"Perasaanku?" gumam Astoria pelan, hampir tidak terdengar, kebingungan bercampur perasaan yang sulit ia jelaskan bergejolak di dalam dadanya.
Mikhail menatapnya lekat, matanya seakan memancarkan intensitas yang sulit diabaikan. Perlahan, ia semakin mendekat, jarak di antara mereka memudar. Tangannya dengan lembut mengusap pipi Astoria, menyentuhnya dengan penuh perhatian, seolah menenangkan sekaligus menegaskan kehadirannya."Tak perlu kau jawab dengan kata-kata, cukup jawab dengan ini ...," bisik Mikhail, suaranya rendah, memancing debaran di hati Astoria. Dan tanpa menunggu balasan, Mikhail mendaratkan bibirnya lembut pada bibir Astoria.Astoria terhenyak, terkejut dengan apa yang terjadi, namun ia tak menolak. Sebaliknya, perlahan tubuhnya merespons, mengikuti irama ciuman itu.Hatinya, yang awalnya penuh keraguan, kini menemukan jawaban yang tidak bisa diungkapkan hanya dengan kata-kata. Dalam kehangatan itu, Astoria menjawab pertanyaan Mikhai"Ah, nanti saja, membuktikannya ketika kita bekerja," ujar Astoria sambil mendekat ke piano, tangannya dengan lembut meraba tutsnya seolah ingin merasakan sentuhan alunan nada yang baru saja dimainkan Mikhail. Namun, Mikhail tak mengalihkan pandangannya dari Astoria, memperhatikannya dengan sorot mata yang intens. Tanpa diduga, ia meraih tangan Astoria dan menariknya mendekat. "Duduklah di sini," katanya tiba-tiba, membuat Astoria terkejut hingga ia jatuh duduk di pangkuan Mikhail. Wajah Astoria langsung bersemu merah, tubuhnya terasa panas karena gerakan tiba-tiba itu. Ia mencoba bersikap biasa, meskipun hatinya berdebar kencang. "Kau bisa main piano?" tanya Mikhail, suaranya tenang namun ada keteduhan yang membuat Astoria merasa semakin gugup. "Tidak bisa," jawab Astoria cepat, "Dulu sempat belajar, tapi guru les-ku tiba-tiba berhenti ... entah kenapa." Mikhail tersenyum samar, kemudian denga
Astoria duduk di depan meja rias dengan raut wajah sedikit merengut, merasakan nyeri yang menjalar dari kakinya yang belum pulih dan rasa sakit di selangkangannya.Di belakangnya, Mikhail berdiri, dengan gerakan lembut mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. Setiap usapan terasa penuh perhatian, seolah ia berusaha menenangkan ketidaknyamanan yang kini dirasakan Astoria.Tapi Astoria tetap cemberut, bibirnya mengerucut, dan ia tak bisa menahan keluhannya. "Katamu besok kita pulang, lalu bagaimana denganku? Sekarang rasanya sulit sekali untuk berjalan!" katanya setengah protes.Mikhail menatapnya dari balik cermin, senyum tipisnya terlihat, menahan tawa kecil yang hampir lolos dari bibirnya. "Maaf," katanya dengan nada rendah, matanya tetap fokus pada Astoria. "Tapi kau juga menikmatinya, kan?" Ia berkata sambil memiringkan kepalanya sedikit, pandangannya menantang, namun lembut, tertuju pada refleksi Astoria.Astoria mendengus kesal, mencoba tet
Setibanya mereka di penthouse Mikhail, Rose dan Elise, ibu Astoria, membantu Astoria duduk di sofa. Kaki Astoria yang masih terasa nyeri diluruskan dengan hati-hati, sementara kelelahan terlihat jelas di wajahnya.Di seberang ruangan, Mikhail yang sebelumnya penuh perhatian tiba-tiba kembali ke mode dinginnya.“Aku akan ke ruang kerjaku, mengurus beberapa hal,” katanya singkat. Tanpa menunggu jawaban, Mikhail bergegas masuk ke ruang kerjanya, pintunya tertutup dengan suara yang tegas, bahkan terdengar jelas ketika ia mengunci pintunya dari dalam.Rose, yang sejak tadi mengamati dengan heran, mengangkat alisnya. "Astoria! Jadi suamimu yang dingin itu yang telah menyelamatkanmu?" Nadanya penuh keraguan, seolah masih sulit percaya.Astoria tersenyum tipis, meski ada kelelahan di matanya. "Tentu saja. Bagaimanapun ... aku adalah istrinya, bukan?" Ada nada pahit di balik kalimat itu yang membuatnya sadar, ia hanya istri kontrak, namun ia mencoba menyem
