Dalam perjalanan kembali ke hotel, Mikhail membiarkan pikirannya terhanyut dalam lamunan yang tak terelakkan. Wajah Astoria yang pucat, terbaring di ranjang rumah sakit, membuatnya bertanya-tanya. Ingatan itu membawanya kembali ke momen ketika dokter menemui dirinya setelah Astoria pingsan di pesta malam ini.
Saat itu di rumah sakit, Mikhail berdiri di samping ranjang Astoria, melihat dokter memeriksa Astoria yang masih tidak sadarkan diri. Ketika dokter selesai, ia mendekati Mikhail, ekspresi serius terukir di wajahnya."Apa yang terjadi, Dok?" tanya Mikhail serius meski wajahnya nyaris tanpa ekspresi. Dokter menghela napas sebelum menjawab, "Secara fisik, Nona Astoria mengalami luka ringan di tangan akibat pecahan kaca. Namun, kondisi psikologisnya yang perlu lebih diperhatikan."Mikhail mengerutkan kening. "Apa maksud Anda?""Sepertinya Nona Astoria mengalami trauma psikis yang cukup dalam terkait darah," jelas dokter sambil menaikkan[Ku dengar kau yang membawaku ke rumah sakit, terimakasih.] Pesan singkat itu muncul di layar ponsel Mikhail saat ia duduk di kantornya, pagi ini. Tanpa disadari, sudut bibirnya terangkat sedikit, membentuk senyuman tipis yang hampir tak terlihat. Dia memang sudah terbiasa menjaga jarak emosional, namun pesan dari Astoria pagi ini memberi warna berbeda di awal harinya. Di kantor, kehadiran Mikhail yang lebih pagi dari biasanya membuat para staf eksekutif tegang. Mereka tahu, jika sang CEO datang di pagi hari dengan sikap yang tak terbaca, itu sering kali pertanda akan ada sesuatu yang besar—dan mungkin tidak menyenangkan—yang akan terjadi di antara mereka. Namun, Mikhail sendiri tampaknya tidak peduli dengan ketegangan yang menyelimuti sekitarnya. Dia pun mengambil ponselnya dan membalas pesan Astoria dengan cepat. [Kau sudah lebih baik?] Astoria, yang sedang berbaring di ranjan
Mikhail memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya semakin menajam. Suasana dalam ruangan itu terasa mencekam, seolah-olah udara pun berhenti bergerak.Jhein merasakan dinginnya lantai di bawah lututnya, tapi rasa takut yang menusuk hatinya jauh lebih mengerikan daripada dingin yang merayap ke tubuhnya.“Bisa jelaskan saat itu mengapa seorang wartawan ada di sana?” Mikhail menuntut, suaranya tenang tapi dengan kekuatan yang tak terbantahkan. Jhein menunduk semakin dalam, tak berani menatap mata Mikhail. Jemarinya saling meremas, keringat dingin semakin deras mengalir di pelipisnya. “Sa-saya tidak tahu, Tuan,” jawabnya, suaranya hampir tak terdengar, seperti bisikan seorang wanita yang telah dihukum.Mikhail tak memberikan reaksi langsung, hanya membiarkan keheningan yang menggantung di udara menekan Jhein lebih dalam.“Di hotel ini, tidak ada yang bisa masuk kamar sembarangan,” lanjut Mikhail, nada bicaranya tidak berubah, tapi setiap kat
Memikirkan masalah yang begitu berat membuat kepala Mikhail terasa seperti dihimpit beban tak terlihat. Urat-urat di pelipisnya mulai menegang, denyutnya semakin kuat, menghantam keras kesadarannya.Sakit yang menusuk mulai menjalar dari pelipis ke seluruh kepalanya, membuatnya meringis tanpa disadari.Dengan gerakan cepat, namun sedikit gemetar, Mikhail meraih laci mejanya. Tangan kanannya menyusuri bagian dalam laci, mencari sesuatu yang ia butuhkan, obat pereda nyeri yang selalu disimpannya di sana.Sakit ini bukan hal baru baginya, tetapi kali ini terasa lebih tajam, seolah menggambarkan intensitas dari kekacauan yang sedang ia hadapi.Mikhail merasakan sakit di kepalanya semakin menusuk, seakan mencengkeram erat pikirannya. Di balik rasa nyeri yang menyiksa itu, kenangan mengerikan dari lima tahun lalu tiba-tiba muncul kembali, menyeretnya ke malam yang dingin dan bersalju itu.Dalam bayang-bayang pikirannya yang semakin kabur, ia ke
Astoria sibuk di dapur, mengolah seafood dengan cermat. Tangannya bergerak lincah, mengaduk bumbu, memanggang ikan, dan menyiapkan hidangan terbaik yang bisa ia buat. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan Mikhail, membayangkan bagaimana ekspresinya saat mencicipi masakan yang ia buat sebagai ucapan terima kasih. Dalam hatinya, ia merasa ada harapan kecil bahwa masakan ini bisa menjadi jembatan yang memperpendek jarak di antara mereka.Setelah semuanya siap, Astoria menata meja makan dengan hati-hati, memastikan setiap detail terlihat sempurna. Hidangan laut yang telah ia siapkan tersaji cantik di atas piring-piring porselen.Ia juga menyiapkan sebuah bekal makan siang untuk David, berharap bisa menunjukkan rasa terima kasihnya kepada asisten suaminya yang selalu setia dan sigap."Terima kasih, Nyonya. Aku akan memakannya nanti. Aku pamit harus kembali ke kantor. 10 menit lagi mungkin dokter Felix akan datang," ujar David sambil menerima bekal itu d
