Mikhail memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya semakin menajam. Suasana dalam ruangan itu terasa mencekam, seolah-olah udara pun berhenti bergerak.
Jhein merasakan dinginnya lantai di bawah lututnya, tapi rasa takut yang menusuk hatinya jauh lebih mengerikan daripada dingin yang merayap ke tubuhnya.“Bisa jelaskan saat itu mengapa seorang wartawan ada di sana?” Mikhail menuntut, suaranya tenang tapi dengan kekuatan yang tak terbantahkan.Jhein menunduk semakin dalam, tak berani menatap mata Mikhail. Jemarinya saling meremas, keringat dingin semakin deras mengalir di pelipisnya. “Sa-saya tidak tahu, Tuan,” jawabnya, suaranya hampir tak terdengar, seperti bisikan seorang wanita yang telah dihukum.Mikhail tak memberikan reaksi langsung, hanya membiarkan keheningan yang menggantung di udara menekan Jhein lebih dalam.“Di hotel ini, tidak ada yang bisa masuk kamar sembarangan,” lanjut Mikhail, nada bicaranya tidak berubah, tapi setiap katMemikirkan masalah yang begitu berat membuat kepala Mikhail terasa seperti dihimpit beban tak terlihat. Urat-urat di pelipisnya mulai menegang, denyutnya semakin kuat, menghantam keras kesadarannya.Sakit yang menusuk mulai menjalar dari pelipis ke seluruh kepalanya, membuatnya meringis tanpa disadari.Dengan gerakan cepat, namun sedikit gemetar, Mikhail meraih laci mejanya. Tangan kanannya menyusuri bagian dalam laci, mencari sesuatu yang ia butuhkan, obat pereda nyeri yang selalu disimpannya di sana.Sakit ini bukan hal baru baginya, tetapi kali ini terasa lebih tajam, seolah menggambarkan intensitas dari kekacauan yang sedang ia hadapi.Mikhail merasakan sakit di kepalanya semakin menusuk, seakan mencengkeram erat pikirannya. Di balik rasa nyeri yang menyiksa itu, kenangan mengerikan dari lima tahun lalu tiba-tiba muncul kembali, menyeretnya ke malam yang dingin dan bersalju itu.Dalam bayang-bayang pikirannya yang semakin kabur, ia ke
Astoria sibuk di dapur, mengolah seafood dengan cermat. Tangannya bergerak lincah, mengaduk bumbu, memanggang ikan, dan menyiapkan hidangan terbaik yang bisa ia buat. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan Mikhail, membayangkan bagaimana ekspresinya saat mencicipi masakan yang ia buat sebagai ucapan terima kasih. Dalam hatinya, ia merasa ada harapan kecil bahwa masakan ini bisa menjadi jembatan yang memperpendek jarak di antara mereka.Setelah semuanya siap, Astoria menata meja makan dengan hati-hati, memastikan setiap detail terlihat sempurna. Hidangan laut yang telah ia siapkan tersaji cantik di atas piring-piring porselen.Ia juga menyiapkan sebuah bekal makan siang untuk David, berharap bisa menunjukkan rasa terima kasihnya kepada asisten suaminya yang selalu setia dan sigap."Terima kasih, Nyonya. Aku akan memakannya nanti. Aku pamit harus kembali ke kantor. 10 menit lagi mungkin dokter Felix akan datang," ujar David sambil menerima bekal itu d
“Apa salahku?” tanya Astoria, suaranya bergetar, dan air mata mulai menitik dari sudut matanya. Mikhail, masih dengan rahang yang mengatup erat, menatap Astoria dengan tatapan yang sulit dibaca, penuh amarah dan kecurigaan yang mendalam. “Seluruh karyawan hotel tahu aku alergi seafood! Tapi kau_,” suaranya terpotong oleh bantahan istrinya itu Astoria, yang tak bisa menahan emosinya lagi, balas menyahut dengan suara yang lebih tinggi. “Aku tidak tahu! Kau tak perlu semarah itu! Dunia ini tak selalu tentang dirimu hingga aku harus tahu segalanya tentangmu!” Kalimat itu terucap dengan begitu kuat dan tegas, hingga suasana ruangan itu seolah membeku. Astoria, yang tak tahan lagi berada di bawah tatapan penuh kecurigaan itu, memutuskan untuk pergi. Dengan air mata yang mengalir, ia melangkah keluar dari ruangan dengan cepat, meninggalkan Mikhail yang masih berdiri kaku di tempatnya. Pintu ruang kerja tertutup de
