jadi sulit di atur," ujar Pak Chriss. "Tak masalah," sahut Mikhail mengangguk kecil dengan senyuman tipis di bibirnya. Tapi matanya reflek mengikuti kemana Rose pergi ketika ia mendengar satu nama yang di panggil Rose. "Astoria!" Pandangannya sedikit terhalang oleh lalu lalang para tamu undangan. Saat Rose menarik lengan seseorang, barulah terlihat sosok wanita itu oleh manik gelap Mikhail. Sosok yang tak asing baginya. "Astoria?" gumamnya.Mikhail berdiri tegak di tengah keramaian, dikelilingi oleh kolega dan kenalannya, namun tiba-tiba pandangannya terpaku pada sosok yang familiar di kejauhan. Astoria. Dia ada di sini, di tengah kerumunan yang gemerlap dan riuh.Hatinya bertanya-tanya sejenak, 'Astoria mengenal Rose?' Pikiran itu berputar di kepalanya, namun dia dengan cepat mengalihkan fokusnya kembali ke percakapan dengan Pak Chriss, berusaha tetap tenang meski rasa penasaran menggigit pikirannya.Mikhail tetap mendengarkan Pak Chriss berbicara tentang rencana pembangunan hotel di dekat stasiun yang akan segera dimulai. Hotel yang akan menjadi jantung ekonomi baru di kawasan itu, menguntungkan semua pihak yang terlibat. Mikhail mengangguk, menunjukkan ketertarikannya meskipun pikirannya masih setengah di tempat lain. Sesekali, matanya melirik ke arah Astoria, berusaha memantau situasinya tanpa menimbulkan kecurigaan.Pak Chriss, yang tak menyadari distraksi kecil Mikhail, mengaj
Astoria terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat saat ia mencoba membuka mata. Cahaya putih yang terang menyambutnya, membuatnya harus menyipitkan mata sejenak untuk beradaptasi.Dia merasakan dinginnya seprai di bawah kulitnya dan bau khas antiseptik yang memenuhi udara, memberi tahu bahwa dia berada di tempat yang asing, bukan di rumah atau pesta yang barusan diingatnya, melainkan di kamar rumah sakit.Langit-langit putih bersih di atasnya, suara tetesan air infusan terdengar jelas dalam keheningan, dan rasa nyeri samar di telapak tangannya menjadi tanda bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Dia merasa tubuhnya lemas, seperti baru saja melewati sesuatu yang sangat melelahkan. Tiba-tiba, sebuah suara lembut dan penuh kekhawatiran menyapanya. "Kau sudah sadar?"Astoria menoleh perlahan, mendapati Rose duduk di samping tempat tidurnya, wajahnya dipenuhi kecemasan. Mata Rose tampak merah, seolah telah menahan air mata yang hampir tumpah.
Dalam perjalanan kembali ke hotel, Mikhail membiarkan pikirannya terhanyut dalam lamunan yang tak terelakkan. Wajah Astoria yang pucat, terbaring di ranjang rumah sakit, membuatnya bertanya-tanya. Ingatan itu membawanya kembali ke momen ketika dokter menemui dirinya setelah Astoria pingsan di pesta malam ini.Saat itu di rumah sakit, Mikhail berdiri di samping ranjang Astoria, melihat dokter memeriksa Astoria yang masih tidak sadarkan diri. Ketika dokter selesai, ia mendekati Mikhail, ekspresi serius terukir di wajahnya."Apa yang terjadi, Dok?" tanya Mikhail serius meski wajahnya nyaris tanpa ekspresi. Dokter menghela napas sebelum menjawab, "Secara fisik, Nona Astoria mengalami luka ringan di tangan akibat pecahan kaca. Namun, kondisi psikologisnya yang perlu lebih diperhatikan."Mikhail mengerutkan kening. "Apa maksud Anda?""Sepertinya Nona Astoria mengalami trauma psikis yang cukup dalam terkait darah," jelas dokter sambil menaikkan
[Ku dengar kau yang membawaku ke rumah sakit, terimakasih.] Pesan singkat itu muncul di layar ponsel Mikhail saat ia duduk di kantornya, pagi ini. Tanpa disadari, sudut bibirnya terangkat sedikit, membentuk senyuman tipis yang hampir tak terlihat. Dia memang sudah terbiasa menjaga jarak emosional, namun pesan dari Astoria pagi ini memberi warna berbeda di awal harinya. Di kantor, kehadiran Mikhail yang lebih pagi dari biasanya membuat para staf eksekutif tegang. Mereka tahu, jika sang CEO datang di pagi hari dengan sikap yang tak terbaca, itu sering kali pertanda akan ada sesuatu yang besar—dan mungkin tidak menyenangkan—yang akan terjadi di antara mereka. Namun, Mikhail sendiri tampaknya tidak peduli dengan ketegangan yang menyelimuti sekitarnya. Dia pun mengambil ponselnya dan membalas pesan Astoria dengan cepat. [Kau sudah lebih baik?] Astoria, yang sedang berbaring di ranjan
