Astoria menelan ludahnya sendiri, tidak tahu harus berkata apa setelah mendengar pernyataan Jerry.
Kenangan masa lalu tiba-tiba menyeruak dalam benaknya, mengingatkannya pada hari-hari awal ketika ia baru pertama kali menjabat sebagai sekertaris CEO di hotel ini.Saat itu, ia baru saja menjalani pernikahan yang tidak ia inginkan, dan Jerry adalah satu-satunya orang yang selalu ada di dekatnya.Astoria ingat jelas malam itu, ketika ia terpaksa lembur karena tugas sebagai sekretaris CEO yang terasa begitu berat.Ia duduk di meja resepsionis di depan ruangan Mikhail, mengantuk, menguap, tapi berkas-berkas masih menggunung.Bahkan Mikhail sudah lama pulang, meninggalkannya sendiri dengan pekerjaan yang seolah tak ada habisnya.'Bagaimana mungkin aku bisa menyelesaikan semua ini malam ini?' batin Astoria gelisah. Ia mulai merasa putus asa, membayangkan dirinya harus menginap di kantor hingga pagi.Di saat-saat seperti itulah,Saat Jerry sedang bicara dengan Astoria, di kejauhan ia menemukan Mikhail keluar dari ruangannya, memperhatikan langkah pria itu yang semakin mendekat.Dengan napas yang berat, ia memutuskan untuk mendesak Astoria satu kali lagi. "Astoria, jawab saja... Apakah kau pernah memiliki perasaan yang sama padaku?" desaknya dengan suara serak, sengaja memancing jawaban di hadapan Mikhail.Mikhail berjalan semakin dekat, pandangannya tertuju pada punggung istrinya yang tak menyadari kehadirannya.Langkahnya teguh, namun ada ketegangan yang tak dapat disembunyikan dari wajah dinginnya. Begitu Mikhail berada tepat di belakang Astoria, ia mendengar kata-kata yang membuatnya terhenti."Ya, aku sempat menyukaimu!" ujar Astoria, suaranya pecah oleh emosi yang lama ia pendam. "Aku ingin kita bisa bersama, tapi kenyataannya, aku adalah istri Mikhail!"Pengakuan itu meluncur dengan jujur, begitu pahit dan penuh penyesalan. Tapi bagi Mikhail, kalimat itu te
Saat Mikhail masih tenggelam dalam lautan perasaannya, suara dering telepon di meja kerjanya tiba-tiba memecah keheningan yang menyesakkan.Ia menatap layar telepon dengan sedikit kebingungan sebelum akhirnya mengangkatnya dengan malas. Suara yang ia kenal baik terdengar dari seberang sana, suara yang sudah lama tak ia dengar, suara ayahnya.“Mikhail, kau sudah kembali bekerja?” tanya ayahnya dengan nada datar namun terasa menusuk.Mikhail menghela napas panjang, matanya tertutup sejenak, mencoba menenangkan diri dari badai emosi yang baru saja mengguncangnya. "Ya, ayah, aku sudah kembali bekerja," jawabnya sambil bersandar di kursi putarnya, tangannya meremas pinggiran meja."Kau seharusnya tidak memaksakan diri untuk bekerja dulu. Kasihan juga pada Astoria, bukankah kakinya sedang sakit?"Ucapan itu menghentak Mikhail. Dahinya mengerut, seolah ada sesuatu yang tidak biasa dari kata-kata itu.Ayahnya tidak pernah berbicara denga
Alexander melangkah masuk ke area depan kantor CEO dengan anggun, matanya segera tertuju pada sosok Astoria yang duduk di meja resepsionis, tampak terfokus pada pekerjaannya. Ketika menyadari kedatangan mertuanya, Astoria terkejut, namun dengan cepat menegakkan tubuhnya dan berdiri menyambut."Selamat datang, Tuan," ucapnya dengan suara tenang namun tetap penuh hormat, sambil membungkuk sopan di hadapan Alexander.Alexander, yang jarang menunjukkan senyum, justru kali ini menyunggingkan senyum lebar. "Astoria, bagaimana kabarmu?" tanyanya dengan nada ramah yang mengejutkan Astoria.Astoria merasakan sedikit kekakuan dalam dirinya, merasa canggung dengan perhatian yang mendadak dari mertuanya ini. "Sudah lebih baik, Tuan. Terima kasih atas perhatian Anda," jawabnya dengan sopan, meskipun ada keraguan yang terselip di suaranya.Alexander memandangnya dengan penuh arti, menyelidik namun juga mengakui keberadaan Astoria. "Kau tak perlu memaksakan diri