Astoria merasakan cengkraman Mikhail semakin kuat di pergelangan tangannya. Napasnya tertahan, berusaha untuk tetap tenang meski hatinya diliputi kebingungan dan ketakutan."Apa maksudmu? Kau masih mabuk! Lepaskan aku!” serunya dengan suara bergetar, mencoba melepaskan diri.Mikhail, dengan mata yang masih terbuka setengah, menatap Astoria dengan pandangan kabur.“Kau … tidak bisa dipercaya …,” gumamnya pelan, kalimatnya terdengar kacau, tidak jelas apakah ia sedang berbicara pada Astoria atau kepada dirinya sendiri.Pandangannya mulai memudar, tubuhnya semakin lemah, dan genggaman di tangan Astoria pun perlahan melonggar.Astoria berhasil melepaskan diri, mengusap pergelangan tangannya yang terasa sakit akibat cengkraman Mikhail. Dengan cepat, ia mundur beberapa langkah, napasnya masih terengah-engah.“Kau benar-benar mabuk, Tuan Mikhail,” desisnya, suaranya dipenuhi keputusasaan dan kekesalan. Air mata yang tadi ia tahan perlah
Keesokan harinya, Astoria bangun lebih awal dari biasanya. Setelah melewati malam yang tak nyenyak, pikirannya terus berkutat pada keputusan Mikhail untuk menaikkannya ke posisi baru. Saat tiba di hotel, langkahnya terasa berat. Namun, ia tahu tak ada jalan kembali. Astoria berjalan menuju counter laundry untuk mengambil seragam barunya. Sepasang seragam elegan yang menandakan jabatannya sebagai asisten eksekutif sudah menunggunya. Saat dia memasuki ruangan, beberapa karyawan yang sedang mengambil seragam mereka memandangnya dengan berbagai ekspresi. Ada yang kagum, melihat sosok yang dulunya rekan mereka kini naik pangkat. Ada yang iri, menganggap keberuntungan Astoria datang terlalu tiba-tiba. Dan ada yang hormat, memahami posisi baru Astoria sebagai istri CEO. “Pagi Nyonya,” sapa beberapa karyawan. Astoria membalas dengan sedikit anggukan, mencoba menenangkan dirinya dari berbagai perasaan yang bercampur aduk. Dia mengambil seragamnya dan bergegas menuju ruang ganti.
Jerry tersenyum sambil menatap lama pada Astoria, seolah hatinya sedang berbicara melalui mata, "Kau gadis yang baik, sayang sekali nasibmu tak sebaik itu juga." pancaran mata Jerry menembus ke netra Astoria, seakan menggetarkan sesuatu di dalam sana.Astoria mengangguk, ingin rasanya saat ini ia melepas tangis dan tersedu-sedu, tapi tentu itu tak mungkin. "Aku paham bersama Mikhail pasti membuatmu tertekan, kau bisa berbagi cerita padaku untuk sekedar melepas stress-mu," tambah Jerry sambil menepuk pundak Astoria."Terima kasih Jerry, aku merasa lebih tenang sekarang." Astoria tersenyum lebar, matanya masih di hiasi sisa bulir kepedihan yang ia tahan ada di sana.Jerry mengulurkan tangannya, perlahan jari jemarinya mendekat ke wajah Astoria, lalu menyeka sudut mata Astoria yang basah.Astoria terdiam sejenak merasakan jari jemari Jerry begitu hangat di pelupuk matanya, begitu lembut menyeka air matanya, semburat merah muncul di kedua pi
