Suara sirene polisi memecah keheningan di sekitar villa. Udara yang tadinya sunyi kini penuh dengan ketegangan. Lampu merah dan biru berputar-putar, menciptakan bayangan yang tak nyaman di dinding villa. David berdiri tegak, namun wajahnya menunjukkan kepasrahan. Ia tahu, waktunya sudah tiba.
Jhein berdiri di sampingnya, air matanya tak henti-hentinya mengalir. “David…,” bisiknya, suaranya bergetar penuh kesedihan.David menoleh sebentar, menatapnya dengan mata sayu. "Sudah cukup, Jhein. Ini semua salahku. Kau tak perlu menangis untukku." Ia mengusap lembut pipi Jhein yang basah oleh air mata, tapi tatapannya penuh kepedihan.Sementara itu, Mikhail berdiri beberapa langkah di depan pintu villa, diam tanpa ekspresi, menonton segala yang terjadi dengan dingin. Tak ada emosi di wajahnya.Tidak marah, tidak sedih. Hanya hampa, seperti batu yang tak tergoyahkan oleh angin atau hujan.David menarik napas panjang, lalu menghadap ke arah Mikhail.Astoria duduk dengan santai di atas tikar yang digelar di halaman rumah Paman Smith, kakinya diluruskan dengan nyaman. Di tangannya, ia dengan telaten memotong sayuran yang akan dimasak untuk makan siang. Di sebelahnya, Bibi Smith sibuk dengan bahan pelengkap lain, sambil sesekali melemparkan cerita ringan tentang masa kecil Mikhail."Begitulah Mikhail," ujar Bibi Smith sambil tersenyum tipis, “dari dulu dia jarang tersenyum. Malah cenderung menyendiri, lebih suka diam di pojok atau menyibukkan diri dengan buku-bukunya. Tapi kalau di sini, setidaknya dia bisa terhibur. Dia bermain layang-layang di lapangan belakang, Paman Smith yang mengajarkannya naik sepeda."Paman Smith yang sedang membersihkan sayuran juga ikut menyahut. "Ya, benar. Ketika Mikhail mulai remaja, aku ajarkan dia naik motor trail itu. Dia belajar cepat sekali. Tapi, hanya di sini kami benar-benar melihatnya tumbuh seperti anak-anak lainnya, bebas dan tanpa tekanan. Di rumahnya, dia selalu dipaksa
Di tepi kolam, suara gemericik air yang tenang mengiringi langkah-langkah mereka. Ikan-ikan kecil berkerumun di permukaan air, berenang dengan riang di antara teratai yang terapung. Mikhail membantu Astoria duduk di bangku kayu tua di samping kolam. Sesaat ia berdiri memandangi kolam, punggungnya menghadap Astoria, tangannya diselipkan ke dalam saku mantel.Meski tak berkata-kata, kehadirannya begitu terasa. Astoria merasakan kenyamanan dari keheningan itu, seolah ada percakapan yang tak perlu diucapkan.Astoria memandangi punggung Mikhail, yang tampak kokoh namun juga menyimpan banyak beban. "Mikhail ..." panggilnya pelan.Mikhail berbalik perlahan, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Dalam sinar matahari yang hangat, wajahnya terlihat begitu tenang, meski sorot matanya tetap dingin. Namun, ada kehangatan di balik dinginnya tatapan itu, sesuatu yang hanya bisa Astoria rasakan."Baru kali ini aku melihatmu tersenyum lebar." uca
Jerry tersenyum tipis, sebuah senyuman yang lebih mirip smirk, penuh dengan kesan licik dan tanpa ketulusan. "Hi Mikhail, Astoria. Aku datang membawa barang kalian yang tertinggal di hotel," katanya dengan nada santai, seolah tidak ada ketegangan yang memenuhi udara di sekeliling mereka.Mikhail dan Astoria saling menatap, di wajah Astoria terpancar kebingungan dan sedikit menegang karena terakhir kali Mikhail dan Jerry tampak tidak baik-baik saja, sementara Mikhail tetap memasang wajah dinginnya. Tidak ada yang bicara. Mikhail tahu bahwa Jerry jarang melakukan sesuatu tanpa maksud tersembunyi.Astoria dengan tongkatnya, sedikit limbung, segera dirangkul oleh Mikhail yang tidak melepaskan pandangannya dari Jerry, seolah waspada terhadap setiap gerakannya."Astoria? Kau baik-baik saja?" tanya Jerry, hanya peduli pada Astoria, dan mulai melangkah maju, hendak membantu.Namun, Mikhail dengan cepat menghadang, matanya berkilat tajam. "Biar aku yang me
