Setelah perbincangan itu, Astoria berbaring sendirian di ranjang, terpisah dengan Mikhail yang beristirahat di kamar lain.
Malam serasa panjang untuk melepas beban, tentu saja, ini pernikahannya yang dilaksanakan secara mendadak, ditambah sebuah surat perjanjian pernikahan kontrak yang sudah ia tanda tangani sehari sebelum pernikahan kemarin membuatnya tak bisa tidur. Astoria terus mengingat perjanjian berat bersama Mikhail, saat itu suasana di ruang kerja Mikhail terasa dingin dan penuh ketegangan. Astoria duduk di hadapan Mikhail, mencoba memahami maksud dari dokumen yang baru saja diberikan kepadanya. Mikhail menatap Astoria tanpa ekspresi, Namun mata gelapnya memancarkan intimidasi, “Lima tahun adalah waktu yang cukup untuk menenangkan segala rumor yang ada. Setelah itu, kita akan bercerai secara baik-baik.” Ia berhenti sejenak, menatap Astoria bagai melihat kucing jalanan, dan menambahkan, “Ada satu hal yang harus kau ingat, kau tidak boleh menceritakan perjanjian ini kepada siapa pun. Itu bagian dari kontraknya.” Rahang Astoria menegang, penegasan Mikhail membuatnya semakin muak ditambah ekspresinya itu seolah melihat dirinya adalah manusia tak berarti. ‘Hal apa yang membuatnya menjadi manusia seperti ini?’ pikir Astoria. “Baik, aku sangat paham. Bila melanggarnya aku akan membayar denda dan di usir dari sini, bukan?” “Hmm,” jawab Mikhail singkat dengan anggukan kecil. Astoria menatap dokumen di tangannya, mencoba mencerna semua yang baru saja dikatakan oleh Mikhail. Ia tahu bahwa menerima perjanjian ini berarti mengorbankan banyak hal, termasuk kebebasannya. Namun, ia juga tahu bahwa menolak perjanjian ini mungkin akan membawa lebih banyak masalah. Dengan suara yang sedikit gemetar, Astoria akhirnya bertanya, “Apakah aku punya pilihan lain?” Mikhail terdiam sejenak sebelum menjawab, “Tidak, Astoria. Ini satu-satunya jalan yang tersedia untuk kita.” Astoria menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menandatangani dokumen itu. “Baiklah, Mikhail. Aku setuju dengan syarat-syaratmu.” Mikhail mengangguk singkat, lalu mengambil kembali dokumen yang telah ditandatangani Astoria. Lambat laun ingatan yang melelahkan itu seolah telah meremukkan seluruh badan dan pikirannya. Lelah hati dan jiwa, Astoria lalu tertidur lelap, meski kerutan di dahinya masih terlihat. Besoknya, Astoria berangkat menuju penthouse pribadi Mikhail, hanya membawa satu koper berisi pakaian. Ibunya menemaninya, terkesima melihat kemewahan komplek apartemen tersebut. Komplek apartemen itu penuh dengan taman yang tertata rapi, air mancur yang mengalir dengan indah, dan deretan mobil mewah yang terparkir rapi. Bangunan-bangunannya menjulang tinggi dengan arsitektur modern dan elegan, menunjukkan kemewahan dan status sosial penghuninya. Seharusnya Mikhail mendampingi sebagai seorang suami, tapi ia tak bisa melewatkan rapat penting di hotelnya, hingga meninggalkan Astoria di hari-hari pertama setelah pernikahan. Sesampainya di lobi Apartemen, Astoria baru ingat kalau Mikhail belum memberi tahu password unitnya. [Kau lupa memberi tahu password rumahmu.] Tanpa menyebut nama suaminya, Astoria mengirim pesan itu dan menunggu balasan. [230216] Balas Mikhail kemudian. Astoria hanya geleng-geleng, merasa tidak perlu membalasnya lagi, ia simpan ponselnya ke dalam saku celananya dan segera ke penthouse Mikhail bersama ibunya. Di meja rapatnya, Mikhail menghela napas sambil menatap ponselnya. Saat Mikhail selesai dengan ponselnya dan meletakkannya kembali di saku jasnya, ia mendongak ke depan dan mendapati