Mikhail Jamison Bloom berdiri tegak di altar dengan setelan jas hitam khusus yang mencerminkan statusnya sebagai CEO muda dari jaringan hotel terkenal milik keluarganya. Mikhail tampak sempurna dengan wajah tampan dan karisma yang memukau.
Di sampingnya, Astoria berdiri dengan anggun dalam balutan gaun pengantin yang indah. Wajahnya yang cantik terlihat cemas saat bisikan-bisikan tamu yang meremehkan asal-usulnya dan keluarganya terdengar jelas di telinganya. Meskipun ia berusaha untuk tetap tenang, kata-kata kasar itu mengiris hatinya seperti pisau. “Tampan sekali Tuan Mikhail.” “CEO kita tampan, tapi sayangnya kenapa menikahi wanita yang tak jelas asal-usulnya itu? Ibunya datang tanpa ayahnya?” “Ku dengar ayahnya pergi karena ibunya selingkuh.” Bisik-bisik sebagian tamu undangan terdengar ketika Astoria berdiri di altar, mengenakan gaun pengantin yang indah namun terasa berat. Di sampingnya Mikhail berdiri dengan gagah namun tanpa ekspresi. “Ya ampun, pasti wanita itu sama dengan ibunya, tukang rayu lelaki kaya!” bisik-bisik tamu undangan mengusik hati Astoria. Pemimpin upacara pernikahan mulai membacakan janji pernikahan. Ketika tiba saatnya mengucapkan janji, Astoria mencoba untuk tetap tenang. "Aku, Astoria, menerima engkau, Mikhail, sebagai suami…," suaranya bergetar, tetapi ia tetap berusaha kuat. Mikhail mengikuti dengan nada yang datar. "Aku, Mikhail, menerima engkau, Astoria, sebagai istri…." Baik Mikhail maupun Astoria melafalkannya dengan nada datar, menunjukkan ketegangan yang mendominasi suasana hati mereka. Janji yang seharusnya diucapkan dengan penuh kasih sayang terdengar seperti rutinitas yang harus dijalani. Ketika mereka saling menyematkan cincin, senyum tipis yang dipaksakan menghiasi wajah mereka, memperlihatkan betapa jauh hati mereka satu sama lain. Mereka saling menukar cincin, dan akhirnya, pendeta mengumumkan mereka sebagai suami istri. Saat itu, Astoria merasakan campuran perasaan antara lega dan keterpaksaan. Hingga akhirnya seluruh rangkaian pesta pun usai, Astoria dan Mikhail telah berada di kamar pengantin hotel yang sudah di set up cantik untuk malam pertama mereka. Malam pertama mereka di kamar suite hotel terasa canggung dan tegang. Mikhail duduk di tepi ranjang, tatapannya kosong dan tanpa ekspresi. Sementara itu, Astoria menenangkan diri di kamar mandi. Air mata yang tertahan akhirnya mengalir saat ia menghapus riasan tebal di wajahnya. Astoria merasa terperangkap dalam situasi yang tidak diinginkannya, namun ia tahu bahwa ia harus kuat untuk keluarganya. “Bagaimana aku bisa menjalani semua ini?” pikirnya. Pernikahan yang seharusnya menjadi momen paling bahagia dalam hidupnya justru berubah menjadi mimpi buruk yang menyakitkan. Ia merasa terperangkap dalam sebuah skenario yang bukan pilihannya, sebuah komitmen yang dipaksakan demi menyelamatkan reputasi keluarga suaminya. Air mata mulai mengalir di pipinya tanpa ia sadari. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak yang mulai naik ke tenggorokan. Setelah beberapa saat, Astoria mengumpulkan keberanian dan akhirnya keluar dari kamar mandi. Keheningan menyelimuti mereka berdua. Mikhail mendekati Astoria dan mengatakan bahwa mereka perlu bicara. Mereka duduk berhadapan, suasana semakin tegang. Mikhail perlahan bangkit dari duduknya, langkahnya mantap mendekati Astoria. Ia berhenti di depan Astoria, cukup dekat sehingga Astoria berdebar karena canggung. "Kita perlu bicara," ujar Mikhail dengan nada suara yang tenang namun tegas, matanya lurus menatap Astoria di depannya. Mikhail mengarahkan Astoria untuk duduk di kursi dekat meja rias, sementara ia mengambil tempat di kursi sebelahnya. Mereka duduk berhadapan, tatapan mata mereka saling mengunci. "Tidak ada pilihan lain selain ini," kata Mikhail dengan nada datar. "Ini bukan sesuatu yang mudah bagiku juga. Tapi jangan anggap remeh pernikahan ini.” Astoria menatapnya, mencoba membaca apa yang ada di balik mata kelam Mikhail. Astoria pikir lelaki tanpa perasaan sepertinya hanya menganggap pernikahan sebuah formalitas saja. “Besok kita akan pulang ke rumah pribadiku, peran kita sebagai suami istri akan di mulai, tenang saja, aku akan