Ketika pintu ruangan tertutup di belakang Alexander, suara langkah ayahnya yang semakin menjauh membekas di telinga Mikhail. Amarah yang selama ini tertahan akhirnya meledak.Brak! Tangannya menghantam meja dengan keras, membuat pena dan kertas di atasnya bergetar. Nafasnya memburu, dada naik turun, menahan kekesalan yang meluap."Pantas selama ini ayah memperhatikan Astoria dan naik jabatan begitu cepat ..." gumamnya dengan suara penuh kebencian. "Dia memang rubah licik."Mikhail menekan dahinya dengan tangannya, mencoba menahan rasa frustasi yang makin menyesak di dada.Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, tapi pikirannya tetap kacau. Ia meraih laptopnya, berniat melanjutkan pekerjaan. Namun, setiap kali pandangannya tertuju pada layar, pikirannya kembali melayang pada percakapan tadi.Ia mendesah kesal, menjauhkan laptop dari hadapannya dan bersandar kembali ke kursi kulitnya.Pandangannya menerawang, menat
Tiba lah saat jam makan siang, Mikhail memang mengajak Astoria makan bersama seperti rencana awalnya, namun suasana di meja makan terasa begitu sunyi.Denting halus alat makan menjadi satu-satunya suara yang mengisi ruangan, mengiringi makan siang yang seharusnya menjadi momen intim antara mereka berdua.Namun, Mikhail hanya duduk dengan wajah tanpa ekspresi, kembali pada sikap dinginnya. Seolah tak ada apa pun yang pernah terjadi di antara mereka. Seolah cerita indah mereka hanyalah ilusi yang sekejap lenyap.Astoria duduk di seberangnya, matanya berusaha fokus pada piring di depannya. Tapi hati dan pikirannya tak bisa berhenti merasakan sakit yang menjalar perlahan seperti luka sayatan yang dalam. Perihnya sampai ke telapak tangannya yang kini gemetar saat mencoba menggenggam garpu dan sendok.‘Aku pasti telah mengecewakannya ... Maafkan aku, Mikhail,’ batinnya lirih. Ia berusaha menenangkan diri, namun rasa bersalah dan kekhawatirannya terus me
Pagi itu terasa berbeda. Astoria terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang masih remuk. Ketika matanya terbuka, ia tak melihat Mikhail di sampingnya.Suara gemericik air dari kamar mandi terdengar jelas, menandakan Mikhail sudah bangun lebih dulu. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya Loyang masih berat oleh perasaan tak menentu.Ia segera bangkit, menyingkirkan selimut yang membalut tubuhnya. "Aku harus menyiapkan sarapan," gumamnya, berusaha mengalihkan pikirannya dari kekosongan yang terus menyelimuti hatinya.Dengan langkah cepat, Astoria menuju dapur, berharap bisa melakukan sesuatu yang dapat memperbaiki suasana antara mereka berdua.Namun, ketika ia sampai di dapur, langkahnya terhenti. Di meja makan, ada sepiring omelet dan mashed potato yang terlihat masih hangat. Astoria terdiam sejenak, memandang hidangan itu dengan kening berkerut. "Ini ... untukku?" ia bergumam pelan, seolah tak percaya.Rasa
Astoria menggigit bibirnya, menatap lurus ke depan. Ruangan di dalam mobil terasa semakin sempit dan sunyi. Ia ingin bercerita tentang menstruasinya namun lidahnya kelu.Mikhail mengalihkan pandangan kembali ke jalan, tapi ia masih bisa merasakan aura tegang di sebelahnya. Seakan menunggu sebuah jawaban yang tak kunjung keluar.Astoria menelan ludah, berusaha mencari kekuatan untuk bicara. Namun, kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya, menggantung di antara ketakutan dan rasa malu."Tak ada apa-apa ..." jawab Astoria akhirnya, dengan suara pelan dan lemah.'Tak apa, berkunjung ke lapas tak akan lama,' batin Astoria meyakinkan diri sendiri untuk bertahan.Ketika Mikhail dan Astoria tiba di lapas, suasana terasa suram, udara dipenuhi dengan keheningan yang berat.Langkah-langkah mereka menggema di sepanjang koridor, mengiringi perasaan canggung yang belum sepenuhnya memudar antara keduanya.Astoria sesekali merasakan k
