“Apa salahku?” tanya Astoria, suaranya bergetar, dan air mata mulai menitik dari sudut matanya.
Mikhail, masih dengan rahang yang mengatup erat, menatap Astoria dengan tatapan yang sulit dibaca, penuh amarah dan kecurigaan yang mendalam. “Seluruh karyawan hotel tahu aku alergi seafood! Tapi kau_,” suaranya terpotong oleh bantahan istrinya itu Astoria, yang tak bisa menahan emosinya lagi, balas menyahut dengan suara yang lebih tinggi. “Aku tidak tahu! Kau tak perlu semarah itu! Dunia ini tak selalu tentang dirimu hingga aku harus tahu segalanya tentangmu!” Kalimat itu terucap dengan begitu kuat dan tegas, hingga suasana ruangan itu seolah membeku. Astoria, yang tak tahan lagi berada di bawah tatapan penuh kecurigaan itu, memutuskan untuk pergi. Dengan air mata yang mengalir, ia melangkah keluar dari ruangan dengan cepat, meninggalkan Mikhail yang masih berdiri kaku di tempatnya. Pintu ruang kerja tertutup deAstoria merasakan cengkraman Mikhail semakin kuat di pergelangan tangannya. Napasnya tertahan, berusaha untuk tetap tenang meski hatinya diliputi kebingungan dan ketakutan."Apa maksudmu? Kau masih mabuk! Lepaskan aku!” serunya dengan suara bergetar, mencoba melepaskan diri.Mikhail, dengan mata yang masih terbuka setengah, menatap Astoria dengan pandangan kabur.“Kau … tidak bisa dipercaya …,” gumamnya pelan, kalimatnya terdengar kacau, tidak jelas apakah ia sedang berbicara pada Astoria atau kepada dirinya sendiri.Pandangannya mulai memudar, tubuhnya semakin lemah, dan genggaman di tangan Astoria pun perlahan melonggar.Astoria berhasil melepaskan diri, mengusap pergelangan tangannya yang terasa sakit akibat cengkraman Mikhail. Dengan cepat, ia mundur beberapa langkah, napasnya masih terengah-engah.“Kau benar-benar mabuk, Tuan Mikhail,” desisnya, suaranya dipenuhi keputusasaan dan kekesalan. Air mata yang tadi ia tahan perlah
Keesokan harinya, Astoria bangun lebih awal dari biasanya. Setelah melewati malam yang tak nyenyak, pikirannya terus berkutat pada keputusan Mikhail untuk menaikkannya ke posisi baru. Saat tiba di hotel, langkahnya terasa berat. Namun, ia tahu tak ada jalan kembali. Astoria berjalan menuju counter laundry untuk mengambil seragam barunya. Sepasang seragam elegan yang menandakan jabatannya sebagai asisten eksekutif sudah menunggunya. Saat dia memasuki ruangan, beberapa karyawan yang sedang mengambil seragam mereka memandangnya dengan berbagai ekspresi. Ada yang kagum, melihat sosok yang dulunya rekan mereka kini naik pangkat. Ada yang iri, menganggap keberuntungan Astoria datang terlalu tiba-tiba. Dan ada yang hormat, memahami posisi baru Astoria sebagai istri CEO. “Pagi Nyonya,” sapa beberapa karyawan. Astoria membalas dengan sedikit anggukan, mencoba menenangkan dirinya dari berbagai perasaan yang bercampur aduk. Dia mengambil seragamnya dan bergegas menuju ruang ganti.
Jerry tersenyum sambil menatap lama pada Astoria, seolah hatinya sedang berbicara melalui mata, "Kau gadis yang baik, sayang sekali nasibmu tak sebaik itu juga." pancaran mata Jerry menembus ke netra Astoria, seakan menggetarkan sesuatu di dalam sana.Astoria mengangguk, ingin rasanya saat ini ia melepas tangis dan tersedu-sedu, tapi tentu itu tak mungkin. "Aku paham bersama Mikhail pasti membuatmu tertekan, kau bisa berbagi cerita padaku untuk sekedar melepas stress-mu," tambah Jerry sambil menepuk pundak Astoria."Terima kasih Jerry, aku merasa lebih tenang sekarang." Astoria tersenyum lebar, matanya masih di hiasi sisa bulir kepedihan yang ia tahan ada di sana.Jerry mengulurkan tangannya, perlahan jari jemarinya mendekat ke wajah Astoria, lalu menyeka sudut mata Astoria yang basah.Astoria terdiam sejenak merasakan jari jemari Jerry begitu hangat di pelupuk matanya, begitu lembut menyeka air matanya, semburat merah muncul di kedua pi