Mikhail memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya semakin menajam. Suasana dalam ruangan itu terasa mencekam, seolah-olah udara pun berhenti bergerak.Jhein merasakan dinginnya lantai di bawah lututnya, tapi rasa takut yang menusuk hatinya jauh lebih mengerikan daripada dingin yang merayap ke tubuhnya.“Bisa jelaskan saat itu mengapa seorang wartawan ada di sana?” Mikhail menuntut, suaranya tenang tapi dengan kekuatan yang tak terbantahkan. Jhein menunduk semakin dalam, tak berani menatap mata Mikhail. Jemarinya saling meremas, keringat dingin semakin deras mengalir di pelipisnya. “Sa-saya tidak tahu, Tuan,” jawabnya, suaranya hampir tak terdengar, seperti bisikan seorang wanita yang telah dihukum.Mikhail tak memberikan reaksi langsung, hanya membiarkan keheningan yang menggantung di udara menekan Jhein lebih dalam.“Di hotel ini, tidak ada yang bisa masuk kamar sembarangan,” lanjut Mikhail, nada bicaranya tidak berubah, tapi setiap kat
Memikirkan masalah yang begitu berat membuat kepala Mikhail terasa seperti dihimpit beban tak terlihat. Urat-urat di pelipisnya mulai menegang, denyutnya semakin kuat, menghantam keras kesadarannya.Sakit yang menusuk mulai menjalar dari pelipis ke seluruh kepalanya, membuatnya meringis tanpa disadari.Dengan gerakan cepat, namun sedikit gemetar, Mikhail meraih laci mejanya. Tangan kanannya menyusuri bagian dalam laci, mencari sesuatu yang ia butuhkan, obat pereda nyeri yang selalu disimpannya di sana.Sakit ini bukan hal baru baginya, tetapi kali ini terasa lebih tajam, seolah menggambarkan intensitas dari kekacauan yang sedang ia hadapi.Mikhail merasakan sakit di kepalanya semakin menusuk, seakan mencengkeram erat pikirannya. Di balik rasa nyeri yang menyiksa itu, kenangan mengerikan dari lima tahun lalu tiba-tiba muncul kembali, menyeretnya ke malam yang dingin dan bersalju itu.Dalam bayang-bayang pikirannya yang semakin kabur, ia ke
Astoria sibuk di dapur, mengolah seafood dengan cermat. Tangannya bergerak lincah, mengaduk bumbu, memanggang ikan, dan menyiapkan hidangan terbaik yang bisa ia buat. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan Mikhail, membayangkan bagaimana ekspresinya saat mencicipi masakan yang ia buat sebagai ucapan terima kasih. Dalam hatinya, ia merasa ada harapan kecil bahwa masakan ini bisa menjadi jembatan yang memperpendek jarak di antara mereka.Setelah semuanya siap, Astoria menata meja makan dengan hati-hati, memastikan setiap detail terlihat sempurna. Hidangan laut yang telah ia siapkan tersaji cantik di atas piring-piring porselen.Ia juga menyiapkan sebuah bekal makan siang untuk David, berharap bisa menunjukkan rasa terima kasihnya kepada asisten suaminya yang selalu setia dan sigap."Terima kasih, Nyonya. Aku akan memakannya nanti. Aku pamit harus kembali ke kantor. 10 menit lagi mungkin dokter Felix akan datang," ujar David sambil menerima bekal itu d
“Apa salahku?” tanya Astoria, suaranya bergetar, dan air mata mulai menitik dari sudut matanya. Mikhail, masih dengan rahang yang mengatup erat, menatap Astoria dengan tatapan yang sulit dibaca, penuh amarah dan kecurigaan yang mendalam. “Seluruh karyawan hotel tahu aku alergi seafood! Tapi kau_,” suaranya terpotong oleh bantahan istrinya itu Astoria, yang tak bisa menahan emosinya lagi, balas menyahut dengan suara yang lebih tinggi. “Aku tidak tahu! Kau tak perlu semarah itu! Dunia ini tak selalu tentang dirimu hingga aku harus tahu segalanya tentangmu!” Kalimat itu terucap dengan begitu kuat dan tegas, hingga suasana ruangan itu seolah membeku. Astoria, yang tak tahan lagi berada di bawah tatapan penuh kecurigaan itu, memutuskan untuk pergi. Dengan air mata yang mengalir, ia melangkah keluar dari ruangan dengan cepat, meninggalkan Mikhail yang masih berdiri kaku di tempatnya. Pintu ruang kerja tertutup de