Mikhail berdiri tegak di tengah keramaian, dikelilingi oleh kolega dan kenalannya, namun tiba-tiba pandangannya terpaku pada sosok yang familiar di kejauhan. Astoria. Dia ada di sini, di tengah kerumunan yang gemerlap dan riuh.
Hatinya bertanya-tanya sejenak, 'Astoria mengenal Rose?' Pikiran itu berputar di kepalanya, namun dia dengan cepat mengalihkan fokusnya kembali ke percakapan dengan Pak Chriss, berusaha tetap tenang meski rasa penasaran menggigit pikirannya. Mikhail tetap mendengarkan Pak Chriss berbicara tentang rencana pembangunan hotel di dekat stasiun yang akan segera dimulai. Hotel yang akan menjadi jantung ekonomi baru di kawasan itu, menguntungkan semua pihak yang terlibat. Mikhail mengangguk, menunjukkan ketertarikannya meskipun pikirannya masih setengah di tempat lain. Sesekali, matanya melirik ke arah Astoria, berusaha memantau situasinya tanpa menimbulkan kecurigaan. Pak Chriss, yang tak menyadari distraksi kecil Mikhail, mengajaknya untuk berbicara lebih lanjut di tempat yang lebih tenang. “Mari kita bicara lebih nyaman di meja yang telah disiapkan,” ajaknya sambil memberi isyarat ke sudut ruangan yang lebih sepi. Sebelum Mikhail sempat melangkah, matanya kembali menangkap sosok Astoria, kali ini lebih jelas. Ia sedang tertawa lepas bersama Rose dan beberapa teman lainnya, tampak ceria dan bebas, seolah dunia di sekelilingnya tidak ada. Wajah Astoria bersinar dalam kilauan lampu kristal, senyum yang jarang Mikhail lihat begitu tulus terpancar dari bibirnya. Astoria, di sisi lain, benar-benar larut dalam percakapan hangat dengan Rose. Mereka membicarakan segala hal yang membuat mereka tertawa—mulai dari mode, cerita-cerita kecil tentang keseharian, hingga gosip ringan yang tak jarang memancing canda tawa. Astoria merasakan kenyamanan yang sudah lama hilang, tertawa bersama sahabatnya membuat semua beban sejenak menghilang. Ia merasa kembali menjadi dirinya sendiri, meskipun hanya untuk sesaat. Suasana pesta semakin meriah, dengan tawa dan musik yang mengisi setiap sudut ruangan. Rose, dengan tawa riang dan wajah yang memerah karena beberapa gelas anggur yang sudah ditenggaknya, mulai kehilangan keseimbangan. Matanya berkilau dengan keceriaan, tapi langkahnya semakin tak stabil. Melihat sahabatnya seperti itu, Astoria merasa khawatir. "Rose, kau sudah minum terlalu banyak," bisiknya, mencoba mengingatkan dengan lembut. Namun, Rose hanya terkekeh dan mengangkat gelasnya lagi. "Jangan khawatir, Astoria. Aku kuat minum. Malam ini kita bersenang-senang saja," jawabnya, suaranya sedikit terbata-bata namun penuh semangat. Astoria hanya bisa menggelengkan kepala, tahu betapa berat beban yang harus dipikul Rose dalam keluarganya. Bagi Rose, malam ini adalah satu-satunya pelarian dari kenyataan yang menghimpit. Beberapa menit berlalu, dan Rose mulai terhuyung-huyung, tubuhnya oleng ke belakang. Astoria yang menyadari bahaya itu segera meraih lengan sahabatnya, mencoba menahannya agar tidak jatuh. Namun dalam upaya itu, Rose malah menyenggol seorang pelayan yang sedang membawa nampan penuh gelas anggur. Kejadian itu begitu cepat. Gelas-gelas berisi anggur merah tumpah, menghujam lantai marmer dengan bunyi yang memekakkan telinga. Astoria, dalam usahanya menyelamatkan Rose, justru kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk di antara pecahan kaca yang berserakan. Saat tangannya menyentuh lantai, rasa perih langsung menjalar ke seluruh tubuhnya. Telapak tangannya terluka, mengeluarkan darah segar yang mengalir perlahan di antara pecahan kaca. Namun bukan rasa sakit fisik yang membuat Astoria meringis, melainkan pemandangan darah yang