Astoria duduk di tepi tempat tidur, tangannya dengan hati-hati membuka perban di kakinya. Luka yang masih samar terlihat, dan ia mengoleskan salep ke kulit yang memerah.
Di tengah kesibukannya, Astoria tidak menyadari kehadiran Mikhail yang diam-diam mendekat dari belakang.Tiba-tiba, pria itu berlutut di hadapannya, mengambil alih botol salep dari tangan Astoria tanpa berkata-kata.Tangan Mikhail yang kokoh namun lembut, dengan penuh perhatian mengoleskan salep ke luka di kaki Astoria, gerakannya perlahan, diiringi pijatan ringan yang seakan ingin mengurangi rasa sakitnya.Astoria terdiam, menatap pria itu yang kini berjongkok di hadapannya, begitu fokus dengan tugas kecil namun penuh makna itu.“Kakimu belum sembuh betul,” ucap Mikhail dengan nada datar, namun perlakuannya sangat kontras, terasa hangat dan penuh perhatian. “Jangan memaksakan diri memakai hak tinggi.”Astoria tersenyum lembut, merasakan detak jantungnya yang tibBrandon melangkah mantap memasuki mansion, menggandeng istrinya dengan penuh kepercayaan diri. Di dalam ruangan makan, semua orang sudah menunggunya.Pandangannya bertemu dengan Mikhail, yang segera mengulurkan tangan untuk berjabat. Brandon menyambutnya dengan senyum tipis, namun tatapannya segera teralih pada seorang wanita dengan gaun hitam yang berbalik menatapnya. 'Astoria!'Hatinya terhenyak, meskipun wajahnya tetap tenang. Selama ini, ia hanya mendengar kabar tentang Astoria dari Rose.Tapi, tak pernah terbayangkan bahwa Astoria yang dibicarakan Rose adalah putrinya sendiri, anaknya dari pernikahan pertamanya yang telah lama ia tinggalkan.‘Astoria...’ lirihnya dalam hati. Ada guncangan dalam batinnya, namun ia berusaha keras menjaga wajahnya tetap tanpa ekspresi, menyesuaikan dengan suasana formal ini.Mikhail memperkenalkan Astoria sebagai istrinya, dan Brandon pun mengulurkan tangan untuk berjabat. Astoria menyambutnya, nam
Di kejauhan, Rose berdiri diam di balik pilar besar yang memisahkan taman dan halaman dalam mansion keluarganya.Bayangan pilar itu menyamarkan kehadirannya, namun matanya yang membulat menatap sendu ke arah Astoria dan Mikhail. Setiap kata yang terucap dari mulut Astoria, setiap isak yang keluar, mengguncang hati Rose dengan keras.Ia mendengar semuanya, pengakuan Astoria tentang ayahnya, rasa sakit yang disembunyikan selama ini, dan kenyataan pahit yang perlahan terungkap di hadapannya.Rose tertegun, tubuhnya seolah terpaku di tempat, jiwanya terguncang mendengar kisah yang tak pernah ia duga."Astoria ...," bisiknya pelan, namun kata itu tertahan di tenggorokannya. Ia ingin bergerak, ingin mendekat, namun tak ada kekuatan dalam tubuhnya untuk melangkah.Rasa bersalah perlahan merayap dalam pikirannya, bagaimana mungkin ia tak tahu ternyata ayah sambungnya adalah ayah dari sahabatnya sendiri?Matanya tak lepas dari sosok Astor
Tatapan yang jarang Astoria lihat, sebuah pandangan yang tidak lagi dingin dan penuh jarak, melainkan menggoda, seolah ingin menembus dinding yang selama ini mereka bangun di antara mereka.Mikhail mendekatkan wajahnya, bibirnya melengkung tipis. "Tapi aku akan membantu, tanpa kau bilang," bisiknya, suaranya rendah dan menggoda, membuat Astoria tak mampu berkutik.Sentuhan lembut tangannya di pinggangnya memberikan rasa aman yang tak bisa dijelaskan. Astoria merasa wajahnya memanas, rona merah mulai menjalar di pipinya.Lidahnya kelu, kata-kata yang ingin diucapkannya menguap begitu saja. Mikhail terus menatapnya, seakan menikmati bagaimana Astoria kehilangan kata-katanya.la tak lagi menghindar seperti biasanya, dan kali ini Astoria memilih untuk tidak melawan. Hanya ada keheningan di antara mereka, namun di baliknya, ada ribuan emosi yang membara.Detak jantung Astoria kian cepat, tubuhnya terasa ringan di pangkuan Mikhail, dan untuk pe
