Share

Chapter 4

Setelah perbincangan itu, Astoria berbaring sendirian di ranjang, terpisah dengan Mikhail yang beristirahat di kamar lain.

Malam serasa panjang untuk melepas beban, tentu saja, ini pernikahannya yang dilaksanakan secara mendadak, ditambah sebuah surat perjanjian pernikahan kontrak yang sudah ia tanda tangani sehari sebelum pernikahan kemarin membuatnya tak bisa tidur.

Astoria terus mengingat perjanjian berat bersama Mikhail, saat itu suasana di ruang kerja Mikhail terasa dingin dan penuh ketegangan. Astoria duduk di hadapan Mikhail, mencoba memahami maksud dari dokumen yang baru saja diberikan kepadanya.

Mikhail menatap Astoria tanpa ekspresi, Namun mata gelapnya memancarkan intimidasi, “Lima tahun adalah waktu yang cukup untuk menenangkan segala rumor yang ada. Setelah itu, kita akan bercerai secara baik-baik.”

Ia berhenti sejenak, menatap Astoria bagai melihat kucing jalanan, dan menambahkan, “Ada satu hal yang harus kau ingat, kau tidak boleh menceritakan perjanjian ini kepada siapa pun. Itu bagian dari kontraknya.”

Rahang Astoria menegang, penegasan Mikhail membuatnya semakin muak ditambah ekspresinya itu seolah melihat dirinya adalah manusia tak berarti.

‘Hal apa yang membuatnya menjadi manusia seperti ini?’ pikir Astoria.

“Baik, aku sangat paham. Bila melanggarnya aku akan membayar denda dan di usir dari sini, bukan?”

“Hmm,” jawab Mikhail singkat dengan anggukan kecil.

Astoria menatap dokumen di tangannya, mencoba mencerna semua yang baru saja dikatakan oleh Mikhail.

Ia tahu bahwa menerima perjanjian ini berarti mengorbankan banyak hal, termasuk kebebasannya. Namun, ia juga tahu bahwa menolak perjanjian ini mungkin akan membawa lebih banyak masalah.

Dengan suara yang sedikit gemetar, Astoria akhirnya bertanya, “Apakah aku punya pilihan lain?”

Mikhail terdiam sejenak sebelum menjawab, “Tidak, Astoria. Ini satu-satunya jalan yang tersedia untuk kita.”

Astoria menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menandatangani dokumen itu. “Baiklah, Mikhail. Aku setuju dengan syarat-syaratmu.”

Mikhail mengangguk singkat, lalu mengambil kembali dokumen yang telah ditandatangani Astoria.

Lambat laun ingatan yang melelahkan itu seolah telah meremukkan seluruh badan dan pikirannya. Lelah hati dan jiwa, Astoria lalu tertidur lelap, meski kerutan di dahinya masih terlihat.

Besoknya, Astoria berangkat menuju penthouse pribadi Mikhail, hanya membawa satu koper berisi pakaian. Ibunya menemaninya, terkesima melihat kemewahan komplek apartemen tersebut.

Komplek apartemen itu penuh dengan taman yang tertata rapi, air mancur yang mengalir dengan indah, dan deretan mobil mewah yang terparkir rapi. Bangunan-bangunannya menjulang tinggi dengan arsitektur modern dan elegan, menunjukkan kemewahan dan status sosial penghuninya.

Seharusnya Mikhail mendampingi sebagai seorang suami, tapi ia tak bisa melewatkan rapat penting di hotelnya, hingga meninggalkan Astoria di hari-hari pertama setelah pernikahan.

Sesampainya di lobi Apartemen, Astoria baru ingat kalau Mikhail belum memberi tahu password unitnya.

[Kau lupa memberi tahu password rumahmu.]

Tanpa menyebut nama suaminya, Astoria mengirim pesan itu dan menunggu balasan.

[230216]

Balas Mikhail kemudian.

Astoria hanya geleng-geleng, merasa tidak perlu membalasnya lagi, ia simpan ponselnya ke dalam saku celananya dan segera ke penthouse Mikhail bersama ibunya.