Astoria seketika merasa darahnya berhenti mengalir. "Tidak mungkin! Tidak perlu!" serunya dengan nada penuh kegelisahan. Wajahnya yang semula pucat kini berubah merah padam, tidak percaya bahwa Rose bahkan bisa memikirkan hal itu.Rose tertawa kecil melihat reaksi Astoria, tapi di balik tawanya ada kekhawatiran mendalam. "Astoria, kau harus realistis. Mikhail adalah suamimu sekarang. Kau tidak bisa terus bergantung padaku selamanya. Jika sesuatu terjadi saat aku tidak di sini, siapa lagi yang bisa kau andalkan kalau bukan dia?"Astoria menundukkan kepala, hatinya dipenuhi oleh rasa cemas yang menggerogoti pikirannya. Membiarkan Mikhail tahu tentang trauma pada darah menstruasinya ini? Membiarkannya melihatnya dalam kondisi yang begitu rentan? Pikiran itu saja sudah membuatnya takut."Rose ... aku tidak bisa ... ini terlalu ...," suaranya memudar, tak mampu menyelesaikan kalimatnya.Rose menghela napas panjang, lalu meraih tangan Astoria dengan lem
Setelah makan siang usai, Mikhail meletakkan serbetnya dengan tenang di atas meja dan menatap sekeliling, terutama mengarahkan pandangannya kepada Elise yang duduk di ujung meja dengan sedikit gelisah. Dengan senyum tipis yang tidak sampai ke matanya, Mikhail berbicara dengan nada tenang tapi penuh makna."Saya sudah menghubungi security apartemen," ucapnya, sambil bersandar di kursinya. "Di bawah sudah aman dari para wartawan, jadi Anda bisa segera pulang." Matanya terfokus tajam pada Elise, membuatnya terasa seperti tak ada ruang untuk menghindar. Senyumnya datar, hampir tak berperasaan, namun nadanya begitu sopan, seolah hanya memberikan informasi biasa.Elise terdiam sejenak, merasakan hawa dingin dari kata-kata yang baru saja dilontarkan Mikhail. Hatinya tahu, meski kalimat itu terdengar sopan, namun maksudnya jelas. Dia sedang diusir. Merasa terpojok, Elise berusaha menjaga wibawanya dengan menarik napas dalam-dalam, lalu berdiri dari tempat duduknya.
Mikhail melangkah masuk ke kamar mereka dengan Astoria masih berada dalam gendongannya.Suasana di kamar terasa tenang, hanya terdengar detak halus dari jam di sudut ruangan. Setelah sampai di tepi ranjang, Mikhail membaringkan Astoria perlahan, seolah ia adalah sesuatu yang begitu rapuh.Dia menatapnya dari atas, menyapu rambut halus Astoria yang sedikit berantakan di wajahnya.Tangan Mikhail yang besar dan kuat, terasa begitu lembut saat menyentuh pipinya. Tatapan mereka bertemu, begitu dalam, begitu sunyi, seolah dunia luar lenyap, hanya tersisa mereka berdua di ruang itu.Astoria, yang biasanya lebih menahan diri, kini mendapati dirinya merasakan hal yang berbeda. Tangannya perlahan terangkat, membelai kepala Mikhail, merasakan tekstur kasar di tempat bekas luka yang tersembunyi di balik rambutnya.Jari-jarinya dengan lembut menyentuh area itu, dan tanpa ia sadari, emosi mulai mengalir dalam dirinya. Bekas luka itu, jejak dari masa la