Setelah momen itu berakhir, Mikhail mengangkat tubuh Astoria dengan lembut, menggendongnya dari sofa menuju kamar mereka. Langkah-langkahnya pelan namun mantap, seolah setiap detik yang berlalu adalah bagian penting dari malam yang mereka habiskan bersama. Astoria, yang kelelahan, hanya bisa menyandarkan kepalanya di dada Mikhail, merasakan degup jantungnya yang tenang dan stabil. Sesampainya di kamar, Mikhail menidurkan Astoria dalam pelukannya, membenahi selimut di sekeliling tubuhnya yang lelah. Dia mengusap rambutnya dengan penuh kelembutan, seolah tak ingin melepaskannya dari genggamannya. “Mari kita tidur, besok kita harus bekerja lagi,” kata Mikhail pelan, suaranya rendah dan menenangkan. Astoria yang sudah terkantuk-kantuk hanya bisa menggumam, "Hmm, selamat tidur," suaranya samar dan lelah. Mikhail tersenyum kecil melihatnya, lalu menarik tubuhnya lebih dekat, membiarkan kehangatan mereka menyelimuti
Mikhail menarik napas dalam-dalam, matanya tetap tertuju pada Astoria yang masih menatapnya dengan penuh pertanyaan. "Mengenai kontrak itu..., kita sama-sama yang membuatnya," ujarnya pelan, seolah mencari kata yang tepat untuk melanjutkan.Astoria menggeleng pelan, lalu dengan tegas memotong, "Untuk itu, aku tak akan memikirkannya dulu, Mikhail... yang penting sekarang adalah bagaimana perasaanmu padaku?"Mikhail terdiam sesaat. Tatapannya beralih ke mata cokelat Astoria, yang selalu berhasil membuatnya merasa tersedot ke dalam lautan emosi yang sulit dijelaskan.Dia meraih dagu Astoria, membelai lembut, lalu menariknya agar istrinya itu hanya menatapnya, tanpa ada yang mengalihkan perhatian."Terlepas dari kontrak atau pernikahan palsu kita, perasaanku padamu... nyata, Astoria," suaranya rendah namun tegas, sebuah pengakuan yang jujur dari lubuk hatinya.Astoria mengalihkan pandangannya sejenak, menelan ludah, mencoba menahan perasaan t
Astoria menelan ludahnya sendiri, tidak tahu harus berkata apa setelah mendengar pernyataan Jerry.Kenangan masa lalu tiba-tiba menyeruak dalam benaknya, mengingatkannya pada hari-hari awal ketika ia baru pertama kali menjabat sebagai sekertaris CEO di hotel ini.Saat itu, ia baru saja menjalani pernikahan yang tidak ia inginkan, dan Jerry adalah satu-satunya orang yang selalu ada di dekatnya.Astoria ingat jelas malam itu, ketika ia terpaksa lembur karena tugas sebagai sekretaris CEO yang terasa begitu berat.Ia duduk di meja resepsionis di depan ruangan Mikhail, mengantuk, menguap, tapi berkas-berkas masih menggunung.Bahkan Mikhail sudah lama pulang, meninggalkannya sendiri dengan pekerjaan yang seolah tak ada habisnya.'Bagaimana mungkin aku bisa menyelesaikan semua ini malam ini?' batin Astoria gelisah. Ia mulai merasa putus asa, membayangkan dirinya harus menginap di kantor hingga pagi.Di saat-saat seperti itulah,