memberikan uang tiap bulannya.” “Aku masih bekerja di hotel, biar aku urus sendiri pengeluaranku,” ujar Astoria sambil menunduk, mencoba menyembunyikan ketidaksukaannya. “Aku tidak menerima bantahan apapun.” Seru Mikhail seraya menatap Astoria dengan tatapan datar. "Aku mengerti, Tuan," ujar Astoria. Astoria membuang napasnya pelan setelah melihat Mikhail langsung pergi dari hadapannya. Astoria menenangkan dirinya, ia pasti bisa melewati ini. Lagipula pernikahan ini hanya akan berjalan selama lima tahun, Astoria akan menjalani pernikahan ini dengan semestinya.Setelah perbincangan itu, Astoria berbaring sendirian di ranjang, terpisah dengan Mikhail yang beristirahat di kamar lain. Malam serasa panjang untuk melepas beban, tentu saja, ini pernikahannya yang dilaksanakan secara mendadak, ditambah sebuah surat perjanjian pernikahan kontrak yang sudah ia tanda tangani sehari sebelum pernikahan kemarin membuatnya tak bisa tidur. Astoria terus mengingat perjanjian berat bersama Mikhail, saat itu suasana di ruang kerja Mikhail terasa dingin dan penuh ketegangan. Astoria duduk di hadapan Mikhail, mencoba memahami maksud dari dokumen yang baru saja diberikan kepadanya. Mikhail menatap Astoria tanpa ekspresi, Namun mata gelapnya memancarkan intimidasi, “Lima tahun adalah waktu yang cukup untuk menenangkan segala rumor yang ada. Setelah itu, kita akan bercerai secara baik-baik.” Ia berhenti sejenak, menatap Astoria bagai melihat kucing jalanan, dan menambahkan, “Ada satu hal yang harus kau ingat, kau tidak boleh menceritakan perjanjian ini kepada
Merasa lelah, Astoria berbaring di ranjangnya. Ya, ini di kamarnya sendiri, terpisah dengan kamar Mikhail. Ia menatap langit-langit, merenungi percakapan dengan ibunya. Tak lama kemudian, ponselnya berdering lagi, memecah keheningan.Pesan dari Rose, temannya:[Hei, kau tidak lupa 'kan acara ulang tahunku? Pakai baju formal ya, karena kakekku mengundang rekan bisnisnya juga.] Rose menambahkan emotikon menangis sebab ia menginginkan pesta untuk kaum muda, tapi kakeknya malah mengundang para rekan bisnisnya yang pasti sudah berumur.Astoria menjawab: [Oke, aku akan bersiap-siap.]Astoria duduk di depan cermin, mempersiapkan diri. Dengan hati-hati, ia berdandan cantik, memilih gaun yang elegan dan riasan yang menonjolkan kecantikannya. Ia menyisir rambutnya, lalu menguncirnya dengan gaya yang anggun.Petang itu, Astoria bergegas ke sebuah gedung acara yang megah, tempat yang memang diperuntukkan untuk acara besar. Hatinya berdebar-debar saat melangkah masuk. Sampai di depan pintu ballro
Pintu ballroom terbuka lagi, dan keramaian yang semula penuh canda tawa perlahan mereda. Semua mata beralih ke arah pintu masuk, di mana seorang pria berpostur tegap melangkah masuk dengan penuh wibawa.Setelan jas hitam yang ia kenakan tampak sempurna, seakan dijahit khusus untuk membalut tubuh atletisnya. Wajahnya yang tegas terpahat, dengan mata tajam yang memancarkan aura kedalaman dan ketegasan. Rambutnya tersisir rapi, menambah kesan dingin namun memikat.Langkahnya mantap, tanpa ragu, seolah ia telah terbiasa menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada. Dan benar saja, semua mata tak henti-hentinya mengikuti pergerakannya, berdecak kagum pada kehadirannya yang begitu menguasai ruangan.Bisikan-bisikan penuh kekaguman mulai terdengar dari sudut-sudut ballroom, membicarakan sosok tampan dan karismatik yang baru saja tiba.Pak Chriss, tuan rumah acara malam itu, segera melangkah maju dengan senyum lebar di wajahnya. "Duke Mikhail, kehormatan besar bagi kami, anda bisa hadir mala
Mikhail berdiri tegak di tengah keramaian, dikelilingi oleh kolega dan kenalannya, namun tiba-tiba pandangannya terpaku pada sosok yang familiar di kejauhan. Astoria. Dia ada di sini, di tengah kerumunan yang gemerlap dan riuh.Hatinya bertanya-tanya sejenak, 'Astoria mengenal Rose?' Pikiran itu berputar di kepalanya, namun dia dengan cepat mengalihkan fokusnya kembali ke percakapan dengan Pak Chriss, berusaha tetap tenang meski rasa penasaran menggigit pikirannya.Mikhail tetap mendengarkan Pak Chriss berbicara tentang rencana pembangunan hotel di dekat stasiun yang akan segera dimulai. Hotel yang akan menjadi jantung ekonomi baru di kawasan itu, menguntungkan semua pihak yang terlibat. Mikhail mengangguk, menunjukkan ketertarikannya meskipun pikirannya masih setengah di tempat lain. Sesekali, matanya melirik ke arah Astoria, berusaha memantau situasinya tanpa menimbulkan kecurigaan.Pak Chriss, yang tak menyadari distraksi kecil Mikhail, mengaj