“Apa salahku?” tanya Astoria, suaranya bergetar, dan air mata mulai menitik dari sudut matanya. Mikhail, masih dengan rahang yang mengatup erat, menatap Astoria dengan tatapan yang sulit dibaca, penuh amarah dan kecurigaan yang mendalam. “Seluruh karyawan hotel tahu aku alergi seafood! Tapi kau_,” suaranya terpotong oleh bantahan istrinya itu Astoria, yang tak bisa menahan emosinya lagi, balas menyahut dengan suara yang lebih tinggi. “Aku tidak tahu! Kau tak perlu semarah itu! Dunia ini tak selalu tentang dirimu hingga aku harus tahu segalanya tentangmu!” Kalimat itu terucap dengan begitu kuat dan tegas, hingga suasana ruangan itu seolah membeku. Astoria, yang tak tahan lagi berada di bawah tatapan penuh kecurigaan itu, memutuskan untuk pergi. Dengan air mata yang mengalir, ia melangkah keluar dari ruangan dengan cepat, meninggalkan Mikhail yang masih berdiri kaku di tempatnya. Pintu ruang kerja tertutup de
Astoria merasakan cengkraman Mikhail semakin kuat di pergelangan tangannya. Napasnya tertahan, berusaha untuk tetap tenang meski hatinya diliputi kebingungan dan ketakutan."Apa maksudmu? Kau masih mabuk! Lepaskan aku!” serunya dengan suara bergetar, mencoba melepaskan diri.Mikhail, dengan mata yang masih terbuka setengah, menatap Astoria dengan pandangan kabur.“Kau … tidak bisa dipercaya …,” gumamnya pelan, kalimatnya terdengar kacau, tidak jelas apakah ia sedang berbicara pada Astoria atau kepada dirinya sendiri.Pandangannya mulai memudar, tubuhnya semakin lemah, dan genggaman di tangan Astoria pun perlahan melonggar.Astoria berhasil melepaskan diri, mengusap pergelangan tangannya yang terasa sakit akibat cengkraman Mikhail. Dengan cepat, ia mundur beberapa langkah, napasnya masih terengah-engah.“Kau benar-benar mabuk, Tuan Mikhail,” desisnya, suaranya dipenuhi keputusasaan dan kekesalan. Air mata yang tadi ia tahan perlah
Keesokan harinya, Astoria bangun lebih awal dari biasanya. Setelah melewati malam yang tak nyenyak, pikirannya terus berkutat pada keputusan Mikhail untuk menaikkannya ke posisi baru. Saat tiba di hotel, langkahnya terasa berat. Namun, ia tahu tak ada jalan kembali. Astoria berjalan menuju counter laundry untuk mengambil seragam barunya. Sepasang seragam elegan yang menandakan jabatannya sebagai asisten eksekutif sudah menunggunya. Saat dia memasuki ruangan, beberapa karyawan yang sedang mengambil seragam mereka memandangnya dengan berbagai ekspresi. Ada yang kagum, melihat sosok yang dulunya rekan mereka kini naik pangkat. Ada yang iri, menganggap keberuntungan Astoria datang terlalu tiba-tiba. Dan ada yang hormat, memahami posisi baru Astoria sebagai istri CEO. “Pagi Nyonya,” sapa beberapa karyawan. Astoria membalas dengan sedikit anggukan, mencoba menenangkan dirinya dari berbagai perasaan yang bercampur aduk. Dia mengambil seragamnya dan bergegas menuju ruang ganti.
Jerry tersenyum sambil menatap lama pada Astoria, seolah hatinya sedang berbicara melalui mata, "Kau gadis yang baik, sayang sekali nasibmu tak sebaik itu juga." pancaran mata Jerry menembus ke netra Astoria, seakan menggetarkan sesuatu di dalam sana.Astoria mengangguk, ingin rasanya saat ini ia melepas tangis dan tersedu-sedu, tapi tentu itu tak mungkin. "Aku paham bersama Mikhail pasti membuatmu tertekan, kau bisa berbagi cerita padaku untuk sekedar melepas stress-mu," tambah Jerry sambil menepuk pundak Astoria."Terima kasih Jerry, aku merasa lebih tenang sekarang." Astoria tersenyum lebar, matanya masih di hiasi sisa bulir kepedihan yang ia tahan ada di sana.Jerry mengulurkan tangannya, perlahan jari jemarinya mendekat ke wajah Astoria, lalu menyeka sudut mata Astoria yang basah.Astoria terdiam sejenak merasakan jari jemari Jerry begitu hangat di pelupuk matanya, begitu lembut menyeka air matanya, semburat merah muncul di kedua pi