Kala sore itu, ketika Mikhail meninggalkan Jerry dan Astoria di kantor, ia bergegas ke sebuah official shop sebuah jam tangan.Nama Luxehouze terpampang dengan elegan di di depan bangunan bergaya eropa, lambang merk itu pun begitu jelas terlihat di bagian dalam boutique barang mewah ini. Lambang yang sangat familiar bagi Mikhail.Seorang pramuniaga menyapanya, "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?""Aku sedang mencari jam tangan yang mungkin mirip, apa kalian menjual beberapa jam tangan dengan desain sama?" Wajah Mikhail tampak serius, ia begitu fokus."Oh tentu tidak Tuan, kami hanya menjual satu desain, sehingga jam tangan kami ekslusif tak akan ada lagi orang lain yang bisa memakai jam dengan desain yang sama," ujar wanita muda itu membungkuk sopan.Mata Mikhail makin memancarkan aura dingin setelah mendengar itu, tangannya selalu berada di saku untuk menjaga ketenanganya."Aku sedang mencari jam tangan dengan detail khusus," ujar
Gadis berambut ikal itu berulang kali mengerjapkan matanya seolah berusaha menghapus bayangan tubuh Mikhail tadi. Ia mendengus sambil melepas tasnya ke ranjang. "Apa maksudnya keluar hanya memakai handuk? Lalu kalau tidak dengan Jerry, dengan siapa aku pulang?" Astoria berbaring di ranjangnya melepas lelah sambil menggerutu. Ia masih sangat kesal dengan Mikhail, jika bukan karena Jerry, dia juga mungkin belum pulang di jam ini, mungkin saja ia akan pulang saat dini hari. Saat hatinya begitu bergemuruh dengan segala emosinya, sebuah notif pesan di ponselnya membuat ia tiba-tiba menyunggingkan senyum. [Kau sudah tidur?] Jerry mengirimkan pesan itu, pesan sederhana, tapi membuat Astoria seperti menemukan oasis di tengah gurun. [Belum, aku baru berbaring. Kau sudah sampai rumahmu?] Balas Astoria, ia terus memandangi layar ponselnya dengan semburat merah muda di pipinya. [Ya, aku baru
"Aku harus memastikannya," gumam Mikhail. Seperti biasa ia menjalani harinya di kantor dengan sempurna meski pikirannya penuh dengan teka-teki. Ketika sore tiba, dan jam kerja hampir usai, Mikhail memutuskan untuk tidak menambah pekerjaan Astoria seperti kemarin. Pikirannya terus berputar-putar, terfokus pada liontin yang menggantung di lehernya dan apa artinya bagi mereka berdua. Dengan langkah yang tenang, ia berjalan menuju ruangan Astoria. "Sudah waktunya pulang," suara Mikhail terdengar tegas dan tiba-tiba di depan meja Astoria. Astoria, yang sedang membereskan meja kerjanya, terkejut mendengar suara Mikhail. “I-iya, Tuan,” ujarnya terbata-bata, menatap Mikhail dengan sedikit bingung. Namun, sebelum ia bisa merespons lebih jauh, suara lain memecah keheningan. "Astoria, ayo pulang bersama," Jerry muncul dari ruangannya, senyumnya ramah namun penuh arti. Astoria menoleh, merasa berada di antara dua pria dengan kein
Hari ini Mikhail telah melewatkan jam kerjanya hingga tengah hari. sehabis pulang dari rumah sakit itu, ia segera menuju hotelnya dengan perasaan yang tak dapat di uraikan dengan kata-kata.Setelah dia tahu kemungkinan Astoria lah wanita yang menyelamatkannya, perasaannya seolah ingin berlari menghampiri wanita itu.Saat sedang menyetir, Pikiran-pikirannya kembali ke masa lalu, saat kecelakaan itu menghantam hidupnya dengan begitu kejam. Saat itu, ia masih tinggal di mansion megah keluarganya, tempat kediaman utama keluarga Bloom, yang berdiri megah di atas bukit, dikelilingi oleh hutan pinus yang tebal dan dingin.Hari itu, cuaca bersalju meski sore masih terang. Salju menutupi jalanan, tapi mobilnya, sebuah Range Rover Autobiography, kendaraan mewah yang dirancang untuk segala kondisi cuaca, seharusnya dapat melaju dengan mudah.Mikhail baru saja pulang dari hotel yang kala itu baru dibangun, sebuah proyek ambisius yang telah menyita sebagian be
Mikhail datang pada saat jam makan siang para karyawan, ia hendak masuk melalui lobi tapi pikirannya tiba-tiba teringat Astoria yang selalu menghabiskan waktu istirahat di taman bersama Jerry. Bellboy di depan pintu lobi sudah membungkuk memberi salam hormat pada Mikhail, "Siang Tuan." Tapi Mikhail menghentikan langkahnya sambil menatap sang bellboy, "Jika David mencariku, katakan padanya aku sedang berjalan-jalan di taman." "Baik, Tuan," jawab sang bellboy. Mikhail pun berjalan menyusuri taman hotel di samping lobi yang terhampar luas dan indah. Banyak spot foto yang sering di pakai para tamu untuk mengabadikan momen indah mereka. Mikhail menyusuri jalan setapak berbatu yang di susun rapi, jalan ini akan membawanya ke kolam angsa yang terdapat gazebo di tengah kolamnya. Seharusnya suasana taman dapat merilekskan pikirannya, ia berharap bisa bertemu dengan Astoria dan membahas tentang kalung itu. Tapi harap