segera memicu trauma lamanya. Saat darah menetes di tangannya, pikirannya seketika terseret kembali ke masa lalu. Ingatannya berkabut, terputar dalam gambar-gambar buram-kecelakaan di musim dingin, suara rem berdecit, tubuh seseorang terbaring di aspal dengan darah yang mengalir tanpa henti. Darah merah yang kontras dengan salju putih, begitu mencolok hingga menghantui setiap sudut pikirannya. Astoria terperangkap dalam lingkaran ketakutannya sendiri, tubuhnya gemetar hebat. Napasnya mulai tersengal, pandangannya kabur oleh air mata yang mulai menggenang. Suara sekitar menghilang, digantikan oleh gema dari ingatan yang tak ingin ia ingat. Pesta yang riuh seakan menjauh, menyisakan hanya dirinya dan bayangan trauma yang melumpuhkan. Astoria merasakan sesak di dadanya, seperti dunia ini mengecil dan menyempitkan ruang untuk bernapas. la ingin berteriak, ingin keluar dari kengerian ini, namun suaranya tercekat, tak mampu keluar dari tenggorokannya yang kering. "Astoria! kau baik-baik saja?" tanya Rose. Suara panggilan Rose terdengar bagai dengungan yang jauh di telinga Astoria, seperti berada di bawah air, sayup-sayup dan tak jelas. Dunia di sekelilingnya mulai memudar, hanya ada dirinya dan rasa takut yang semakin menguasai. Nafasnya tersengal, semakin cepat, dan dadanya terasa seperti dihimpit oleh sesuatu yang berat, begitu berat hingga ia kesulitan untuk menghirup udara. Tubuhnya gemetar tak terkendali, jantungnya berdebar kencang, seolah-olah ingin melompat keluar dari rongga dadanya. Keringat dingin mengucur di pelipisnya, menggantikan rasa hangat yang biasanya ada dalam tubuhnya. Pandangannya kabur, bercampur antara rasa sakit dan ketakutan yang semakin memburuk. Setiap detik yang berlalu seperti sebuah penantian yang menyiksa, seolah-olah waktu bergerak terlalu lambat, menyisakan dirinya dalam jeratan trauma yang menakutkan. Astoria mencoba untuk bangkit, namun tubuhnya seakan tidak merespon perintah otaknya. Kakinya lemas, tangannya gemetar tak terkendali, dan pandangannya mulai menghitam di tepinya, menandakan bahwa tubuhnya akan menyerah kapan saja. Kepanikan yang merayap di benaknya membuat dunianya semakin menyempit, menyisakan hanya rasa takut yang begitu besar hingga membuatnya lumpuh. Perlahan, segalanya mulai terasa semakin jauh, semakin memudar, hingga akhirnya pandangannya sepenuhnya menghitam. Tubuhnya terkulai, tak mampu lagi menahan serangan panik yang begitu dahsyat. Samar-samar, sebelum kesadarannya sepenuhnya lenyap, ia melihat bayangan seseorang dengan tubuh tegap mendekatinya, namun sebelum ia sempat mengenali siapa orang itu, pandangannya berubah menjadi gelap sepenuhnya.Astoria terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat saat ia mencoba membuka mata. Cahaya putih yang terang menyambutnya, membuatnya harus menyipitkan mata sejenak untuk beradaptasi.Dia merasakan dinginnya seprai di bawah kulitnya dan bau khas antiseptik yang memenuhi udara, memberi tahu bahwa dia berada di tempat yang asing, bukan di rumah atau pesta yang barusan diingatnya, melainkan di kamar rumah sakit.Langit-langit putih bersih di atasnya, suara tetesan air infusan terdengar jelas dalam keheningan, dan rasa nyeri samar di telapak tangannya menjadi tanda bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Dia merasa tubuhnya lemas, seperti baru saja melewati sesuatu yang sangat melelahkan. Tiba-tiba, sebuah suara lembut dan penuh kekhawatiran menyapanya. "Kau sudah sadar?"Astoria menoleh perlahan, mendapati Rose duduk di samping tempat tidurnya, wajahnya dipenuhi kecemasan. Mata Rose tampak merah, seolah telah menahan air mata yang hampir tumpah.