Mikhail mendekat, suaranya dalam dan penuh intimidasi. "Aku masih berbaik hati tidak menjebloskanmu ke penjara dengan semua bukti yang kupunya," ujarnya, menatap Jerry dengan tajam. Ada kilatan dingin di matanya, seakan hanya satu langkah lagi sebelum ia benar-benar menghancurkan sahabat lamanya itu.Namun, Jerry tak bergeming. Ia mendongak, menatap balik Mikhail tanpa gentar, seolah ancaman itu tak berarti apa-apa baginya. "Penjara?" Jerry tertawa pelan, tawa yang penuh kepahitan dan kekecewaan. "Kau pikir aku takut masuk penjara, Mikhail? Kau salah besar."Jerry melangkah maju, memaksa tatapannya bertemu langsung dengan Mikhail. "Jika aku harus masuk penjara, itu takkan mengubah apapun. Aku sudah siap menghadapi apapun, termasuk kehilangan segalanya. Tapi kau?" Jerry mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, suaranya merendah namun penuh tantangan. "Kau akan tetap terjebak di dunia yang kau benci. Kau mungkin bisa menjebloskanku ke penjara, tapi itu tida
Setelah Jerry pergi dari villa, Mikhail menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan pikirannya sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke kamar Astoria.Hujan di luar masih terus turun, menambah suasana sunyi dan dingin yang menyelimuti villa itu."Astoria?" panggil Mikhail dengan lembut saat melihat istrinya itu duduk di tepi ranjang, sambil melamun.Astoria menoleh perlahan, seolah tersentak keluar dari pikirannya. Tatapannya penuh keraguan dan kebingungan, mungkin masih memikirkan kedatangan Jerry yang tak terduga tadi.Mikhail duduk di sampingnya, diam sesaat sebelum akhirnya berkata, "Istirahatlah, Astoria. Lebih baik lusa kita pulang. Ini sudah bukan liburan lagi." Suara Mikhail terdengar lesu, seolah semua energinya terkuras oleh kejadian yang baru saja terjadi.Astoria memandanginya. Ada garis lelah yang terlihat jelas di wajah Mikhail, sesuatu yang jarang ia lihat. Mikhail yang biasanya kuat dan tegar, kini terlihat berbeda, seolah b
"Perasaanku?" gumam Astoria pelan, hampir tidak terdengar, kebingungan bercampur perasaan yang sulit ia jelaskan bergejolak di dalam dadanya.Mikhail menatapnya lekat, matanya seakan memancarkan intensitas yang sulit diabaikan. Perlahan, ia semakin mendekat, jarak di antara mereka memudar. Tangannya dengan lembut mengusap pipi Astoria, menyentuhnya dengan penuh perhatian, seolah menenangkan sekaligus menegaskan kehadirannya."Tak perlu kau jawab dengan kata-kata, cukup jawab dengan ini ...," bisik Mikhail, suaranya rendah, memancing debaran di hati Astoria. Dan tanpa menunggu balasan, Mikhail mendaratkan bibirnya lembut pada bibir Astoria.Astoria terhenyak, terkejut dengan apa yang terjadi, namun ia tak menolak. Sebaliknya, perlahan tubuhnya merespons, mengikuti irama ciuman itu.Hatinya, yang awalnya penuh keraguan, kini menemukan jawaban yang tidak bisa diungkapkan hanya dengan kata-kata. Dalam kehangatan itu, Astoria menjawab pertanyaan Mikhai
"Ah, nanti saja, membuktikannya ketika kita bekerja," ujar Astoria sambil mendekat ke piano, tangannya dengan lembut meraba tutsnya seolah ingin merasakan sentuhan alunan nada yang baru saja dimainkan Mikhail. Namun, Mikhail tak mengalihkan pandangannya dari Astoria, memperhatikannya dengan sorot mata yang intens. Tanpa diduga, ia meraih tangan Astoria dan menariknya mendekat. "Duduklah di sini," katanya tiba-tiba, membuat Astoria terkejut hingga ia jatuh duduk di pangkuan Mikhail. Wajah Astoria langsung bersemu merah, tubuhnya terasa panas karena gerakan tiba-tiba itu. Ia mencoba bersikap biasa, meskipun hatinya berdebar kencang. "Kau bisa main piano?" tanya Mikhail, suaranya tenang namun ada keteduhan yang membuat Astoria merasa semakin gugup. "Tidak bisa," jawab Astoria cepat, "Dulu sempat belajar, tapi guru les-ku tiba-tiba berhenti ... entah kenapa." Mikhail tersenyum samar, kemudian denga
Astoria duduk di depan meja rias dengan raut wajah sedikit merengut, merasakan nyeri yang menjalar dari kakinya yang belum pulih dan rasa sakit di selangkangannya.Di belakangnya, Mikhail berdiri, dengan gerakan lembut mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. Setiap usapan terasa penuh perhatian, seolah ia berusaha menenangkan ketidaknyamanan yang kini dirasakan Astoria.Tapi Astoria tetap cemberut, bibirnya mengerucut, dan ia tak bisa menahan keluhannya. "Katamu besok kita pulang, lalu bagaimana denganku? Sekarang rasanya sulit sekali untuk berjalan!" katanya setengah protes.Mikhail menatapnya dari balik cermin, senyum tipisnya terlihat, menahan tawa kecil yang hampir lolos dari bibirnya. "Maaf," katanya dengan nada rendah, matanya tetap fokus pada Astoria. "Tapi kau juga menikmatinya, kan?" Ia berkata sambil memiringkan kepalanya sedikit, pandangannya menantang, namun lembut, tertuju pada refleksi Astoria.Astoria mendengus kesal, mencoba tet