Kala sore itu, ketika Mikhail meninggalkan Jerry dan Astoria di kantor, ia bergegas ke sebuah official shop sebuah jam tangan.Nama Luxehouze terpampang dengan elegan di di depan bangunan bergaya eropa, lambang merk itu pun begitu jelas terlihat di bagian dalam boutique barang mewah ini. Lambang yang sangat familiar bagi Mikhail.Seorang pramuniaga menyapanya, "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?""Aku sedang mencari jam tangan yang mungkin mirip, apa kalian menjual beberapa jam tangan dengan desain sama?" Wajah Mikhail tampak serius, ia begitu fokus."Oh tentu tidak Tuan, kami hanya menjual satu desain, sehingga jam tangan kami ekslusif tak akan ada lagi orang lain yang bisa memakai jam dengan desain yang sama," ujar wanita muda itu membungkuk sopan.Mata Mikhail makin memancarkan aura dingin setelah mendengar itu, tangannya selalu berada di saku untuk menjaga ketenanganya."Aku sedang mencari jam tangan dengan detail khusus," ujar
Gadis berambut ikal itu berulang kali mengerjapkan matanya seolah berusaha menghapus bayangan tubuh Mikhail tadi. Ia mendengus sambil melepas tasnya ke ranjang. "Apa maksudnya keluar hanya memakai handuk? Lalu kalau tidak dengan Jerry, dengan siapa aku pulang?" Astoria berbaring di ranjangnya melepas lelah sambil menggerutu. Ia masih sangat kesal dengan Mikhail, jika bukan karena Jerry, dia juga mungkin belum pulang di jam ini, mungkin saja ia akan pulang saat dini hari. Saat hatinya begitu bergemuruh dengan segala emosinya, sebuah notif pesan di ponselnya membuat ia tiba-tiba menyunggingkan senyum. [Kau sudah tidur?] Jerry mengirimkan pesan itu, pesan sederhana, tapi membuat Astoria seperti menemukan oasis di tengah gurun. [Belum, aku baru berbaring. Kau sudah sampai rumahmu?] Balas Astoria, ia terus memandangi layar ponselnya dengan semburat merah muda di pipinya. [Ya, aku baru
Enam bulan setelah Jerry ditangkap dan dipenjara, kantor M.J Hotel Group mulai kembali ke rutinitas yang lebih normal. David, setelah dibebaskan dari segala tuduhan, kembali ke perusahaan dan menggantikan posisi Jerry yang kosong. Kehadirannya disambut hangat oleh para eksekutif dan staf yang telah lama menunggu stabilitas kembali dalam perusahaan. Hari itu suasana kantor terasa lebih meriah dari biasanya. Para karyawan berkumpul di ruang rapat, tetapi bukan untuk diskusi bisnis. David berdiri di tengah ruangan dengan senyum penuh kebahagiaan, memegang tangan Jhein yang tampak terkejut tapi juga sangat bahagia. "Jhein, selama ini kau selalu di sisiku, mendukungku, bahkan saat aku terpuruk. Sekarang, aku ingin kau selalu berada di sisiku, bukan hanya sebagai rekan kerja, tapi sebagai pendamping hidupku," ucap David dengan nada mantap, tapi lembut sambil berlutut memberikan cincin untuk Jhein. Ruangan seketika
Malam itu, di sebuah sudut yang gelap dan tersembunyi, Jhein berdiri sambil memperhatikan Astoria dan Jerry di kafe dari kejauhan. Matanya tajam mengawasi setiap gerakan mereka, sementara jari-jarinya dengan cepat menggesek layar ponselnya, memotret momen yang dianggapnya penting. Dia menyaksikan percakapan penuh ketegangan itu, tak luput dari satu detik pun."Maafkan aku Astoria, ini bagian dari tugasku pada Mikhail," gumam Jhein dengan suara pelan sambil mengirimkan serangkaian foto itu ke nomor Mikhail. Sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya, menunjukkan bahwa pesan telah berhasil terkirim.Di dalam kafe, Astoria sedang mencoba meyakinkan Jerry untuk merelakannya, sementara di tempat lain, Mikhail yang menerima pesan dari Jhein tidak tahu apa yang sedang terjadi.Ia membuka pesan tersebut saat tengah sibuk di kantornya, foto-foto Astoria dan Jerry dalam satu frame membuat darahnya mendidih seketika. Meski belum tahu konteksnya, perasaan m