semua orang di ruangan rapat sedang menatapnya dengan bingung. Mereka jarang melihat sang CEO membalas pesan atau telepon di tengah rapat. Jadi orang sepenting apakah di seberang sana hingga seorang Mikhail rela melihat ponsel di tengah pekerjaannya? Pikir orang-orang di ruang rapat. "Maaf, lanjutkan," ujar Mikhail, kembali fokus pada rapat. Setelah rapat selesai, Jerry menghampiri Mikhail. "Sepertinya kau bahagia dengan pernikahan dadakan ini?" bisik Jerry, sahabat sekaligus Wakil Direktur Eksekutif perusahaan. Mikhail menatapnya dengan dingin, tanpa menunjukkan emosi. "Ini bukan tentang bahagia atau tidak. Hanya urusan yang harus diselesaikan," jawabnya datar. Jerry hanya tersenyum tipis, menepuk bahu Mikhail, “Yah bagaimana pun, semoga pernikahanmu langgeng.” Mikhail hanya mengangguk-angguk sambil menatap jalannya di depan. Di belakangnya, David menyela, "Tuan Mikhail, nanti petang ada acara bersama Presiden Direktur Pengembangan Transportasi di dekat cabang baru hotel kita. Kemungkinan acaranya sampai malam." Mikhail hampir lupa akan acara tersebut. "Baik, aku akan datang," jawabnya singkat. Sementara itu, di penthouse, ibu Astoria tengah membantu putrinya memasukkan baju-baju ke dalam lemari. Kemewahan penthouse itu membuat ibunya terus berdecak kagum. "Astoria, kau harus memastikan namamu ada dalam sertifikat properti ini. Jangan sampai kau tidak mendapatkan apa-apa jika terjadi sesuatu," kata ibunya sambil menata pakaian. Astoria menggeleng, enggan seperti itu. "Aku tak akan melakukan itu, Bu. Kecuali Mikhail memberinya secara suka rela," balas Astoria tegas, meski dalam hati sedikit terpukul. Dia tahu pernikahan ini hanya di atas kertas. Mikhail memberinya kontrak perjanjian pernikahan yang hanya akan berlangsung selama lima tahun. Dalam pikirannya, terbesit perasaan hampa. Ia sadar, dalam pernikahan ini, ia tak bisa menjalani kehidupan sebagai keluarga sepenuhnya. Bahkan mendambakan seorang anak pun tak bisa. Jika pernikahannya hanya sesingkat itu, buat apa ia punya anak? Astoria menatap lemari yang kini terisi penuh dengan pakaiannya, namun hatinya terasa kosong. Di tengah kemewahan dan segala fasilitas yang dimilikinya sekarang, ia merasa terkurung dalam pernikahan yang tidak memberinya kebahagiaan sejati. "Mungkin, ini memang takdirku," pikirnya, berusaha menguatkan hati. Ibunya Astoria masih bersikeras, "Astoria, kau juga punya hak. Kau istri Mikhail sekarang. Kau harus melindungi dirimu sendiri." Astoria berdebat, suaranya bergetar. "Kalau ibu seperti itu, apa itu artinya benar apa yang dikatakan orang-orang tentang ibu? Bahwa ayah meninggalkan ibu karena ibu mencari pria kaya?" Matanya berkaca-kaca. Ibunya terkejut dan marah. "Jaga ucapanmu, Astoria! Ibu bilang begitu karena untuk kebaikanmu!" Setelah itu, ibunya Astoria pergi dari penthouse sambil mengomel, meninggalkan Astoria yang menatap nanar nasibnya. Astoria berdiri di sana, merasa terpukul oleh percakapan barusan. Dia menatap keluar jendela, melihat pemandangan kota yang indah namun terasa dingin dan asing. Rasanya, dalam kemewahan ini, ia justru kehilangan kehangatan dan kedamaian yang sesungguhnya.Merasa lelah, Astoria berbaring di ranjangnya. Ya, ini di kamarnya sendiri, terpisah dengan kamar Mikhail. Ia menatap langit-langit, merenungi percakapan dengan ibunya. Tak lama kemudian, ponselnya berdering lagi, memecah keheningan.Pesan dari Rose, temannya:[Hei, kau tidak lupa 'kan acara ulang tahunku? Pakai baju formal ya, karena kakekku mengundang rekan bisnisnya juga.] Rose menambahkan emotikon