Dalam perjalanan kembali ke hotel, Mikhail membiarkan pikirannya terhanyut dalam lamunan yang tak terelakkan. Wajah Astoria yang pucat, terbaring di ranjang rumah sakit, membuatnya bertanya-tanya. Ingatan itu membawanya kembali ke momen ketika dokter menemui dirinya setelah Astoria pingsan di pesta malam ini.Saat itu di rumah sakit, Mikhail berdiri di samping ranjang Astoria, melihat dokter memeriksa Astoria yang masih tidak sadarkan diri. Ketika dokter selesai, ia mendekati Mikhail, ekspresi serius terukir di wajahnya."Apa yang terjadi, Dok?" tanya Mikhail serius meski wajahnya nyaris tanpa ekspresi. Dokter menghela napas sebelum menjawab, "Secara fisik, Nona Astoria mengalami luka ringan di tangan akibat pecahan kaca. Namun, kondisi psikologisnya yang perlu lebih diperhatikan."Mikhail mengerutkan kening. "Apa maksud Anda?""Sepertinya Nona Astoria mengalami trauma psikis yang cukup dalam terkait darah," jelas dokter sambil menaikkan
[Ku dengar kau yang membawaku ke rumah sakit, terimakasih.] Pesan singkat itu muncul di layar ponsel Mikhail saat ia duduk di kantornya, pagi ini. Tanpa disadari, sudut bibirnya terangkat sedikit, membentuk senyuman tipis yang hampir tak terlihat. Dia memang sudah terbiasa menjaga jarak emosional, namun pesan dari Astoria pagi ini memberi warna berbeda di awal harinya. Di kantor, kehadiran Mikhail yang lebih pagi dari biasanya membuat para staf eksekutif tegang. Mereka tahu, jika sang CEO datang di pagi hari dengan sikap yang tak terbaca, itu sering kali pertanda akan ada sesuatu yang besar—dan mungkin tidak menyenangkan—yang akan terjadi di antara mereka. Namun, Mikhail sendiri tampaknya tidak peduli dengan ketegangan yang menyelimuti sekitarnya. Dia pun mengambil ponselnya dan membalas pesan Astoria dengan cepat. [Kau sudah lebih baik?] Astoria, yang sedang berbaring di ranjan
Mikhail memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya semakin menajam. Suasana dalam ruangan itu terasa mencekam, seolah-olah udara pun berhenti bergerak.Jhein merasakan dinginnya lantai di bawah lututnya, tapi rasa takut yang menusuk hatinya jauh lebih mengerikan daripada dingin yang merayap ke tubuhnya.“Bisa jelaskan saat itu mengapa seorang wartawan ada di sana?” Mikhail menuntut, suaranya tenang tapi dengan kekuatan yang tak terbantahkan. Jhein menunduk semakin dalam, tak berani menatap mata Mikhail. Jemarinya saling meremas, keringat dingin semakin deras mengalir di pelipisnya. “Sa-saya tidak tahu, Tuan,” jawabnya, suaranya hampir tak terdengar, seperti bisikan seorang wanita yang telah dihukum.Mikhail tak memberikan reaksi langsung, hanya membiarkan keheningan yang menggantung di udara menekan Jhein lebih dalam.“Di hotel ini, tidak ada yang bisa masuk kamar sembarangan,” lanjut Mikhail, nada bicaranya tidak berubah, tapi setiap kat
Memikirkan masalah yang begitu berat membuat kepala Mikhail terasa seperti dihimpit beban tak terlihat. Urat-urat di pelipisnya mulai menegang, denyutnya semakin kuat, menghantam keras kesadarannya.Sakit yang menusuk mulai menjalar dari pelipis ke seluruh kepalanya, membuatnya meringis tanpa disadari.Dengan gerakan cepat, namun sedikit gemetar, Mikhail meraih laci mejanya. Tangan kanannya menyusuri bagian dalam laci, mencari sesuatu yang ia butuhkan, obat pereda nyeri yang selalu disimpannya di sana.Sakit ini bukan hal baru baginya, tetapi kali ini terasa lebih tajam, seolah menggambarkan intensitas dari kekacauan yang sedang ia hadapi.Mikhail merasakan sakit di kepalanya semakin menusuk, seakan mencengkeram erat pikirannya. Di balik rasa nyeri yang menyiksa itu, kenangan mengerikan dari lima tahun lalu tiba-tiba muncul kembali, menyeretnya ke malam yang dingin dan bersalju itu.Dalam bayang-bayang pikirannya yang semakin kabur, ia ke