Saat Jerry sedang bicara dengan Astoria, di kejauhan ia menemukan Mikhail keluar dari ruangannya, memperhatikan langkah pria itu yang semakin mendekat.Dengan napas yang berat, ia memutuskan untuk mendesak Astoria satu kali lagi. "Astoria, jawab saja... Apakah kau pernah memiliki perasaan yang sama padaku?" desaknya dengan suara serak, sengaja memancing jawaban di hadapan Mikhail.Mikhail berjalan semakin dekat, pandangannya tertuju pada punggung istrinya yang tak menyadari kehadirannya.Langkahnya teguh, namun ada ketegangan yang tak dapat disembunyikan dari wajah dinginnya. Begitu Mikhail berada tepat di belakang Astoria, ia mendengar kata-kata yang membuatnya terhenti."Ya, aku sempat menyukaimu!" ujar Astoria, suaranya pecah oleh emosi yang lama ia pendam. "Aku ingin kita bisa bersama, tapi kenyataannya, aku adalah istri Mikhail!"Pengakuan itu meluncur dengan jujur, begitu pahit dan penuh penyesalan. Tapi bagi Mikhail, kalimat itu te
Saat Mikhail masih tenggelam dalam lautan perasaannya, suara dering telepon di meja kerjanya tiba-tiba memecah keheningan yang menyesakkan.Ia menatap layar telepon dengan sedikit kebingungan sebelum akhirnya mengangkatnya dengan malas. Suara yang ia kenal baik terdengar dari seberang sana, suara yang sudah lama tak ia dengar, suara ayahnya.“Mikhail, kau sudah kembali bekerja?” tanya ayahnya dengan nada datar namun terasa menusuk.Mikhail menghela napas panjang, matanya tertutup sejenak, mencoba menenangkan diri dari badai emosi yang baru saja mengguncangnya. "Ya, ayah, aku sudah kembali bekerja," jawabnya sambil bersandar di kursi putarnya, tangannya meremas pinggiran meja."Kau seharusnya tidak memaksakan diri untuk bekerja dulu. Kasihan juga pada Astoria, bukankah kakinya sedang sakit?"Ucapan itu menghentak Mikhail. Dahinya mengerut, seolah ada sesuatu yang tidak biasa dari kata-kata itu.Ayahnya tidak pernah berbicara denga
Enam bulan setelah Jerry ditangkap dan dipenjara, kantor M.J Hotel Group mulai kembali ke rutinitas yang lebih normal. David, setelah dibebaskan dari segala tuduhan, kembali ke perusahaan dan menggantikan posisi Jerry yang kosong. Kehadirannya disambut hangat oleh para eksekutif dan staf yang telah lama menunggu stabilitas kembali dalam perusahaan. Hari itu suasana kantor terasa lebih meriah dari biasanya. Para karyawan berkumpul di ruang rapat, tetapi bukan untuk diskusi bisnis. David berdiri di tengah ruangan dengan senyum penuh kebahagiaan, memegang tangan Jhein yang tampak terkejut tapi juga sangat bahagia. "Jhein, selama ini kau selalu di sisiku, mendukungku, bahkan saat aku terpuruk. Sekarang, aku ingin kau selalu berada di sisiku, bukan hanya sebagai rekan kerja, tapi sebagai pendamping hidupku," ucap David dengan nada mantap, tapi lembut sambil berlutut memberikan cincin untuk Jhein. Ruangan seketika
Malam itu, di sebuah sudut yang gelap dan tersembunyi, Jhein berdiri sambil memperhatikan Astoria dan Jerry di kafe dari kejauhan. Matanya tajam mengawasi setiap gerakan mereka, sementara jari-jarinya dengan cepat menggesek layar ponselnya, memotret momen yang dianggapnya penting. Dia menyaksikan percakapan penuh ketegangan itu, tak luput dari satu detik pun."Maafkan aku Astoria, ini bagian dari tugasku pada Mikhail," gumam Jhein dengan suara pelan sambil mengirimkan serangkaian foto itu ke nomor Mikhail. Sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya, menunjukkan bahwa pesan telah berhasil terkirim.Di dalam kafe, Astoria sedang mencoba meyakinkan Jerry untuk merelakannya, sementara di tempat lain, Mikhail yang menerima pesan dari Jhein tidak tahu apa yang sedang terjadi.Ia membuka pesan tersebut saat tengah sibuk di kantornya, foto-foto Astoria dan Jerry dalam satu frame membuat darahnya mendidih seketika. Meski belum tahu konteksnya, perasaan m