Astoria dan Mikhail kini duduk di salah satu sudut restoran, berhadapan di meja yang cukup luas untuk memberi jarak di antara mereka, namun keheningan yang mengikat terasa jauh lebih berat.Astoria masih merasa gugup, hatinya berdebar tak menentu, sementara matanya terpaku pada ujung serbet di pangkuannya. Ada sesuatu yang mengganjal di dalam dirinya, bukan hanya rasa malu, tapi juga ketidakpastian tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya.Mikhail duduk tegak, wajahnya tetap tanpa ekspresi, namun ada ketegangan dalam tatapannya. Ia melirik Astoria, lalu mengajukan pertanyaan yang tiba-tiba, suaranya terdengar datar namun penuh selidik."Jika tidak denganku, biasanya kau dibantu siapa selama ini?"Astoria mengangkat wajahnya perlahan, lalu kembali menunduk dengan malu-malu. Pertanyaan itu membuatnya teringat pada Rose, sahabat baiknya yang selalu ada untuknya. "Rose," jawabnya pelan, suaranya nyaris tersendat. "Hanya dia yang selalu m
Enam bulan setelah Jerry ditangkap dan dipenjara, kantor M.J Hotel Group mulai kembali ke rutinitas yang lebih normal. David, setelah dibebaskan dari segala tuduhan, kembali ke perusahaan dan menggantikan posisi Jerry yang kosong. Kehadirannya disambut hangat oleh para eksekutif dan staf yang telah lama menunggu stabilitas kembali dalam perusahaan. Hari itu suasana kantor terasa lebih meriah dari biasanya. Para karyawan berkumpul di ruang rapat, tetapi bukan untuk diskusi bisnis. David berdiri di tengah ruangan dengan senyum penuh kebahagiaan, memegang tangan Jhein yang tampak terkejut tapi juga sangat bahagia. "Jhein, selama ini kau selalu di sisiku, mendukungku, bahkan saat aku terpuruk. Sekarang, aku ingin kau selalu berada di sisiku, bukan hanya sebagai rekan kerja, tapi sebagai pendamping hidupku," ucap David dengan nada mantap, tapi lembut sambil berlutut memberikan cincin untuk Jhein. Ruangan seketika
Malam itu, di sebuah sudut yang gelap dan tersembunyi, Jhein berdiri sambil memperhatikan Astoria dan Jerry di kafe dari kejauhan. Matanya tajam mengawasi setiap gerakan mereka, sementara jari-jarinya dengan cepat menggesek layar ponselnya, memotret momen yang dianggapnya penting. Dia menyaksikan percakapan penuh ketegangan itu, tak luput dari satu detik pun."Maafkan aku Astoria, ini bagian dari tugasku pada Mikhail," gumam Jhein dengan suara pelan sambil mengirimkan serangkaian foto itu ke nomor Mikhail. Sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya, menunjukkan bahwa pesan telah berhasil terkirim.Di dalam kafe, Astoria sedang mencoba meyakinkan Jerry untuk merelakannya, sementara di tempat lain, Mikhail yang menerima pesan dari Jhein tidak tahu apa yang sedang terjadi.Ia membuka pesan tersebut saat tengah sibuk di kantornya, foto-foto Astoria dan Jerry dalam satu frame membuat darahnya mendidih seketika. Meski belum tahu konteksnya, perasaan m
Malam itu, Astoria merasa lelah setelah seharian bekerja di kantor. Semua kesibukan yang menumpuk di hadapannya mulai mempengaruhi pikirannya. Mikhail masih terjebak dalam dunia kerjanya, dan meskipun Astoria mencoba untuk memahami, ada bagian dari hatinya yang merindukan kehadiran suaminya di sampingnya. Malam ini ia ada janji bertemu dengan Jerry untuk mengakhiri segalanya, dan semoga Mikhail tak salah paham. Astoria berharap semoga pertemuan ini bisa meredakan semua ketegangan yang mengganggu pikirannya. Dengan yakin ia melangkah, Astoria masuk ke sebuah kafe kecil yang terletak tidak jauh dari kantor. Suasana di dalam kafe itu hangat dan nyaman, dengan lampu-lampu redup yang memberi nuansa tenang. Aroma kopi yang segar menyambutnya, dan saat ia melangkah lebih dalam, pandangannya langsung tertuju pada sosok yang dikenalnya dengan baik, Jerry, yang sudah menunggu di sudut kafe dengan ekspresi yang sulit dibaca.