menangis sebab ia menginginkan pesta untuk kaum muda, tapi kakeknya malah mengundang para rekan bisnisnya yang pasti sudah berumur.Astoria menjawab: [Oke, aku akan bersiap-siap.]Astoria duduk di depan cermin, mempersiapkan diri. Dengan hati-hati, ia berdandan cantik, memilih gaun yang elegan dan riasan yang menonjolkan kecantikannya. Ia menyisir rambutnya, lalu menguncirnya dengan gaya yang anggun.Petang itu, Astoria bergegas ke sebuah gedung acara yang megah, tempat yang memang diperuntukkan untuk acara besar. Hatinya berdebar-debar saat melangkah masuk. Sampai di depan pintu ballro
Pintu ballroom terbuka lagi, dan keramaian yang semula penuh canda tawa perlahan mereda. Semua mata beralih ke arah pintu masuk, di mana seorang pria berpostur tegap melangkah masuk dengan penuh wibawa.Setelan jas hitam yang ia kenakan tampak sempurna, seakan dijahit khusus untuk membalut tubuh atletisnya. Wajahnya yang tegas terpahat, dengan mata tajam yang memancarkan aura kedalaman dan ketegasan. Rambutnya tersisir rapi, menambah kesan dingin namun memikat.Langkahnya mantap, tanpa ragu, seolah ia telah terbiasa menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada. Dan benar saja, semua mata tak henti-hentinya mengikuti pergerakannya, berdecak kagum pada kehadirannya yang begitu menguasai ruangan.Bisikan-bisikan penuh kekaguman mulai terdengar dari sudut-sudut ballroom, membicarakan sosok tampan dan karismatik yang baru saja tiba.Pak Chriss, tuan rumah acara malam itu, segera melangkah maju dengan senyum lebar di wajahnya. "Duke Mikhail, kehormatan besar bagi kami, anda bisa hadir mala
Mikhail berdiri tegak di tengah keramaian, dikelilingi oleh kolega dan kenalannya, namun tiba-tiba pandangannya terpaku pada sosok yang familiar di kejauhan. Astoria. Dia ada di sini, di tengah kerumunan yang gemerlap dan riuh.Hatinya bertanya-tanya sejenak, 'Astoria mengenal Rose?' Pikiran itu berputar di kepalanya, namun dia dengan cepat mengalihkan fokusnya kembali ke percakapan dengan Pak Chriss, berusaha tetap tenang meski rasa penasaran menggigit pikirannya.Mikhail tetap mendengarkan Pak Chriss berbicara tentang rencana pembangunan hotel di dekat stasiun yang akan segera dimulai. Hotel yang akan menjadi jantung ekonomi baru di kawasan itu, menguntungkan semua pihak yang terlibat. Mikhail mengangguk, menunjukkan ketertarikannya meskipun pikirannya masih setengah di tempat lain. Sesekali, matanya melirik ke arah Astoria, berusaha memantau situasinya tanpa menimbulkan kecurigaan.Pak Chriss, yang tak menyadari distraksi kecil Mikhail, mengaj
Astoria terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat saat ia mencoba membuka mata. Cahaya putih yang terang menyambutnya, membuatnya harus menyipitkan mata sejenak untuk beradaptasi.Dia merasakan dinginnya seprai di bawah kulitnya dan bau khas antiseptik yang memenuhi udara, memberi tahu bahwa dia berada di tempat yang asing, bukan di rumah atau pesta yang barusan diingatnya, melainkan di kamar rumah sakit.Langit-langit putih bersih di atasnya, suara tetesan air infusan terdengar jelas dalam keheningan, dan rasa nyeri samar di telapak tangannya menjadi tanda bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Dia merasa tubuhnya lemas, seperti baru saja melewati sesuatu yang sangat melelahkan. Tiba-tiba, sebuah suara lembut dan penuh kekhawatiran menyapanya. "Kau sudah sadar?"Astoria menoleh perlahan, mendapati Rose duduk di samping tempat tidurnya, wajahnya dipenuhi kecemasan. Mata Rose tampak merah, seolah telah menahan air mata yang hampir tumpah.