Malam itu, Astoria merasa lelah setelah seharian bekerja di kantor. Semua kesibukan yang menumpuk di hadapannya mulai mempengaruhi pikirannya. Mikhail masih terjebak dalam dunia kerjanya, dan meskipun Astoria mencoba untuk memahami, ada bagian dari hatinya yang merindukan kehadiran suaminya di sampingnya. Malam ini ia ada janji bertemu dengan Jerry untuk mengakhiri segalanya, dan semoga Mikhail tak salah paham. Astoria berharap semoga pertemuan ini bisa meredakan semua ketegangan yang mengganggu pikirannya. Dengan yakin ia melangkah, Astoria masuk ke sebuah kafe kecil yang terletak tidak jauh dari kantor. Suasana di dalam kafe itu hangat dan nyaman, dengan lampu-lampu redup yang memberi nuansa tenang. Aroma kopi yang segar menyambutnya, dan saat ia melangkah lebih dalam, pandangannya langsung tertuju pada sosok yang dikenalnya dengan baik, Jerry, yang sudah menunggu di sudut kafe dengan ekspresi yang sulit dibaca.
Minggu pagi yang cerah. Astoria duduk di sebuah kafe yang tenang. Tangannya gemetar sedikit ketika menggenggam secangkir teh hangat di depannya. Ia menunggu dengan cemas, mengatur napas agar tetap tenang. Tak lama kemudian, sebuah suara berat yang sudah lama tak ia dengar memecah keheningan. "Astoria?" Astoria mendongak, dan di sana berdiri seorang pria dengan rambut yang mulai memutih. Wajah Brandon tampak lebih tua dari terakhir kali ia melihatnya, namun di balik wajah itu, ada gurat penyesalan yang tak bisa disembunyikan. "Ayah..." Astoria tak mampu menyembunyikan rasa canggungnya. Perasaan bercampur aduk antara rindu, marah, dan harapan membuatnya bingung. Ia ingin memeluk ayahnya, namun luka masa lalu masih begitu segar di hatinya. Brandon menarik kursi dan duduk di depannya. "Aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi, Astoria, aku ingin minta maaf," katanya lirih, suaranya bergetar. Astoria hanya diam, menunggu penjelas
Astoria memandang layar ponselnya, jantungnya berdebar kencang saat melihat foto Mikhail yang tampak rentan.Namun, seolah tak memberi waktu untuk meresapi perasaannya, pesan baru muncul di layar. Ia menatap nama pengirim dengan curiga.Ternyata itu Rose.[Astoria, suamimu mabuk parah, dia di antar pulang oleh supirku.]Mendengar kabar itu, rasa tenang seolah merayap kembali ke dalam diri Astoria. Ia menghela napas lega, Kecurigaan yang sempat terbesit di benaknya sirna seketika. Ternyata Mikhail masih tak seperti yang Jerry tuduhkan, dan yang paling penting, dia baik-baik saja.“Terima kasih, Rose,” balasnya cepat, seolah untuk menegaskan rasa syukurnya. Namun Rose tampaknya memiliki pesan lain yang ingin disampaikan.[Sama-sama, Astoria. Oh iya, ayah kita bilang dia ingin bertemu denganmu, kapan kau siap?]Astoria terhenti sejenak, merasakan aliran dingin di tulang belakangnya. Meski hatinya bergetar mendengar nama itu