Minggu pagi yang cerah. Astoria duduk di sebuah kafe yang tenang. Tangannya gemetar sedikit ketika menggenggam secangkir teh hangat di depannya. Ia menunggu dengan cemas, mengatur napas agar tetap tenang. Tak lama kemudian, sebuah suara berat yang sudah lama tak ia dengar memecah keheningan. "Astoria?" Astoria mendongak, dan di sana berdiri seorang pria dengan rambut yang mulai memutih. Wajah Brandon tampak lebih tua dari terakhir kali ia melihatnya, namun di balik wajah itu, ada gurat penyesalan yang tak bisa disembunyikan. "Ayah..." Astoria tak mampu menyembunyikan rasa canggungnya. Perasaan bercampur aduk antara rindu, marah, dan harapan membuatnya bingung. Ia ingin memeluk ayahnya, namun luka masa lalu masih begitu segar di hatinya. Brandon menarik kursi dan duduk di depannya. "Aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi, Astoria, aku ingin minta maaf," katanya lirih, suaranya bergetar. Astoria hanya diam, menunggu penjelas
Astoria memandang layar ponselnya, jantungnya berdebar kencang saat melihat foto Mikhail yang tampak rentan.Namun, seolah tak memberi waktu untuk meresapi perasaannya, pesan baru muncul di layar. Ia menatap nama pengirim dengan curiga.Ternyata itu Rose.[Astoria, suamimu mabuk parah, dia di antar pulang oleh supirku.]Mendengar kabar itu, rasa tenang seolah merayap kembali ke dalam diri Astoria. Ia menghela napas lega, Kecurigaan yang sempat terbesit di benaknya sirna seketika. Ternyata Mikhail masih tak seperti yang Jerry tuduhkan, dan yang paling penting, dia baik-baik saja.“Terima kasih, Rose,” balasnya cepat, seolah untuk menegaskan rasa syukurnya. Namun Rose tampaknya memiliki pesan lain yang ingin disampaikan.[Sama-sama, Astoria. Oh iya, ayah kita bilang dia ingin bertemu denganmu, kapan kau siap?]Astoria terhenti sejenak, merasakan aliran dingin di tulang belakangnya. Meski hatinya bergetar mendengar nama itu
Mikhail menarik napas dalam-dalam, seolah menahan gelombang amarah yang masih tersisa di dadanya.Dia mendekat lagi, jarak di antara mereka semakin tipis. Tangannya perlahan mengangkat, jemarinya dengan lembut menyentuh wajah Astoria.Kulitnya terasa dingin di bawah sentuhan Mikhail, namun ada kehangatan aneh yang mengalir dari ujung jemarinya. Astoria terdiam, terperangkap dalam tatapan pria itu, marah, namun tak mampu benar-benar melukai.“Kau tahu, Astoria ...” Suaranya rendah, hampir berbisik, tetapi setiap kata yang keluar terasa berat, seolah penuh dengan emosi yang ia sembunyikan. “Aku masih belum bisa sepenuhnya memaafkan apa yang terjadi. Tapi itu tak berarti aku tak ingin melindungimu.”Tangannya bergerak turun, menelusuri rahang Astoria dengan pelan, nyaris ragu, sebelum berhenti di lehernya, jemarinya mengelus perlahan.“Terkadang, aku ingin marah. Tapi, pada saat yang sama, aku ingin memastikan kau baik-baik saja ... dengan c