Malam itu, Astoria merasa lelah setelah seharian bekerja di kantor. Semua kesibukan yang menumpuk di hadapannya mulai mempengaruhi pikirannya. Mikhail masih terjebak dalam dunia kerjanya, dan meskipun Astoria mencoba untuk memahami, ada bagian dari hatinya yang merindukan kehadiran suaminya di sampingnya. Malam ini ia ada janji bertemu dengan Jerry untuk mengakhiri segalanya, dan semoga Mikhail tak salah paham. Astoria berharap semoga pertemuan ini bisa meredakan semua ketegangan yang mengganggu pikirannya. Dengan yakin ia melangkah, Astoria masuk ke sebuah kafe kecil yang terletak tidak jauh dari kantor. Suasana di dalam kafe itu hangat dan nyaman, dengan lampu-lampu redup yang memberi nuansa tenang. Aroma kopi yang segar menyambutnya, dan saat ia melangkah lebih dalam, pandangannya langsung tertuju pada sosok yang dikenalnya dengan baik, Jerry, yang sudah menunggu di sudut kafe dengan ekspresi yang sulit dibaca.
Minggu pagi yang cerah. Astoria duduk di sebuah kafe yang tenang. Tangannya gemetar sedikit ketika menggenggam secangkir teh hangat di depannya. Ia menunggu dengan cemas, mengatur napas agar tetap tenang. Tak lama kemudian, sebuah suara berat yang sudah lama tak ia dengar memecah keheningan. "Astoria?" Astoria mendongak, dan di sana berdiri seorang pria dengan rambut yang mulai memutih. Wajah Brandon tampak lebih tua dari terakhir kali ia melihatnya, namun di balik wajah itu, ada gurat penyesalan yang tak bisa disembunyikan. "Ayah..." Astoria tak mampu menyembunyikan rasa canggungnya. Perasaan bercampur aduk antara rindu, marah, dan harapan membuatnya bingung. Ia ingin memeluk ayahnya, namun luka masa lalu masih begitu segar di hatinya. Brandon menarik kursi dan duduk di depannya. "Aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi, Astoria, aku ingin minta maaf," katanya lirih, suaranya bergetar. Astoria hanya diam, menunggu penjelas
Astoria memandang layar ponselnya, jantungnya berdebar kencang saat melihat foto Mikhail yang tampak rentan.Namun, seolah tak memberi waktu untuk meresapi perasaannya, pesan baru muncul di layar. Ia menatap nama pengirim dengan curiga.Ternyata itu Rose.[Astoria, suamimu mabuk parah, dia di antar pulang oleh supirku.]Mendengar kabar itu, rasa tenang seolah merayap kembali ke dalam diri Astoria. Ia menghela napas lega, Kecurigaan yang sempat terbesit di benaknya sirna seketika. Ternyata Mikhail masih tak seperti yang Jerry tuduhkan, dan yang paling penting, dia baik-baik saja.“Terima kasih, Rose,” balasnya cepat, seolah untuk menegaskan rasa syukurnya. Namun Rose tampaknya memiliki pesan lain yang ingin disampaikan.[Sama-sama, Astoria. Oh iya, ayah kita bilang dia ingin bertemu denganmu, kapan kau siap?]Astoria terhenti sejenak, merasakan aliran dingin di tulang belakangnya. Meski hatinya bergetar mendengar nama itu
Mikhail menarik napas dalam-dalam, seolah menahan gelombang amarah yang masih tersisa di dadanya.Dia mendekat lagi, jarak di antara mereka semakin tipis. Tangannya perlahan mengangkat, jemarinya dengan lembut menyentuh wajah Astoria.Kulitnya terasa dingin di bawah sentuhan Mikhail, namun ada kehangatan aneh yang mengalir dari ujung jemarinya. Astoria terdiam, terperangkap dalam tatapan pria itu, marah, namun tak mampu benar-benar melukai.“Kau tahu, Astoria ...” Suaranya rendah, hampir berbisik, tetapi setiap kata yang keluar terasa berat, seolah penuh dengan emosi yang ia sembunyikan. “Aku masih belum bisa sepenuhnya memaafkan apa yang terjadi. Tapi itu tak berarti aku tak ingin melindungimu.”Tangannya bergerak turun, menelusuri rahang Astoria dengan pelan, nyaris ragu, sebelum berhenti di lehernya, jemarinya mengelus perlahan.“Terkadang, aku ingin marah. Tapi, pada saat yang sama, aku ingin memastikan kau baik-baik saja ... dengan c