Mikhail menarik napas dalam-dalam, seolah menahan gelombang amarah yang masih tersisa di dadanya.Dia mendekat lagi, jarak di antara mereka semakin tipis. Tangannya perlahan mengangkat, jemarinya dengan lembut menyentuh wajah Astoria.Kulitnya terasa dingin di bawah sentuhan Mikhail, namun ada kehangatan aneh yang mengalir dari ujung jemarinya. Astoria terdiam, terperangkap dalam tatapan pria itu, marah, namun tak mampu benar-benar melukai.“Kau tahu, Astoria ...” Suaranya rendah, hampir berbisik, tetapi setiap kata yang keluar terasa berat, seolah penuh dengan emosi yang ia sembunyikan. “Aku masih belum bisa sepenuhnya memaafkan apa yang terjadi. Tapi itu tak berarti aku tak ingin melindungimu.”Tangannya bergerak turun, menelusuri rahang Astoria dengan pelan, nyaris ragu, sebelum berhenti di lehernya, jemarinya mengelus perlahan.“Terkadang, aku ingin marah. Tapi, pada saat yang sama, aku ingin memastikan kau baik-baik saja ... dengan c
Astoria melangkah perlahan, mengantarkan Jhein ke kamar yang pernah menjadi miliknya. Setiap langkah terasa berat, seiring dengan pertanyaan yang terus bergulir di benaknya. Jhein berjalan di sampingnya, tanpa banyak bicara, tampak malu dan gugup setelah menandatangani kontrak dengan Mikhail. Astoria dan Jhein akhirnya sampai di kamar yang dulunya milik Astoria. "Ini... kamarmu untuk sementara waktu," ujar Astoria dengan suara lemah, mencoba tetap tenang meski hatinya bergejolak. Jhein menatap sekeliling kamar itu dengan rasa canggung. Meski kamar tersebut sederhana di Penthouse, tapi bagi Jhein itu sudah lebih dari cukup, hingga ia merasa semakin segan. Astoria meletakkan tangannya di gagang pintu, hendak berbalik meninggalkan Jhein sendirian. Namun, sebelum ia melangkah keluar, Jhein memanggilnya. "Astoria … terima kasih," kata Jhein pelan, suaranya dipenuhi dengan rasa bersalah yang dalam. Astoria hanya mengangguk kecil. "Istirahatlah. Kita bisa bicarakan ini nanti," j
Pada akhirnya, Mikhail memutuskan untuk tidak mengantar Jhein pulang ke rumahnya. 'Dia tidak bisa kembali ke tempat seperti itu dengan kondisi seperti ini,' pikirnya. Namun, keputusannya bukan hanya soal belas kasihan. Dalam benaknya, Mikhail sudah merencanakan sesuatu. Mobil berhenti di depan penthouse, dan mereka bertiga turun. Mikhail berjalan lebih dulu, langkahnya mantap memimpin di depan Astoria dan Jhein menuju unit Penthousenya. 'Aku tak sebaik itu, tak akan memberinya secara cuma-cuma,' batinnya semakin tegas. Saat mereka tiba di penthouse, suasana terasa sunyi. Mikhail langsung menuju ruang kerjanya tanpa banyak bicara. Sebelum menghilang di balik pintu, ia berbalik dan berkata dengan nada tegas, "Ajak Jhein ke ruang kerjaku," ujarnya pada Astoria. Astoria, meskipun merasa sedikit tak nyaman dengan sikap Mikhail yang dingin, tetap mengikuti instruksi suaminya. Ia meraih tangan Jhein yang terlihat gelisah, menggenggamnya erat sambil berkata lembut, "Ayo, mari ki
Astoria melangkah pelan di trotoar, menikmati hembusan angin sore yang membawa sedikit kedamaian setelah pertemuan yang emosional dengan Rose.Pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan barusan, tentang ayahnya dan hubungan yang selama ini tersembunyi. Langkahnya lambat, dan ia berusaha menenangkan hatinya yang masih bergolak.Tiba-tiba, terdengar suara klakson dari arah samping. Astoria terhenti, menoleh dengan cepat ke sumber suara. Sebuah mobil hitam berhenti di dekatnya. Jendela mobil itu turun perlahan, memperlihatkan wajah Mikhail di balik kemudi, tatapannya serius namun terkesan tenang."Masuklah!" ajaknya dengan nada yang tenang namun tegas.Astoria membelalakkan mata. "Mi-Mikhail?" suaranya mengandung keheranan, tak menyangka Mikhail mengikutinya hingga ke sini. Meski terkejut, ia tahu benar bahwa Mikhail bukan orang yang suka diabaikan, terutama ketika ia memerintahkan sesuatu. Tanpa banyak berpikir lagi, Astoria membuka pintu dan segera