Astoria sibuk di dapur, mengolah seafood dengan cermat. Tangannya bergerak lincah, mengaduk bumbu, memanggang ikan, dan menyiapkan hidangan terbaik yang bisa ia buat. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan Mikhail, membayangkan bagaimana ekspresinya saat mencicipi masakan yang ia buat sebagai ucapan terima kasih. Dalam hatinya, ia merasa ada harapan kecil bahwa masakan ini bisa menjadi jembatan yang memperpendek jarak di antara mereka.Setelah semuanya siap, Astoria menata meja makan dengan hati-hati, memastikan setiap detail terlihat sempurna. Hidangan laut yang telah ia siapkan tersaji cantik di atas piring-piring porselen.Ia juga menyiapkan sebuah bekal makan siang untuk David, berharap bisa menunjukkan rasa terima kasihnya kepada asisten suaminya yang selalu setia dan sigap."Terima kasih, Nyonya. Aku akan memakannya nanti. Aku pamit harus kembali ke kantor. 10 menit lagi mungkin dokter Felix akan datang," ujar David sambil menerima bekal itu d
“Apa salahku?” tanya Astoria, suaranya bergetar, dan air mata mulai menitik dari sudut matanya. Mikhail, masih dengan rahang yang mengatup erat, menatap Astoria dengan tatapan yang sulit dibaca, penuh amarah dan kecurigaan yang mendalam. “Seluruh karyawan hotel tahu aku alergi seafood! Tapi kau_,” suaranya terpotong oleh bantahan istrinya itu Astoria, yang tak bisa menahan emosinya lagi, balas menyahut dengan suara yang lebih tinggi. “Aku tidak tahu! Kau tak perlu semarah itu! Dunia ini tak selalu tentang dirimu hingga aku harus tahu segalanya tentangmu!” Kalimat itu terucap dengan begitu kuat dan tegas, hingga suasana ruangan itu seolah membeku. Astoria, yang tak tahan lagi berada di bawah tatapan penuh kecurigaan itu, memutuskan untuk pergi. Dengan air mata yang mengalir, ia melangkah keluar dari ruangan dengan cepat, meninggalkan Mikhail yang masih berdiri kaku di tempatnya. Pintu ruang kerja tertutup de
Astoria merasakan cengkraman Mikhail semakin kuat di pergelangan tangannya. Napasnya tertahan, berusaha untuk tetap tenang meski hatinya diliputi kebingungan dan ketakutan."Apa maksudmu? Kau masih mabuk! Lepaskan aku!” serunya dengan suara bergetar, mencoba melepaskan diri.Mikhail, dengan mata yang masih terbuka setengah, menatap Astoria dengan pandangan kabur.“Kau … tidak bisa dipercaya …,” gumamnya pelan, kalimatnya terdengar kacau, tidak jelas apakah ia sedang berbicara pada Astoria atau kepada dirinya sendiri.Pandangannya mulai memudar, tubuhnya semakin lemah, dan genggaman di tangan Astoria pun perlahan melonggar.Astoria berhasil melepaskan diri, mengusap pergelangan tangannya yang terasa sakit akibat cengkraman Mikhail. Dengan cepat, ia mundur beberapa langkah, napasnya masih terengah-engah.“Kau benar-benar mabuk, Tuan Mikhail,” desisnya, suaranya dipenuhi keputusasaan dan kekesalan. Air mata yang tadi ia tahan perlah
Enam bulan setelah Jerry ditangkap dan dipenjara, kantor M.J Hotel Group mulai kembali ke rutinitas yang lebih normal. David, setelah dibebaskan dari segala tuduhan, kembali ke perusahaan dan menggantikan posisi Jerry yang kosong. Kehadirannya disambut hangat oleh para eksekutif dan staf yang telah lama menunggu stabilitas kembali dalam perusahaan. Hari itu suasana kantor terasa lebih meriah dari biasanya. Para karyawan berkumpul di ruang rapat, tetapi bukan untuk diskusi bisnis. David berdiri di tengah ruangan dengan senyum penuh kebahagiaan, memegang tangan Jhein yang tampak terkejut tapi juga sangat bahagia. "Jhein, selama ini kau selalu di sisiku, mendukungku, bahkan saat aku terpuruk. Sekarang, aku ingin kau selalu berada di sisiku, bukan hanya sebagai rekan kerja, tapi sebagai pendamping hidupku," ucap David dengan nada mantap, tapi lembut sambil berlutut memberikan cincin untuk Jhein. Ruangan seketika
