"Ah, nanti saja, membuktikannya ketika kita bekerja," ujar Astoria sambil mendekat ke piano, tangannya dengan lembut meraba tutsnya seolah ingin merasakan sentuhan alunan nada yang baru saja dimainkan Mikhail.
Namun, Mikhail tak mengalihkan pandangannya dari Astoria, memperhatikannya dengan sorot mata yang intens. Tanpa diduga, ia meraih tangan Astoria dan menariknya mendekat. "Duduklah di sini," katanya tiba-tiba, membuat Astoria terkejut hingga ia jatuh duduk di pangkuan Mikhail. Wajah Astoria langsung bersemu merah, tubuhnya terasa panas karena gerakan tiba-tiba itu. Ia mencoba bersikap biasa, meskipun hatinya berdebar kencang. "Kau bisa main piano?" tanya Mikhail, suaranya tenang namun ada keteduhan yang membuat Astoria merasa semakin gugup. "Tidak bisa," jawab Astoria cepat, "Dulu sempat belajar, tapi guru les-ku tiba-tiba berhenti ... entah kenapa." Mikhail tersenyum samar, kemudian dengaAstoria duduk di depan meja rias dengan raut wajah sedikit merengut, merasakan nyeri yang menjalar dari kakinya yang belum pulih dan rasa sakit di selangkangannya.Di belakangnya, Mikhail berdiri, dengan gerakan lembut mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. Setiap usapan terasa penuh perhatian, seolah ia berusaha menenangkan ketidaknyamanan yang kini dirasakan Astoria.Tapi Astoria tetap cemberut, bibirnya mengerucut, dan ia tak bisa menahan keluhannya. "Katamu besok kita pulang, lalu bagaimana denganku? Sekarang rasanya sulit sekali untuk berjalan!" katanya setengah protes.Mikhail menatapnya dari balik cermin, senyum tipisnya terlihat, menahan tawa kecil yang hampir lolos dari bibirnya. "Maaf," katanya dengan nada rendah, matanya tetap fokus pada Astoria. "Tapi kau juga menikmatinya, kan?" Ia berkata sambil memiringkan kepalanya sedikit, pandangannya menantang, namun lembut, tertuju pada refleksi Astoria.Astoria mendengus kesal, mencoba tet
Setibanya mereka di penthouse Mikhail, Rose dan Elise, ibu Astoria, membantu Astoria duduk di sofa. Kaki Astoria yang masih terasa nyeri diluruskan dengan hati-hati, sementara kelelahan terlihat jelas di wajahnya.Di seberang ruangan, Mikhail yang sebelumnya penuh perhatian tiba-tiba kembali ke mode dinginnya.“Aku akan ke ruang kerjaku, mengurus beberapa hal,” katanya singkat. Tanpa menunggu jawaban, Mikhail bergegas masuk ke ruang kerjanya, pintunya tertutup dengan suara yang tegas, bahkan terdengar jelas ketika ia mengunci pintunya dari dalam.Rose, yang sejak tadi mengamati dengan heran, mengangkat alisnya. "Astoria! Jadi suamimu yang dingin itu yang telah menyelamatkanmu?" Nadanya penuh keraguan, seolah masih sulit percaya.Astoria tersenyum tipis, meski ada kelelahan di matanya. "Tentu saja. Bagaimanapun ... aku adalah istrinya, bukan?" Ada nada pahit di balik kalimat itu yang membuatnya sadar, ia hanya istri kontrak, namun ia mencoba menyem
Astoria seketika merasa darahnya berhenti mengalir. "Tidak mungkin! Tidak perlu!" serunya dengan nada penuh kegelisahan. Wajahnya yang semula pucat kini berubah merah padam, tidak percaya bahwa Rose bahkan bisa memikirkan hal itu.Rose tertawa kecil melihat reaksi Astoria, tapi di balik tawanya ada kekhawatiran mendalam. "Astoria, kau harus realistis. Mikhail adalah suamimu sekarang. Kau tidak bisa terus bergantung padaku selamanya. Jika sesuatu terjadi saat aku tidak di sini, siapa lagi yang bisa kau andalkan kalau bukan dia?"Astoria menundukkan kepala, hatinya dipenuhi oleh rasa cemas yang menggerogoti pikirannya. Membiarkan Mikhail tahu tentang trauma pada darah menstruasinya ini? Membiarkannya melihatnya dalam kondisi yang begitu rentan? Pikiran itu saja sudah membuatnya takut."Rose ... aku tidak bisa ... ini terlalu ...," suaranya memudar, tak mampu menyelesaikan kalimatnya.Rose menghela napas panjang, lalu meraih tangan Astoria dengan lem
Setelah makan siang usai, Mikhail meletakkan serbetnya dengan tenang di atas meja dan menatap sekeliling, terutama mengarahkan pandangannya kepada Elise yang duduk di ujung meja dengan sedikit gelisah. Dengan senyum tipis yang tidak sampai ke matanya, Mikhail berbicara dengan nada tenang tapi penuh makna."Saya sudah menghubungi security apartemen," ucapnya, sambil bersandar di kursinya. "Di bawah sudah aman dari para wartawan, jadi Anda bisa segera pulang." Matanya terfokus tajam pada Elise, membuatnya terasa seperti tak ada ruang untuk menghindar. Senyumnya datar, hampir tak berperasaan, namun nadanya begitu sopan, seolah hanya memberikan informasi biasa.Elise terdiam sejenak, merasakan hawa dingin dari kata-kata yang baru saja dilontarkan Mikhail. Hatinya tahu, meski kalimat itu terdengar sopan, namun maksudnya jelas. Dia sedang diusir. Merasa terpojok, Elise berusaha menjaga wibawanya dengan menarik napas dalam-dalam, lalu berdiri dari tempat duduknya.