'Aku terjerat pesonanya ...,' batin Astoria, matanya tak lepas memandangi Mikhail yang tertidur di sampingnya. Malam yang tenang seakan mendekap mereka dalam kehangatan, namun hati Astoria bergemuruh oleh beragam rasa yang tak mampu ia ucapkan.Pria ini, yang dulu begitu asing baginya, telah memikat lebih dari yang Astoria kira. Setiap sisi dari Mikhail, mulai dari sikap dinginnya yang penuh misteri hingga tatapan serius yang begitu tajam, semuanya telah menjadi bagian dari pesona yang tak terelakkan.'Aku suka sikap dinginnya, aku suka wajah seriusnya ..., dan aku juga suka senyum tipisnya ...,' pikirnya dengan penuh rasa. Bahkan dalam kebekuan ekspresi Mikhail, Astoria menemukan kehangatan yang menenangkan hatinya, membuat dirinya terhanyut dalam cinta yang semakin tumbuh di antara mereka.Namun, di balik kebahagiaan yang terasa itu, ada kecemasan yang menyelinap ke dalam pikirannya.'Tapi ..., apakah kisah kita hanya akan bertahan 5 tahun ke de
Astoria duduk di tepi tempat tidur, tangannya dengan hati-hati membuka perban di kakinya. Luka yang masih samar terlihat, dan ia mengoleskan salep ke kulit yang memerah.Di tengah kesibukannya, Astoria tidak menyadari kehadiran Mikhail yang diam-diam mendekat dari belakang.Tiba-tiba, pria itu berlutut di hadapannya, mengambil alih botol salep dari tangan Astoria tanpa berkata-kata.Tangan Mikhail yang kokoh namun lembut, dengan penuh perhatian mengoleskan salep ke luka di kaki Astoria, gerakannya perlahan, diiringi pijatan ringan yang seakan ingin mengurangi rasa sakitnya.Astoria terdiam, menatap pria itu yang kini berjongkok di hadapannya, begitu fokus dengan tugas kecil namun penuh makna itu.“Kakimu belum sembuh betul,” ucap Mikhail dengan nada datar, namun perlakuannya sangat kontras, terasa hangat dan penuh perhatian. “Jangan memaksakan diri memakai hak tinggi.”Astoria tersenyum lembut, merasakan detak jantungnya yang tib
Enam bulan setelah Jerry ditangkap dan dipenjara, kantor M.J Hotel Group mulai kembali ke rutinitas yang lebih normal. David, setelah dibebaskan dari segala tuduhan, kembali ke perusahaan dan menggantikan posisi Jerry yang kosong. Kehadirannya disambut hangat oleh para eksekutif dan staf yang telah lama menunggu stabilitas kembali dalam perusahaan. Hari itu suasana kantor terasa lebih meriah dari biasanya. Para karyawan berkumpul di ruang rapat, tetapi bukan untuk diskusi bisnis. David berdiri di tengah ruangan dengan senyum penuh kebahagiaan, memegang tangan Jhein yang tampak terkejut tapi juga sangat bahagia. "Jhein, selama ini kau selalu di sisiku, mendukungku, bahkan saat aku terpuruk. Sekarang, aku ingin kau selalu berada di sisiku, bukan hanya sebagai rekan kerja, tapi sebagai pendamping hidupku," ucap David dengan nada mantap, tapi lembut sambil berlutut memberikan cincin untuk Jhein. Ruangan seketika
Malam itu, di sebuah sudut yang gelap dan tersembunyi, Jhein berdiri sambil memperhatikan Astoria dan Jerry di kafe dari kejauhan. Matanya tajam mengawasi setiap gerakan mereka, sementara jari-jarinya dengan cepat menggesek layar ponselnya, memotret momen yang dianggapnya penting. Dia menyaksikan percakapan penuh ketegangan itu, tak luput dari satu detik pun."Maafkan aku Astoria, ini bagian dari tugasku pada Mikhail," gumam Jhein dengan suara pelan sambil mengirimkan serangkaian foto itu ke nomor Mikhail. Sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya, menunjukkan bahwa pesan telah berhasil terkirim.Di dalam kafe, Astoria sedang mencoba meyakinkan Jerry untuk merelakannya, sementara di tempat lain, Mikhail yang menerima pesan dari Jhein tidak tahu apa yang sedang terjadi.Ia membuka pesan tersebut saat tengah sibuk di kantornya, foto-foto Astoria dan Jerry dalam satu frame membuat darahnya mendidih seketika. Meski belum tahu konteksnya, perasaan m