Di meja rapatnya, Mikhail menghela napas sambil menatap ponselnya.

Saat Mikhail selesai dengan ponselnya dan meletakkannya kembali di saku jasnya, ia mendongak ke depan dan mendapati semua orang di ruangan rapat sedang menatapnya dengan bingung. Mereka jarang melihat sang CEO membalas pesan atau telepon di tengah rapat.

Jadi orang sepenting apakah di seberang sana hingga seorang Mikhail rela melihat ponsel di tengah pekerjaannya? Pikir orang-orang di ruang rapat.

"Maaf, lanjutkan," ujar Mikhail, kembali fokus pada rapat.

Setelah rapat selesai, Jerry menghampiri Mikhail. "Sepertinya kau bahagia dengan pernikahan dadakan ini?" bisik Jerry, sahabat sekaligus Wakil Direktur Eksekutif perusahaan.

Mikhail menatapnya dengan dingin, tanpa menunjukkan emosi. "Ini bukan tentang bahagia atau tidak. Hanya urusan yang harus diselesaikan," jawabnya datar.

Jerry hanya tersenyum tipis, menepuk bahu Mikhail, “Yah bagaimana pun, semoga pernikahanmu langgeng.”

Mikhail hanya mengangguk-angguk sambil menatap jalannya di depan.

Di belakangnya, David menyela, "Tuan Mikhail, nanti petang ada acara bersama Presiden Direktur Pengembangan Transportasi di dekat cabang baru hotel kita. Kemungkinan acaranya sampai malam."

Mikhail hampir lupa akan acara tersebut. "Baik, aku akan datang," jawabnya singkat.

Sementara itu, di penthouse, ibu Astoria tengah membantu putrinya memasukkan baju-baju ke dalam lemari. Kemewahan penthouse itu membuat ibunya terus berdecak kagum.

"Astoria, kau harus memastikan namamu ada dalam sertifikat properti ini. Jangan sampai kau tidak mendapatkan apa-apa jika terjadi sesuatu," kata ibunya sambil menata pakaian.

Astoria menggeleng, enggan seperti itu. "Aku tak akan melakukan itu, Bu. Kecuali Mikhail memberinya secara suka rela," balas Astoria tegas, meski dalam hati sedikit terpukul.

Dia tahu pernikahan ini hanya di atas kertas. Mikhail memberinya kontrak perjanjian pernikahan yang hanya akan berlangsung selama lima tahun.

Dalam pikirannya, terbesit perasaan hampa. Ia sadar, dalam pernikahan ini, ia tak bisa menjalani kehidupan sebagai keluarga sepenuhnya. Bahkan mendambakan seorang anak pun tak bisa. Jika pernikahannya hanya sesingkat itu, buat apa ia punya anak?

Astoria menatap lemari yang kini terisi penuh dengan pakaiannya, namun hatinya terasa kosong. Di tengah kemewahan dan segala fasilitas yang dimilikinya sekarang, ia merasa terkurung dalam pernikahan yang tidak memberinya kebahagiaan sejati.

"Mungkin, ini memang takdirku," pikirnya, berusaha menguatkan hati.

Ibunya Astoria masih bersikeras, "Astoria, kau juga punya hak. Kau istri Mikhail sekarang. Kau harus melindungi dirimu sendiri."

Astoria berdebat, suaranya bergetar. "Kalau ibu seperti itu, apa itu artinya benar apa yang dikatakan orang-orang tentang ibu? Bahwa ayah meninggalkan ibu karena ibu mencari pria kaya?"

Matanya berkaca-kaca.

Ibunya terkejut dan marah. "Jaga ucapanmu, Astoria! Ibu bilang begitu karena untuk kebaikanmu!"

Setelah itu, ibunya Astoria pergi dari penthouse sambil mengomel, meninggalkan Astoria yang menatap nanar nasibnya. Astoria berdiri di sana, merasa terpukul oleh percakapan barusan.

Dia menatap keluar jendela, melihat pemandangan kota yang indah namun terasa dingin dan asing. Rasanya, dalam kemewahan ini, ia justru kehilangan kehangatan dan kedamaian yang sesungguhnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status