Astoria melangkah perlahan, mengantarkan Jhein ke kamar yang pernah menjadi miliknya. Setiap langkah terasa berat, seiring dengan pertanyaan yang terus bergulir di benaknya. Jhein berjalan di sampingnya, tanpa banyak bicara, tampak malu dan gugup setelah menandatangani kontrak dengan Mikhail. Astoria dan Jhein akhirnya sampai di kamar yang dulunya milik Astoria. "Ini... kamarmu untuk sementara waktu," ujar Astoria dengan suara lemah, mencoba tetap tenang meski hatinya bergejolak. Jhein menatap sekeliling kamar itu dengan rasa canggung. Meski kamar tersebut sederhana di Penthouse, tapi bagi Jhein itu sudah lebih dari cukup, hingga ia merasa semakin segan. Astoria meletakkan tangannya di gagang pintu, hendak berbalik meninggalkan Jhein sendirian. Namun, sebelum ia melangkah keluar, Jhein memanggilnya. "Astoria … terima kasih," kata Jhein pelan, suaranya dipenuhi dengan rasa bersalah yang dalam. Astoria hanya mengangguk kecil. "Istirahatlah. Kita bisa bicarakan ini nanti," j
Pada akhirnya, Mikhail memutuskan untuk tidak mengantar Jhein pulang ke rumahnya. 'Dia tidak bisa kembali ke tempat seperti itu dengan kondisi seperti ini,' pikirnya. Namun, keputusannya bukan hanya soal belas kasihan. Dalam benaknya, Mikhail sudah merencanakan sesuatu. Mobil berhenti di depan penthouse, dan mereka bertiga turun. Mikhail berjalan lebih dulu, langkahnya mantap memimpin di depan Astoria dan Jhein menuju unit Penthousenya. 'Aku tak sebaik itu, tak akan memberinya secara cuma-cuma,' batinnya semakin tegas. Saat mereka tiba di penthouse, suasana terasa sunyi. Mikhail langsung menuju ruang kerjanya tanpa banyak bicara. Sebelum menghilang di balik pintu, ia berbalik dan berkata dengan nada tegas, "Ajak Jhein ke ruang kerjaku," ujarnya pada Astoria. Astoria, meskipun merasa sedikit tak nyaman dengan sikap Mikhail yang dingin, tetap mengikuti instruksi suaminya. Ia meraih tangan Jhein yang terlihat gelisah, menggenggamnya erat sambil berkata lembut, "Ayo, mari ki
Astoria melangkah pelan di trotoar, menikmati hembusan angin sore yang membawa sedikit kedamaian setelah pertemuan yang emosional dengan Rose.Pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan barusan, tentang ayahnya dan hubungan yang selama ini tersembunyi. Langkahnya lambat, dan ia berusaha menenangkan hatinya yang masih bergolak.Tiba-tiba, terdengar suara klakson dari arah samping. Astoria terhenti, menoleh dengan cepat ke sumber suara. Sebuah mobil hitam berhenti di dekatnya. Jendela mobil itu turun perlahan, memperlihatkan wajah Mikhail di balik kemudi, tatapannya serius namun terkesan tenang."Masuklah!" ajaknya dengan nada yang tenang namun tegas.Astoria membelalakkan mata. "Mi-Mikhail?" suaranya mengandung keheranan, tak menyangka Mikhail mengikutinya hingga ke sini. Meski terkejut, ia tahu benar bahwa Mikhail bukan orang yang suka diabaikan, terutama ketika ia memerintahkan sesuatu. Tanpa banyak berpikir lagi, Astoria membuka pintu dan segera