Malam itu, Astoria merasa lelah setelah seharian bekerja di kantor. Semua kesibukan yang menumpuk di hadapannya mulai mempengaruhi pikirannya. Mikhail masih terjebak dalam dunia kerjanya, dan meskipun Astoria mencoba untuk memahami, ada bagian dari hatinya yang merindukan kehadiran suaminya di sampingnya. Malam ini ia ada janji bertemu dengan Jerry untuk mengakhiri segalanya, dan semoga Mikhail tak salah paham. Astoria berharap semoga pertemuan ini bisa meredakan semua ketegangan yang mengganggu pikirannya. Dengan yakin ia melangkah, Astoria masuk ke sebuah kafe kecil yang terletak tidak jauh dari kantor. Suasana di dalam kafe itu hangat dan nyaman, dengan lampu-lampu redup yang memberi nuansa tenang. Aroma kopi yang segar menyambutnya, dan saat ia melangkah lebih dalam, pandangannya langsung tertuju pada sosok yang dikenalnya dengan baik, Jerry, yang sudah menunggu di sudut kafe dengan ekspresi yang sulit dibaca.
Minggu pagi yang cerah. Astoria duduk di sebuah kafe yang tenang. Tangannya gemetar sedikit ketika menggenggam secangkir teh hangat di depannya. Ia menunggu dengan cemas, mengatur napas agar tetap tenang. Tak lama kemudian, sebuah suara berat yang sudah lama tak ia dengar memecah keheningan. "Astoria?" Astoria mendongak, dan di sana berdiri seorang pria dengan rambut yang mulai memutih. Wajah Brandon tampak lebih tua dari terakhir kali ia melihatnya, namun di balik wajah itu, ada gurat penyesalan yang tak bisa disembunyikan. "Ayah..." Astoria tak mampu menyembunyikan rasa canggungnya. Perasaan bercampur aduk antara rindu, marah, dan harapan membuatnya bingung. Ia ingin memeluk ayahnya, namun luka masa lalu masih begitu segar di hatinya. Brandon menarik kursi dan duduk di depannya. "Aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi, Astoria, aku ingin minta maaf," katanya lirih, suaranya bergetar. Astoria hanya diam, menunggu penjelas
Astoria memandang layar ponselnya, jantungnya berdebar kencang saat melihat foto Mikhail yang tampak rentan.Namun, seolah tak memberi waktu untuk meresapi perasaannya, pesan baru muncul di layar. Ia menatap nama pengirim dengan curiga.Ternyata itu Rose.[Astoria, suamimu mabuk parah, dia di antar pulang oleh supirku.]Mendengar kabar itu, rasa tenang seolah merayap kembali ke dalam diri Astoria. Ia menghela napas lega, Kecurigaan yang sempat terbesit di benaknya sirna seketika. Ternyata Mikhail masih tak seperti yang Jerry tuduhkan, dan yang paling penting, dia baik-baik saja.“Terima kasih, Rose,” balasnya cepat, seolah untuk menegaskan rasa syukurnya. Namun Rose tampaknya memiliki pesan lain yang ingin disampaikan.[Sama-sama, Astoria. Oh iya, ayah kita bilang dia ingin bertemu denganmu, kapan kau siap?]Astoria terhenti sejenak, merasakan aliran dingin di tulang belakangnya. Meski hatinya bergetar mendengar nama itu