"Astoria, ada tumpahan minuman di kamar 1501. Kamu harus segera membersihkannya!" ujar Jhein dengan nada mendesak. Astoria menghela napas panjang saat ia sedang berada di counter resepsionis seorang rekan kerjanya tiba-tiba saja memerintahkannya untuk membersihkan kamar. Hari ini, ia mendapatkan tugas yang agak berbeda dari biasanya, seorang resepsionis yang membersihkan kamar seorang CEO. Astoria bergerak cepat, merasakan sedikit kegugupan mengingat kamar 1501 adalah salah satu kamar eksekutif di M.J Hotel, tempatnya bekerja selama dua tahun terakhir. Setibanya di lantai 15, Astoria bisa merasakan kemewahan yang menyelimuti koridor. Ia berhenti sejenak di depan pintu kamar 1501, menarik napas dalam-dalam sebelum membunyikan bel yang berada di depan pintu. Setelah menunggu beberapa detik tanpa ada jawaban, ia memutuskan untuk membuka pintu dengan master key yang dimilikinya. Saat masuk, matanya langsung tertuju pada tumpahan minuman di dekat meja kecil di sudut ruangan. Dengan
"Jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi," suara Alexander terdengar tegas, tidak memberi ruang untuk kebohongan. Alexander, seorang pria dengan rambut beruban yang tetap memancarkan wibawa, duduk di belakang meja, menatap tajam ke arah putranya, Mikhail, dan Astoria yang berdiri di hadapannya. Astoria merasa kakinya gemetar, matanya terfokus pada lantai, dan tangannya menggenggam ujung bajunya dengan erat. Detak jantungnya berdegup kencang, seolah-olah bisa terdengar di seluruh ruangan. Mikhail menarik napas dalam-dalam, pandangannya sesaat beralih pada Astoria yang menundukkan kepala. "Kami akan segera menikah, Ayah," katanya dengan tegas. Astoria mengangkat kepalanya sedikit, matanya berkaca-kaca. Ia merasa seakan terjebak dalam mimpi buruk yang tak berujung. Setiap kata yang keluar dari mulut Mikhail hanya membuatnya semakin terpuruk. Pernikahan ini bukan sesuatu yang ia inginkan, apalagi dengan cara seperti ini. Alexander mengangguk pelan, mengingat betapa ia sendi
Mikhail Jamison Bloom berdiri tegak di altar dengan setelan jas hitam khusus yang mencerminkan statusnya sebagai CEO muda dari jaringan hotel terkenal milik keluarganya. Mikhail tampak sempurna dengan wajah tampan dan karisma yang memukau. Di sampingnya, Astoria berdiri dengan anggun dalam balutan gaun pengantin yang indah. Wajahnya yang cantik terlihat cemas saat bisikan-bisikan tamu yang meremehkan asal-usulnya dan keluarganya terdengar jelas di telinganya. Meskipun ia berusaha untuk tetap tenang, kata-kata kasar itu mengiris hatinya seperti pisau. “Tampan sekali Tuan Mikhail.” “CEO kita tampan, tapi sayangnya kenapa menikahi wanita yang tak jelas asal-usulnya itu? Ibunya datang tanpa ayahnya?” “Ku dengar ayahnya pergi karena ibunya selingkuh.” Bisik-bisik sebagian tamu undangan terdengar ketika Astoria berdiri di altar, mengenakan gaun pengantin yang indah namun terasa berat. Di sampingnya Mikhail berdiri dengan gagah namun tanpa ekspresi. “Ya ampun, pasti wanita itu sa
Setelah perbincangan itu, Astoria berbaring sendirian di ranjang, terpisah dengan Mikhail yang beristirahat di kamar lain. Malam serasa panjang untuk melepas beban, tentu saja, ini pernikahannya yang dilaksanakan secara mendadak, ditambah sebuah surat perjanjian pernikahan kontrak yang sudah ia tanda tangani sehari sebelum pernikahan kemarin membuatnya tak bisa tidur. Astoria terus mengingat perjanjian berat bersama Mikhail, saat itu suasana di ruang kerja Mikhail terasa dingin dan penuh ketegangan. Astoria duduk di hadapan Mikhail, mencoba memahami maksud dari dokumen yang baru saja diberikan kepadanya. Mikhail menatap Astoria tanpa ekspresi, Namun mata gelapnya memancarkan intimidasi, “Lima tahun adalah waktu yang cukup untuk menenangkan segala rumor yang ada. Setelah itu, kita akan bercerai secara baik-baik.” Ia berhenti sejenak, menatap Astoria bagai melihat kucing jalanan, dan menambahkan, “Ada satu hal yang harus kau ingat, kau tidak boleh menceritakan perjanjian ini kepada