Dalam perjalanan kembali ke hotel, Mikhail membiarkan pikirannya terhanyut dalam lamunan yang tak terelakkan. Wajah Astoria yang pucat, terbaring di ranjang rumah sakit, membuatnya bertanya-tanya. Ingatan itu membawanya kembali ke momen ketika dokter menemui dirinya setelah Astoria pingsan di pesta malam ini.Saat itu di rumah sakit, Mikhail berdiri di samping ranjang Astoria, melihat dokter memeriksa Astoria yang masih tidak sadarkan diri. Ketika dokter selesai, ia mendekati Mikhail, ekspresi serius terukir di wajahnya."Apa yang terjadi, Dok?" tanya Mikhail serius meski wajahnya nyaris tanpa ekspresi. Dokter menghela napas sebelum menjawab, "Secara fisik, Nona Astoria mengalami luka ringan di tangan akibat pecahan kaca. Namun, kondisi psikologisnya yang perlu lebih diperhatikan."Mikhail mengerutkan kening. "Apa maksud Anda?""Sepertinya Nona Astoria mengalami trauma psikis yang cukup dalam terkait darah," jelas dokter sambil menaikkan
[Ku dengar kau yang membawaku ke rumah sakit, terimakasih.] Pesan singkat itu muncul di layar ponsel Mikhail saat ia duduk di kantornya, pagi ini. Tanpa disadari, sudut bibirnya terangkat sedikit, membentuk senyuman tipis yang hampir tak terlihat. Dia memang sudah terbiasa menjaga jarak emosional, namun pesan dari Astoria pagi ini memberi warna berbeda di awal harinya. Di kantor, kehadiran Mikhail yang lebih pagi dari biasanya membuat para staf eksekutif tegang. Mereka tahu, jika sang CEO datang di pagi hari dengan sikap yang tak terbaca, itu sering kali pertanda akan ada sesuatu yang besar—dan mungkin tidak menyenangkan—yang akan terjadi di antara mereka. Namun, Mikhail sendiri tampaknya tidak peduli dengan ketegangan yang menyelimuti sekitarnya. Dia pun mengambil ponselnya dan membalas pesan Astoria dengan cepat. [Kau sudah lebih baik?] Astoria, yang sedang berbaring di ranjan
Mikhail memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya semakin menajam. Suasana dalam ruangan itu terasa mencekam, seolah-olah udara pun berhenti bergerak.Jhein merasakan dinginnya lantai di bawah lututnya, tapi rasa takut yang menusuk hatinya jauh lebih mengerikan daripada dingin yang merayap ke tubuhnya.“Bisa jelaskan saat itu mengapa seorang wartawan ada di sana?” Mikhail menuntut, suaranya tenang tapi dengan kekuatan yang tak terbantahkan. Jhein menunduk semakin dalam, tak berani menatap mata Mikhail. Jemarinya saling meremas, keringat dingin semakin deras mengalir di pelipisnya. “Sa-saya tidak tahu, Tuan,” jawabnya, suaranya hampir tak terdengar, seperti bisikan seorang wanita yang telah dihukum.Mikhail tak memberikan reaksi langsung, hanya membiarkan keheningan yang menggantung di udara menekan Jhein lebih dalam.“Di hotel ini, tidak ada yang bisa masuk kamar sembarangan,” lanjut Mikhail, nada bicaranya tidak berubah, tapi setiap kat
Memikirkan masalah yang begitu berat membuat kepala Mikhail terasa seperti dihimpit beban tak terlihat. Urat-urat di pelipisnya mulai menegang, denyutnya semakin kuat, menghantam keras kesadarannya.Sakit yang menusuk mulai menjalar dari pelipis ke seluruh kepalanya, membuatnya meringis tanpa disadari.Dengan gerakan cepat, namun sedikit gemetar, Mikhail meraih laci mejanya. Tangan kanannya menyusuri bagian dalam laci, mencari sesuatu yang ia butuhkan, obat pereda nyeri yang selalu disimpannya di sana.Sakit ini bukan hal baru baginya, tetapi kali ini terasa lebih tajam, seolah menggambarkan intensitas dari kekacauan yang sedang ia hadapi.Mikhail merasakan sakit di kepalanya semakin menusuk, seakan mencengkeram erat pikirannya. Di balik rasa nyeri yang menyiksa itu, kenangan mengerikan dari lima tahun lalu tiba-tiba muncul kembali, menyeretnya ke malam yang dingin dan bersalju itu.Dalam bayang-bayang pikirannya yang semakin kabur, ia ke