Mikhail menarik napas dalam-dalam, seolah menahan gelombang amarah yang masih tersisa di dadanya.Dia mendekat lagi, jarak di antara mereka semakin tipis. Tangannya perlahan mengangkat, jemarinya dengan lembut menyentuh wajah Astoria.Kulitnya terasa dingin di bawah sentuhan Mikhail, namun ada kehangatan aneh yang mengalir dari ujung jemarinya. Astoria terdiam, terperangkap dalam tatapan pria itu, marah, namun tak mampu benar-benar melukai.“Kau tahu, Astoria ...” Suaranya rendah, hampir berbisik, tetapi setiap kata yang keluar terasa berat, seolah penuh dengan emosi yang ia sembunyikan. “Aku masih belum bisa sepenuhnya memaafkan apa yang terjadi. Tapi itu tak berarti aku tak ingin melindungimu.”Tangannya bergerak turun, menelusuri rahang Astoria dengan pelan, nyaris ragu, sebelum berhenti di lehernya, jemarinya mengelus perlahan.“Terkadang, aku ingin marah. Tapi, pada saat yang sama, aku ingin memastikan kau baik-baik saja ... dengan c
Astoria melangkah perlahan, mengantarkan Jhein ke kamar yang pernah menjadi miliknya. Setiap langkah terasa berat, seiring dengan pertanyaan yang terus bergulir di benaknya. Jhein berjalan di sampingnya, tanpa banyak bicara, tampak malu dan gugup setelah menandatangani kontrak dengan Mikhail. Astoria dan Jhein akhirnya sampai di kamar yang dulunya milik Astoria. "Ini... kamarmu untuk sementara waktu," ujar Astoria dengan suara lemah, mencoba tetap tenang meski hatinya bergejolak. Jhein menatap sekeliling kamar itu dengan rasa canggung. Meski kamar tersebut sederhana di Penthouse, tapi bagi Jhein itu sudah lebih dari cukup, hingga ia merasa semakin segan. Astoria meletakkan tangannya di gagang pintu, hendak berbalik meninggalkan Jhein sendirian. Namun, sebelum ia melangkah keluar, Jhein memanggilnya. "Astoria … terima kasih," kata Jhein pelan, suaranya dipenuhi dengan rasa bersalah yang dalam. Astoria hanya mengangguk kecil. "Istirahatlah. Kita bisa bicarakan ini nanti," j
Pada akhirnya, Mikhail memutuskan untuk tidak mengantar Jhein pulang ke rumahnya. 'Dia tidak bisa kembali ke tempat seperti itu dengan kondisi seperti ini,' pikirnya. Namun, keputusannya bukan hanya soal belas kasihan. Dalam benaknya, Mikhail sudah merencanakan sesuatu. Mobil berhenti di depan penthouse, dan mereka bertiga turun. Mikhail berjalan lebih dulu, langkahnya mantap memimpin di depan Astoria dan Jhein menuju unit Penthousenya. 'Aku tak sebaik itu, tak akan memberinya secara cuma-cuma,' batinnya semakin tegas. Saat mereka tiba di penthouse, suasana terasa sunyi. Mikhail langsung menuju ruang kerjanya tanpa banyak bicara. Sebelum menghilang di balik pintu, ia berbalik dan berkata dengan nada tegas, "Ajak Jhein ke ruang kerjaku," ujarnya pada Astoria. Astoria, meskipun merasa sedikit tak nyaman dengan sikap Mikhail yang dingin, tetap mengikuti instruksi suaminya. Ia meraih tangan Jhein yang terlihat gelisah, menggenggamnya erat sambil berkata lembut, "Ayo, mari ki
Astoria melangkah pelan di trotoar, menikmati hembusan angin sore yang membawa sedikit kedamaian setelah pertemuan yang emosional dengan Rose.Pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan barusan, tentang ayahnya dan hubungan yang selama ini tersembunyi. Langkahnya lambat, dan ia berusaha menenangkan hatinya yang masih bergolak.Tiba-tiba, terdengar suara klakson dari arah samping. Astoria terhenti, menoleh dengan cepat ke sumber suara. Sebuah mobil hitam berhenti di dekatnya. Jendela mobil itu turun perlahan, memperlihatkan wajah Mikhail di balik kemudi, tatapannya serius namun terkesan tenang."Masuklah!" ajaknya dengan nada yang tenang namun tegas.Astoria membelalakkan mata. "Mi-Mikhail?" suaranya mengandung keheranan, tak menyangka Mikhail mengikutinya hingga ke sini. Meski terkejut, ia tahu benar bahwa Mikhail bukan orang yang suka diabaikan, terutama ketika ia memerintahkan sesuatu. Tanpa banyak berpikir lagi, Astoria membuka pintu dan segera