Malam itu, di sebuah sudut yang gelap dan tersembunyi, Jhein berdiri sambil memperhatikan Astoria dan Jerry di kafe dari kejauhan. Matanya tajam mengawasi setiap gerakan mereka, sementara jari-jarinya dengan cepat menggesek layar ponselnya, memotret momen yang dianggapnya penting. Dia menyaksikan percakapan penuh ketegangan itu, tak luput dari satu detik pun."Maafkan aku Astoria, ini bagian dari tugasku pada Mikhail," gumam Jhein dengan suara pelan sambil mengirimkan serangkaian foto itu ke nomor Mikhail. Sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya, menunjukkan bahwa pesan telah berhasil terkirim.Di dalam kafe, Astoria sedang mencoba meyakinkan Jerry untuk merelakannya, sementara di tempat lain, Mikhail yang menerima pesan dari Jhein tidak tahu apa yang sedang terjadi.Ia membuka pesan tersebut saat tengah sibuk di kantornya, foto-foto Astoria dan Jerry dalam satu frame membuat darahnya mendidih seketika. Meski belum tahu konteksnya, perasaan m
Malam itu, Astoria merasa lelah setelah seharian bekerja di kantor. Semua kesibukan yang menumpuk di hadapannya mulai mempengaruhi pikirannya. Mikhail masih terjebak dalam dunia kerjanya, dan meskipun Astoria mencoba untuk memahami, ada bagian dari hatinya yang merindukan kehadiran suaminya di sampingnya. Malam ini ia ada janji bertemu dengan Jerry untuk mengakhiri segalanya, dan semoga Mikhail tak salah paham. Astoria berharap semoga pertemuan ini bisa meredakan semua ketegangan yang mengganggu pikirannya. Dengan yakin ia melangkah, Astoria masuk ke sebuah kafe kecil yang terletak tidak jauh dari kantor. Suasana di dalam kafe itu hangat dan nyaman, dengan lampu-lampu redup yang memberi nuansa tenang. Aroma kopi yang segar menyambutnya, dan saat ia melangkah lebih dalam, pandangannya langsung tertuju pada sosok yang dikenalnya dengan baik, Jerry, yang sudah menunggu di sudut kafe dengan ekspresi yang sulit dibaca.
Minggu pagi yang cerah. Astoria duduk di sebuah kafe yang tenang. Tangannya gemetar sedikit ketika menggenggam secangkir teh hangat di depannya. Ia menunggu dengan cemas, mengatur napas agar tetap tenang. Tak lama kemudian, sebuah suara berat yang sudah lama tak ia dengar memecah keheningan. "Astoria?" Astoria mendongak, dan di sana berdiri seorang pria dengan rambut yang mulai memutih. Wajah Brandon tampak lebih tua dari terakhir kali ia melihatnya, namun di balik wajah itu, ada gurat penyesalan yang tak bisa disembunyikan. "Ayah..." Astoria tak mampu menyembunyikan rasa canggungnya. Perasaan bercampur aduk antara rindu, marah, dan harapan membuatnya bingung. Ia ingin memeluk ayahnya, namun luka masa lalu masih begitu segar di hatinya. Brandon menarik kursi dan duduk di depannya. "Aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi, Astoria, aku ingin minta maaf," katanya lirih, suaranya bergetar. Astoria hanya diam, menunggu penjelas
Astoria memandang layar ponselnya, jantungnya berdebar kencang saat melihat foto Mikhail yang tampak rentan.Namun, seolah tak memberi waktu untuk meresapi perasaannya, pesan baru muncul di layar. Ia menatap nama pengirim dengan curiga.Ternyata itu Rose.[Astoria, suamimu mabuk parah, dia di antar pulang oleh supirku.]Mendengar kabar itu, rasa tenang seolah merayap kembali ke dalam diri Astoria. Ia menghela napas lega, Kecurigaan yang sempat terbesit di benaknya sirna seketika. Ternyata Mikhail masih tak seperti yang Jerry tuduhkan, dan yang paling penting, dia baik-baik saja.“Terima kasih, Rose,” balasnya cepat, seolah untuk menegaskan rasa syukurnya. Namun Rose tampaknya memiliki pesan lain yang ingin disampaikan.[Sama-sama, Astoria. Oh iya, ayah kita bilang dia ingin bertemu denganmu, kapan kau siap?]Astoria terhenti sejenak, merasakan aliran dingin di tulang belakangnya. Meski hatinya bergetar mendengar nama itu