Astoria melangkah perlahan, mengantarkan Jhein ke kamar yang pernah menjadi miliknya. Setiap langkah terasa berat, seiring dengan pertanyaan yang terus bergulir di benaknya. Jhein berjalan di sampingnya, tanpa banyak bicara, tampak malu dan gugup setelah menandatangani kontrak dengan Mikhail. Astoria dan Jhein akhirnya sampai di kamar yang dulunya milik Astoria. "Ini... kamarmu untuk sementara waktu," ujar Astoria dengan suara lemah, mencoba tetap tenang meski hatinya bergejolak. Jhein menatap sekeliling kamar itu dengan rasa canggung. Meski kamar tersebut sederhana di Penthouse, tapi bagi Jhein itu sudah lebih dari cukup, hingga ia merasa semakin segan. Astoria meletakkan tangannya di gagang pintu, hendak berbalik meninggalkan Jhein sendirian. Namun, sebelum ia melangkah keluar, Jhein memanggilnya. "Astoria … terima kasih," kata Jhein pelan, suaranya dipenuhi dengan rasa bersalah yang dalam. Astoria hanya mengangguk kecil. "Istirahatlah. Kita bisa bicarakan ini nanti," j
Pada akhirnya, Mikhail memutuskan untuk tidak mengantar Jhein pulang ke rumahnya. 'Dia tidak bisa kembali ke tempat seperti itu dengan kondisi seperti ini,' pikirnya. Namun, keputusannya bukan hanya soal belas kasihan. Dalam benaknya, Mikhail sudah merencanakan sesuatu. Mobil berhenti di depan penthouse, dan mereka bertiga turun. Mikhail berjalan lebih dulu, langkahnya mantap memimpin di depan Astoria dan Jhein menuju unit Penthousenya. 'Aku tak sebaik itu, tak akan memberinya secara cuma-cuma,' batinnya semakin tegas. Saat mereka tiba di penthouse, suasana terasa sunyi. Mikhail langsung menuju ruang kerjanya tanpa banyak bicara. Sebelum menghilang di balik pintu, ia berbalik dan berkata dengan nada tegas, "Ajak Jhein ke ruang kerjaku," ujarnya pada Astoria. Astoria, meskipun merasa sedikit tak nyaman dengan sikap Mikhail yang dingin, tetap mengikuti instruksi suaminya. Ia meraih tangan Jhein yang terlihat gelisah, menggenggamnya erat sambil berkata lembut, "Ayo, mari ki
Astoria melangkah pelan di trotoar, menikmati hembusan angin sore yang membawa sedikit kedamaian setelah pertemuan yang emosional dengan Rose.Pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan barusan, tentang ayahnya dan hubungan yang selama ini tersembunyi. Langkahnya lambat, dan ia berusaha menenangkan hatinya yang masih bergolak.Tiba-tiba, terdengar suara klakson dari arah samping. Astoria terhenti, menoleh dengan cepat ke sumber suara. Sebuah mobil hitam berhenti di dekatnya. Jendela mobil itu turun perlahan, memperlihatkan wajah Mikhail di balik kemudi, tatapannya serius namun terkesan tenang."Masuklah!" ajaknya dengan nada yang tenang namun tegas.Astoria membelalakkan mata. "Mi-Mikhail?" suaranya mengandung keheranan, tak menyangka Mikhail mengikutinya hingga ke sini. Meski terkejut, ia tahu benar bahwa Mikhail bukan orang yang suka diabaikan, terutama ketika ia memerintahkan sesuatu. Tanpa banyak berpikir lagi, Astoria membuka pintu dan segera