Astoria terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat saat ia mencoba membuka mata. Cahaya putih yang terang menyambutnya, membuatnya harus menyipitkan mata sejenak untuk beradaptasi.Dia merasakan dinginnya seprai di bawah kulitnya dan bau khas antiseptik yang memenuhi udara, memberi tahu bahwa dia berada di tempat yang asing, bukan di rumah atau pesta yang barusan diingatnya, melainkan di kamar rumah sakit.Langit-langit putih bersih di atasnya, suara tetesan air infusan terdengar jelas dalam keheningan, dan rasa nyeri samar di telapak tangannya menjadi tanda bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Dia merasa tubuhnya lemas, seperti baru saja melewati sesuatu yang sangat melelahkan. Tiba-tiba, sebuah suara lembut dan penuh kekhawatiran menyapanya. "Kau sudah sadar?"Astoria menoleh perlahan, mendapati Rose duduk di samping tempat tidurnya, wajahnya dipenuhi kecemasan. Mata Rose tampak merah, seolah telah menahan air mata yang hampir tumpah.
Dalam perjalanan kembali ke hotel, Mikhail membiarkan pikirannya terhanyut dalam lamunan yang tak terelakkan. Wajah Astoria yang pucat, terbaring di ranjang rumah sakit, membuatnya bertanya-tanya. Ingatan itu membawanya kembali ke momen ketika dokter menemui dirinya setelah Astoria pingsan di pesta malam ini.Saat itu di rumah sakit, Mikhail berdiri di samping ranjang Astoria, melihat dokter memeriksa Astoria yang masih tidak sadarkan diri. Ketika dokter selesai, ia mendekati Mikhail, ekspresi serius terukir di wajahnya."Apa yang terjadi, Dok?" tanya Mikhail serius meski wajahnya nyaris tanpa ekspresi. Dokter menghela napas sebelum menjawab, "Secara fisik, Nona Astoria mengalami luka ringan di tangan akibat pecahan kaca. Namun, kondisi psikologisnya yang perlu lebih diperhatikan."Mikhail mengerutkan kening. "Apa maksud Anda?""Sepertinya Nona Astoria mengalami trauma psikis yang cukup dalam terkait darah," jelas dokter sambil menaikkan
[Ku dengar kau yang membawaku ke rumah sakit, terimakasih.] Pesan singkat itu muncul di layar ponsel Mikhail saat ia duduk di kantornya, pagi ini. Tanpa disadari, sudut bibirnya terangkat sedikit, membentuk senyuman tipis yang hampir tak terlihat. Dia memang sudah terbiasa menjaga jarak emosional, namun pesan dari Astoria pagi ini memberi warna berbeda di awal harinya. Di kantor, kehadiran Mikhail yang lebih pagi dari biasanya membuat para staf eksekutif tegang. Mereka tahu, jika sang CEO datang di pagi hari dengan sikap yang tak terbaca, itu sering kali pertanda akan ada sesuatu yang besar—dan mungkin tidak menyenangkan—yang akan terjadi di antara mereka. Namun, Mikhail sendiri tampaknya tidak peduli dengan ketegangan yang menyelimuti sekitarnya. Dia pun mengambil ponselnya dan membalas pesan Astoria dengan cepat. [Kau sudah lebih baik?] Astoria, yang sedang berbaring di ranjan
Mikhail memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya semakin menajam. Suasana dalam ruangan itu terasa mencekam, seolah-olah udara pun berhenti bergerak.Jhein merasakan dinginnya lantai di bawah lututnya, tapi rasa takut yang menusuk hatinya jauh lebih mengerikan daripada dingin yang merayap ke tubuhnya.“Bisa jelaskan saat itu mengapa seorang wartawan ada di sana?” Mikhail menuntut, suaranya tenang tapi dengan kekuatan yang tak terbantahkan. Jhein menunduk semakin dalam, tak berani menatap mata Mikhail. Jemarinya saling meremas, keringat dingin semakin deras mengalir di pelipisnya. “Sa-saya tidak tahu, Tuan,” jawabnya, suaranya hampir tak terdengar, seperti bisikan seorang wanita yang telah dihukum.Mikhail tak memberikan reaksi langsung, hanya membiarkan keheningan yang menggantung di udara menekan Jhein lebih dalam.“Di hotel ini, tidak ada yang bisa masuk kamar sembarangan,” lanjut Mikhail, nada bicaranya tidak berubah, tapi setiap kat