Mikhail menarik napas dalam-dalam, seolah menahan gelombang amarah yang masih tersisa di dadanya.Dia mendekat lagi, jarak di antara mereka semakin tipis. Tangannya perlahan mengangkat, jemarinya dengan lembut menyentuh wajah Astoria.Kulitnya terasa dingin di bawah sentuhan Mikhail, namun ada kehangatan aneh yang mengalir dari ujung jemarinya. Astoria terdiam, terperangkap dalam tatapan pria itu, marah, namun tak mampu benar-benar melukai.“Kau tahu, Astoria ...” Suaranya rendah, hampir berbisik, tetapi setiap kata yang keluar terasa berat, seolah penuh dengan emosi yang ia sembunyikan. “Aku masih belum bisa sepenuhnya memaafkan apa yang terjadi. Tapi itu tak berarti aku tak ingin melindungimu.”Tangannya bergerak turun, menelusuri rahang Astoria dengan pelan, nyaris ragu, sebelum berhenti di lehernya, jemarinya mengelus perlahan.“Terkadang, aku ingin marah. Tapi, pada saat yang sama, aku ingin memastikan kau baik-baik saja ... dengan c
Astoria melangkah perlahan, mengantarkan Jhein ke kamar yang pernah menjadi miliknya. Setiap langkah terasa berat, seiring dengan pertanyaan yang terus bergulir di benaknya. Jhein berjalan di sampingnya, tanpa banyak bicara, tampak malu dan gugup setelah menandatangani kontrak dengan Mikhail. Astoria dan Jhein akhirnya sampai di kamar yang dulunya milik Astoria. "Ini... kamarmu untuk sementara waktu," ujar Astoria dengan suara lemah, mencoba tetap tenang meski hatinya bergejolak. Jhein menatap sekeliling kamar itu dengan rasa canggung. Meski kamar tersebut sederhana di Penthouse, tapi bagi Jhein itu sudah lebih dari cukup, hingga ia merasa semakin segan. Astoria meletakkan tangannya di gagang pintu, hendak berbalik meninggalkan Jhein sendirian. Namun, sebelum ia melangkah keluar, Jhein memanggilnya. "Astoria … terima kasih," kata Jhein pelan, suaranya dipenuhi dengan rasa bersalah yang dalam. Astoria hanya mengangguk kecil. "Istirahatlah. Kita bisa bicarakan ini nanti," j
Pada akhirnya, Mikhail memutuskan untuk tidak mengantar Jhein pulang ke rumahnya. 'Dia tidak bisa kembali ke tempat seperti itu dengan kondisi seperti ini,' pikirnya. Namun, keputusannya bukan hanya soal belas kasihan. Dalam benaknya, Mikhail sudah merencanakan sesuatu. Mobil berhenti di depan penthouse, dan mereka bertiga turun. Mikhail berjalan lebih dulu, langkahnya mantap memimpin di depan Astoria dan Jhein menuju unit Penthousenya. 'Aku tak sebaik itu, tak akan memberinya secara cuma-cuma,' batinnya semakin tegas. Saat mereka tiba di penthouse, suasana terasa sunyi. Mikhail langsung menuju ruang kerjanya tanpa banyak bicara. Sebelum menghilang di balik pintu, ia berbalik dan berkata dengan nada tegas, "Ajak Jhein ke ruang kerjaku," ujarnya pada Astoria. Astoria, meskipun merasa sedikit tak nyaman dengan sikap Mikhail yang dingin, tetap mengikuti instruksi suaminya. Ia meraih tangan Jhein yang terlihat gelisah, menggenggamnya erat sambil berkata lembut, "Ayo, mari ki
Astoria melangkah pelan di trotoar, menikmati hembusan angin sore yang membawa sedikit kedamaian setelah pertemuan yang emosional dengan Rose.Pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan barusan, tentang ayahnya dan hubungan yang selama ini tersembunyi. Langkahnya lambat, dan ia berusaha menenangkan hatinya yang masih bergolak.Tiba-tiba, terdengar suara klakson dari arah samping. Astoria terhenti, menoleh dengan cepat ke sumber suara. Sebuah mobil hitam berhenti di dekatnya. Jendela mobil itu turun perlahan, memperlihatkan wajah Mikhail di balik kemudi, tatapannya serius namun terkesan tenang."Masuklah!" ajaknya dengan nada yang tenang namun tegas.Astoria membelalakkan mata. "Mi-Mikhail?" suaranya mengandung keheranan, tak menyangka Mikhail mengikutinya hingga ke sini. Meski terkejut, ia tahu benar bahwa Mikhail bukan orang yang suka diabaikan, terutama ketika ia memerintahkan sesuatu. Tanpa banyak berpikir lagi, Astoria membuka pintu dan segera